Anda di halaman 1dari 17

KISAH NABI SHALEH

1. Kaum Tsamud

Rasulullah bersabda, “Orang terdahulu yang paling celaka adalah pemotong unta (Nabi Shaleh).”

Untuk memulai kisah tentang Nabi Shaleh AS, kita akan memulainya dari sebuah riwayat dari Nabi
Muhammad SAW yang disampaikan oleh salah satu sahabat, Abu al-Tufail:

Ketika Rasulullah pergi dalam ekspedisi untuk menyerang Tabuk, dia berkemah di al-Hijr dan berkata,
“Wahai orang-orang! Janganlah meminta tanda (sebagai bukti kenabian) kepada Nabi kalian! Umat
Shaleh ini meminta nabi mereka untuk mengirimi mereka tanda, dan Allah mengirim mereka unta betina
sebagai tanda.

“Pada hari gilirannya (si unta betina) untuk minum, ia masuk di antara mereka dari celah (batu) ini dan
meminum air mereka. Pada hari giliran mereka (Kaum Tsamud), mereka akan mendapatkan ini (air) dan
akan mengambil susu darinya sebanyak sebagaimana mereka mengambil air sebelumnya. Dengan
demikian ia akan keluar dari celah (untuk memberi susu).

“Namun mereka menjadi tidak taat kepada perintah Tuhan mereka dan melukainya1 (si unta betina), jadi
Allah menjanjikan kepada mereka hukuman setelah tiga hari. Itu adalah janji dari Allah dan tidak salah.
Maka Allah menghancurkan mereka semua, di Timur dan Barat, kecuali terhadap satu orang yang berada
di tempat suci Allah. Tempat suci Allah melindunginya dari hukuman Allah.”

Mereka berkata, “Dan siapakah orang itu, wahai Rasulullah?”

Dia berkata, “Abu Righal.”2

Dalam hadis lain, yang diriwayatkan oleh at-Thabrani, Rasulullah bersabda, “Orang terdahulu yang
paling celaka adalah pemotong unta (Nabi Shaleh).”3

Riwayat di atas menjadi semacam ringkasan dari apa yang terjadi terhadap Kaum Tsamud, umat Nabi
Shaleh. Adapun penjelasan yang lebih lengkap, seperti misalnya mengapa Nabi Shaleh diutus? Kapan dia
diutus? Bagaimana biografi Kaum Tsamud? Dan mengapa mereka dihancurkan? Itu akan dipaparkan
secara lebih detail kemudian. Mari kita simak kisahnya.

Urutan masa kemunculan Nabi Shaleh, dapat diurut dari masa kenabian Nabi Nuh, dalam rentang waktu
yang cukup dekat. Alquran tidak menjelaskan berapa rentang waktu antara peristiwa banjir besar pada
masa Nabi Nuh sampai munculnya kaum ini, namun silsilah keluarga kaum ini masih cukup dekat dengan
Nuh. Meskipun secara silsilah dekat, namun dalam banyak riwayat, orang-orang pada masa ini seringkali
digambarkan berumur sangat panjang, ratusan bahkan ribuan tahun.

Setelah bahtera Nuh tiba di Gunung al-Judi dan mendarat di sana, dalam suatu riwayat dikatakatan bahwa
Nuh membagi-bagi bumi kepada ketiga putranya. Amir bin Sharahil al-Sha`bi meriwayatkan, “Ketika

1
Dalam anotasi yang dibuat oleh William M. Brinner, penerjemah buku Al-Tabari, “melukai” di sini maksudnya adalah, mereka memotong atau
mencungkil tendon kaki unta untuk melumpuhkannya, suatu tindakan yang biasa dilakukan terhadap unta sebelum ia disembelih.

2Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State University of New York
Press: New York, 1987), hlm 46

3
Dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 156.
Nuh, keturunannya, dan semua yang ada di dalam bahtera turun ke bumi, dia membagi bumi kepada para
putranya ke dalam tiga bagian.

“Kepada Sem, dia memberikan bagian tengah bumi di mana Yerusalem, Sungai Nil, Sungai Efrat, Tigris,
Sayhan, Jayhan (Gihon), dan Fayshan (Pison) berada. Itu memanjang dari Pison ke timur Sungai Nil, dan
dari daerah dari mana angin selatan bertiup hingga ke daerah dari mana angin utara bertiup.

“Kepada Ham, dia memberikan bagian (bumi) di sebelah barat Sungai Nil dan daerah-daerah yang
melampaui wilayah tempat angin barat bertiup. Bagian yang dia berikan kepadaes Yafet terletak di Pison
dan daerah-daerah yang melampaui tempat angin timur bertiup.”4

Menurut Al-Tabari, dari ketiga putra Nuh tersebut, adalah keturunan dari Sem yang melahirkan dua kaum
penyembah berhala. Dua kaum tersebut adalah Kaum Ad dan Kaum Tsamud. Ad dan Tsamud, dulunya
adalah nama dua orang yang masih keturunan Nabi Nuh. Berikut ini adalah silsilah dari Ad: Ad bin Uz
bin Aram bin Sem bin Nuh. Sementara itu, silsilah dari Tsamud adalah: Tsamud bin Gether bin Aram bin
Sem bin Nuh.5

Allah kemudian mengutus dua nabi kepada kedua kaum tersebut. Untuk Kaum Ad, Allah mengutus Nabi
Hud, dan untuk Kaum Tsamud, Allah mengutus Nabi Shaleh. Peristiwa kenabian Nabi Hud, terjadi lebih
dahulu ktimbang Nabi Shaleh. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam Qisas Al-Anbiya,
“Setelah penghancuran Kaum Ad, suku Tsamud menggantikan mereka dalam kekuasaan dan kejayaan.
Mereka juga jatuh ke dalam penyembahan berhala.

“Ketika kekayaan materi mereka meningkat, demikian pula cara kejahatan mereka, sementara kebajikan
mereka menurun. Seperti Kaum Ad, mereka membangun bangunan-bangunan megah di dataran dan
memahat rumah-rumah yang indah di perbukitan. Tirani dan penindasan menjadi lazim ketika orang-
orang jahat memerintah negeri itu.”6

Hal ini juga diungkapkan di dalam Alquran:

“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah
kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang
datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan
janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (Q.S 7: 74).

2. Bangsa Pemahat Batu Karang

Karena saking kuatnya, Kaum Tsamud, meskipun tertimpa bangunan, masih dapat bertahan hidup.
Rasulullah mengatakan, bangsa ini dikaruniai Allah umur yang panjang dan tubuh yang sangat kuat.

Kota peninggalan kaum Tsamud di Madain Saleh.


Kaum Tsamud merupakan salah satu suku bangsa Arab terbesar yang telah punah. Sebaimana telah
disebut pada seri sebelumnya, mereka adalah keturunan dari Tsamud bin Gether bin Aram bin Sem bin
Nuh. Dengan demikian silsilah keturunan mereka bertemu dengan Kaum Ad pada kakek yang sama, yaitu

4
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 1, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Franz Rosenthal (State
University of New York Press: New York, 1989), hlm 370-371
5
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, Op.Cit., hlm 28.
6
Ibnu Katsir, Qisas Al-Anbiya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Mustapha Geme’ah
(Darussalam: Riyadh, e-book version), Chapter 4, Prophet Salih.
Aram. Mereka bermukim di satu wilayah yang bernama al-Hijr, yaitu satu daerah di Hijaz (Saudi Arabia
sekarang).7

Tempat itu juga dinamai Madain Shalih — karena Nabi Shaleh AS adalah Nabi yang diutus kepada
mereka. Di sana hingga kini terdapat banyak peninggalan, antara lain berupa reruntuhan bangunan kota
lama, yang merupakan sisa-sisa dari kaum Tsamud. Selain itu, di sana ditemukan juga pahatan-pahatan
indah serta kuburan-kuburan, dan aneka tulisan dengan berbagai aksara Arab, Aramiya, Yunani, dan
Romawi. 8

Suatu waktu, Amr bin Kharijah, salah satu sahabat Rasulullah, ditanya, “Ceritakanlah kepada kami kisah
tentang Tsamud.”

Amr bin Kharijah menjawab, “Aku akan menceritakan kepada kalian apa yang dikatakan oleh Rasulullah
tentang Tsamud.

“Tsamud adalah umat (Nabi) Shaleh yang telah Allah karuniakan umur yang panjang di dunia ini, dan
Dia membuat daya tahan mereka begitu kuat. Karena begitu kuatnya, sehingga suatu waktu, ketika salah
satu dari mereka mulai membangun rumah dari lumpur kering dan (rumah) itu roboh menimpanya, orang
itu masih selamat.

“Ketika mereka melihat kejadian itu, (karena tahu memiliki tubuh yang sangat kuat) mereka
menggunakan keterampilan mereka untuk membuat rumah dari gunung. Mereka menatah gunung-
gunung, memotongnya, dan melubanginya, dan mereka hidup dengan nyaman di dalamnya.”9

Allah SWT berfirman, “Dia menempatkan kamu (Kaum Tsamud) di bumi; kamu membuat pada dataran-
dataran rendahnya jadi bangunan-bangunan besar, dan kamu pahat gunung-gunungnya menjadi rumah-
rumah.” (Q.S 7: 74)

Terkait ayat di atas, di dalam Tafsir Al-Mishbah, tempat tinggal mereka digambarkan begitu indah, luas,
dan nyaman. Rumah mereka tahan baik terhadap cuaca dingin maupun panas. Selain itu, mereka juga
diberikan lahan yang dapat digunakan untuk bercocok tanam pada musim panas.10

Pada masa kini, dalam sebuah laporan perjalanan, bekas tempat tinggal Kaum Tsamud digambarkan,
“Memasuki daerah Madain Saleh yang berpasir, gunung berbatu sudah mulai terlihat seolah menyambut
pengunjung. Batu-batu super besar itu berdiri tegak memisah dan ada pula yang menyatu berbentuk bukit.

“Di tiap sudut batunya, terdapat tekstur dalam ragam bentuk. Juga goresan garis-garis dalam bidang,
menghadirkan volume cekung, cembung dan datar bahkan lubang yang tembus ke sisi lainnya.

7
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 14 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 411.

8
Ibid., hlm 412..

9
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State
University of New York Press: New York, 1987), hlm 42.

10
Tafsir Surat Surat Al-A’raf Ayat 74, dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati, 2002),
hlm 151-153.
“Tak hanya itu, di sebagian besar batu itu juga terdapat pintu beserta ruangan kecil. Di dalam ruangan
yang menyerupai kamar, ada bangku dari batu dengan goresan-goresan pahat tak beraturan di dindingnya.
Di situs bersejarah ini disebutkan memiliki 132 kamar dan kuburan.”11
Pada masa bangsa ini hidup, karena keahlian dan kepandaian mereka, hasil ukiran yang dibuat oleh
mereka, dijadikan sebagai barang dagangan dengan komoditas lainnya. Sebagian lagi dibuat untuk
menjadi hiasan di rumah-rumah mereka.

Produk utama Kaum Tsamud adalah barang pecah-belah (tembikar) yang unik, dan memiliki nilai seni
yang berkualitas tinggi, sedangkan produk lainnya berupa kemenyan dan rempah-rempah. Dari hasil
perdagangan yang mereka lakukan, mereka menjadi kaya raya, dan sehingga memungkinkan mereka
untuk membangun istana, rumah yang dipahat, dan makam-makam pada batu karang.12

Pada tahun 2008, UNESCO mengesahkan Madain Salih, atau yang mereka sebut dengan The
archaeological site of Al-Hijr, sebagai salah satu situs warisan dunia (World Heritage Site). Di dalam
website UNESCO, Madain Salih dikatakan sebagai situs utama peninggalan peradaban Nabatea, pada
bagian selatan dari zona pengaruhnya. Bangunan dan arsitektur peninggalan bangsa ini dipahat langsung
di batu karang.

Berdasarkan gaya arsitekturnya, tempat ini dianggap sebagai tempat bertemunya berbagai peradaban,
seperti Asyur, Mesir, Fenisia, dan Helenistik. Selain itu, di sana juga ditemukan kehadiran epigrafi dari
beberapa bahasa kuno seperti Lihyanite, Thamudic, Nabataean, Yunani, dan Latin.

Tempat ini telah menjadi saksi dari berkembangnya teknik pertanian Nabatea yang menggunakan
sejumlah besar sumur buatan di tanah berbatu. Sumur-sumur ini bahkan sampai sekarang masih dapat
digunakan. Situs ini adalah contoh luar biasa dari pencapaian arsitektur dan keahlian hidrolik peradaban
Nabataean. Pada masanya, Al-Hijr menjadi saksi perdagangan karavan internasional pada akhir masa
peradaban kuno dunia.13

Mari kita kembali kepada kisah Kaum Tsamud di masa Nabi Shaleh. Pada awalnya mereka dapat menarik
pelajaran berharga dari pengalaman buruk yang menimpa Kaum Ad, karena itu mereka beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Pada masa itulah mereka pun berhasil membangun peradaban yang cukup megah,
namun keberhasilan itu menjadikan mereka lengah, sehingga mereka kembali menyembah berhala yang
serupa dengan berhala yang disembah oleh Kaum Ad. Ketika itulah Allah kemudian mengutus Nabi
Shaleh untuk mengingatkan mereka agar tidak mempersekutukan Allah.14

11
Muhammad Ali, “Melongok Jejak Kaum Tsamud, Umat Nabi Saleh di Madain Saleh”, dari
laman https://www.liputan6.com/news/read/2621897/melongok-jejak-kaum-tsamud-umat-nabi-saleh-di-madain-
saleh, diakses 14 September 2019.

12
Ibid.

13
UNESCO, “Al-Hijr Archaeological Site (Madâin Sâlih)”, dari laman https://whc.unesco.org/en/list/1293/, diakses
14 September 2019.

14
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5, Op.Cit., hlm 152.
3. Unta Betina dari Batu

Kaum Tsamud berkata, “Mintalah kepada Tuhanmu untuk membuatkan unta betina, yang harus sepuluh
bulan hamil, tinggi, dan menarik. Buatkanlah dari batu itu untuk kami.”

Di tengah situasi menyimpangnya Kaum Tsamud, Allah kemudian mengutus Nabi Shales AS kepada
mereka, yakni seseorang yang berasal dari kaum mereka sendiri. Silsilah lengkap Shaleh adalah: Shaleh
bin Ubaid bin Asif bin Masikh bin Ubaid bin Khadir bin Tsamud bin Gether bin Aram bin Sem bin Nuh.
Dia kemudian menyeru umatnya untuk menyembah Allah semata, dan tidak mempersekutukan-Nya.15

Seruan Nabi Shaleh tercatat di dalam Alquran, “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh.
Shaleh berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah
menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah
ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (doa hamba-Nya).’.” (Q.S 11: 61)

Menurut Quraish Shihab, apa yang disampaikan Shaleh untuk umatnya sama persis dengan apa yang telah
disampaikan oleh Nabi Nuh dan Nabi Hud kepada umat mereka masing-masing.16 Dan respon yang
didapatnya, juga serupa. Sementara sebagian kecil Kaum Tsamud beriman kepadanya, namun sebagian
besar dari mereka tidak percaya dan melukainya, baik melalui kata-kata maupun perbuatan.17

Sebelum mendapatkan wahyu dari Allah SWT, Shaleh di antara Kaum Tsamud dikenal sebagai seseorang
yang bijaksana, suci, berakhlak baik, dan sangat dihormati oleh mereka. Sebagaimana dikatakan oleh
Kaum Tsamud sendiri di dalam Alquran, “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di
antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah
oleh bapak-bapak kami? Dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan
terhadap agama yang kamu serukan kepada kami.” (Q.S 11: 62)

Mereka hanya ingin menyembah tuhan yang sama seperti yang dimiliki oleh orang tua mereka. Tidak
perlu alasan, tidak perlu bukti, dan tidak perlu dipikirkan. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Shaleh
adalah bukti itu sendiri, karena tidak ada manusia manapun yang mampu mengucapkan kata-kata seperti
nabi. Meski demikian, sebagian besar umatnya tetap tidak mempercayainya.

Mereka meragukan kata-katanya, mengira bahwa Shaleh hanyalah seorang penyihir, dan mereka melihat
bahwa dia tidak akan berhenti berkhotbah. Khawatir bahwa para pengikut Shaleh akan terus bertambah,
maka mereka mencoba untuk membendungnya dengan memberikan dia tugas penting yang seolah-olah
mustahul. Sebagai bukti bahwa dia adalah seorang nabi, maka mereka memintanya untuk melakukan
mukjizat.18

Seperti yang pernah disinggung, Kaum Tsamud adalah kaum yang mempunyai keahlian memahat
gunung. Mereka mampu membuat relief-relief yang sangat indah, sehingga gambar-gambar yang

15
Ibnu Katsir, Qisas Al-Anbiya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Mustapha Geme’ah
(Darussalam: Riyadh, e-book version), Chapter 4, Prophet Salih.

16
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 152.
17
Ibnu Katsir, Loc.Cit.
18
Ibid.
dihasilkan oleh mereka bagaikan sesuatu yang benar-benar hidup. Maka mereka menuntut sesuatu yang
melebihi kemampuan mereka.19

Kaum Tsamud berkata, “Jika engkau benar, tunjukkanlah kepada kami suatu tanda.”20

Mereka kemudian menunjuk sebuah batu karang dan memintanya, “Mintalah kepada Tuhanmu untuk
membuatkan unta betina, yang harus sepuluh bulan hamil, tinggi, dan menarik. Buatkanlah dari batu itu
untuk kami.”

Shaleh menjawab, “Lihatlah sekarang! Jika Allah mengirimkan kalian apa yang kalian minta, seperti yang
telah kalian deskripsikan, akankah kalian beriman kepada apa yang telah aku datangkan kepada kalian,
dan beriman kepada risalah yang telah aku sampaikan?”

Mereka menjawab, “Ya.”

Shaleh kemudian mengambil sumpah dari mereka tentang hal ini, lalu berdoa kepada Allah SWT untuk
mengabulkan permintaan mereka. Allah kemudian memerintahkan batu itu untuk membelah diri, dan
memunculkan unta yang hamil sepuluh bulan. Ketika mata mereka menatapnya, mereka kagum. Mereka
melihat hal yang hebat, pemandangan yang indah, kekuatan yang menakjubkan dan bukti yang jelas!21
Dalam riwayat lain, sebagaimana disampaikan oleh Abu al-Tufail, kisahnya berjalan seperti ini:

Tsamud berkata kepada Shaleh, “Tunjukkanlah kami tanda jika engkau memang benar.”

Shalih berkata kepada mereka, “Pergilah ke ketinggian di atas tanah,” dan (batu) itu berguncang keras,
bagaikan seorang wanita yang bergetar ketika sedang melahirkan, dan terbelah, dan dari tengahnya
muncullah seekor unta.

Shaleh berkata, “Ini adalah unta Allah, sebuah tanda bagi kalian. Biarkan dia makan di tanah Allah, dan
jangan menyakitinya, jangan sampai siksaan yang menyakitkan merenggutmu. Ia memiliki hak untuk
minum, dan kalian memiliki hak untuk minum, masing-masing pada hari yang ditentukan.”22

“Unta ini dapat menghabiskan air dalam sumur dalam satu waktu hanya untuk dirinya sendiri. Itu adalah
unta yang diberkati, dan susunya cukup untuk ribuan pria, wanita, dan anak-anak. Jika ia tidur di tempat
itu, maka hewan-hewan lain akan pergi.”

Allah membuktikan kebenaran Nabi Shaleh, bukan saja dengan menciptakan unta dalam bentuk
jasmaninya yang terlihat bagaikan hidup, tetapi menciptakannya dalam keadaan benar-benar hidup,
berbulu lebat, makan dan minum bahkan beranak, dan mereka dapat meraba tubuhnya, serta meminum
susunya yang mereka perah.23

Ibnu Katsir mengatakan, ada berbagai kisah kuno yang disampaikan secara turun-temurun tentang unta ini
dan keajaiban-keajaiban yang dimilikinya. Dikisahkan, unta betina tersebut ajaib karena muncul dari batu
di gunung yang terbelah, yang kemudian diikuti oleh anaknya yang masih kecil.

19
Quraish Shihab, Op.Cit., hlm 153.
20
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State
University of New York Press: New York, 1987), hlm 41.
21
Ibnu Katsir, Loc.Cit.
22
Al-Tabari, Loc.Cit.
23
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 153.
Dalam kisah lain, dikatakan bahwa unta betina tersebut mampu meminum semua air di sumur dalam satu
hari, dan tidak ada hewan lain yang mau mendekati sumur tersebut. Kisah lainnya lagi mengatakan bahwa
unta betina itu, ketika pada hari ia meminum air sumur, meskipun ia tidak menyisakan air sedikitpun dan
orang-orang tidak dapat minum, namun dia mampu menghasilkan susu yang cukup bagi semua orang
untuk diminum.

Pada awalnya, Kaum Tsamud sangat terkejut ketika unta betina itu dikeluarkan dari batu di gunung. Itu
adalah unta yang diberkati, dan susunya cukup untuk ribuan pria, wanita, dan anak-anak. Jika ia tidur di
tempat itu, maka hewan-hewan lain akan pergi. Jadi jelas bahwa itu bukanlah unta biasa, tetapi salah satu
dari tanda-tanda Allah.24

Dalam ayat Alquran, dikatakan, “Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu.
Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah
kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang
pedih.” (Q.S 7: 73)

Terkait ayat ini, Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengatakan bahwa dilihat dari kata naqatullahi
(unta Allah) yang terkandung dalam ayat tersebut, memberi isyarat bahwa unta tersebut memang berbeda
dengan unta-unta yang lain.

Banyak riwayat tentang unta yang menjadi bukti kenabian dan kerasulan Shaleh, antara lain —
sebagaimana dikemukakan oleh Mutawalli asy-Syarawi — bahwa kaum Nabi Shaleh menantang beliau
untuk mendatangkan bukti berupa unta dari satu batu karang. Apa yang mereka tuntut itu dipenuhi Allah
dengan menciptakan seekor unta betina yang berbulu lebat dan hamil, lalu sepuluh bulan kemudian ia
melahirkan.25

Demikianlah, apapun versi dari berbagai riwayat tersebut, nyatanya unta tersebut memang benar-benar
hidup di antara Kaum Tsamud. Sejumlah dari mereka akhirnya menjadi orang yang beriman kepada
kenabian Nabi Shaleh, namun sebagian besar dari mereka tetap tidak percaya, keras kepala, dan
tersesat.26

Allah SWT berfirman, “Dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang
dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu
melainkan untuk menakuti.” (Q.S 17: 59)

Dan dalam ayat lainnya dikatakan, “Dan sesungguhnya penduduk-penduduk kota Al Hijr telah
mendustakan rasul-rasul, dan Kami telah mendatangkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami,
tetapi mereka selalu berpaling daripadanya.” (Q.S 15: 80-81)

Thahir Ibnu Asyur menilai bahwa kaum Nabi Shaleh memiliki sedikit kelebihan dalam kemampuan
berpikir dibanding dengan generasi sebelumnya, yakni Kaum Ad. Hal ini — menurutnya — terbukti dari
jawaban-jawaban mereka terhadap Nabi Shaleh, serta dengan adanya penangguhan waktu jatuhnya siksa
atas mereka setelah sekian lama dari kehadiran unta Allah tersebut.

24
Ibnu Katsir, Qisas Al-Anbiya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Mustapha Geme’ah
(Darussalam: Riyadh, e-book version), Chapter 4, Prophet Salih.
25
Quraish Shihab, Loc.Cit.

26
Ibnu Katsir, Loc.Cit.
Penangguhan itu bertujuan untuk memberi mereka kesempatan berpikir dan menyadari kesalahan mereka.
Karena itu keselamatan unta dikaitkan dengan siksaan, yakni selama unta itu tidak diganggu maka selama
itu pula mereka tidak akan disiksa, tetapi jika mereka mengganggunya, maka siksaan akan menimpa
mereka.27

Namun, meskipun mereka telah diberi kesempatan, kini kebencian mereka terhadap Shaleh malah beralih
kepada si unta betina ini. Sebuah agenda konspirasi mulai diwacanakan oleh Kaum Tsamud, secara diam-
diam mereka menyusun rencana untuk menentang Shaleh.

Shaleh yang mengendus rencana ini, khawatir suatu waktu unta tersebut akan dibunuh, berkata untuk
memberi peringatan, sebagaimana tercatat di dalam Alquran, “Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah,
sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah,
dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa
azab yang dekat.” (Q.S 11: 64)

Untuk sementara, Kaum Tsamud membiarkan unta tersebut merumput dan minum dengan bebas, tetapi di
dalam hati, mereka membencinya. Namun, kemunculan unta unik yang ajaib ini menyebabkan banyak
orang menjadi pengikut Shaleh, dan mereka berpegang teguh pada kepercayaan mereka kepada Allah.
Orang-orang kafir kemudian menjadi gerah karenanya, dan mereka mulai menyusun rencana pembunuhan
terhadap unta betina tersebut.28

4. Anak yang Diramalkan

Shaleh berkata kepada Kaum Tsamud, “Jika kalian tidak melukainya (si unta), seorang anak laki-laki
akan dilahirkan dari kalian, yang akan melukainya. Dia adalah anak laki-laki dengan kulit putih, bermata
biru, berambut coklat kemerahan, dan berkulit kemerahan.”

Sekarang mari kita lanjutkan kembali riwayat dari Amr bin Kharijah, salah satu sahabat Nabi Muhammad
SAW, sebagaimana pernah dicantumkan dalam seri sebelumnya, ketika dia ditanya, “Ceritakanlah kepada
kami kisah tentang Tsamud.”

Lalu Amr bin Kharijah menjawab, “Aku akan menceritakan kepada kalian apa yang dikatakan oleh
Rasulullah tentang Tsamud.”

Inilah kelanjutan riwayat yang disampaikan olehnya:

Lalu mereka berkata, “Wahai Shaleh! Mohonlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar menunjukkan sebuah
tanda supaya kami tahu bahwa engkau adalah utusan Tuhan.”

Lalu Shaleh berdoa kepada Tuhannya, dan Dia mendatangkan unta betina untuk mereka. Jatah minumnya
(si unta) ditetapkan pada satu hari, jatah mereka (Kaum Tsamud) pada hari lain. Ketika tiba hari jatah
minumnya (si unta), mereka (Kaum Tsamud) akan membiarkannya sendirian dengan air, dan kemudian
memerahnya, sehingga susunya memenuhi setiap bejana, wadah, dan kantung kulit.

Namun pada suatu waktu, ketika hari minumnya (si unta) tiba, mereka (Kaum Tsamud) menjauhkannya
dari air dan melarangnya minum meski sedikitpun; dan meski demikian, mereka tetap mengisi setiap
bejana, wadah, dan kantung kulit (dengan susu si unta).

27
Quraish Shihab, Op.Cit., hlm 53-54.
28
Ibnu Katsir, Loc.Cit.
Maka Allah berkata kepada Shaleh, “Umatmu melukai unta betinamu.”

Dia (Shaleh) mengatakan kepada mereka tentang hal itu, dan mereka menjawab, “Sesungguhnya kami
tidak melakukan itu.”

Dia berkata, “Jika kalian tidak melukainya, seorang anak laki-laki akan dilahirkan dari kalian, yang akan
melukainya.”

Mereka berkata, “Apa ciri-ciri dari anak itu? Demi Allah, begitu kami menemukannya, kami akan
membunuhnya!”

Dia berkata, “Dia adalah anak laki-laki dengan kulit putih, bermata biru, berambut coklat kemerahan, dan
berkulit kemerahan.”

Di kota itu, ada dua syekh yang sangat berkuasa dan tak terkalahkan. Salah satu dari mereka memiliki
seorang putra yang tidak ingin dia nikahkan, dan yang lainnya memiliki seorang putri yang dia tidak
dapat menemukan pasangan yang setara.

Pertemuan diadakan di antara mereka dan salah satu dari mereka berkata kepada yang lain, “Apa yang
mencegahmu menikahkan putramu?”

Dia menjawab, “Aku tidak dapat menemukan pasangan yang setara untuknya.”

Yang lain menjawab, “Sesungguhnya putriku setara untuk dia, dan aku akan mengatur pernikahan
(mereka) denganmu.” Jadi dia menikahkannya dengan dia, dan dari mereka anak itu lahir.

Di kota itu terdapat delapan pelaku kejahatan yang tidak pernah menyesali perbuatan mereka. Ketika
Shaleh berkata kepada mereka, “Hanya seorang anak di antara kalian yang akan melukainya (si unta),”
mereka memilih delapan wanita yang merupakan bidan dari kota, dan memerintahkan mereka untuk
menelusuri kota.
Jika mereka mendapati wanita yang melahirkan, mereka harus mengamati apa yang dilahirkannya. Jika
itu laki-laki, mereka harus membunuhnya, tetapi jika itu perempuan, mereka harus menahan diri untuk
tidak menyakitinya. Ketika mereka menemukan anak itu, para wanita (bidan) itu berteriak dan berkata,
“Inilah yang dimaksud oleh utusan Allah, Shaleh.”

Perintah untuk mereka mengharuskan mereka untuk membawanya, tetapi kedua kakeknya (dua syekh
yang berkuasa) turun tangan untuk menghentikan mereka dan berkata, “Jika Shaleh menginginkannya,
kami akan membunuhnya (Shaleh)!”

Dia adalah anak yang paling jahat dan setiap harinya dia bertumbuh besar sebanyak orang lain tumbuh
dalam seminggu, setiap minggunya dia tumbuh sebanyak orang lain tumbuh dalam satu bulan, dan setiap
bulannya dia tumbuh sebanyak orang lain dalam setahun.

Suatu hari kedelapan pelaku kejahatan yang tidak pernah berbuat baik berkumpul bersama dengan dua
syekh dan berkata, “Jadikanlah anak ini pemimpin kami karena statusnya dan keningratan para
kakeknya.” Jadilah mereka menjadi sembilan (pelaku kejahatan yang tidak pernah menyesali perbuatan
mereka).
Kini Shaleh menolak untuk tidur di kota bersama mereka, dia malah menghabiskan malamnya di sebuah
tempat salat yang bernama Masjid Shaleh. Di pagi hari dia akan mendatangi mereka dan memperingati
mereka, dan ketika sudah malam, dia akan kembali ke masjidnya dan bermalam di sana.29

5. Konspirasi Pembunuhan Nabi Shaleh

Rencana pembunuhan Shaleh digagalkan Allah. Sebagai gantinya, Kaum Tsamud ingin melukai unta
betina Shaleh. Dari segi tata bahasa Alquran, mereka bukan sekedar melukainya, tetapi melakukan
sesuatu yang lebih mengerikan.

Masih terkait dengan ramalan tentang anak laki-laki dan delapan penjahat yang diriwayatkan oleh Amr
bin Kharijah, Ibnu Juraij – seorang ulama generasi Taba at-Tabiin – juga memiliki riwayat tentang
mereka dengan alur yang sedikit berbeda. Berikut ini adalah riwayatnya:

Ketika Shaleh memberi tahu delapan penjahat itu, bahwa seorang anak laki-laki akan dilahirkan, yang
mana melalui tangannya mereka akan dihancurkan, mereka berkata, “Apa yang engkau perintahkan
untuk kami?”

Dia berkata, “Aku perintahkan kalian untuk membunuh mereka (yaitu, anak-anak lelaki mereka).” Lalu
mereka (delapan penjahat) membunuh mereka (anak-anak lelaki delapan penjahat) kecuali satu.

Ketika tiba giliran anak laki-laki itu, mereka berkata, “Jika kita tidak membunuh putra-putra kita, kita
masing-masing akan memiliki yang seperti ini (anak lelaki). Ini adalah tipu daya Shaleh!”

Maka mereka bersekongkol untuk membunuh dia (Shaleh), berkata, “Mari kita berpura-pura melakukan
perjalanan dan membiarkan orang-orang melihat kita melakukan hal itu. Kemudian kita akan kembali
pada malam tertentu di bulan tertentu, dan bersembunyi menunggu dia di tempat salatnya dan
membunuhnya. Orang-orang hanya akan berpikir bahwa kita telah pergi dalam perjalanan (dan tidak akan
mencurigai kita).”

Mereka pergi ke sebuah batu besar dan menunduk menunggu dia (Shaleh) lewat di bawahnya. Allah
membuat batu itu jatuh ke atas mereka, dan itu menghancurkan mereka sampai mati. Beberapa orang
yang mengetahui rencana mereka, pergi kepada mereka dan mendapati mereka hancur, dan mereka
kembali ke kota sambil berteriak, “Wahai para hamba Allah! Tidaklah cukup bagi Shaleh untuk
memerintahkan mereka untuk membunuh anak-anak mereka, jadi dia membunuh mereka sendiri.”

Orang-orang kota kemudian berkumpul untuk melukai unta tersebut, tetapi mereka tidak dapat
melakukannya, kecuali anak laki-laki yang ke sepuluh (yang tidak jadi dibunuh sebelumnya).30

Masih terkait dengan riwayat di atas, diriwayatkan oleh Abu Jafar, Nabi Muhammad SAW bersabda:

Mereka ingin mengelabui Shaleh, maka mereka pergi ke dalam sebuah lubang di jalan (di mana) Shaleh
biasa lewat, dan mereka berdelapan bersembunyi di dalamnya, mengatakan, “Ketika dia datang ke arah
kita, kita akan membunuhnya. Kemudian kita akan datang ke keluarganya dan menyerang mereka pada
malam hari.”

29
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State
University of New York Press: New York, 1987), hlm 42-43.
30
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State
University of New York Press: New York, 1987), hlm 43-44.
Namun Allah memberi perintah kepada tanah dan lubang itu untuk runtuh menimpa mereka. Kemudian
yang lainnya berkumpul dan pergi ke unta betina ketika dia sedang berdiri di sumur airnya dan pelakunya
berkata kepada salah satu dari mereka, “Bawalah ia (si unta) dan aku akan melukainya.”

Jadi mereka membawa ia (si unta) kepadanya, tetapi dia menyadari bahwa pekerjaan itu terlalu sulit dan
menolak untuk melakukannya. Jadi mereka mengirim yang lain, tetapi dia juga merasa terlalu sulit. Siapa
pun pelakunya yang dikirim, menganggap hal itu terlalu sulit sampai dia sendiri mendatanginya,
meregangkan tubuhnya, dan memukul tendonnya (si unta), dan ia terjatuh saat ia hendak lari (karena
tendonnya terluka).

Salah satu orang datang ke Shaleh dan berkata, “Cepat, pergilah ke untamu, ia sedang dilukai!”31

Riwayat di atas masih ada kelanjutannya, namun sebelumnya kita akan membahas riwayat di atas
berkenaan dengan salah satu ayat di dalam Alquran. Alquran mencatat perkataan
Shaleh terhadap Kaum Tsamud yang berbunyi, “Wahai kaumku sembahlah Allah tidak ada bagi kamu
satu tuhanpun selain-Nya. Telah datang kepada kamu bukti yang nyata dari Tuhan kamu; ini adalah unta
Allah untuk kamu sebagai bukti, maka biarkanlah dia makan di manapun dari bumi Allah, dan jangan
menyentuhnya dengan gangguan sehingga menimpa atas kamu siksa yang pedih.” (Q.S 7: 73)

Dari segi tata bahasa, Quraish Shihab memberi penjelasan di dalam Tafsir Al-Mishbah tentang makna
dari kata “wa la tamassuha bissu’in” (jangan menyentuhnya dengan gangguan). Berikut ini penjelasan
dari beliau:

Kata tamassu terambil dari kata massa-yamussu yang berarti persentuhan kulit dengan kulit. Kata ini
agaknya sengaja dipilih karena binatang pada dasarnya tidak memahami gangguan kecuali melalui
persentuhan fisik, atau dengan kata lain menyakiti badannya.

Kata massa biasanya digunakan untuk menggambarkan persentuhan yang sangat halus lagi sebentar
sehingga tidak menimbulkan kehangatan, bahkan boleh jadi tidak terasa. Kata mass berbeda dengan kata
lams yang bukan sekedar sentuhan antara subjek dan objek tetapi ia adalah persentuhan bahkan pegangan
yang mengambil waktu, sehingga pasti terasa dan menimbulkan kehangatan.

Kata lams, berbeda juga dengan kata lamasa, yang dipahami oleh banyak ulama dalam arti bersetubuh.
Makna ini tentu saja mengandung makna yang lebih dari sekedar lams. Setelah penjelasan di atas Anda
boleh membayangkan maksud makna larangan menyentuh unta dengan gangguan seperti bunyi ayat di
atas.32

6. Tangisan Anak Unta

Melihat ibunya roboh, ia menangis sampai air matanya mengalir. Lalu ia mendekati Shaleh dan
mendengkur satu kali, sekali lagi, lalu lagi. Shaleh berkata, “Setiap dengkuran menandakan satu hari.
Nikmatilah dirimu di rumahmu selama tiga hari ini. Ini bukanlah janji palsu.”

Mendengar ini (untanya dilukai), dia (Shaleh) pergi kepada mereka (Kaum Tsamud), dan mereka keluar
untuk menemuinya dan meminta pengampunan, dengan mengatakan, “Wahai Nabi Allah, hanya si fulan
yang melukainya, jadi itu bukan dosa kami.”

31
Ibid., hlm 44.
32
Tafsir Surat Surat Al-A’raf Ayat 73-74 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati,
2002), hlm 154.
Dia berkata, “Lihatlah, apakah kalian dapat menyelamatkan yang mudanya (anak unta jantan si unta
betina yang dilukai)? Jika kalian menyelamatkannya, mungkin Allah akan membatalkan hukuman bagi
kalian.”

Lalu mereka pergi mencarinya. Tetapi ketika unta muda itu melihat ibunya roboh, dia lari ke kaki gunung
bernama al-Qarah dan mendakinya. Mereka pergi untuk menangkapnya, tetapi Allah memberi perintah
kepada gunung itu, dan ia tumbuh sangat tinggi di langit, sehingga bahkan burung-burung pun tidak dapat
mencapainya.

Shaleh memasuki kota, dan ketika unta muda itu melihatnya, ia menangis sampai air matanya mengalir.
Lalu ia mendekati Shaleh dan mendengkur satu kali, sekali lagi, lalu lagi. Shaleh berkata, “Setiap
dengkuran menandakan satu hari. Nikmatilah dirimu di rumahmu selama tiga hari ini. Ini bukanlah janji
palsu. Tanda-tanda (datangnya) azab adalah bahwa pada hari pertama wajah kalian akan menjadi kuning
di pagi hari, pada hari kedua itu akan menjadi merah, dan pada hari ketiga hitam.”

Ketika mereka bangun di pagi hari, wajah mereka berwarna kuning seolah dipulas dengan kunyit, (baik)
tua maupun muda, (baik) pria maupun wanita. Ketika malam tiba, mereka semua berteriak, “Celakalah!
Satu hari ketentuan telah berlalu dan hukuman telah datang menimpa kita.”

Ketika hari kedua tiba, wajah mereka memerah seolah telah dipulas dengan darah. Mereka berteriak dan
histeris dan menangis, dan tahu bahwa ini adalah hukuman bagi mereka. Ketika senja datang, mereka
semua berteriak bersama, “Dua hari ketentuan telah berlalu dan hukuman telah menimpa kita.”

Ketika mereka bangkit pada pagi hari ketiga, wajah mereka hitam seolah-olah telah dilukis dengan ter.
Mereka semua berteriak, “Celakalah! Hukuman telah menimpa kita!” Mereka membungkus diri mereka
dengan kain kafan dan membalsem diri mereka sendiri untuk kuburan. Balsem yang mereka gunakan
terdiri dari gaharu dan asam, sementara kain kafan mereka adalah tikar kulit.

Kemudian mereka memasukkan diri mereka sendiri ke dalam tanah dan mulai melihat ke sana ke mari
antara langit dan bumi, tanpa mengetahui dari mana azab akan datang kepada mereka – apakah dari atas
mereka, dari langit, atau dari bawah kaki mereka, dari tanah, dihinakan dan diasingkan.

Ketika mereka bangun pada hari keempat, mereka mendengar suara gemuruh dari langit yang sekeras
petir dan suara dari segala sesuatu di bumi yang menimbulkan suara beriringan. Jantung mereka berhenti
berdetak di dada mereka dan mereka jatuh bersujud di tempat tinggal mereka.33

Terkait peristiwa di atas, Alquran berkata, “Lalu mereka memotong unta betina itu dan mereka
melampaui batas terhadap perintah Tuhan mereka dan berkata: ‘Hai Shaleh, datangkanlah kepada kami
apa yang engkau janjikan kepada kami kalau engkau termasuk kelompok yang diutus (Allah).’ Maka
mereka ditimpa goncangan maka jadilah mereka bergelimpangan di tempat tinggal mereka.” (Q.S 7: 77-
78)

Berikut ini adalah beberapa penjelasan tentang ayat di atas oleh Quraish Shihab di dalam Tafsir Al-
Mishbah:

33
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State
University of New York Press: New York, 1987), hlm 44-45.
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa, mereka memotong unta itu; sedangkan di dalam QS. al-Qamar [54]:
29, dinyatakan bahwa, mereka memanggil kawannya yakni seorang terkemuka, yang perkasa di antara
mereka lalu ia menangkap unta itu dan memotongnya.

Kedua ayat ini tidak bertentangan walaupun yang pertama menginformasikan bahwa yang
menyembelihnya banyak (mereka memotongnya) dan yang kedua menyatakan hanya seorang saja. Ini
karena orang banyak itu merestui perbuatan si penyembelih. Merekalah yang memanggil dan mendorong
si penyembelih, bahkan boleh jadi ikut membantu menangkap unta itu sebelum disembelih. Sejarawan
Ibnu Ishaq mengemukakan bahwa ada yang melemparnya dengan anak panah, ada yang memotong
kakinya dan ada juga yang menyembelih lehernya, dan ini agaknya menurut al-Biqa‘i sehingga ayat ini
tidak menyatakan fanaharuha (menyembelihnya) tetapi faaqaruha yang dari segi bahasa digunakan dalam
arti memotong dan yang biasanya bila dipahami dalam arti menyembelih, maka penyembelihan dimaksud
bukan bertujuan sesuatu yang bermanfaat, tetapi untuk pengrusakan….

Kata ar-rajfah dari segi bahasa berarti goncangan yang sangat besar. Dalam QS. Hud [11]: 67, siksa yang
menimpa mereka dilukiskan dengan ash-shaihat, yaitu suara teriakan yang sangat keras. Sedang dalam
QS. Fushshilat [41]: 17 siksa tersebut dilukiskan dengan shaiqah/petiryang datangnya dari langit.

Sebenarnya ketiga hal itu kait berkait, petir dapat menimbulkan suara keras dan menggoncangkan bukan
hanya hati yang mendengarnya tetapi juga bangunan bahkan bumi yang mengakibatkan terjadinya gempa.

Kata jatsimin adalah bentuk jamak dari kata jatsim yang bermakna tertelungkup dengan dadanya sambil
melengkungkan betis sebagaimana halnya kelinci. Ini adalah gambaran dari ketiadaan gerak anggota
tubuh, atau dengan kata lain ia menggambarkan kematian.

Demikian Ibnu Asyur. Asy-Syarawi memahami kata tersebut dalam arti keberadaan tanpa gerak sesuai
keadaan masing-masing ketika datangnya siksa itu. Sehingga jika saat kedatangan siksa itu yang
bersangkutan sedang berdiri, maka ia terus menerus (mati) berdiri, jika duduk ia terus menerus duduk,
kalau tidur/berbaring ia berlanjut dalam tidurnya.

Siksaan yang mereka alami itu sejalan dengan kedurhakaan mereka. Goncangan disertai dengan rasa
takut, sesuai dengan sikap mereka yang angkuh dan menampakkan keberanian demikian juga
ketidakmampuan bergerak adalah siksaan yang sesuai dengan yang angkuh sambil melakukakan gerak
gerik yang menggambarkan pelecehan terhadap ayat-ayat Allah. 34

7. Sembilan Orang Pembunuh

Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak
berbuat kebaikan. (Q.S 27: 48)

Untuk menambah khazanah pengetahuan pembaca tentang kisah Nabi Shaleh, maka kami tampilkan
riwayat lainnya menurut versi Ibnu Katsir. Seluruh narasi dan alur pemaparan ayat Alquran di dalamnya
ditulis oleh Ibnu Katsir. Berikut ini adalah riwayatnya:

Orang-orang kafir sekarang mulai mengeluh bahwa unta besar ini dengan karakternya yang tidak biasa
telah meminum sebagian besar air dan membuat hewan ternak mereka ketakutan. Mereka menyusun
rencana untuk membunuh si unta, dan meminta bantuan kaum perempuan mereka untuk merayu para
lelaki untuk melaksanakan perintah mereka.

34
Tafsir Surat Surat Al-A’raf Ayat 77-78 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati,
2002), hlm 156-157.
Saduq binti Mahya, yang berasal dari keluarga kaya dan bangsawan, menawarkan dirinya kepada seorang
pria muda bernama Masrai bin Mahraj dengan syarat bahwa dia harus melukai si unta. Aniza, seorang
wanita tua, menawarkan salah satu putrinya kepada seorang pria muda, Qudar bin Saluf, sebagai imbalan
untuk membunuh si unta. Tentu saja para pemuda ini tergoda dan mulai mencari tujuh orang lainnya
untuk membantu mereka.

Mereka mengawasi si unta dengan cermat, mengamati semua gerakannya. Ketika unta datang untuk
minum di sumur, Masarai menembaknya di kaki dengan panah. Ia mencoba melarikan diri tetapi
terhambat oleh panah. Qudar mengikuti si unta dan menebasnya dengan pedang di kaki lainnya. Saat ia
jatuh ke tanah, dia menikamnya dengan pedangnya.

Para pembunuh disambut sebagai pahlawan, disoraki dengan lagu dan puisi yang disusun untuk memuji
mereka. Dalam kesombongan mereka, mereka mengolok-olok Shaleh, tetapi dia memperingatkan mereka,
“Nikmatilah hidup selama tiga hari lagi, lalu azab akan turun kepada kalian.”

Shaleh berharap bahwa mereka akan menyadari kebodohan dari pilihan mereka dan mengubah sikap
mereka sebelum tiga hari berlalu. “Kenapa tiga hari?” mereka bertanya, “biarkan azab datang secepat
mungkin.”

Dia memohon kepada mereka, “Umatku, mengapa kalian bergegas kepada kejahatan ketimbang
kebaikan? Mengapa kalian tidak meminta pengampunan dari Allah agar kalian mendapatkan ampunan?”

Mereka menjawab, “Kami melihat kehadiranmu dan pengikutmu membawa keburukan kepada kami.”

Allah SWT menceritakan kisah mereka:

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus kepada (kaum) Tsamud saudara mereka Shaleh (yang berseru),
“Sembahlah Allah.” Tetapi tiba-tiba mereka (jadi) dua golongan yang bermusuhan.

Dia berkata, “Hai kaumku mengapa kamu minta disegerakan keburukan sebelum (kamu minta) kebaikan?
Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat.”

Mereka menjawab, “Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang
besertamu.”

Shaleh berkata, “Nasibmu ada pada sisi Allah, (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi kamu kaum yang
diuji.”

Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak
berbuat kebaikan.

Mereka berkata, “Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita sungguh-sungguh akan
menyerangnya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada
warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-
orang yang benar.”

Dan merekapun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula),
sedang mereka tidak menyadari. Maka perhatikanlah betapa sesungguhnya akibat makar mereka itu,
bahwasanya Kami membinasakan mereka dan kaum mereka semuanya.
Maka itulah rumah-rumah mereka dalam keadaan runtuh disebabkan kezaliman mereka. Sesungguhnya
pada yang demikian itu (terdapat) pelajaran bagi kaum yang mengetahui. Dan telah Kami selamatkan
orang-orang yang beriman dan mereka itu selalu bertakwa. (Q.S 27: 45-53)

Mereka juga berencana untuk membunuh Shalih dan keluarganya, seperti yang dikatakan Allah SWT,
“Dan merekapun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula),
sedang mereka tidak menyadari.” (Q.S 27: 50)

Allah menyelamatkan Shaleh dan pengikutnya dari rencana jahat mereka. Dengan berat hati, mereka
meninggalkan para pelaku kejahatan dan pindah ke tempat lain. Tiga hari setelah peringatan Shaleh, petir
memenuhi udara, diikuti oleh gempa bumi besar yang menghancurkan seluruh suku dan tempat tinggal
mereka.

Tanah itu terguncang dengan sangat keras, menghancurkan semua makhluk hidup di dalamnya. Ada satu
tangisan mengerikan yang hampir-hampir tidak pernah berakhir ketika orang-orang kafir umat Shaleh
disambar kematian, sekali dan seluruhnya, pada saat yang bersamaan. Baik bangunan mereka yang kuat
maupun rumah batu pahat mereka tidak dapat melindungi mereka.

Allah Taala berfirman:

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata, “Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang
nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan
di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu
akan ditimpa siksaan yang pedih.

“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah
kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang
datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan
janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.”

Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang
dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka, “Tahukah kamu bahwa Shaleh di utus (menjadi
rasul) oleh Tuhannya?”.

Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk
menyampaikannya.”

Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya
kepada apa yang kamu imani itu.”

Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. Dan
mereka berkata, “Hai Shaleh, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu
termasuk orang-orang yang diutus (Allah).”

Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat
tinggal mereka.
Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata, “Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikan
kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai
orang-orang yang memberi nasehat.” (Q.S 7: 73-79).35

8. Larangan Memasuki Rumah Kaum Tsamud

Kita mengetahui bahwa bangunan peninggalan kaum Tsamud masih ada sampai sekarang. Dalam suatu
riwayat, ketika melewati kota Tsamud, Nabi Muhammad SAW berkata kepada para sahabatnya,
“Janganlah ada di antara kalian yang memasuki kota atau minum dari air mereka.”

Demikianlah, akhirnya Kaum Tsamud dihancurkan karena kesombongan dan perilaku mereka yang
melampaui batas. Setelah azab dijatuhkan, Nabi Shaleh berkata kepada kaum Tsamud, sebagaimana
tercatat di dalam Alquran, “Maka dia meninggalkan mereka seraya berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya
aku telah menyampaikan kepada kamu risalah Tuhanku dan aku telah menasihati kamu, tetapi kamu tidak
menyukai para pemberi nasihat.’.” (Q.S 7: 79)

Terkait ayat di atas, Quraish Shihab menjelaskan, bahwa dalam satu riwayat disebutkan bahwa Nabi
Shaleh meninggalkan negerinya sambil menangis bersama seratus sepuluh orang pengikutnya, padahal
sebelum terjadinya gempa, terdapat 1500 rumah di desa itu.

Ucapannya itu walau beliau ucapkan di hadapan kaumnya yang selamat tetapi ditujukan dengan penuh
penyesalan kepada mereka yang tersiksa. Memang tidak ada halangan bagi seseorang apalagi seorang
nabi untuk menyampaikan sesuatu kepada yang telah meninggal dunia. Ini serupa dengan ucapan Nabi
Muhammad SAW kepada orang-orang kafir yang tewas dalam perang Badar.

Ketika itu Nabi SAW sambil memanggil nama mereka yang tewas — Wahai si Fulan, wahai si Anu
“Apakah kalian telah mendapatkan apa yang dijanjikan Allah kepada kalian, karena aku telah
mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan dengan benar?”

Sahabat-sahabat Nabi SAW yang mendengar pertanyaan ini heran dan bertanya, “Apakah engkau wahai
Rasul berbicara kepada mereka yang telah mati?”

Beliau menjawab, “Demi Allah, kamu tidak lebih mendengar apa yang aku ucapkan daripada mereka,
hanya saja mereka tidak dapat menjawab.”36

Dalam riwayat lain, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi Muhammad SAW
melewati rumah-rumah kaum Tsamud dalam perjalanannya ke pertempuran Tabuk, dia berhenti bersama
dengan orang-orang di sana.

Orang-orang mengambil air dari sumur-sumur tempat orang-orang Tsamud biasa minum. Mereka
menyiapkan adonan mereka (untuk dipanggang) dan mengisi kantung kulit air mereka dari itu (air dari
sumur).

Rasulullah memerintahkan mereka untuk mengosongkan kantung kulit air dan memberikan adonan yang
telah disiapkan untuk unta-unta. Kemudian dia pergi bersama mereka sampai mereka berhenti di sumur
tempat unta (milik Shaleh) minum.

35
Ibnu Katsir, Qisas Al-Anbiya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Mustapha Geme’ah
(Darussalam: Riyadh, e-book version), Chapter 4, Prophet Salih.
36
Tafsir Surat Surat Al-A’raf Ayat 79 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati, 2002),
hlm 157-158.
Dia memperingatkan mereka agar tidak memasuki (tempat) di mana kaum itu telah diazab, dengan
mengatakan, “Aku khawatir kalian akan terkena dampak oleh apa yang menimpa mereka, jadi jangan
memasuki (tempat) di mana mereka (terkena azab).”37
Sementara itu, Ibnu Juraij meriwayatkan:

Aku telah diberitahu bahwa ketika suara yang sangat keras menimpa mereka, Allah menghancurkan
mereka semua di antara matahari terbit dan terbenam. Dia hanya menyisakan satu orang yang berada di
tempat suci Allah, yang mana tempat suci tersebut dilindungi dari hukuman Allah.

Seseorang bertanya, “Siapakah dia, wahai Rasulullah?”

Dia (Nabi Muhammad) menjawab, “Abu Righal.”

Ketika dia datang ke kota Tsamud, Rasulullah berkata kepada para sahabatnya, “Janganlah ada di antara
kalian yang memasuki kota atau minum dari air mereka.” Dan dia menunjukkan kepada mereka tempat di
mana unta muda itu lari ke (gunung) al-Qarah (ketika ibunya dibunuh).38

Riwayat serupa lainnya disampaikan oleh Ibnu Imran:

Ketika Nabi datang ke kota Tsamud, dia berkata, “Sesungguhnya, janganlah mengunjungi orang-orang
yang dihukum ini kecuali (jika) kalian (ingin) menangis. Jika kalian tidak (ingin) menangis maka
janganlah pergi ke mereka, jangan sampai apa yang terjadi kepada mereka terjadi kepada kalian.”39

Al-Tabari mengatakan, menurut para Ahli Kitab Taurat, kisah Kaum Ad dan Kaum Tsamud, maupun
Nabi Hud dan Nabi Shaleh tidak ada di dalam Kitab Taurat. Namun bagi orang-orang Arab, baik di masa
Jahiliyah maupun di masa Islam, kisah tentang mereka dikenal luas, sebagaimana kisah tentang Nabi
Ibrahim dan umatnya.

Beberapa orang bijak (al-Tabari tidak menyebutkan siapa nama orang-orang bijak yang dimaksud)
mengatakan bahwa Nabi Shaleh kemudian wafat di Makkah ketika dia berusia lima puluh delapan tahun,
dan bahwa dia (setelah peristiwa penghancuran Kaum Tsamud) tetap bersama pengikutnya yang beriman
selama dua puluh tahun.40

Sumber: https://ganaislamika.com/kisah-nabi-shaleh

37
Ibnu Katsir, Qisas Al-Anbiya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Mustapha Geme’ah
(Darussalam: Riyadh, e-book version), Chapter 4, Prophet Salih.
38
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State
University of New York Press: New York, 1987), hlm 45.

39
Ibid., hlm 45-46.

40
Ibid., hlm 46-47.

Anda mungkin juga menyukai