Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

KEHILANGAN BIODIVERSITAS

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:


Biodiversitas
Dosen Pengampu:
Arif Mustakim, M.Si.

Disusun oleh Kelompok 8:


Siti Asiyah (12208173036)
Nadia Awalia Ajis (12208173041)
Kiki Hardyana Safitri (12208173121)
Alamsyah Essa Syaerendra (12208173125)

JURUSAN TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG
NOVEMBER 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa
atas berkat, rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik walaupun masih banyak kekurangan
didalamnya. Makalah ini membahas mengenai Kehilangan Biodiversitas. Tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Biodiversitas. Penulis juga berharap semoga pembuatan makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Keberhasilan penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, oleh karena itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu, yaitu:
1. Bapak Dr. Maftukhin, M.Ag. selaku rektor IAIN Tulungagung.
2. Bapak Arif Mustakim, M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Biodiversitas.
3. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan dan semangat.
4. Semua pihak yang telah membantu demi terselesainya tugas makalah ini.
Al insanu makhallul khotho’ wa an-nisyan, manusia itu tempatnya salah dan
lupa. Oleh karena itu, kami berharap pemberian maaf atas kekurangan dan
kesalahan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Saran dan kritik
sangat kami harapkan agar kami dapat memperbaiki makalah-makalah selanjutnya.

Tulungagung, 16 November 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang ...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan Pembahasan ...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3
A. Perubahan Habitat .............................................................................................. 3
B. Masuknya JAI (Jenis Asing Invasif) ................................................................ 12
C. Polusi................................................................................................................13
D. Eksploitasi yang Berlebihan.............................................................................18
E. Perubahan Iklim ............................................................................................... 20
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 28
A. Kesimpulan ......................................................................................................28
B. Saran ................................................................................................................29
DAFTAR RUJUKAN ..........................................................................................30

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketimpangan hubungan manusia dengan lingkungan dapat merusak
ekosistem yang berdampak pada rusaknya habitat. Kerusakan habitat, baik
secara langsung maupun tidak, berpengaruh terhadap penurunan populasi dan
hilangnya jenis-jenis biota. Selain karena rusaknya habitat, kehilangan jenis
biota juga disebabkan oleh masuknya jenis asing invasif (JAI), pencemaran,
eksploitasi yang berlebihan serta perubahan iklim.
Berbeda dengan binatang dan tumbuhan yang sudah lama menjadi perhatian
publik, hilangnya keanekaragaman mikrob masih jarang mendapat perhatian.
Kondisi ini terjadi karena belum dipahaminya kepentingan keanekaragaman
hayati mikrob sebagai pengendali fungsi ekosistem. Keberadaan mikrob di alam
sangat penting sebab mikrob sangat mudah berubah (bermutasi) dan
mempunyai keragaman metabolisme yang sangat tinggi.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa contoh penyebab hilangnya
keanekaragaman hayati pada berbagai binatang, tumbuhan, dan mikrob.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh perubahan habitat terhadap hilangnya biodiversitas?
2. Bagaimana pengaruh masuknya JAI terhadap hilangnya biodiversitas?
3. Bagaimana pengaruh polusi terhadap hilangnya biodiversitas?
4. Bagaimana pengaruh eksploitasi yang berlebihan terhadap hilangnya
biodiversitas?
5. Bagaimana pengaruh perubahan iklim terhadap hilangnya biodivesitas?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengaruh perubahan habitat terhadap hilangnya biodiversitas
2. Mengetahui pengaruh masuknya JAI terhadap hilangnya biodiversitas
3. Mengetahui pengaruh polusi terhadap hilangnya biodiversitas

1
4. Mengetahui pengaruh eksploitasi yang berlebihan terhadap hilangnya
biodiversitas
5. Mengetahui pengaruh perubahan iklim terhadap hilangnya biodivesitas

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perubahan Habitat
Habitat adalah suatu daerah yang terdiri dari berbagai faktor (fisiografi,
vegetasi dengan kualitasnya). Margasatwa memerlukan tempat-tempat yang
dapat dipergunakan untuk mencari makanan, minum, berlindung, bermain dan
tempat untuk berkembang biak, tempat-tempat ini membentuk suatu kesatuan
yang disebut habitat, Kondisi habitat harus mencakup kuantitas dan kualitas
yang sesuai dengan tuntutan hidup margasatwa. Kondisi habitat meliputi
kuantitas dan kualitas sangat menentukan distribusi dan populasi margasatawa.
Para ahli telah menyebutkan berbagai macam komponen habitat secara lengkap
bila diuraikan menurut unsur-unsur fisik maupun unsur-unsur golongan biotik.

Gambar 2.1 Perubahan Luas Tutupan Lahan dari Tahun 2000 Hingga 2009 di
Indonesia. (Sumber: Kekinian Keanekaragaraman Hayati Indonesia, 2014)
Adapun komponen habitat terpenting untuk kehidupan margasatwa adalah
sebagai berikut:

3
1. Makanan dan air, merupakan faktor pembatas bagi hidupnya margasatwa.
Di samping segi kuantitas, kualitas makanan dan air juga harus
diperhatikan. Makanan satwa terdiri dari rumput, daun, buah, biji dan satwa
lain.
2. Cover juga termasuk dalam komponen habitat yang penting, Cover ini dapat
ditinjau dari dua hal, pertama, cover sangat penting untuk hidup dan
berkembangnya margasatwa. Kedua, cover diperlukan sebagai tempat
berlindung dari serangan predator, hilangnya cover dalam hal ini akan
meningkatkan populasi predator tetapi tidak akan mengurangi kepadatan
populasi prey atau mangsa jika predator tersebut bukan sebagai faktor
pembatas untuk perkembangan populasi prey. Pada umumnya cover ini
bukan saja berfungsi sebagai tempat hidup dan berkembang biak tetapi juga
sekaligus berfungsi sebagai tempat bersembunyi ataupun berlindung dari
bahaya, misalnya serangan predator pemburu, hujan dan sebagainya.
Bahkan cover ini untuk beberapa jenis satwa tertentu dapat berfungsi
sebagai tempat mencari makan dan minum. Cover dapat berupa hutan dari
hutan hujan pegunungan sampai dengan hutan pantai ataupun hutan
mangrove atau dapat pula merupakan padang rumput atau savana.1
Sedangkan perubahan habitat adalah perubahan lingkungan lokal dari
organisme tertentu. Terkadang perubahan itu mungkin tidak permanen. Namun,
itu dapat mempengaruhi fungsi ekosistem. Misalnya, pintu masuk ternak ke
ekosistem amfibi dapat menyebaban masalah serius bagi amfibi. Ternak dapat
menginjak-ginjak vegetasi akuatik di sungai, yang dapat menyebabkan erosi.
Ini akan membuat ekosistem tidak cocok untuk amfibi. Alasan utama untuk
perubahan habitat adalah modifikasi manusia dari permukaan tanah di bumi
untuk budidaya dan memperoleh sumber daya. Hari ini, diforestasi telah
menjadi alasan utama perubahan iklim. Perubahan habitat ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu:
1. Pengalihan peruntukan habitat.
Kerusakan hutan mangrove akibat alih fungsi menjadi tambak dan
perkebunan menjadi ancaman serius bagi burung migran yang biasa singgah

1
Alikodra, H. S., Pengelolaan Satwa Liar Jilid I, (Bogor : IPB, 1990)

4
di pesisir pantai timur Sumut. Konversi hutan mangrove sangat berpengaruh
terhadap ketersediaan makanan serta perubahan fungsi ekosistem.
Hilangnya habitat alami akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman
makanan yang menjadi pendukung kehidupan burung.2
2. Perburuan dan perdagangan satwa
Kegiatan manusia yang secara langsung mengakibatkan kepunahan
bagi berbagai satwa ini adalah perburuan atau pembantaian liar serta
perdagangan liar yang akhir-akhir ini semakin marak. Berbagai jenis satwa
seperti burung-burung terus diperjualbelikan secara terang-terangan kendati
satwa-satwa tersebut termasuk hewan yang dilindungi (Ismoyo, 2007).3
3. Pencemaran lingkungan
Burung yang bermigrasi dari tahun ke tahun, secara teratur singgah
di lahan basah tertentu untuk mendapatkan makanan. Sayang sekali pada
saat ini lahan basah banyak mengalami kerusakan dan kehancuran yang
diakibatkan oleh berbagai faktor, diantaranya disebabkan oleh bahan-bahan
kimia, pestisida, minyak serta plastik. Faktor lain adalah pengembangan
pertanian pasang surut, pengembangan daerah pemukiman dan penebangan
hutan bakau.
4. Perubahan iklim
Perubahan iklim kemungkinan memiliki dampak yang besar pada
semua ekosistem. Penyebaran spesies dan komunitas ditentukan sebagian
oleh parameter iklim pada level yang paling sederhana, pola perubahan
iklim akan mengubah batas penyebaran alami spesies atau komunitas. Zona
vegetasi mungkin berpindah ke elevasi atau lintang yang lebih tinggi dengan
perubahan temperatur. Peningkatan temperatur pada laut berpengaruh pada
penyebaran dan kemampuan hidup biota laut, misalnya terumbu karang
telah menunjukkan kepekaan terhadap perubahan temperatur walaupun
perubahannya sangat kecil. Curah hujan dan kekeringan juga sangat

2
Giyanto, Kajian Baseline Data Desa-Desa Pantai Kabupaten Pemalang, (Bogor:
Wetland International Program, 2007)
3
Ismoyo, Pengelolaan taman nasional batang gadis, (Mandailing Natal: Dinas Kehutanan
Kabupaten, 2007)

5
berpengaruh terhadap rusaknya habitat, peningkatan kekeringan dapat
terjadi didaerah tropis maupun sub-tropis.
5. Bencana alam
Bencana alam seperti gunung meletus, musim kemarau yang
panjang, gempa bumi, dan banjir merupakan beberapa sumber pengaruh
yand dapat merusak kuantitas dan kualitas habitat.4
Adapun proses perubahan dan hilangnya habitat dapat terjadi karena
berubahnya tutupan lahan. Data tahun 2000 hingga 2009 menunjukkan
penurunan lahan hutan kering primer dari 42.255.832,09 ha menjadi
32.185.720,41 ha (Gambar 2.1). Perubahan ini diikuti oleh naiknya luasan hutan
lahan kering sekunder dari 38.280.269,36 ha menjadi 44.604.933,33 ha pada
tahun 2009. Sebaliknya, luas hutan rawa sekunder menurun dan luas
perkebunan meningkat. Fragmentasi habitat juga ditunjukkan oleh meluasnya
semak belukar dari tahun 2000 hingga 2009. Dengan demikian, perubahan tata
guna lahan telah menyebabkan penciutan luas tutupan lahan yang berakibat
pada hilangnya biota seperti telah dilaporkan.
Sebagai contoh, pengaruh perubahan habitat terhadap jenis-jenis satwa
perairan di antaranya dapat dilihat pada penyu hijau (Chelonia mydas). Penyu
hijau mencari makan rumput laut di laut dalam daerah subtropik dan bertelur di
beberapa pantai berpasir di Indonesia, antara lain di Pantai Pangumbahan di
Sukabumi dan Pantai TN Merubetiri, Banyuwangi. Pola hidup demikian
ditempuh karena pakan yang sesuai banyak tersedia di daerah beriklim sedang,
namun energi panas untuk menetaskan telur berasal dari matahari di daerah
tropik. Oleh karena itu, penyu melakukan ruaya ke daerah tropik. Perubahan
habitat akan memengaruhi pola hidup dan pada akhirnya memengaruhi jumlah
populasi penyu hijau.
Beberapa jenis ikan juga melakukan ruaya. Ada tiga pola ruaya ikan, yaitu
anadromus, katadromus, dan amphidromus. Anadromus artinya menjelang
dewasa ikan akan beruaya dari hulu sungai ke laut dalam. Di laut dalam ikan
bertelur lalu mati. Anaknya kemudian melakukan perjalanan ke hulu sungai.
Sampai saat ini penyebab ruaya ikan belum diketahui. Contoh ruaya pola

4
Ibid., hlm.

6
anadromus adalah ikan sidat Anguila spp. Katadromus merupakan pola ruaya
kebalikan dari anadromus. Di Indonesia tidak terdapat ruaya pola katadromus.
Contoh ruaya pola katadromus adalah ikan salmon. Amphidromus menyerupai
anadromus, tetapi beruaya hanya sampai ke pantai. Contoh buaya pola
amphidromus adalah berbagai jenis ikan anggota suku Gobiidae.
Sungai merupakan salah satu perairan darat dan perairan terbuka dengan
empat dimensi, yaitu longitudinal, lateral, vertikal, dan temporal (Huer &
Lamberti 2007). Hal ini menyangkut faktor fisik, kimia, dan biologi, termasuk
komunitas ikan yang ada di dalamnya. Sementara itu, pembangunan waduk
pada sungai dapat menyebabkan fragmentasi habitat. Keberadaan waduk
menyebabkan sungai meluas dan arus melambat yang juga berdampak pada
biota akuatik termasuk, komunitas ikan (Yap, 1999). Dampak negatif waduk
bagi keanekaragaman hayati meliputi hilangnya jenis ikan lokal karena
berubahnya hidrologi dan ekosistem sungai secara permanen, menurunnya
kualitas air, dan terhambatnya aliran nutrien yang dibutuhkan.
Craig (2011) menyebutkan bahwa sebesar 73% dari 66 kasus keberadaan
waduk di dunia berdampak negatif bagi keanekaragaman jenis ikan dan hanya
27% yang memberi dampak positif. Terkait dampak waduk terhadap komunitas
ikan di Indonesia, Kartamihardja (2008) melaporkan bahwa dalam jangka
waktu 40 tahun (1968–2007) setelah waduk Djuanda/Jatiluhur digenangi,
terjadi penurunan jumlah jenis ikan dari 31 jenis menjadi 18 jenis.
Pembangunan waduk menghambat migrasi ikan ke hulu dan menyebabkan
penurunan atau bahkan kelangkaan atau punahnya spesies yang dalam rentang
hidupnya memerlukan suatu fase untuk beruaya ke hilir dan ke hulu sungai
(Larinier 2001). Linløkken (1993) menyatakan bahwa pembangunan
bendungan harus menjamin terpeliharanya proses migrasi ikan dan menghindari
terjadinya pemisahan populasi. Migrasi ikan merupakan respons terhadap
kepadatan populasi serta ketersediaan pakan yang cukup pada tempat
pemijahan dan tempat asuhan. Jika jalur migrasi terputus oleh waduk maka
keberlangsungan populasi ikan akan terganggu. Jenis-jenis ikan yang rawan
punah akibat dibangunnya waduk sehingga memutus jalur ruaya/migrasi, yaitu
sidat (Anguilla spp.) serta beberapa jenis ikan dari famili Cyprinidae yang biasa

7
melakukan ruaya potamodromous (migrasi di dalam perairan tawar antara
bagian hulu dan hilir sungai).
Umumnya ikan air tawar berbiak dengan strategi R, yaitu ikan memiliki
daur hidup relatif pendek, menghasilkan telur dalam jumlah banyak, penetasan
telur sepenuhnya “diserahkan” kepada alam, dan berbiak cepat sesuai dengan
kelimpahan pakan. Beberapa jenis ikan melakukan penjagaan telurnya sampai
menetas. Bahkan beberapa di antaranya mengamankan telur serta anakannya di
dalam rongga mulutnya sampai anaknya dianggap dapat bertahan hidup. Tanpa
mendapat perlindungan di dalam rongga mulut induknya kemungkinan besar
telur ataupun anak ikan tidak akan dapat mencapai umur dewasa. Bagi jenis-
jenis ikan yang hidup di luar pengaruh manusia tidak ada masalah karena telah
ada mekanisme/ cara perlindungan alami induk, anak, dan telurnya. Sebaliknya,
di daerah yang telah dijamah manusia agar kehidupan jenis ikan bersangkutan
dapat berlangsung maka pada musim berkembangbiak masyarakat tidak
diperbolehkan menangkap jenis ikan tersebut. Permasalahannya, musim di
berbagai tempat di Indonesia dapat berbeda sehingga musim perkembangbiakan
suatu jenis hayati dapat berbeda. Oleh karena itu, peraturan pemerintah terkait
hal ini harus dijabarkan dengan peraturan daerah masing-masing.
Untuk mengatasi permasalahan pemutusan jalur ruaya ikan hilir-hulu maka
perancangan pembangunan waduk harus dilengkapi dengan fasilitas jalur ikan
(fishway), yaitu bagian waduk untuk memfasilitasi proses ruaya ikan.
Bentuknya juga sangat beragam, tergantung pada perilaku ikan. Namun, kondisi
ini belum dilakukan di Indonesia.
Selain ikan, hilangnya keanekaragaman hayati yang lain juga terjadi pada
burung. Seperti pernah dikemukakan oleh Badan Pe ngelolaan Lingkungan
Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat pada tahun 2013 di daerah-daerah
Gudawang–Bogor, Cibitung–Sukabumi, Salebu–Garut, Cikatomas
Tasikmalaya, Waled–Cirebon, Ujung Jaya–Sumedang, dan Pangkalan
Karawang, masih dijumpai 126 jenis burung. Namun, sebanyak empat jenis
burung, yaitu Aceros undulatus, Anthracoceros albirostris, Sturnus contra, dan
Gracula religiosa sudah tidak dijumpai lagi di dataran rendah di luar kawasan
konservasi dan sebanyak 77 jenis lain berada dalam keadaan langka. Dengan

8
demikian, hanya 45 jenis burung yang relatif masih dapat bertahan di luar
kawasan hutan.
Hampir seluruh jenis burung endemik Indonesia seperti Treron oxyura,
Loriculus pusillus, Sturnus melanopterus, dan Padda oryzivora serta beberapa
burung endemik Pulau Jawa, Alcedo coerulescens, Halcyon cyanoventris, dan
Megalaima javensis telah menjadi langka di luar kawasan konservasi. Padahal
kawasan konservasi yang berada di dataran rendah Pulau Jawa yang masih
cukup baik hanyalah Taman Nasional (TN) Ujung Kulon di ujung barat dan TN
Alas Purwo di ujung timur. Oleh karena itu, perbaikan kawasan konservasi di
dataran rendah Pulau Jawa perlu mendapat perhatian lebih.

Gambar 2.2 Pemetaan Jenis Endemik yang Ditemukan dan yang Tidak Diketemukan
pada Tutupan Lahan 2009 di Sulawesi Tengah (Sumber: Kekinian
Keanekaragaraman Hayati Indonesia 2014)
Tercatat pula Aceros undulatus dan Anthracoceros albirostris yang
merupakan burung berukuran besar pemakan buah. Keduanya memerlukan
pepohonan tinggi untuk bertengger dan bersarang. Akan tetapi, fenomena
menurunnya populasi pohon tinggi justru mempercepat laju penyusutan
populasi kedua jenis burung ini. Seharusnya di kawasan budi daya tersedia
pakan bagi kedua jenis burung tersebut. Sayangnya, di kawasan budi daya
dewasa ini pohon-pohon sumber pakan relatif sedikit dan pohon b sarsar untuk

9
bersarang pun sudah tidak ada. Akibatnya, kedua jenis burung tersebut tidak
dapat hidup di kawasan budi daya.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
a. Berbagai jenis burung pemakan biji-bijian, antara lain manyar Ploceus
philippinus, P. manyar, dan P. hypoxanthus serta pipit Lonchura
punctulata, Lonchura majadan, Erythrura prasina menjadi langka karena
dianggap sebagai hama,
b. Kebanyakan burung pemakan buah serta pemakan madu mengalami
tekanan karena ketidaksinambungan ketersediaan pakan,
c. Berbagai jenis burung mengalami kelangkaan karena ditangkap untuk
diperdagangkan (BPLHD Jabar 2013). Hal yang menarik, 10 jenis burung
pemangsa yang selalu dianggap telah langka ternyata tiga di antaranya,
Haliastur indus, Ictinaetus malayensis, dan Spilornis cheela, masih
bertahan hidup karena memiliki jenis pakan yang relatif beragam.
Contoh perubahan habitat yang terjadi pada tumbuhan, dapat dilihat pada
Gambar 2.2, walaupun pada gambar ini belum dinyatakan secara penuh apakah
jenis yang tidak ditemukan pasti hilang. Oleh sebab itu, survei lapangan masih
diperlukan untuk membuktikan bahwa jenis tersebut sudah hilang atau masih
ada. Dari hasil penelitian Widjaja & Pratama (2013) diperkirakan bahwa total
flora Sulawesi 6.741 jenis dengan jenis endemik 2.225, padahal Welzen et al.
(2011) mengatakan bahwa berdasarkan jenis-jenis yang telah dipublikasi dalam
Flora Malesiana, Sulawesi memiliki jenis lebih rendah dari hasil inventarisasi
(Gambar 2.3). Dengan demikian, tampak bahwa perkiraan Welzeb et al. (2009),
baik terhadap jumlah flora di Sulawesi maupun jenis endemiknya sangat jauh
berbeda. Data ini juga masih ditambahkan dengan jenis baru yang ada dan besar
kemungkinannya jenis terebut. Berdasarkan hasil monitoring (Tabel 2.1)
diperoleh bahwa di Sulawesi masih terdapat 39 jenis dari daerah Provinsi
Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara
(Widjaja & Pratama 2013).
Perubahan habitat di hutan Malinau, Kalimantan Utara berpengaruh
terhadap populasi kelompok mikrob penambat nitrogen, khususnya
Azospirillum pada hutan alami dengan jumlah populasi 46 x 106, lebih tinggi

10
bila dibanding tanah hutan yang sudah dijadikan kebun dengan populasi 24 x
105 (Antonius et al. 2010). Tendensi yang sama juga untuk populasi bakteri
denitrifikasi yang diamati di hutan kawasan Gunung Gede Pangrango
dibandingkan dengan lahan yang sudah dibuka menjadi kebun sayuran
(Agustiyani et al. 2011). Dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati
mikrob sebagai akibat konversi hutan di Amazon juga dilaporkan oleh
Rodrigues et al. (2013). Perubahan jumlah populasi keanekaragaman hayati
mikrob ini terjadi karena adanya homogenisasi yang didorong oleh hilangnya
mikrob endemik. Demikian juga pada pembukaan hutan untuk kegiatan
tambang, khususnya pada galian terbuka yang akan menyebabkan terjadinya
perubahan total kondisi lapisan tanah permukaan yang merupakan habitat
utama mikrob. Dari kajian kelimpahan mikrob, meskipun belum cukup detail
menganalisis diversitasnya, tetapi dapat dilihat bahwa populasi mikrob
mengalami penurunan drastis pada lahan terbuka akibat pertambangan (Tabel
2.2).

Gambar 2.3 Hasil Inventarisasi Jenis Tumbuhan dan Jenis Endemik di Sulawesi
Tahun 2013 Dibandingkan dengan Pustaka Terdahulu (Sumber: Kekinian
Keanekaragaraman Hayati Indonesia 2014)
Isobe et al. (2009) melaporkan bahwa komposisi komunitas total bakteri
dan aktino tanah pada wilayah hutan yang terbakar berat, sedang, dan tidak
terbakar adalah serupa setelah delapan dan sembilan tahun kebakaran.

11
Meskipun demikian, komposisi bakteri pengoksidasi amonia jelas berbeda dan
tergantung pada tingkat kerusakan akibat kebakaran masa lalu. Hasil ini
menegaskan bahwa meskipun hampir satu dekade setelah kebakaran hutan,
dampak kebakaran terhadap biodiversitas mikrob masih terjadi, khususnya pada
bakteri pengoksidasi amonia.

Tabel 2.1 Jenis Endemik dan Hasil Pemantauan

Tabel 2.2 Populasi Mikrob Bermanfaat pada Beberapa Perubahan Ekosistem Hutan

B. Masuknya JAI
Masuknya JAI yang semula untuk tujuan sebagai tanaman hias, pakan
ternak, hortikultura, hewan peliharaan, seringkali menjadi invasive dan akan
berakibat pada hilangnya jenis lokal. Jenis lokal tertentu yang masuk ke
lingkungan alam yang baru dapat menyebabkan berbagai bentuk
ketidakseimbangan dalam jejaring ekologi. Sebagai contoh, masuknya ikan
mujair (Oreochronis mossambicus) memusnahkan ikan moncong bebek
(Adrianichthys kruytii) dan ikan endemic di Danau Poso, Xenopoecilus
sarasinorum.
Pada tumbuhan, hilangnya tumbuhan karena jenis asing banyak terjadi di
Indonesia. Meskipun demikian, belum ada data jenis yang hilang yang
disebabkan masuknya jenis asing. Calopogonium mucunoides yang semula
dimasukkan ke Indonesia untuk digunakan sebagau penutup tanah (cover
ground) di perkebunan karet, kelapa, kelapa sawit, dan lain-lainnya. Akhirnya
menutupi seluruh permukaan tanah dan mematikan jenis-jenis rumput dan

12
tumbuhan lain yang semula tumbuh di situ. Agaknya, intentarisasi jenis asli
belum dilakukan sebelum penanaman jenis asing.5

C. Polusi
Polusi udara, air, dan tanah merupakan aktivitas manusia yang
memengaruhi lingkungan alam dan berdampak negatif secara langsung atau
tidak terhadap keberadaan biota. Polusi mengubah aliran energi, kimia, dan
kondisi fisik lingkungan dan kelimpahan jenis di suatu ekosistem. Contohnya,
buangan limbah pabrik dan rumah tangga yang dibuang langsung ke aliran
Sungai Ciliwung menyebabkan penyusutan keanekaragaman ikan dan
krustasea.
Pencemaran juga dapat menjadi penyebab utama penyusutan jumlah atau
hilangnya jenis-jenis fauna. Pembuangan limbah pencucian emas dari tambang
emas seperti di pedalaman Kalimantan dan tempat-tempat lain di Indonesia
yang menggunakan air raksa dapat menjadi penyebab penyusutan kehati. Hanya
saja penambangan yang sudah lama berjalan ini belum pernah dilakukan kajian
dampak pencemaran lingkungan terhadap kehati sepanjang daerah aliran
sungai.
Segala bentuk polusi dapat berpengaruh pada keanekaragaman hayati,
terutama pada adanya unsur hara nitrogen dan fosfor yang dapat menyebabkan
hilangnya keanekaragaman hayati sehingga ekosistem tidak berfungsi dengan
baik. Pemakaian nitrogen dapat menyebabkan perubahan serius pada habitat
dan jenis yang hidup diatasnya. Adanya nitrogen yang berlimpah dapat
menyebabkan eutrofikasi ekosistem. Ekosistem gambut misalnya, deposit
nitrogen menyebabkan hilangnya jenis dan penurunan kekayaan jenis yang
dapat berakibat terjadinya perubahan fungsi ekosistem.
Polusi menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati misalnya asap
kendaraan bermotor di kota besar mengakibatkan kematian atau pindahnya
burung ke tempat lain. Selain itu, polusi asap mobil juga dapat menyebabkan
tertutupnya mulut daun tanaman di sekitar yang dapat mengakibatkan kematian

5
Elizabeth A. Widjaja, dkk, Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia 2014, (Jakarta:
LIPI Press, 2014), hlm. 234

13
dan hilangnya flora setempat. Polusi udara terbesar yang terjadi di Indonesia
adalah pada akhir tahun 1990 yang mengakibatkan kehilangan 5 juta hektar
hutan yang tertutup asap (haze). Setelah itu, asap selalu menghantui Sumatra
dan Kalimantan dari tahun 2001 sampai sekarang. Hubungan antara terjadinya
asap dan El Nino juga merupakan salah satu pemicu terjadinya asap karena
kurangnya hujan dan keringnya lahan. Tebalnya asap dapat menutupi
permukaan daun yang bisa menyebabkan kematian flora di daerah yang terkena
asap. Bahkan kematian faunapun terjadi ketika asap tebal menyelimuti
Kalimantan dan Sumatra contohnya pada orang utan dan monyet.
Polusi air, seperti hujan asam, sampah, dan pembuangan limbah ke
penampungan air, saluran irigasi, laut dapat menyebabkan kematian ikan dan
hewan lain yang hidup di air atau plankton, alga atau tumbuhan air lainnya.
Pencemaran terbesar terjadi karena logam berat yang memiliki toksisitas nyata
terhadap mikroorganisme pada konsentrasi tinggi. Pencemaran logam berat
merupakan stressor lingkungan yang signifikan untuk komunitas mikrob
terestrial. Dari pemantauan terhadap komunitas dan aktivitas mikrob pada
daerah persawahan Rancaekek yang tercemar oleh logam berat limbah tekstil
menunjukkan bahwa populasi dan aktivitas mikrob pada daerah dekat sumber
cemaran populasinya lebih rendah dibanding daerah yang lebih jauh dari
sumber cemaran (Gambar 2.4, Gambar 2.5 dan Gambar 2.6). Perbedaan
populasi mikrob tersebut ternyata berkorelasi dengan tingginya kandungan
cemaran logam berat. Adanya korelasi berbanding terbalik antara jumlah
populasi mikrob dengan tingkat pencemaran ini menggambarkan bahwa ketika
pencemaran logam berat semakin tinggi, potensi hilangnya keanekaragaman
mikrob akan semakin besar. Lebih dari satu juta genom bakteri yang berbeda
hadir dalam tanah alami (murni) dan keragaman ini berkurang hingga 99,9%
sebagai akibat dari pencemaran logam berat.

14
Gambar 2.4 Keberadaan populasi mikrob umum dalam kaitannya dengan tingkat
pencemaran logam berat pada lokasi sampling berdasar jarak dari sumber polutan
di Sungai Cikijing, Rancaekek-Bandung
(Sumber: Puslit Biologi-LIPI 2014, in prep.)

Gambar 2.5 Populasi mikrob agen denitrifikasi dan aktivitas reduksi Nitrat
pada lokasi sampling berdasar jarak dari sumber polutan di Sungai Cikijing,
Rancaekek-Bandung (Sumber: Puslit Biologi-LIPI 2014, in prep.)

15
Gambar 2.6 Limbah buangan pabrik tekstil yang masuk saluran irigasi persawahan
(A), sampling tanah sawah tercemar logam berat limpasan limbah (B) (Sumber:
Puslit Biologi-LIPI 2014, in prep.)
Revolusi hijau pada masa lalu telah membawa pengaruh signifikan terhadap
manajemen pertanian, yaitu lebih mengandalkan bahan kimia agro seperti
penggunaan pupuk anorganik dan pestisida. Revolusi hijau secara khusus
memengaruhi cara bertanam padi dan sayuran yang merupakan produk
pertanian utama di Asia Tenggara. Secara umum, aplikasi pupuk kimia sintesis
anorganik pada pertanian sayuran di Asia Tenggara berlebihan. Dosis
pemupukan di Filipina mencapai 211 kg N/ha/th dan di Thailand mencapai 600
kg anorganik N dan 250 kg P/ha/th. Dosis aplikasi urea untuk tanaman sayuran
dan jagung adalah berkisar 150–200 kg/ha. Petani di Indonesia
mengaplikasikan pupuk N (biasanya dalam bentuk urea) dengan konsentrasi
yang tinggi meskipun harus membayar mahal dan tanpa disadari mencemari
lingkungan. Pemupukan urea pada konsentrasi > 90 kg/ha memberikan dampak
negatif yang drastis terhadap populasi dan aktivitas mikrob tanah. Ini berkaitan
dengan toksisitas amonium, yaitu efek osmotik dan keasaman tanah.

16
Gambar 2.7 Jumlah populasi jamur pada tanah yang terpapar pestisida dengan
intensitas yang berbeda dan tanpa perlakuan pestisida (Sumber: Puslit Biologi-LIPI
2014, in prep.)

Gambar 2.8 Korelasi antara aktivitas mikrob tanah dengan aplikasi pestisida pada
praktik pertanian yang berbeda (Sumber: Puslit Biologi-LIPI 2014, in prep.)
Pemantauan di daerah kawasan Cipanas terhadap komunitas mikrob pada
tanah dengan praktik pertanian intesif (aplikasi pestisida dan pupuk kimia
sintesis tinggi), pertanian semi-organik (aplikasi pestisida dan pupuk kimia
sintesis sedang) dan pertanian organik, menunjukkan bahwa aktivitas respirasi
yang mencerminkan kelimpahan mikrob dan aktivitas enzim yang terlibat
dalam siklus hara lebih rendah pada tanah pertanian intensif dibanding pada
tanah pertanian organik. Jumlah populasi jamur tanah pada pertanian intesif
lebih rendah dibanding tanah pertanian organik. Dampak negatif yang
mencolok dari pertanian intensif di Cipanas yang mengandalkan pupuk kimia

17
sintetis dan pestisida terhadap sifat biokimia tanah (populasi mikrob dan
aktivitasnya) juga dilaporkan oleh peneliti Belgia yang melakukan penelitian
bersama dengan Pusat Penelitian Tanah-Bogor. Dijelaskan lebih lanjut bahwa
terdapat perbedaan yang mencolok antara komunitas mikrob pada tanah
pertanian intensif, pertanian organik, dan hutan alami.6

D. Eksploitasi yang Berlebihan


Pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan dapat berdampak pada
kepunahan sumber daya tersebut. Untuk melakukan pemanfaatan tumbuhan
maupun satwa liar tidak cukup sekadar menimbang aspek kebutuhan. Perlu
dilakukan pertimbangan aspek lingkungan hidup agar sumber daya alam
terpulihkan secara berkelanjutan.
Konvensi perdagangan satwa dan tumbuhan liar (CITES) mengatur volume
perdagangan internasional pada tingkatan jenis yang dikelompokkan ke dalam
Apendiks I, II, dan III. IUCN juga mengeluarkan data tentang satwa dan
tumbuhan liar yang terancam punah secara berkala dalam kategori red list. Di
dalam data tersebut dinyatakan bahwa 1 jenis flora dan 2 fauna di Indonesia
punah di alam dan beberapa jenis terancam punah. Contoh jenis burung yang
mengalami eksploitasi berlebihan adalah Sturnus contra dan Gracula religiosa.
Kedua jenis ini diperkirakan mengalami kepunahan karena terputusnya
regenerasi akibat pengambilan anakan dari sarang. Kepunahan ini diperkirakan
karena minat masyarakat terhadap burung untuk dipelihara sehingga
menyebabkan eksploitasi yang berlebihan.
Jenis burung lainnya, yaitu merpati pemakan buah, Treron oxyura, T.
vernans, T. sphenura, T. Curvirostra serta Ptilinopus melanospila, menjadi
langka karena terputusnya ketersediaan pakan. Berbagai tumbuhan hutan telah
diganti dengan buah- buahan yang dibudidayakan oleh manusia. Hal demikian
terjadi juga pada berbagai burung pemakan serangga, antara lain Megalaima
lineata, M. javensis, M. corvina, Celeus brachyurus, Dinopium javanense,
Dendrocopos macei, Meiglyptes tristis, Chloropsis cochinchinensis,

6
Elizabeth A. Widjaja, dkk, Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia 2014, (Jakarta:
LIPI Press, 2014), hlm. 234-237

18
Pycnonotus melanicterus, Dicrurus annectans, Dicrurus hottentottus dan
Dicrurus paradiseus serta pemakan madu antara lain Anthreptes malacensis,
Nectarinia calcostetha, Aethopyga siparaja, Aethopyga mystacalis, Aethopyga
temminckii, Arachnothera longirostra, Arachnothera robusta, dan Prionochilus
thoracicu.
Perdagangan tumbuhan dan satwa liar secara langsung telah menekan
jumlah populasi di alam sehingga tidak sedikit jenis yang terancam punah.
Bahkan eksploitasi ini telah menghilangkan jenis-jenis endemik di berbagai
daerah. Dalam rangka mengontrol arus perdagangan antar negara terhadap
tumbuhan dan satwa liar, 180 negara yang mengadopsi konvensi Convention
on Internasional Trade of Endangered Species of Fauna and Flora (CITES)
sepakat untuk saling memantau jenis yang diperdagangkan. Dalam konvensi,
semua tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan antarnegara
dikategorikan ke dalam Apendiks I, II & III. Appendiks I adalah kelompok
tumbuhan dan satwa liar yang tidak dapat diperdagangkan sehingga hanya hasil
penangkaran atau budidaya yang boleh diperdagangkan. Appendiks II adalah
kelompok tumbuhan dan satwa liar yang belum terancam secara langsung oleh
adanya perdagangan sehingga harus dikontrol melalui penetapan kuota.
Appendiks III adalah kelompok tumbuhan dan satwa liar yang dilarang
diperdagangkan atas permintaan satu negara anggota dan terbatas hanya untuk
asal negara pengaju tersebut.

19
Gambar 2.9 Peta Jenis Endemik di Sulawesi Selatan (Sumber: Puslit Biologi-LIPI
2014, in prep.)

E. Perubahan Iklim
Tingkat perubahan iklim sekarang melebihi semua variasi alami dalam 1000
tahun terakhir. Debat tentang iklim perubahan telah sekarang mencapai suatu
langkah dimana kebanyakan ilmuwan menerima bahwa, emisi gas rumah kaca
mengakibatkan perubahan iklim yang berdampak berbagai sendi-sendi
kehidupan. Salah satu sendi kehidupan yang vital dan terancam oleh adanya
perubahan iklim ini adalah keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan
ekosistem. Biodiversitas sangat berkaitan erat dengan perubahan iklim.
Perubahan iklim berpengaruh terhadap perubahan keanekaragaman hayati dan
ekosistem baik langsung maupun tidak langsung.
1. Dampak langsung perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati:
Pada bagian ini akan dibahas tentang dampak langsung perubahan iklim
yang paling berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati:
a) Spesies ranges (cakupan jenis)
Perubahan Iklim berdampak pada pada temperatur dan curah hujan. Hal
ini mengakibatkan beberapa spesies tidak dapat menyesuaikan diri,

20
terutama spesies yang mempunyai kisaran toleransi yang rendah terhadap
fluktuasi suhu.
b) Perubahan fenologi
Perubahan iklim akan menyebabkan pergeseran dalam siklus yang
reproduksi dan pertumbuhan dari jenis-jenis organisme, sebagai contoh
migrasi burung terjadi lebih awal dan menyebabkan proses reproduksi
terganggu karena telur tidak dapat dibuahi. Perubahan iklim juga dapat
mengubah siklus hidup beberapa hama dan penyakit, sehingga akan terjadi
wabah penyakit.
c) Perubahan interaksi antar spesies
Dampak yang iklim perubahan akan berakibat pada interaksi antar
spesies semakin kompleks (predation, kompetisi, penyerbukan dan
penyakit). Hal itu membuat ekosistem tidak berfungsi secara ideal.
d) Laju kepunahan
Kepunahan telah menjadi kenyataan sejak hidup itu sendiri muncul.
Beberapa juta spesies yang ada sekarang ini merupakan spesies yang
berhasil bertahan dari kurang lebih setengah milyar spesies yang diduga
pernah ada. Kepunahan merupakan proses alami yang terjadi secara alami.
Spesies telah berkembang dan punah sejak kehidupan bermula. Kita dapat
memahami ini melalui catatan fosil. Tetapi, sekarang spesies menjadi punah
dengan laju yang lebih tinggi daripada waktu sebelumnya dalam sejarah
geologi, hampir keseluruhannya disebabkan oleh kegiatan manusia. Di
masa yang lalu spesies yang punah akan digantikan oleh spesies baru yang
berkembang dan mengisi celah atau ruang yang ditinggalkan. Pada saat
sekarang, hal ini tidak akan mungkin terjadi karena banyak habitat telah
rusak dan hilang. Kelangsungan hidup rata-rata suatu spesies sekiar 5 juta
tahun. Rata-rata 900.000 spesies telah menjadi punah setiap 1 juta per tahun
dalam 200 juta tahun terakhir.
Laju kepunahan secara kasar diduga sebesar satu dalam satu
persembilan tahun. Laju kepunahan yang diakibatkan oleh ulah manusia
saat ini beratus-ratus kali lebil tinggi. Perubahan iklim yang lebih menyebar
luas tampaknya akan terjadi dalam pada masa mendatang sejalan dengan

21
bertambahnya akumulasi gas-gas rumah kaca dalam atmosfer yang
selanjutnya akan meningkatkan suhu permukaan bumi. Perubahan ini akan
menimbulkan tekanan yang cukup besar pada semua ekosistem, sehingga
membuatnya semakin penting untuk mempertahankan keragaman alam
sebagai alat untuk beradaptasi. Beberapa kelompok spesies yang lebih
rentan terhadap kepunahan daripada yang lain. Kelompok spesies tersebut
adalah:
1) Spesies pada ujung rantai makanan, seperti karnivora besar, misal
harimau (Panthera tigris). Karnivora besar biasanya memerlukan
teritorial yang luas untuk mendapatkan mangsa yang cukup. Oleh
karena populasi manusia terus merambah areal hutan dan penyusutan
habitat, maka jumlah karnivora yang dapat ditampung juga menurun
2) Spesies lokal endemik (spesies yang ditemukan hanya di suatu area
geografis) dengan distribusi yang sangat terbatas, misalnya badak Jawa
(Rhinoceros javanicus). Ini sangat rentan terhadap gangguan habitat
lokal dan perkembangan manusia.
3) Spesies dengan populasi kecil yang kronis. Bila populasi menjadi terlalu
kecil, maka menemukan pasangan atau perkawinan (untuk
bereproduksi) menjadi masalah yang serius, misalnya Panda.
4) Spesies migratori adalah spesies yang memerlukan habitat yang cocok
untuk mencari makan dan beristirahat pada lokasi yang terbentang luas
sangat rentan terhadap kehilangan stasiun habitat peristirahatannya.
5) Spesies dengan siklus hidup yang sangat kompleks. Bila siklus hidup
memerlukan beberapa elemen yang berbeda pada waktu yang sangat
spesifik, maka spesies ini rentan bila ada gangguan pada salah satu
elemen dalam siklus hidupnya.
6) Spesies spesialis dengan persyaratan yang sangat sempit seperti sumber
makanan yang spesifik, misal spesies tumbuhan tertentu.
Satu spesies diperkirakan punah setiap harinya. Inventarisasi yang
dilakukan oleh badan-badan internasional, seperti International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) dapat dijadikan indikasi
tentang keterancaman spesies. Pada 1988 sebanyak 126 spesies burung, 63

22
spesies binatang lainnya dinyatakan berada di ambang kepunahan
(BAPPENAS, 1993). Pada 2002, Red data List IUCN menunjukan 772 jenis
flora dan fauna terancam punah, yaitu terdiri dari 147 spesies mamalia, 114
burung, 28 reptilia, 68 ikan, 3 moluska, dan 28 spesies lainnya serta 384
spesies tumbuhan. Salah satu spesies tumbuhan yang baru-baru ini juga
dianggap telah punah adalah ramin (Gonystylus bancanus). Spesies tersebut
sudah dimasukkan ke dalam Appendix III Convention of International Trade of
Endengered Species of Flora and Fauna (CITES). Sekitar 240 spesies tanaman
dinyatakan mulai langka, diantaranya banyak yang merupakan kerabat dekat
tanaman budidaya. Paling tidak 52 spesies keluarga anggrek (Orchidaceae)
dinyatakan langka.
e) Penyusutan Keragaman Sumber Daya Genetik
Ancaman terhadap kelestarian sumberdaya genetik juga dapat
ditimbulkan oleh adanya pengaruh pemanasan global. Beberapa varian dari
tanaman dan hewan menjadi punah karena perubahan iklim. Kepunahan
spesies tersebut menyebabkan sumberdaya genetik juga akan hilang.
Ironisnya banyak sumberdaya genetic (plasma nutfah) belum diketahui
apalagi dimanfaatkan, kita menghadapi kenyataan mereka telah hilang.
f) Akibat dari perubahan iklim yang ekstrim
Efek perubahan iklim akan menimbulkan peristiwa ekstrim seperti
meledaknya hama dan penyakit, musim kering yang berkepanjangan, El
Niño, musim penghujan yang relatif pendek, namun curah hujan cukup
tinggi, sehingga timbul dampak banjir dan tanah longsor. Peristiwa yang
ekstrim ini akan mempengaruhi organisma, populasi dan ekosistem.
2. Dampak tidak langsung perubahan iklim terhadap biodiversitas
Berbagai penyebab penuruanan keanekaragaman hayati diberbagai
ekosisten antara lain konversi lahan, pencemaran, eksploitasi yang
berlebihan, praktik teknologi yang merusk, masuknya spesies asing dan
perubahan iklim.
a) Dampak terhadap Ekosistem Hutan
Ekosistem hutan mengalami ancaman kebakaran hutan yang terjadi
akibat panjangnya musim kemarau. Jika kebakaran hutan terjadi secara

23
terus menerus, maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan
merusak sumber penghidupan masyarakat. Indonesia mempunyai lahan
basah (termasuk hutan rawa gambut) terluas di Asia, yaitu 38 juta ha yang
tersebar mulai dari bagian timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa,
Maluku sampai Papua. Tetapi luas lahan basah tersebut telah menyusut
menjadi kurang lebih 25,8 juta ha Penyusutan lahan basah dikarenakan
berubahnya fungsi rawa sebesar 37,2 persen dan mangrove 32,4 persen.
Luas hutan mangrove berkurang dari 5,2 juta ha tahun 1982 menjadi 3,2 juta
ha tahun 1987 dan menciut lagi menjadi 2,4 juta ha tahun 1993 akibat
maraknya konversi mangrove menjadi kawasan budi daya.
b) Dampak pada daerah kutub
Sejumlah keanekaragaman hayati terancam punah akibat peningkatan
suhu bumi rata-rata sebesar 10C. Setiap individu harus beradaptasi pada
perubahan yang terjadi, sementara habitatnya akan terdegradasi. Spesies
yang tidak dapat beradaptasi akan punah. Spesies-spesies yang tinggal di
kutub, seperti penguin, anjing laut, dan beruang kutub, juga akan mengalami
kepunahan, akibat mencairnya sejumlah es di kutub.
c) Dampak pada daerah arid dan gurun
Dengan adanya pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim
mengakibatkan luas gurun menjadi semakin bertambah (desertifikasi).
d) Dampak pada ekosistem pertanian
Perubahan iklim akan menyebabkan terjadinya perubahan cuaca,
sehingga periode musim tanam menjadi berubah. Hal ini akan
mengakibatkan beberapa spesies harus beradaptasi dengan perubahan pola
tanam tersebut.
e) Dampak Ekologis bagi Wilayah Pesisir (mangrove)
Pemanasan global, salah satu perubahan iklim global, telah diyakini
berdampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia di berbagai wilayah
dunia. Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak
buruk pemanasan global sebagai akumulasi pengaruh daratan dan lautan.
Dalam ringkasan teknisnya tahun ini, Intergovernmental Panel on Climate

24
Change, suatu panel ahli untuk isu perubahan iklim, menyebutkan tiga
faktor penyebab kerentanan wilayah ini (TS WG I IPCC, 2007:40).

Gambar 2.10 Deskripsi Pengaruh Peubahan Iklim Terhadap Wilayah Pesisi


(Sumber: IPCC, 2007)
Pertama, pemanasan global ditenggarai meningkatkan frekuensi badai di
wilayah pesisir. Setiap tahun, sekitar 120 juta penduduk dunia di wilayah pesisir
menghadapi bencana alam tersebut, dan 250 ribu jiwa menjadi korban hanya
dalam kurun 20 tahun terakhir (tahun 1980 2000). Peneliti bidang Meteorologi
di AS mencatat adanya peningkatan frekuensi badai tropis di Laut Atlantik
dalam seratus tahun terakhir (KCM, 31 Juli 2007). Pada periode 1905-1930 di
wilayah pantai Teluk Atlantik terjadi rata-rata enam badai tropis per tahun.
Rata-rata tahunan itu melonjak hampir dua kali lipat (10 kali badai tropis per
tahun) pada periode tahun 1931-1994 dan hampir tiga kali lipat (15 kali badai
tropis) mulai tahun 1995 hingga 2005. Pada tahun 2006 yang dikenal sebagai
“tahun tenang” saja masih terjadi 10 badai tropis di wilayah pesisir ini. Juga
dilaporkan pola peningkatan kejadian badai tropis ini tetap akan berlangsung
sepanjang pemanasan global masih terjadi.
Kedua, pemanasan global diperkirakan akan meningkatkan suhu air laut
berkisar antara 1-3°C. Dari sisi biologis, kenaikan suhu air laut ini berakibat
pada meningkatnya potensi kematian dan pemutihan terumbu karang di
perairan tropis.

25
Gambar 2.11 Citra Satelit Tahun 1998, 2002, dan 2005 yang Menunjukkan Rata-
Rata Suhu Maksimum Bulanan dan Lokasi Pemutihan Terumbu Karang di Dunia
(Sumber: NOOA Coral Reef Watch and Reefbase dalam IPCC, 2007)
Dampak ini diperkirakan mengulang dampak peristiwa El Nino Southern
Oscillation (ENSO) di tahun 1997-1998. World Resource Institute tahun 2002
menyatakan suhu air laut yang meningkat 1-3°C pada saat itu telah memicu
peristiwa pemutihan terumbu karang yang terbesar sepanjang sejarah. Hampir
sekitar 18% terumbu karang di Asia Tenggara rusak dan hancur. Di Indonesia
sendiri cakupannya mulai dari perairan Sumatera, Jawa, Bali hingga Lombok.
Terjadi kematian sebanyak 90-95% terumbu karang di wilayah perairan
Kepulauan Seribu dan 2 tahun setelah kejadian baru pulih 30%. El nino tahun
itu juga telah menyebabkan sekitar 90% terumbu karang di Kepulauan
Mentawai mengalami kematian.
Ekosistem terumbu karang di perairan Indonesia seluas 51.875km2, yang
setaradengan sepertiga luas pulau Jawa, terancam rusak dan hancur secara
permanen jika pemanasan global terus berlangsung. Ini juga berarti
terancamnya kelangsungan berbagai macam kehidupan biota laut yang
tergantung hidupnya pada ekosistem alam ini. Kerusakan terumbu karang juga
berarti hilangnya pelindung alam wilayah pesisir yang akan memicu
peningkatan laju abrasi pantai. Luas terumbu karang Indonesia diduga berkisar
antara 50.020 Km2 (Moosa dkk, 1996 dalam KLH, 2002) hingga 85.000 Km2
(Dahuri 2002). Hanya sekitar 6 persen terumbu karang dalam kondisi sangat

26
baik, diperkirakan sebagian terumbu karang Indonesia akan hilang dalam 10-20
tahun dan sebagian lainnya akan hilang dalam 20-40 tahun. Rusaknya terumbu
karang mempunyai dampak pada masyarakat pesisir, misalnya berkurangnya
mata pencaharian nelayan kecil.7

7
Sittenfeld, Ana, Biodiversity Prospecting Frameworks, Paper Presented at The
Management Course Supported by The Government of Japan, ISNAR and IBS, hlm. 167

27
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perubahan habitat adalah perubahan lingkungan lokal dari organisme
tertentu. Terkadang perubahan itu mungkin tidak permanen. Namun, itu dapat
mempengaruhi fungsi ekosistem. Alasan utama untuk perubahan habitat adalah
modifikasi manusia dari permukaan tanah di bumi untuk budidaya dan
memperoleh sumber daya. Hari ini, diforestasi telah menjadi alasan utama
perubahan iklim.
Masuknya JAI yang semula untuk tujuan sebagai tanaman hias, pakan
ternak, hortikultura, hewan peliharaan, seringkali menjadi invasive dan akan
berakibat pada hilangnya jenis lokal. Jenis lokal tertentu yang masuk ke
lingkungan alam yang baru dapat menyebabkan berbagai bentuk
ketidakseimbangan dalam jejaring ekologi.
Polusi udara, air, dan tanah merupakan aktivitas manusia yang
memengaruhi lingkungan alam dan berdampak negatif secara langsung atau
tidak terhadap keberadaan biota. Polusi mengubah aliran energi, kimia, dan
kondisi fisik lingkungan dan kelimpahan jenis di suatu ekosistem. Pencemaran
juga dapat menjadi penyebab utama penyusutan jumlah atau hilangnya jenis-
jenis fauna.
Pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan dapat berdampak pada
kepunahan sumber daya tersebut. Untuk melakukan pemanfaatan tumbuhan
maupun satwa liar tidak cukup sekadar menimbang aspek kebutuhan. Perlu
dilakukan pertimbangan aspek lingkungan hidup agar sumber daya alam
terpulihkan secara berkelanjutan.
Salah satu sendi kehidupan yang vital dan terancam oleh adanya perubahan
iklim ini adalah keanekaragaman hayati dan ekosistem. Perubahan iklim
berpengaruh terhadap perubahan keanekaragaman hayati dan ekosistem baik
langsung maupun tidak langsung.

28
B. Saran
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahan karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis berharap kepada para penulis berikutnya untuk membahas materi
ini dengan lebih lengkap. Semoga makalah ini berguna khususnya bagi penulis
dan kepada para pembaca umum.

29
DAFTAR RUJUKAN

Alikodra, H. S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Bogor: IPB


Giyanto. 2007. Kajian Baseline Data Desa-Desa Pantai Kabupaten Pemalang.
Bogor: Wetland International Program
Ismoyo. 2007. Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis. Mandailing Natal:
Dinas Kehutanan Kabupaten
Sittenfeld, Ana. Biodiversity Prospecting Frameworks. Paper Presented at The
Management Course Supported by The Government of Japan. ISNAR and
IBS
Widjaja, Elizabeth A. dkk. 2014. Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia
2014. Jakarta: LIPI Press

30

Anda mungkin juga menyukai