Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia menjadi negara terkaya nomer dua setelah Brazil dengan tingkat
biodiversitas darat yang tinggi, namun jika angka biodiversitas di darat di gabung dengan
biodiversitas laut Indonesia, maka Indonesia menjadi negara nomer satu terkaya di dunia.
Maka tidak heran jika Indonesia dijukuli dengan negara Megabiodiversitas. Namun
biodiversitas yang tinggi belakangan tidak diimbangi dengan upaya pelestarian yang
memadai.
Daya dukung alam untuk kesejahteraan manusia terus terdegradasi, berkurang bahkan
hilang. Penyebabnya tentu karena kerusakan habitat, eksploitasi secara berlebihan,
penggunaan sumber daya yang tidak berkelanjutan, polusi udara, polusi air, polusi tanah,
munculnya spesies asing invasif, serta akibat perubahan iklim dan faktor-faktor lainnya.
Usaha untuk memperbaiki dan menjaga biodiversitas menjadi tanggungjawab seluruh
pihak. pemerintah perlu mengkaji berbagai regulasi agar tetap sesuai dengan kondisi
Indonesia saat ini. Para pemangku kepentingan yang lain hendaknya juga turut andil
dalam mengawal regulasi yang telah ada. Masyarakat menjadi ujung tombak dalam
menjaga kelestarian biodiversitas Indonesia. Ketika seluruh pihak telah menjalankan
fungsinya dengan penuh maka biodiversitas Indonesia dapat senantiasa terjaga.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi keanekaragaman hayati Indonesia?
2. Bagaimana tantangan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati?
3. Bagaimana perencenaan prioritas konservasi?
4. Bagaimana upaya pengendalian keanekaragaman hayati?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kondisi keanekaragaman hayati Indonesia
2. Untuk mengetahui tantangan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati
3. Untuk mengetahui perencanaan prioritas konservasi
4. Untuk mengetahui upaya pengendalian keanekaragaman hayati.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONDISI KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA
Wilayah Republik Indonesia terdiri dari 17.058 pulau yang memiliki
keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang tinggi, termasuk tingkat endemisnya.
Keanekaragaman yang tinggi akan menghasilkan kestabilan lingkungan yang mantap.
Keanekaragaman ekosistem, tercakup di dalamnya genetik, jenis beserta lingkungannya
Keanekaragaman ekosistem merupakan keanekaragaman hayati yang paling kompleks.
Berbagai keanekaragaman ekosistem yang ada di Indonesia misalnya ekosistem hutan,
lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun dan berbagai ekosistem lainnya
yang terbentang dari mulai gunung sampai ka laut.
Keanekaragaman hayati menyediakan berbagai barang dan jasa, mulai dari
pangan, energi, dan bahan produksi hingga sumber daya genetik bahan dasar pemuliaan
tanaman komoditas serta obat. Selain itu keanekaragaman hayati juga berfungsi untuk
mendukung sistem kehidupan, seperti menjaga kualitas tanah, menyimpan-memurnikan
dan menjadi reservoir air, menjaga siklus pemumian udara, siklus karbon, dan nutrisi.
Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati
dunia karena termasuk dalam sepuluh negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati
tertinggi.1 Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak dalam lintasari distribusi
keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan) dan benua
Australia (Pulau Papua) dan sebaran wilayah paralihan Wallacea (Pulau Sulawesi,
Maluku dan Nusa Tenggara) yang memiliki keanekaragaman hayati yang kaya dengan
tingkat kekhasan yang tinggi dengan tingkat endemisme masing-masing.

Tabel Keanekaragaman hayati pada tiap region dan tingkat endemisnya.

Pulau Burung Endemik Maroalla Endemik Reptil Endemik Tumbuhan Endemik


(jenis) (%) (jenis) (%) (jenis) (%) (Jenis) (%)

602 52 125 58 223 35 1030 55


Papua

Maluku
210 33 69 17 98 18 380 6

Sulawesi
242 30 41 12 77 22 150 3

1
R. B Primack. Biologi Konservasi.(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998),143
2
Kalimantan
289 32 114 60 117 26 520 7

Jawa Bali 362 7 133 12 173 8 630 5

Sumatera 466 2 194 10 217 11 820 11

Indonesia juga memiliki kekayaan spesies satwa yang sangat tinggi, walaupun
Indonesia hanya memiliki luas daratan sekitar 1,3 persen dari luas daratan dunia.
Indonesia memiliki sekitar 12 persen (515 jenis) dari total jenis binatang menyusui
(mamalia), 7,3 persen (511 jenis) dari total reptil dan 17persen (1531 jenis) dari total
jenis bunjng di dunia, 270 jenis Amphibi, 2827 jenis ikan tidak bertulang belakang, serta
47 jenis ekosistem. Keanekaragaman hayati Indonesia mengalami erosi yang tinggi,
apabila tidak segera dihentikan akan merosot terus menerus. Sekitar 20-70 persen habitat
asli telah lenyap. Walaupun sulit dipastikan, diperkirakan satu spesies punah setiap
harinya. Sementara penyusutan keanekaragaman genetik, terutama di spesies liar, belum
terdokumentasi dengan baik padahal sumber daya genetik yang ada belum dimanfaatkan
secara optimal untuk kesejahteraan rakyat.
Keanekaragaman hayati di ujung tanduk, begitulah keadaan keanekaragaman
hayati pada tingkatan global, di seluruh dunia. Tidak berbeda keadaannya di Indonesia.
Bangsa di bagian dunia manapun akan tergantung pada keanekaragaman hayati untuk
kelangsungan hidupnya. Keanekaragaman hayati merupakan suatu fenomena alam
mengenai keberagaman makhluk hidup, dan kompleks ekologi yang menjadi tempat
hidup bagi makhluk itu. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu mencakup
interaksi antara berbagai bentuk kehidupan dan dengan lingkungannya, yang membuat
bumi ini menjadi tempat yang layak huni dan mampu menyediakan jumlah besar barang
dan jasa bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia.
Walaupun demikian, keanekaragaman hayati terus-menerus mengalami
kemerosotan. Keanekaragaman hayati terdapat di berbagai ekosisem, baik yang terestrial
(daratan) maupun yang akuatik. Di kedua bentuk ekosistem ini, keanekaragaman hayati
menghadapi ancaman serius. Hutan tropika yang menjadi gudang keanekaragaman hayati
telah menyusut lebih dari setengahnya. Lahan pertanian telah mengalami degradasi, baik
kualitasnya maupun kuantitasnya. Hampir dua pertiga lahan pertanian telah terdegradasi.
Ancaman dan kerusakan juga dialami oleh terumbu karang, mangrove dan kehidupan laut
lainnya. Dengan kondisi keanekaragaman hayati seperti ini, manusia yang sadar akan
pentingnya dan sadar akan adanya ancaman terhadap keanekaragaman hayati telah

3
melakukan upaya.
Berbagai penyebab penurunan keanekaragaman hayati di berbagai ekosistem
antara lain konversi lahan, pencemaran, exploitasi yang berlebihan, praktik teknologi
yang merusak, masuknya jenis asing, dan perubahan iklim. Berikut beberapa illustrasi
kerusakan keanekaragaman hayati pada tingkat ekosistem, jenis spesies dan genetik.
1. Kerusakan Ekosistem
Ekosistem hutan mengalami ancaman berupa penebangan hutan (deforestasi),
fragmentasi dan konversi menjadi bentuk pemanfaatan lain. Berdasarkan data Bank
Dunia 2001 diperkirakan bahwa penggundulan hutan di Indonesia mencapai 1,6 juta
ha/tahun atau tiga ha per menit hingga dua juta ha/tahun. Jika penggundulan hutan terjadi
secara terus menerus, maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan merusak
sumber penghidupan masyarakat.
Pembukaan jalan dalam kawasan yang dilindungi lebih banyak membawa dampak
negatif bagi lingkungan. Saat ini kekhawatiran banyak pihak akan dampak dan
pembangunan jalan di kawasan lindung akan terulang kembali karena adanya rencana
pembangunan jalan Ladia Galaska yang memotong kawasan Ekosistrem Leuser di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang meliputi antara lain hutan lindung, hutan
konservasi (taman bum dan taman nasional), hutan produksi dan lain sebagainya.
Indonesia mempunyai lahan basah (termasuk hutan rawa gambut) terluas di Asia,
yaitu 38 juta ha yang tersebar mulai dan bagian timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Jawa, Maluku sampai Papua. Tetapi luas lahan basah tersebut telah menyusut menjadi
kurang lebih 25,8 juta ha. Penyusutan lahan basah dikarenakan berubahnya fungsi rawa
sebesar 37,2 persen dan mangrove 32,4 persen.
Luas hutan mangrove berkurang dari 5,2 juta ha tahun 1982 menjadi 3,2 juta ha
tahun 1987 dan menciut lagi menjadi 2,4 juta ha tahun 1993 akibat maraknya konversi
mangrove menjadi kawasan budi daya. Luas terumbu karang Indonesia diduga berkisar
antara 50.020 km2 hingga 85.000 km2.2Hanya sekitar 6 persen terumbu karang dalam
kondisi sangat baik, diperkirakan sebagian terumbu karang Indonesia akan hilang dalam
10-20 tahun dan sebagian lainnya akan hilang dalam 20-40 tahun. Rusaknya terumbu
karang mempunyai dampak pada masyarakat pesisir, misalnya berkurangnya mata
pencaharian nelayan kecil.

2
R, Dahuri. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.(Jakarta: Prandya Paramita, 2001),
29
4
2. Kepunahan Spesies
Satu spesies diperkirakan punah setiap harinya. Inventarisasi yang dilakukan oleh
badan-badan internasional, seperti International Union for Conservation of Nature and
Natural Resources (IUCN) dapat dijadikan indikasi tentang keterancaman spesies. Pada
1988 sebanyak 126 spesies burung, 63 spesies binatang lainnya dinyatakan berada di
ambang kepunahan. Pada 2002, Reef data List IUCN menunjukan 772 jenis flora dan
fauna terancam punah, yaitu terdiri dari 147 spesies mamalia, 114 burung, 28 reptilia, 68
ikan, 3 moluska, dan 28 spesies lainnya serta 384 spesies tumbuhan. Salah satu spesies
tumbuhan yang baru-baru ini juga dianggap telah punah adalah ramin (Ganystylus
bancanus).Spesies tersebut sudah dimasukkan ke dalam Appendix III Convention of
International Trade of Endeggered Species of Flora and Fauna (CITES). Sekitar 248
spesies tanaman dinyatakan mulai langka, di antaranya banyak yang merupakan kerabat
dekat tanaman budidaya. Paling tidak 52 spesies keluarga anggrek (Orchidaceae)
dinyatakan langka.
Kepunahan jenis di Indonesia terutama disebabkan oleh degradasi habitat
(deforestasi, perubahan peruntukan lahan), bencana (kebakaran eksploitasi secara tidak
bijaksana (perburuan pemanenan liar) dan masuknya spesies asing invasif serta
perdagangan satwa liar.
Perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar
Indonesia. Lebih dari 90 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari
alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20 persen satwa yang dijual di pasar mati
akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam
punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia, seperti orangutan, penyu,
beberapa jenis burung, harimau Sumatera dan beruang. Semakin langka satwa tersebut
semakin mahal pula harganya.
Kemudian untuk jenis burung yang diperdagangkan sebanyak 47 persen burung
paruh bengkok yang diperdagangkan adalah termasuk jenis yang dilindungi, antara lain
Caealua sthphurea, Cacatua Eciechis rorattis, Larius iory dan Cacatua gaiehta. Jenis
burung yang paling banyak diperdagangkan adalah Lorius iory.

3. Penyusutan Keragaman Sumber Daya Genetik


Penyusutan sumber daya genetik terjadi saat ini adalah akibat tidak adanya
pengaturan, kebijakan dan monitoring yang baik. Kurang tepatnya kebijakan di sektor
5
pertanian misalnya, merupakan salah satu penyebab penyusutan keragaman genetik.
Sebagai contoh, pemanfaatan teknologi monokultur dengan penggalakan penanaman padi
PB (Pelita Baru) sejak 1978 untuk meningkatkan produksi beras, telah berdampak pada
hilangnya 1500 kultivar padi lokal di Indonesia. Hal ini terjadi karena kebijakan
intensifikasi pertanian menggunakan satu macam kultivar unggul secara nasional,
menggiring petani menggunakan hanya satu kultivar tersebut dan mangabaikan kultivar
lokal sehingga kultivar yang telah teradaptasi lama itu tersisihkan dan akhirnya
menghilang. Kasus lain, pemakaian bibit bermutu dan seragam secara besar-besaran
dapat menimbulkan permasalahan seperti timbulnya epidemi(wabah) dan pada ujungnya
juga berakhir dengan pemusnahan sumber daya genetik. Ancaman terhadap kelestarian
sumberdaya genetik juga dapat ditimbulkan oleh adanya pengaruh globalisasi. Sebagai
dampak dari globalisasi telah terjadi erosi budaya seperti menurunnya kesukaan akan
buah lokal karena membanjirnya buah-buahan impor di pasaran. Selain itu, petani juga
diperkenalkan dengan bibit hasil introduksi pasar yang lebih disukai, sehingga
penanaman bibit tradisional menjadi jarang dan berangsur-angsur mulai tergusur oleh
bibit introduksi. Sebenarnya pengalihan pemakaian bibit tradisional oleh bibit unggul
adalah wajar dari segi tuntutan pasar, tapi perlu diingat bahwa keanekaragaman sifat yang
dimiliki oleh bibit tradisional mungkin suatu saat akan diperlukan di masa datang.
Kemudian penyebab lain adalah kurangnya sosialisasi tentang pentingnya sumber
daya genetik. Padahal seperti kita ketahui bahwa sumber daya ini memiliki nilai strategis,
sehingga upaya pelestarian dan pemanfaatannya perlu diperhatikan sebagai modal
pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Saat ini orang
belum memikirkan pengelolaan sumberdaya genetik, konservasi yang sering dilakukan
adalah hanya dalam lingkup jenis dan ekosistem saja.
Berikut adalah tabel tantangan dan harapan pengelolaan kehati:3
Permasalahan Tantangan Harapan
Indonesia dikenal Luasnya daratan dan lautan Perlu pengungkapan kehati,
sebagai Negara Indonesia serta uniknya geologi dan terutama di Indonesia timur
dengan kehati sangat geografi Indonesia, memungkinan (Papua, NTB, NTT, Maluku,
tinggi, namun Indonesia sebagai negara terkaya Sulawesi). Diperlukan pusat
informasi kehati kehati di dunia, namun informasi database kehati nasional yang
masih sangat tentang hal tersebut masih sangat disertai dengan pemetaan jenis
terbatas. sedikit. dan validasi nama jenis
ditambah dengan informasi

3
Elizabeth A.,dkk. Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia ( Jakarta : LIPI press 2014), hlm.284
6
pemanfaatan lokal berdasarkan
pengetahuan lokal.
Potensi kehati Banyak kehati yang telah Perlu dilakukan pemetaan
Indonesia belum dimanfaatkan, baik secara tradisional pemanfaatan, sebaran dan data
tergali dan tervaluasi. maupun dari hasil penelitian yang karakteristik (data fisik,
dapat ditingkatkan menjadi industri, mekanik, kimia) kehati
namun masih perlu dilengkapi Indonesia, memvaluasi, memilah
datanya. yang bisa segera diangkat
menjadi suatu industri,
dipatenkan menjadi produk yang
dapat bernilai tinggi dan
digunakan dalam pengentasaan
kemiskinan.
Pengelolaan Peningkatan kesadaran berbagai Pengarusutamaan pengelolaan
keanekaragaman pihak melalui penyadartahuan kehati secara berkelanjutan
Hayati dalam tentang pentingnya pelestarian kehati dalam perencanaan dan
kegiatan secara berkelanjutan. pelaksanaan pembangunan
pembangunan nasional dan daerah sebagai
nasional dan landasan untuk menaikkan taraf
berbagai aspek kehidupan masyarakat.
kehidupan
masyarakat belum
optimal.
Eksploitasi kehati Peraturan tentang pembatasan Perlu lebih jelas peraturan (UU,
secara berlebihan. volume/jumlah yang boleh diambil, Permen, Perda) yang mengatur
musim pengambilan, dan ukuran pemanfaatan kehati menjadi
yang boleh diambil pada pemanfaatan berkelanjutan dan
keanekaragaman jenis masih sangat ditingkatkannya pengetahuan
terbatas. tradisional masyarakat tentang
konservasi ekosistem, jenis
maupun genetik sebagai bagian
dari cara perlindungan dari
eksploitasi secara berlebihan.
Pemanfaatan kehati Bagaimana mengurangi terjadinya Perlindungan jenis, usaha
masih lebih banyak laju kehilangan jenis, terutama yang penangkaran dan perbanyakan
diperolehdari alam. terancam punah dan melepaskan diri untuk:
sebagai hot spot country 1. mengurangi eksploitasi

7
kehati,
2. meningkatkan perlindungan
ekosistem untuk menjaga
kelestariannya,
3. meningkatkan luasan
kawasan konservasi perairan
dan daratan,
4. kegiatan konservasi dan
restorasi berdasarkan
perbedaan ekosistem,
5. menurunkan pencemaran di
berbagai kawasan ekosistem,
terutama areal yang rentan
dan adanya jenis yang
terancam punah,
6. menetapkan jenis yang perlu
dilindungi hingga terancam
punah dengan kriterianya
disertai dengan cara
penangkaran dan
perbanyakannya.
Keterbatasan Areal konservasi saat ini didasarkan 1. Perlu pemetaan dan penetapan
kawasan konservasi pada perlindungan jenis, bukan luasan minimal berdasarkan
dan restorasi untuk ekosistem sehingga perlu tipe dan fungsi ekosistem.
melindungi penambahan areal konservasi yang 2. Peningkatan kegiatan
keanekaragaman didasarkan pada fungsi ekosistem. eksplorasi biota Indonesia
hayati pada berbagai tipe ekosistem
dengan mencerminkan jenis
endemik di ekosistem tersebut
sebagai habitat khusus.
3. Mempercepat berbagai kajian
bioprospeksi fauna, flora
maupun mikrob dengan teknik
termutakhir menggunakan
high throughput screening
dalam melakukan tes kimia,
genetik dan famakognosi guna

8
memperoleh komponen aktif
dalam kehati.
4. Pengembangan teknologi
kultur mikrob untuk
mendapatkan biakan murni
dan mengembangkan teknik
penyimpanan sehingga mikrob
dapat digunakan kapan saja.
Lemahnya Belum memiliki konsep pengelolaan 1. Pemanfaatan lahan pertanian
pengelolaan lahan tata ruang secara sinergis dan terpadu dan perikanan dilakukan
pertanian, perikanan untuk pemanfaatan kehati, genetika secara terencana dengan
dan kehutanan secara dan pengembangannya secara menggunakan sistem pertanian
berkelanjutan. berkelanjutan, baik yang masih liar organik dan pemilihan
maupun yang sudah didomestikasi/ kultivar/budi daya yang tidak
budi daya menimbulkan kerusakan
ekosistem.
2. Pencemaran di berbagai
kawasan ekosistem perairan
sungai, danau, laut, terumbu
karang, padang lamun,
mangrove, ekosistem
pertanian dan lainnya dari
kelebihan nutrien, pestisida
dan herbisida menurun.
Terjadinya erosi Pendataan dan perlindungan terhadap 1. Mengusulkan dan
genetika flora, fauna, sumber daya genetika flora, fauna mendaftarkan adanya
dan mikrob. dan mikrob. perlindungan kultivar, varietas
tanaman yang belum terdaftar,
terutama kultivar asli dan
tradisional.
2. Didirikannya lembaga yang
bertanggung jawab menangani
permasalahan pendaftaran
hewan dan mikrob yang setara
dengan Lembaga
Perlindungan Varietas
Tanaman.

9
3. Mengusulkan dan
mendaftarkan bangsa hewan,
baik yang murni maupun
maju, dan hasil unggulan yang
sudah digunakan.
Ancaman jenis Jenis invasif berpengaruh negatif, 1. Perlu kajian survei ekologi
invasif. baik secara ekologi, ekonomi dan analisis risiko jenis
maupun sosial. invasif.
2. Perlu kajian pemberantasan
dan pencegahan jenis invasif
yang ramah lingkungan.
3. Perbaikan peraturan (UU,
Permen, Perda) yang mengatur
keluar masuknya species antar
wilayah NKRI dan
antarnegara.
Kehati masih 1. Valuasi kehati Indonesia. 1. Valuasi sumber daya hayati
dianggap sebagai 2. Peningkatan pemanfaatan kehati secara ekonomi dan ekologi
keunggulan dengan memanfaatkan teknologi perlu dilakukan untuk
komparatif. dan inovasi mutakhir. memanfaatkan kehati yang
belum dikenal.
2. Peningkatan teknologi dan
inovasi berbasis nilai tambah
kehati sehingga
pemanfaatannya akan lebih
terkendali.
Keterbatasan sumber Kemampuan dalam memetakan 1. Tersedianya SDM yang
daya manusia dan kehati bersama pemanfaatan dan mumpuni dan berdedikasi
sarana. karakterisasinya. Kemampuan dalam untuk kemajuan kehati
mengikuti penamaan tata nama Indonesia.
kehati berdasarkan filogenetika 2. Peningkatan SDM untuk
terakhir. taksonomi flora, fauna dan
mikrob beserta
filogenetiknya.
Ancaman perubahan Kondisi geografi Indonesia yang Implementasi Strategi Nasional
iklim bagi negara menyulitkan dalam melakukan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
kepulauan, sementara eksplorasi di pulau kecil, termasuk dan Ekosistem Mangrove

10
pemetaan kehati kurangnya perhatian kajian tentang Indonesia dilakukan secara
pulau-pulau kecil di pentingnya mangrove sebagai nyata dan terpadu pada semua
Indonesia belum pencegah abrasi laut pada wilayah pengambil kebijakan.
selesai. pulau kecil.
Kurangnya informasi 1. Luasnya wilayah lautan 1. Peningkatan kajian dan
biota laut Indonesia. Indonesia. kegiatan penggalian
2. Pendataan dan perlindungan biota informasi dan potensi biota
laut Indonesia masih minim. laut Indonesia.
3. Penggalian potensi/bioprospeksi 2. Valuasi biota laut.
biota laut yang lebih banyak
dilakukan oleh peneliti asing.
Peningkatan jumlah Banyak potensi sumber daya hayati 1. Inventarisasi, karakterisasi,
penduduk di alternatif yang belum tergali dan valuasi keanekaragaman
Indonesia yang informasi pemanfaatannya. hayati untuk pangan;
dibarengi dengan 2. Pembaharuan produk dan
penurunan minat proses produksi pangan dari
menjadi petani tumbuhan, tanaman, hewan,
menyebabkan ternak dan mikrob;
menipisnya sumber 3. Pembaharuan bahan baku
bahan pangan. pangan melalui teknologi
kultur jaringan, rekayasa
genetika dan bioproses;
4. Penggalian pengetahuan lokal
masyarakat tentang
keanekaragaman pangan
berbasis sumber daya hayati;
5. Status populasi jenis-jenis
berpotensi sebagai sumber
pangan.

B. Tantangan Dalam Pengelolaan Keanekaragaman Hayati


Berdasarkan hasil kajian LIPI (2014), kehati belum mem-beri dampak
kesejahteraan dan peningkatkan ekonomi mas-yarakat, padahal banyak kekayaan hayati
Indonesia yang bisa digunakan sebagai bahan pangan, farmasi, obat dan kosmeti-ka, akan
tetapi masih belum tergali dan dipetakan secara maksimal. Potensi ekonomi dari
pemanfaatan produk bioteknolgi modern menurut Deswina (2009) dapat memberikan
keun-tungan bagi semua pihak, tidak hanya terhadap konsumen melainkan juga produsen

11
dan sekaligus mampu meningkat-kan perekonomian secara keseluruhan. Dalam berbagai
aspek tantangan globalisasi bisnis kehati, terdapat dua hal penting yang perlu
mendapatkan perhatian. Pertama, komersialisasi bahan hayati baik dalam bentuk
pemanfaatan langsung dari alam atau dari hasil budidaya, maupun hasil ekstrak dan hasil
modifikasi. Kedua, adalah bioprospeksi dan biopirasi.
Pemanfataan kehati yang tidak bertanggung jawab akan san-gat merusak
keberadaan kehati dan merugikan manfaat kehati yang seharusnya berguna bagi
kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Tiga jenis tantangan pemanfaatan yang tidak
bertanggungjawab adalah: (i) “penambangan” kehati dari habitatnya yang melebihi daya
tumbuh (regenerasi) kehati; (ii) perdagangan kehati tidak bertanggungjawab; dan (iii)
pola pemanfataan yang “mengerosi” kegiatan masyarakat berbasis kearifan lokal.
Pemanfaatan kehati bukan merupakan hal baru dalam kehidupan masyarakat.
Masyarakat adat sejak lama hidup tel-ah melestarikan kehati yang ada di sekitar tempat
hidupnya. Mereka memanfaatkan kehati sesuai dengan siklus alam, baik dalam volume,
waktu pemanfatan dan cara pemanfaatan. Pemanfaatan tidak bertanggungjawab muncul
pada waktu manfaat sudah diketahui dan berkembang menjadi suatu kebutu-han
masyarakat luas, sehingga tingkat kebutuhan tidak lagi sesuai dengan daya tumbuh
kembali kehati. Perkembangan pemanfaatan ini mendorong “penambangan” dalam
skala besar, waktu yang lebih kontinyu dan menerapkan cara-cara yang eksploitatif.
Cara pemanfaatan ini sangat tidak sejalan dengan daya regenerasi dan siklus hidup
kehati dan bahkan sering merusak habitat kehati itu sendiri. Langkah yang dilakukan
secara terus menerus ini, pada akhirnya mendorong punahnya kekayaan kehati tersebut.
Pemanfaatan seperti ini, tentu saja merupakan tantangan besar, mengingat nilai kehati
sangat besar manfaatnya bagi kehidupan di berbagai aspek. Tantangan yang ada adalah
menciptakan cara pemanfaatan yang bertanggungjawab. Salah satu yang dapat
mendorong terbentuknya pola pemanfaatan bertanggungjawab adalah menumbuhkan
kebun kehati. Penumbuhan kebun kehati adalah membudidayakan kehati sehingga
kehati menjadi bioresources yang dapat ditumbuhkan sesuai skala kebutuhandan
di”panen” pada waktu-waktu yang dapat diatur sesuai dengan pola pemanfaatan.
Penumbuhan kebun kehati akan tetap menjaga masyarakat dapat memanfaatkan dan
bahkan mengembangkan manfaat lebih luas lagi sesuai dengan kebu-tuhannya. Pola
pemanfaatan ini yang perlu didorong agar kehati yang mengandung manfaat untuk
kehidupan akan lebih berguna dan sehingga dilindungi keberadaanya.
Tantangan lainnya adalah adanya perdagangan yang tidak bertanggung jawab.
Perdagangan tidak bertanggungjawab terjadi karena dorongan pemanfaatan kehati yang
12
tidak bertanggungjawab dan dilakukan dalam bentuk yang tidak efisien. Perdagangan
yang tidak bertanggungjawab timbul dalam bentuk: (i) “Penambangan” kehati yang
melebihi dayatumbuh kembali/regenerasi sehingga dapat merusak siklus eksosistem.
Beberapa contoh yang berkembang di masyarakat adalah perdagangan cicak, tokek dan
lain-lain yang diperoleh dari penangkapan fauna tersebut. Penangkatan dalam jumlah
besar dapat dapat mengganggu fungsi fauna tersebut dalam rantai makanan, sehingga
kemungkinan ada serangga yang bersifat hama yang seharusnya menjadi mangsa cicak
dan tokek. Hal ini harus dicegah dengan mensyaratkan bahwa perdagangan diperbole-
hkan namun bukan dari fauna yang diambil dari alam, namun harus sudah dibudidayakan;
(ii) Perdagangan kehati secara tidak optimal, misalnya trenggiling yang sudah mulai
dikenal manfaatnya diperdagangkan bahkan diekspor dalam bentuk per volume atau per
ekor. Padahal manfaat trenggiling ada pada sisiknya. Selain perdagangan trenggiling
harus dari hasil budidaya, riset pemanfaatan bagian lain dari trenggiilng harus dilakukan
untuk dapat menemukan manfaat bagian tubuh lainnya dari trenggiling yang
bersangkutan. Hal yang sama terjadi pada ikan paus yang ditangkap dan hanya diambil
siripnya saja. Industri pengolahan manfaat perlu dikembangkan, sehingga yang diekspor
adalah bentuk yang sudah diolah setengah jadi atau siap dikonsumsi atau digunakan dan
bukan bentuk mentahnya. Dengan demikian nilai tambah dapat lebih dinikmati
masyarakat Indonesia. Dalam kaitan ini industri pemanfaatan kehati sangat penting untuk
didorong dan didukung dengan kebijakan yang tepat.
Mengingat sumber daya hayati kini mempunyai nilai yang amat tinggi, banyak
pihak berminat melakukan prospeksi bahan hayati dengan cara yang mirip ketika
melakukan prospeksi atau eksplorasi untuk bahan tambang, minyak atau kayu. Pelaku
bioprospeksi ini sebagian besar perusahaan multinasional, walaupun juga ada pelaku lain
seperti perguruan tinggi atau lembaga pemerintah. Banyak negara berkembang yang kaya
akan bahan hayati belum siap menghadapi hal ini, dari segi hukum/legal, ekonomi dan
sosial. Indonesia, misalnya, belum mempunyai peraturan di bidang bioprospeksi.
Kebijakan yang ada, yaitu Kepres No.100 tahun 1993 tentangIzin Penelitian Bagi Orang
Asing hanya mengatur perizinan penelitian umum bagi orang asing, namun tidak khusus
untuk penelitian plasma nutfah. Berdasarkan Keppres tersebut, LIPI telah membentuk tim
koordinasi pemberian izin pene-litian bagi orang asing. Terakhir kebijakan untuk tersebut
kemudian diperbarui, dengan PP 41 tahun 2006 Tentang Perizinan Melakukan Kegiatan
Penelitian dan Pengembangan Bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing, dan Orang Asing. Peraturan itu mewajibkan
pemohon mengajukan izin peneli-tian kepada Menteri, dalam hal ini, Kementerian Riset
13
dan Teknologi (Menristek) dengan melampirkan berkas-berkas persyaratan, termasuk
proposal riset, CV dan rekomendasi dari mitra peneliti Indonesia.
Kelemahan kebijakan memungkinkan terjadinya peramba-han hayati atau
biopirasi, yaitu perambahan bahan haya-ti dan pengetahuan yang melekat pada bahan
hayati tanpa persetujuan dari masyarakat maupun negara sedang berkem-bang setelah
pihak- pihaknya mendapatkan informasi yang memadai. Kasus biopirasi lain mencakup
aplikasi paten oleh perusahaan besar di beberapa negara maju atas beberapa an-caman
obat yang khasiatnya sudah diketahui dan digunakan oleh masyarakat sejak lama.
Tanaman tersebut di antaranya kunyit dan nimba dari India, serta pohon obat Swartzia
mad-agascariensis dari Afrika. Biopirasi merupakan bentuk praktik eksploitasi sumber
daya alam dan pengetahuan masyarakat tentang alamnya tanpa izin dan pembagian
manfaat. Manfaat yang dimaksud bukan hanya manfaat dalam bentuk ekonomi, tetapi
juga dalam ben-tuk keuntungan penamaan dan hak –hak intelektual. Den-gan kata lain,
biopirasi adalah sebuah bentuk pencurian atau perampasan hak atas sumber daya alam,
baik berupa jenis maupung genetik. Salah satu kasus penting dialami oleh pe-neliti
Indonesia adalah ‘kecolongan’ publikasi yang dialami LIPI, dimana Peneliti LIPI terlibat
dalam penemuan jenis baru tawon Megalara garuda dalam proyek kerja sama dengan
University of California, Davis. Pihak peneliti asing tidak mencantumkan peneliti
Indonesia ketika ada publikasi jenis baru tersebut.
Kebijakan terkait yang sudah dikeluarkan pemerintah adalah UU Nomor 4 Tahun
2006 tentang Pengesahan InternationalTreaty on Plant Genetic Resources for Food and
Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan
Pertanian) yang di dalamnya terdapat pengatur-an mengenai Material Transfer
Agreement (Perjanjian Penga-lihan Bahan) yang memperbolehkan pertukaran sampel
dan/ atau spesimen antar negara untuk kepentingan penelitian. Lalu dalam hal
pemanfaatan kehati, kemudian diatur pula dengan dukungan pengesahan Protokol
Nagoya tentang ABS maka kejelasan tentang upaya penanganan tentang bioprospeksi,
seharusnya dapat dilakukan lebih baik dan berkeadilan. Keberadaan Protokol Nagoya
juga penting untuk mencegah pencurian plasma nutfah (biopiracy) dan pembagian hasil
rekayasa atau pemanfaatan sumber daya genetik dari nega-ra yang sangat kaya dengan
kehati seperti Indonesia. Namun dalam upaya menangkal pencurian plasma nutfah ini,
penga-wasan dan kehati-hatian perlu ditingkatkan pada level ker-jasama pada dua sektor:
(1) kerjasama koleksi atau explorasi dengan lembaga yang dilakukan dengan institusi
negara bu-kan penanda tangan konvensi kehati, seperti Amerika Serikat (AS) dan (2)
kerjasama yang dilakukan oleh perguruan tinggi negeri ataupun swasta terutama di
14
daerah yang langsung bekerjasama dengan institusi luar negeri.
Terkait dengan pemanfaatan kehati yang tidak bertanggung jawab, serta
bioprospeksi dan biopirasi tersebut, diperlukan juga upaya perlindungan terhadap
kegiatan masyarakat yang berbasis kearifan lokal. Perlindungan terhadap kearifan lokal
sangat penting karena pemanfaatan kehati pada umumnya berakar dari kebiasaan
masyarakat lokal atau bahkan masyarakat adat. Formula obat tradisional (jamu) yang di-
gunakan masyarakat biasanya juga berasal dari kebiasaan masyarakat yang sudah turun
temurun. Pemanfaatan kehati secara industri (dalam skala besar), diproses dengan
teknolo-gi modern/industri (terstandar) dan diperdagangkan biasanya mendorong
timbulnya merk dagang, paten dan hak milik kekayaan intelektual. Langkah-langkah ini
tentu saja akan membahayakan keberadaan kebiasaan di masyarakat dan kemungkinan
pengembangan yang juga terjadi di masyarakat.
Akses terhadap pengetahuan tradisional tentang tanaman dan hewan yang
digunakan dalam obat tradisional sering di-gunakan sebagai jalan pintas penapisan dalam
bioprospeksi untuk mendapatkan bahan obat modern dapat dipasarkan secara
menguntungkan. Pemanfaatan dan pengambilan in-formasi maupun sumber daya
genetika dari suatu negara tanpa otorisasi dan kompensasi dari negara yang bersangkutan
disebut sebagai biopirasi. Biopirasi ini dapat melibatkan eksploitasi informasi
pengetahuan tradisonal tentang obat untuk tujuan komersial tanpa pemberian kompensasi
yang pantas. Biopirasi ini sangat mudah terjadi, khususnya pada negara-negara yang
kurang memiliki kapasitas monitoring dan penegakan hukum. Oleh karena itu, kerangka
kebijakan dan peraturan perundangan serta kelembagaan yang terkait dengan kegiatan
bioprospeksi, biopirasi serta penetapan dan penegasan hak dan pengaturan akses terhadap
kehati dan informasi genetika maupun bahan aktif obat yang terkandung di dalamnya
perlu segera dikembangkan secara efektif.
Hal-hal yang perlu diperhatikan secara khusus, meliputi an-tara lain: (i)
Evaluasi ekonomi material dan informasi gene-tika yang masih berada dalam bahan
mentah sumber daya genetika; (ii) Penetapan kepemilikan material kehati di alam dan
informasi genetika yang dikandungnya serta koleksi kehati eks-situ; (iii) Resolusi
konflik diantara pemangku kepent-ingan kehati; (iv) Cakupan regulasi akses terhadap
material dan informasi genetika; serta (v) Pengaturan keuntungan yang adil dalam
pemanfaatan sumberdaya dan informasi ge-netika. Kebijakan lain yang diperlukan
adalah adanya ruang untuk melindungi/mengakui/mengatur property right dari
eksistensi kearifan lokal dalam pemanfatan kehati sebelum industri-industri besar
mengembangkan patennya.
15
C. Perencanaan Prioritas Konservasi
Terdapat banyak permasalahan konservasi keanekaragaman hayati tetapi untuk
menyelesaikannya tidak dapat dipenuhi karena keterbatasan waku dan biaya. Dalam hal
ini yang diperlukan adalah kebijakan dalam menetapkan skala prioritas. Penetapan
prioritas harus berdasarkan pada keterbukaan dan data yang akurat memungkinkan secara
strategis didiskusikan secara politik maupun ekonomi.
Jeris Nilai Pengertian Komponen

Penggunaan secara langsung kehati Hasil hutan berupa kayu, hasil


Nilai guna baik dikonsumsi, sebagai bahan hutan non-kayu, suber proten
1angsung baku ataupun bahan jadi nabati, hewahi

Pemanfaatan secara tidak langsung Rekreasi/pariwisata, absorbsi CO2

Nilai guna dan manfaat fungsional serta peran oleh tumbuhan, pelindung,

tidak keaneka ragaman hayati dalam budaya/sejarah, air bersih dan

langsung ekosistem tanah serta bencana

Penggunaan langsung dan Semua komponen meliputi


pemanfaatan tidak langsung komponen yang bernilai guna
sebagai pilihan, baik saat ini langsung maupun tidak langsung
maupun masa depan. Sebagai
Nilai guna
preferensi terhadap
opsi
keanekaragaman hayati untuk
mengatasi ketidak pastian masa
depan

Tabungan/simpanan untuk generasi Potensi yang melekat dari semua


akan datang sebagi pendukung komponen baik yang bernilai
Nilai
kehidupan kedepan guna langsung maupun tidak
warisan
langsung

16
Penghargaan akan Peran dan fungsi serta sistem dari
keberadaan/eksistensi masing-masing keanekaragaman
Nilai keanekaragaman hayati akan peran, hayati.
Keberadaan fungsi dan ketergantungan antar

komponen

Pendekatan yang perlu dilakukan dengan kuantifikasi aspek-aspek seperti


kelangkaan, ancaman, penurunan dan laju penurunan untuk digunakan sebagai dasar
penentuan prioritas. Aspek non-ekologis seperti popularitas satu jenis satwa atau
keindahan suatu area juga sangat berguna sebagai bahan pertimbangan dengan tetap
dikuantifikasi. Keputusan akhir dari prioritas yang tersusun tetap diperlukan suatu
penilaian berdasarkan pertimbangan dan penyesuaian berdasarkan fakta secara politis.
Konservasi berarti pelestarian dan penggunaan sesuatu secara bijaksana. Konsep
konservasi alam secara luas tidak berarti melarang untuk menyentuh suatu yang telah
dikonservasikan, namun dapat dimanfaatkan secara seimbang dan serasi serta
diselaraskan dengan prinsip kelestarian.
Prinsip lestari ditekankan karena adanya saling ketergantungan dan mempengaruhi
antara satu mahluk satu dengan makhluk lainnya serta dengan lingkungan abiotis di alam.
Menyadari adanya keterkaitan antara jenis dan habitatnya, konsep konservasi
keanekaragaman hayati mengambil pendekatan yang lebih kompleks yaitu ekosistem
termasuk didalamnya habitat, jenis dan genetik.
Strategi dan kegiatan konservasi tidak hanya terfokus pada penyelamatan flora
fauna dan pengelolaan kawasan semata, tetapi menyentuh masalah yang berunsur
ekonomi, hak asasi manusia, kependudukan, pengakuan hak intelektual, kebijaksanaan
dan pembangunan secara menyeluruh. Semua unsur kegiatan manusia harus masuk dalam
wawasan konservasi meliputi sektor pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat
dan masyarakat luas. Konservasi keanekaragaman hayati akan efektif jika dilaksanakan
secara lintas sektoral dengan tinjauan dari multi disiplin ilmu, peraturan disertai
dukungan masyarakat. Berbagai perundang-undangan yang mengangkat pelestarian
kehati adaiah:
1. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-PokokAgraria,
2. UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Nasional,
3. UU No. 11 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan PokokPengairan,
4. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya AlamHayati dan
17
Ekosistemnya,
5. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
6. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Semua perundangan tersebut menghasilkan berbagai peraturan pelaksanaan secara
sektoral mengenai konservasi sumberdaya alam dengan penetapan penggunaan wilayah
nasional menjadi berbagai peruntukkan seperti kawasan pertambangan, perikanan,
pertanian, kawasan lindung dan suaka alam dan lain sebagainya.
Agenda 21 yang disepakati oleh Indonesia berdasarkan UU No. 5 Tahun 1994
adalah program pembangunan dunia berkelanjutan yang memuat program tentang sosial
ekonomi, program tentang konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam (SDA)
mensyaratkan pengambilan keputusan secara partisipasi yang luas dalam
mewujudkan pengembangan kualitas hidup secara berkelanjutan.
Peran serta masyarakat pada usaha konservasi telah menjadi bagian pembangunan
dan telah menjadi pokok dalam GBHN yang dasarnya adalah mewujudkan manusia
Indonesia seutuhnya. Penjabaran dasar hukum bagi masyarakat untuk berperan serta pada
konservasi SDA tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Semua perangkat hukum itu menjamin masyarakat untuk berperan serta
pada upaya konservasi keanekaragaman hayati.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan dibarengi dengan krisis politik telah
menjadikan sumberdaya alam sebagai satu-satunya modal utama pembangunan nasional.
Jika hal ini tidak dikelola secara rasional hanya akan mendapatkan nilai tambah jangka
pendek dan menjadi persoalan di masa depan. Diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah menjadikan daerah sebagai ujung tombak mengelola
sumberdaya alam nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab
memelihara kelestariannya.

D. Upaya Pengendalian Keanekaragaman Hayati


Pemerintah Indonesia sejak lama telah melakukan beberapa upaya pengendalian
dan penanggulangan kerusakan lingkungan yang dapat menyebabkan penyusutan
keanekaragaman hayati. Beberapa kebijakan telah dicanangkan terutama terkait dengan
upaya pelestarian konservasi. Selain itu diupayakan pula suatu kebijakan pemanfaatan
yang mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan serta pembagian
keuntungan yang adil dan pemanfaatan keanekaragaman hayati.

18
Sejak tahun 1590 telah diterbitkan UU No. V Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mengatur konservasi keanekaragaman
ekosistem dan spesies terutama di kawasan lindung. Indonesia memiliki 387 unit
kawasan lindung/konservasi, meliputi 357 unit daratan (sekitar 17,8 juta hektar) dan 30
unit kawasan laut (sekitar 44,6 juta hektar). Namun pengelolaan kawasan lindung,
khususnya dalam menjamin partisipasi masyarakat, penegakan hukum, dan alokasi
anggaran kurang memadai, sehingga beberapa kawasan lindung terancam oleh kegiatan
perburuan, penangkapan ikan, penebangan dan pemungutan sumberdaya hutan ilegal,
serta konflik dengan masyarakat lokal.
Pada awal tahun 1990 KLH telah menyusun suatu Strategi Nasional Pengelolaan
Keanekaragaman Hayati yang diikuti dengan kompilasi Rencana Aksi Keanekaragaman
Hayati (BiodiversityActionPlan of Indonesia - BAPI) yang diterbitkan oleh BAPPENAS
pada tahun 1993. Saat ini BAPPENAS dengan bantuan Global Environment Facilities
(GEF) sedang merevisi BAPI melalui penyusunan Rencana Aksi dan Strategi
Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan —
IBSAP). Kegiatan yang melibatkan berbagai instansi terkait dan LSM ini, diharapkan
akan selesai pada tahun 2003 ini.
Sementara itu, pemerintah telah juga mengembangkan UU No. 6 1994 mengenai
Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention
on Biological Diversity - CBD). KLH bertindak sebagai National Focal Point yang
bertugas mengkoordinasikan implementasi CBD di tingkat nasional. Indonesia juga telah
meratifikasi beberapa konvensi PBB yang terkait, seperti CITES, RAMSAR, World
Heritage Convention (WHC)) serta telah menandatangai Protokol Cartagena tentang
Keamanan Hayati. Pemerintah juga berpartisipasi pada kegiatan MAB and Biosphere
yang dikoordinasikan oleh UNESCO dan dalam kerangka ASEAN, Indonesia
berpartisipasi aktif pada kegiatan program ARCBC (ASEAN Regional Center on
Biodiversity Conservation} yang merupakan proyek kerjasama ASEAN-EU dan
berkedudukan di Manila.
Beberapa upaya/aktifitas lain terkait dengan keanekaragaman hayati yang telah
dilakukan adalah:
a. Penetapan kebijakan konservasi in-situ dan ex-situ.
Konservasi in-situ dilaksanakan dengan menetapkan kawasan lindung yang terdiri
dari kawasan konservasi dan hutan lindung. Saat ini Indonesia mempunyai 385 kawasan
konservasi darat dengan luas sekitar 17,8 juta ha dan 30 kawasan konservasi laut dengan
luas sekitar 4,75 ha. Dan kawasan konservasi tersebut terdapat 34 tanaman nasional darat
19
(luas ±11 juta ha) dan 6 tanaman nasional laut luas ± 3,7 juta ha). Konservasi ex-situ
dilakukan untuk pelestarian spesies di luar habitat alaminva. Saat ini ada 23 unit kebun
binatang, 17 kebun botani, 1.114 taman hutan raya, 35 penangkaran satwa dan 2 taman
safari, 3 taman burung, 4 rehabilitasi lokasi orang utan dan 6 pusat rehabilitasi gajah.
Pelestarian keragaman sumber daya genetik, terutama untuk tanaman pertanian dan
ternak dilakukan melalui koleksi plasma nutfah yang dilakukan oleh beberapa balai
penelitian dibawah Departemen Pertanian. Konservasi ex-situ menghadapi berbagai
masalah: yaitu kekurangan dana, fasilitas dan tenaga teriatih. Sebagai contoh, berbagai
balai atau pusat penelitian tidak mempunyai fasilitas penyimpanan jangka panjang,
sehingga koleksi harus ditanam atau ditangkar ulang.
b. Sebagai negara pihak pada Konvensi Keanekaragaman Hayati, Indonesia
mengimplementasikan keputusan-keputusan hasil pertemuan Konferensi Para
Pihak (COP) yang berlangsung setiap 2 tahun.
Pertemuan terakhir Konferensi Para Pihak (COP 6) diadakan di Denhaag, Belanda
pada bulan April 2002. Berbagai tindak lanjut dari keputusan COP yang dilaksanakan
oleh KLH selama 2901-2002 antara lain adalah (i) Penyusunan Laporan Nasional
Keanekaragaman Hayati ke dua (second National Report) pada tahun 2001; (ii)
pengembangan inisiatif taksonomi dengan pembentukan kelompok kerja Indonesian
Taxonomy Initiative (INTI) yang difasilitasi oleh KLH: dan (iii) terkait dengan
permasalahan akses dan pembagian keuntungan, KLH telah menggunakan Pedoman
Bonn sebagai bahan masukan bagi panyusunan Rancangan Undang-undangan
Pengelolaan Sumberdava Genetik (PSDG) dan sekaligus telah menterjemahkan Pedoman
Bonn ke dalam bahasa Indonesia sebagai upaya mensosialisasikan isue akses dan
pembagian keuntungan dari hasil pemanfaatan sumber daya genetik kepada masyarakat.
Bekerjasama dengan instansi terkait lainnya, KLH telah melakukan kegiatan
"Harmonisasi pelaporan nasional dan konvensi-konvensi yang terkait dengan
keanekaragaman hayati", dimana Indonesia telah ditunjuk oleh UNEP sebagai negara
pilot proyek bersama 3 negara lainnya yaitu Seychelles, Panama dan Ghana.
c. Pada tahun 2002, telah dimulai suatu pembahasan tentang kemungkinan
Indonesia untuk meratifikasi Protokol Cartagena an International Treaty on
Genetic Resources for Food and Agriculture (ITGRFA) dalam rangka
mengantisipasi dampak negatif dari teknologi rekayasa genetika pada komponen
keanekaragaman hayati.

20
Pada saat yang sama telah disusun pula suatu konsep Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang Keamanan hayati dan Keamanan Pangan Produk Hasil Rekayasa
Genetika. Sementara untuk mengatisipasi kemerosotan sumberdaya genetik dan
guna pemanfaatannya yang optimal untuk kesejahteraan masyarakat. maka pada tahun
2002 KLH bekerjasama dengan instansi terkait (terutama Departemen Pertanian, dan
Kementerian Riset dan Teknologi) dan beberapa LSM telah berhasil menyusun Naskah
Akademik Rancangan Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Genetika (RUU
PSDG). Saat ini tim PAD (Pembahasan Antar Departemen) sudah terbentuk untuk
menindak lanjuti hasil Naskah Akademik tersebut menjadi RUU PSDG sesuai dengan
bahasa hukum.
d. Indonesia telah berpartisipasi di Kelompok: Like Minded Megadlversity Countries
(LMMDC)
Dimulai sejak diadopsinya Deklarasi Cancun, di Mexico, February 2002. KLH
telah berpartisipasi pada beberapa kali pertemuan selama tahun 2002, yang bertujuan
antara lain untuk saling bertukar pengalaman dan mencari posisi bersama dalam
pengembangan rejim internasional untuk masalah akses dan pembagian keuntungan dari
pemanfaatan sumberdaya genetik. Pertemuan terakhir yang diadakan di Cusco, Peru,
November 2002, dihadiri oleh wakil-wakil dari negara-negara megadiversiti di dunia,
membahas akses terhadap sumberdaya genetik, pengetahuan tradisional dan hak
kekayaan intelektual. Pada pertemuan di Cusco, disepakati suatu deklarasi (Deklarasi
Cusco) yang antara lain, menyepakati pentingnya sumberdaya genetik bagi negara
megadiversiti; komitmen untuk mendukung upaya negosiasi dalam kerangka CBD, rejim
intemasional untuk upaya menjamin pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatan
sumberdaya geneti, selain mendukung upaya konservasi in situ dan keanekaragaman
hayati.
e. Fase baru kerjasama antara Pemerintah Norwegia dan Indonesia
Dalam bidang pengelolaan lingkungan berkelanjutan (Sustainable Environmental
Management) dimulai kembali akhir tahun 2001 dan akan berlangsung selama 5 tahun.
Kegiatan kali ini difokuskan untuk peningkatan kapasitas pemerintah daerah di Propinsi
Riau dalam pengelolaan terpadu keanekaragaman hayati di Taman Nasional Bukit Tiga
Puluh dan Pengembangan pengelolaan terpadu wilayah pesisir di wilayah BARELANG
dan Bintan.

21
f. Terkait dengan keamanan hayati secara khusus, pada tahun 2002 telah
berlangsung kegiatan pengembangan Kerangka Nasional Keamanan Hayati
(National Biosafety Framework)
Kegiatan inididanai oleh GEF melalui UNEP. Dalam kerangka kerja ini juga telah
dirintis Balai Kliring Keamanan Hayati yang dikoordinasikan oleh LIPI (Puslit
Bioteknologi). Sementara upaya untuk meratifikasi Protokol Cartagena sebagai salah satu
landasan hukum untuk mengantisipasi dampak negatif dari produk rekayasa genetika
(transgenik) sudah dimulai sejak tahun 2001 dengan menyusun Naskah Akademik dan
melakukan sosialisasi keberbagai stakeholders. Masih terkait dengan upaya mencegahan
dampak dari produk transgenik ini maka KLH tengah menyusun suatu "Pedoman
Pengkajian Keamanan Produk Rekayasa Genetika" dan bekerjasama dengan instansi
terkait untuk melakukan upaya pemantauan Pelepasan Kapas Transgenik di Sulawesi
Selatan.
g. Upaya pengendalian spesies invasif
Kegiatan ini mulai dikembangkan dengan menyusun pedoman untuk
pengendalikan species asing invasif oleh KLH di tahun 2001. Selanjutnya pada tahun
2002 telah diterbitkan publikasi Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis asing
invasif dalam upaya untuk mengangkat permasalahan ini sebagai langkah mengantisipasi
kemungkinan kepunahan spesies lokal akibat dari masuknya spesies asing yang tidak
diinginkan.
h. Pada tahun 1992, UNEP melaksanakan UNCED (United Nations Conference on
Environment and Development) di Rio de Janeiro, Brazil
Dari kegiaataan tersebut menghasilkan, salah satunya adalah Convention on
Biological Diversity (CBD). Tujuan utama konvensi ini ialah melestarikan
keanekaragaman hayati, memanfaatkan sumber daya genetik secara berkelanjutan dan
memastikan pembagian keuntungan secara adil dan merata dan pemanfaatan tersebut.
Sumber daya genetik adalah benda atau barang yang merupakan unit atau komponen
keanekaragaman hayati. Benda atau barang inilah yang dimanfaatkan secara langsung.
Nyatalah bahwa makin besar keanekaragaman hayati, makin banyak pula sumber daya
genetik, dan makin besar pula peluang pemanfaatannya, karena makin banyak pilihan
barang yang dapat dimanfaatkan.

22
i. Pilihan sumber daya genetik tergantung pada tersedianya keanekaragaman
hayati.
Bila seandainya hanya tersedia satu atau jumlah terbatas varietas padi, bila satu
atau jumlah terbatas ini hilang, punah misalnya, tidak ada pilihan lagi. Akibatnya bagi
manusia dapat dibayangkan. Padi merupakan komponen pangan utama yang menyusun
26% penyediaan pangan manusia. Selain pada tingkat varietas (di dalam spesies),
pentingnya keanekaragaman juga dirasakan pada tingkat spesies. Misalnya, Indonesia
merupakan pusat keanekaragaman marga dunia. Dengan belasan spesies Durio, pilihan
pemanfaatannya tidak terbatas pada durian biasa (zibethinus), tetapi kini sudah mulal
dimanfaatkan spesies lain, yaitu lae (kutajensis). Masih banyak pilihan dan marga Durio
ini yang mempunyai peluang pemanfaatan. Begitu juga halnya yang dapat terjadi pada
hewan, misalnya ayam, kerbau, dan ternak lain, serta ikan. Keanekaragaman hayati pada
tingkat di dalam spesies (varietas) memberikan peluang kepada manusia untuk mengotak-
atiknya dengan hasil varietas baru yang mempunyai keunggulan lebih. Pemuliaan
tanaman atau hewan merupakan upaya manusia yang tergantung berat pada tersedianya
keanekaragaman unit-unit di dalam spesies. Dengan tersedianya berbagai varietas padi
misalnya tersedia peluang untuk menyilang-silangkan varietas-varietas tententu untuk
memperoleh varietas padi baru yang dikehendaki manusia. Tersedianya varietas-varietas
padi terwujud dari proses penyilangan dalam pemuliaan. Hal yang sama terjadi pula pada
spesies-spesies lain tanaman dan hewan. Bila bahan untuk pemuliaan tanaman atau
hewan tersedia, dan pemuliaan dapat dilakukan di dalam negeri sendiri, akan dapat
dilakukan pengurangan ketergantungan pada impor bibit. Varietas baru, yang disesuaikan
dengan kebutuhan dalam negeri dapat diciptakan sendiri. Kalau hal ini dapat dilakukan
sendiri, maka jelas ketergantungan pada impor dapat dikurangi atau bahkan dihentikan.
j. Peran keanekaragaman hayati juga terjadi pada taraf ekosistem.
Dengan berbagai macam ekosistem, baik yang alami (hutan, gunung, lautan, dan
sebagainya) maupun yang buatan manusia (sawah, pekarangan, kolam ikan, tambak, dan
sebagainya) akan dapat dilakukan pemilihan pemanfaatannya. Peluang pemanfaatan ini
makin besar bila keanekaragaman ekosistem makin besar pula. Tersedianya
keanekaragaman spesies akan lebih besar bila terdapat lebih banyak ekosistem. Untuk
pertanian tanaman saja, misalnya, adanya banyak ekosistem pertanian akan menyediakan
banyak pilihan komponen keanekaragaman hayati. Sawah saja akan menyediakan padi,
tetapi bila ditambah ladang dan pekarangan, akan dapat diperoleh lebih banyak pilihan.
Dengan adanya kolam ikan, akan lebih banyak lagi sumber daya genetik yang dapat
dimanfaatkan. Begitu pula keuntungan yang dapat diperoleh dari ekosistem-ekosistem
23
lainnya. Makin beranekaragam ekosistem, makin banyak sumber daya genetik yang dapat
disediakan.
k. Walaupun disadari dan dirasakan betapa pentingnya bagi kesejahteraan
manusia, keanekaragaman hayati ini mengalami ancaman besar
Laju kemerosotannya terusmenerus meningkat. Kini bahkan kedudukannya ada di
ujung tanduk. Kalau tidak waspada, keanekaragaman hayati akan terhempas dan tidak
mampu berperan lagi bagi kesejahteraan manusia. Manusia sebagai spesies di bumi akan
terhempas pula dari muka bumi.
Terdapat tujuh bidang yang menjadi fokus pelaksanaan upaya ini (lipi, 2006):
1) Mengurangi laju kemerosotan komponen-komponen keanekaragaman hayati;
2) Mendorong pemanfaatan secara berkelanjutan;
3) Memberikan perhatian kepada ancaman temadap keanekaragaman hayati, termasuk
gangguan dari spesies asing yang menggeser spesies asli, perubahan iklim,
pencemaran, dan perubahan peruntukan habitat;
4) Mempertahankan integritas ekosistem dan penyediaan barang dan jasa dan
keanekaragaman hayati dalam ekosistem;
5) Melindungi pengetahuan, inovasi, dan praktek-praktek tradisional;
6) Menjamin pembagian keuntungan secara adil dan merata yang dihasilkan dari
pemanfaatan sumber daya genetik;
7) Memobilisasi sumber-sumber dana dan teknis untuk pelaksanaan konvensi mengenai
Keanekaragaman Hayati.
Berbagai upaya dicoba dilaksanakan di Indonesia,, tetapi masih ada masalah
serius yang menjadi hambatan pelaksanaannya:
1. Kesadaran masyarakat akan kegunaan keanekaragaman hayati sangat terbatas,
banyak yang belum menyadari bahwa keberadaan berbagai ragam makhluk itu
diperlukan untuk dimanfaatkan baik secara langsung kini, maupun sebagai cadangan
bila yang dimanfaatkan sekarang ini tidak ada lagi. Pandangan masyarakat seperti ini
harus diperbaiki, mereka diajak untuk memahami peran penting keanekaragaman
hayati sebagai peluang dalam mempertahankan kelangsungan hidup manusia.
Untuk membuktikannya diperlukan iptek.
2. Sekarang ini kebanyakan pemerintah daerah masih belum menyadari pentingnya
keanekaragaman hayati di daerahnya bagi peningkatan pendapatan daerah.
Kebanyakan pemerintah daerah masih mengandalkan sumber daya alam yang
dalam jangka pendek dapat segera menghasilkan rupiah. Keanekaragaman hayati di
daerah jarang diperhatikan. Akibat atau mungkin juga penyebabnya adalah tidak
24
adanya pemikiran jangka panjang. Meyakinkan perlunya pemikiran jangka panjang
memerlukan hasil penelitian ilmiah.
3. Akibat dari dua hal tersebut di atas adalah tidak adanya penentuan prioritas dalam
pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia, mencakup pilihan komponen dan
tindakan yang akan dilakukan. Keadaan ini telah mendorong Organisasi Profesi
llmiah (OPI) Indonesia bersama LIPI untuk memperoleh penjelasan dari kalangan
pemerintah dan DPR mengenai langkah apa yang diperlukan dari OPI agar upaya
penyelamatan keanekaragaman hayati Indonesia benar-benar dapat diwujudkan.
Ada beberapa hal praktis yang memperbesar hambatan dalam penyelamatan
keanekaragaman hayati Indonesia:
a. Gaji/insentif bagi peneliti di bidang keanekaragaman hayati masih sangat rendah,
sehingga para peneliti lebih memilih bidang lain, apa saja asal gaji atau insentifnya
tinggi.
b. Untuk keberhasilan penelitan di bidang keanekaragaman hayati diperlukan jangka
panjang, keadaan ini tidak banyak menarik penelitian, karena menyebabkan
penantian terlalu lama. Kebanyakan peneliti di Indonesia lebih menyukai "penelitian
instan". Lagipula, sistem penilaian keberhasilan peneliti dalam jenjang fungsional
peneliti belum memihak penelitian jangka panjang.
c. Minat peneliti terhalang oleh keadaan tersebut di atas. Perlu ada perubahan yang
konseptual.Hambatan-hambatan tersebut telah menimbulkan hambatan lain,
misalnya dalam pengendalian hama tanaman atau hewan pertanian yang
meninggalkan makna keanekaragaman hayati, manfaat dan keunggulan sistem
tumpang sari dan pekarangan sudah sering dilupakan dan ditinggalkan, pengalihan
fungsi ekosistem, misalnya hutan menjadi perkebunan, sawah menjadi permukiman,
dan sebagainya. Rincian keunggulan peran keanekaragaman hayati ini memerlukan
hasil penelitian iptek.

25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
• Indonesia termasuk dalam sepuluh negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia. Berbagai penyebab penurunan keanekaragaman hayati di berbagai
ekosistem antara lain konversi lahan, pencemaran, exploitasi yang berlebihan, praktik
teknologi yang merusak, masuknya jenis asing, dan perubahan iklim.
• Tantangan keanekaragaman hayati Indonesia. Pertama, komersialisasi bahan hayati
baik dalam bentuk pemanfaatan langsung dari alam atau dari hasil budidaya, maupun
hasil ekstrak dan hasil modifikasi. Kedua, adalah bioprospeksi dan biopirasi.
• Strategi dan kegiatan konservasi menyentuh masalah yang berunsur ekonomi, hak
asasi manusia, kependudukan, pengakuan hak intelektual, kebijaksanaan dan
pembangunan secara menyeluruh.
• Beberapa kebijakan telah dicanangkan terutama terkait dengan upaya pelestarian
konservasi. Selain itu diupayakan pula suatu kebijakan pemanfaatan yang
mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan serta pembagian
keuntungan yang adil dan pemanfaatan keanekaragaman hayati.
B. Saran
Menurut kami, tantangan dalam menjaga keanekaragaman hayati Indonesia dapat
dijawab ketika seluruh pihak dan pemangku kepentingan mau bersama-sama mengambil
bagian dalam upaya pelestarian lingkungan. Penulis menyadari bahwa makalah yang
kami susun masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat
membangun kami terima dengan lapang dada.

26
DAFTAR PUSTAKA

R.B Primack. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Elizabeth A.,dkk. 2014. Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia Jakarta : LIPI press.

R, Dahuri. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.Jakarta:

Prandya Paramita.

27

Anda mungkin juga menyukai