Anda di halaman 1dari 5

Polemik RUU Revisi KPK

Menimbang hadirnya instabilitas sosial belakangan ini berkenaan dengan


disahkannya RUU Revisi KPK maka, dalam rangka merespon hal tersebut bersama esai ini
Saya hendak memeberikan pandangan yuridis mengenai opsi langkah hukum yang dapat
ditempuh (oleh masyarakat atau pejabat terkait atau pun pemerintah) apabila memang RUU
tersebut dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan hukum saat ini atau bahkan dinilai bersifat
regresif. Berikut merupakan pandangan Saya.

Opsi Judicial Review


Sebagai pendahuluan, terhitung saat Saya menulis esai ini pada hakikatnya opsi JR
tidak perlu ada, karena untuk dilakukan JR ke MK haruslah saat RUU telah menjadi UU.
Namun demikian guna melanjutkan pembahasan ini maka Saya asumsikan RUU tersebut
telah diundangkan.
Hal pertama yang perlu selalu diingat saat ingin berdiri di depan sembilan hakim MK
adalah apakah kita memiliki legal standing untuk itu, yakni sebagai pihak yang dirugikan hak
konstitusionalnya, atau pun sebagai pihak terkait lainnya. Maka dalam hal ini pemohon harus
lah pihak yang terkait secara langsung dengan UU tersebut, serta terdapat kerugian
konstitusional padanya. Sebagai contoh seorang penyidik KPK yang merasa hak
konstitusinalnya terkurangi atas hadirnya UU tersebut.
Jadi pada poin pertama ini wajib dipahami bahwa opsi JR ini tidak dapat ditempuh oleh
sembarang orang, hanya dapat ditempuh oleh yang berkepentingan saja dan harus terdapat
unsur kerugian konstitusional.
Selain dari hal di atas juga perlu diingat bahwa MK tidak diperbolehkan untuk
membatalkan suatu UU hanya karena alasan UU “Berkualitas Kurang baik atau tidak disukai
rakyat”. Bahwa MK diikat oleh ketentuan yang menyatakan MK hanya dapat membatalkan
UU dengan alasan UU tersebut bertentangan dengan Konstitusi. Prihal UU tersebut tidak
disukai rakyat merupakan soal menyoal lain, bahwa pada intinya MK tidak dapat
membatalkan suatu Open Legal Policy/ Kebijakan Hukum Terbuka selama tidak
bertentangan dengan Konstitusi.
Maka pastilah akan ditolak permohonan JR tersebut apabila secara materil ternyata UU
Revisi KPK tidak bermuatan inkonstitusional. Terkecuali apabila pemohon dapat
membuktikan dari sisi lainnya, yaitu dari sisi formil pembentukannya, apakah prosesnya
dilaksanakan dengan cara yang inkonstitusional.
Bahwa perlu diingat pula, opsi JR ini juga tidak dapat ditentukan hasil serta cepat
atau lamanya persidangan, semua bergantung pada surat permohonan pemohon, keterangan
pemohon, pihak terkait, para saksi, para ahli, inteprestasi hakim, dan lain sebagainya.
Maka dalam poin ini ditekankan bahwa hasil serta waktu JR tidak lah dapat dipastikan.

Opsi Perpu
Opsi Perpu dinilai mungkin untuk dilakukan mengingat Presiden memiliki hak
subyektif untuk membuat suatu Peraturan Pengganti UU apabila dipandang perlu berdasar
atas Pasal 22 UUD 1945. Perlu diingat pula bahwa penerbitan Perpu harus lah saat RUU
telah menjadi UU. Berkenaan dengan hal tersebut maka akan terdapat dua opsi, yakni :
Presiden menandatangani RUU kemudian mengeluarkan Perpu atau Presiden tidak
menandatangani (menunggu 30 hari, saat telah menjadi UU baru kemudia menerbitkan
Perpu), menimbang hal ini maka akan lebih arif jika Presiden mengambil opsi kedua, karena
akan diniai lebih konsisten.
Kedua, perlu diperhatikan bahwa apabila ingin dilaksanakan opsi ini maka wajiblah
memastikan UU Revisi KPK ini tidak secara berbarengan sedang dimohonkan JR di MK,
bahwa secara logis yuridis hal tersebut tidak dimungkinkan dimana lebih dari satu lembaga
negara memeroses satu perkara yang sama (dalam hal ini adalah eksekutif dan yudikatif)
karena akan menimbulkan anomali hukum baru apabila putusan antar lembaga (DPR akan
terlibat) berbenturan atau salah satu mendahului yang lainnya.
Perpu sendiri memiliki kriteria khusus untuk dapat diterbitkan, yakni menurut adanya
“Kegentingan yang memaksa”, secara hukum tidak ada ukuran mutlak berkenaan dengan
frasa tersebut, namun MK dalam Putusannya No. 138/PUU-VII/2009 memberi rambu
sebagai berikut : Adanya kebutuhan hukum mendesak secara capat, adanya kekosongan
hukum atau terdapat hukum namun tidak memadai, dan bahwa kekosongan hukum tersebut
tidak dapat diselesaikan dengan cara membuat hukum secara biasa karena terbentur faktor
waktu. Bertolak darinya tentu kita akan bertanya “Apakah situasi yang ada saat ini telah
dinilai memenuhi unsur tersebut ?”. Apabila pertanyaan tersebut dijawab dengan pendekatan
kasat mata saja (Adanya demonstrasi besar-besaran mahasiswa) maka akan terkesan seperti
hukum saat ini tidak memiliki akar karena sangat mudah digoyahkan hanya karena desakan
segelintir warga negara saja, kendati pada dasarnya demonstrasi tersebut pun memang dapat
dijadikan salah satu pertimbangan “Keadaan genting”. Namun disamping itu sebetulya
terdapat argumentasi hukum yang lebih elegan, bahwa dalam UU Revisi KPK terdapat
banyak kekurangsempurnaan pengaturan yang sifatnya fundamental dan sangat signifikan
pengaruhnya bahkan dapat menyebabkan stagnant kelembagaan, seperti masalah yang akan
terjadi berkenaan dengan serah terima jabatan komisioner KPK apabila diterapkan UU
Revisi, dan masih banyak pasal lainnya yang bermasalah secara hukum. Maka sekiranya
telah terpenuhilah ketiga rambu yang ditetapkan oleh MK dalam putsannya di atas.
Adalah benar bahwa Perpu merupakan hak subjektif Presiden, namun sebetulnya
Perpu ini akan mengalami objektifikasi oleh lmbaga legislative (DPR), yang dimana di DPR
Perpu ini akan dipertimbangkan dengan sangat matang untuk disetujui atau tidak, sehingga
tidak muncul stigma bahwa Perpu semata-mata dibawah kehendak Presiden. Sungguh pun
demikian pada dasarnya sejak dikeluarkannya Perpu oleh Presiden Perpu tersebut telah
memiliki kekuatan hukum mengikat sebagai suatu produk hukum. Dalam hal ini
sesungguhnya DPR hanya memberikan persetujuan saja, jadi apabila kemudian tidak
disetujui maka Perpu tersebut harus dicabut.
Maka dalam hal ini seyogyanya eksekutif dan legislatif wajib bersinergi bila ingin Perpu
tersebut berlaku seterusnya dan tidak dicabut.
Mengenai opsi Perpu ini apabila dikemudian hari ternyata terdapat pandangan lain
bahwa seharusnya UU Revisi KPK diberlakukan, maka pihak yang bersangkutan
dimungkinkan untuk dapat membatalkan Perpu ini melalui Judicial Review sehingga UU
tersebut berlaku kembali, perlu diingat pula syarat JR seperti terjabar di muka.
Maka dapat dipahami bahwa opsi Perpu ini kedepannya seperti bersifat “Fleksibel” sehingga
sangat cocok untuk diterapkan kepada perundang-undangan yang penuh kegamangan dan
pro-kontra seperti UU Revisi KPK ini.
Opsi Legislative Review
Legislative Review merupakan langkah hukum yang dapat dilakukan oleh setiap
orang dengan mengajukan permohon kepada badan legislator untuk melakukan pengkajian
kembali terhadap produk hukum yang dibuatnya. Dalam konteks ini yaitu memohon kepada
DPR dengan objeknya adalah RUU Revisi KPK.
Dalam konteks persoalan ini LR dipandang sebagai sebuah langkah yang sangat
“bersih”, dalam artian sangat sesuai dengan prosedur yang ditentuakan oleh hukum positif
(apabila kita meninjaunya dalam perspektif hukum secara murni dan dengan mengabaikan
aspek lainnya). Namun demikian tentunya dalam kehidupan bernegara kita tidak mungkin
serta merta menimbang satu aspek saja.
Dengan menimbang pula situasi yang ada saat ini maka, LR dinilai tidak cukup
efektif dalam menyelesaikan anomali sosial yang terjadi, karena LR akan memakan waktu
yang relatif lama karena memang secara prosedural harus dilakukan sebagaimana membahas
UU secara biasa (memasukkannya ke dalam prolegnas, menyidangkan, dan lain sebagainya).
Menimbang keanggotaan DPR saat ini adalah baru maka waktu yang diperlukan berpotensi
semakin lama karena para anggota DPR baru akan terlebih dahulu berkonsolidasi kembali
dan lain sebagainya.
Dalam perspekif lain LR juga dapat diragukan karena mengingat prolegnas DPR
yang selalu padat, walaupun nantinya LR yang dimasukkan dalam prolegnas akan
diprioritaskan pembahasannya namun rakyat dapat berkata apa jika memang kesibukan DPR
menjadi faktor penghambat, sedangkan rakyat memerlukan tindakan yang segera untuk RUU
Revisi KPK ini. Selain dari pada itu DPR pun akan berat kemungkinan untuk melakukan
perubahan yang signifikan terhadap RUU atau dengan mudah dapat Saya katakana “Hasilnya
pun belum tentu” karena kendati saat ini anggotanya telah baru namun tetap suara yang
dibawa adalah suara partai. Juga di sampig hal tersebut perlu diketahui pula bahwa secara
politis DPR pastilah sebisa mungkin akan menjaga wibawanya sebagai lembaga negara, atau
dengan kata lain DPR akan sungkan mengakui produknya sendiri “Berkualitas kurang baik”.
Risiko dari lamanya waktu yang dibutuhkan sebagaimana di atas adalah akan
lepasnya kasus-kasus besar yang sedang ditangani KPK, hal tersebut terjadi atas
kuensekuensi dari adanya ketentuan dalam RUU Revisi mengenai batas waktu SP3 yakni
satu tahun. Kuensekuensi lainnya selama belum adanya hasil dari LR ini adalah berlakunya
segenap pasal-pasal RUU Revisi yang dinilai akan menghambat kinerja dan melemahkan
KPK. Maka selama kurun waktu tersebut KPK akan seperti lembaga yang fakum karena
tentu kinerjanya akan menurun drastis.

Kesimpulan
Berdasarkan penjabaran tiga opsi di atas dengan menimbang aspek hukum,
mengingat keuensekuensi waktu, memperhatikan aspek politik, serta mengintepretasi
kemungkinan hasil, dan pertimbangan-pertimbangan lainnya, maka saya berpandangan
bahwa Perpu merupakan produk hukum yang paling rasional dan efektif untuk menyikapi
polemik ini, dengan catatan eksekutif dan legislatif wajib bersinergi secara sehat dan
profesional dalam menyikapi masalah ini.
DPR sungkan menolak, jika menolak LR
Bahwa apabila badan-badan negara tidak memiliki kedewasaan dan profesionalitas dalam
bekerja, maka Saya yakin ketiga opsi di muka atau opsi lain apapun juga tidak lah akan dapat
mengatasi masalah yang ada.

Anda mungkin juga menyukai