Anda di halaman 1dari 10

"Sudah kinclong gitu motornya. Mau dielus-elus sampai kapan, Fahri?

" Aina menyapa


dengan suara yang sengaja diperhalus.

Pemuda yang rambutnya dikuncir sepanjang jari kelingking itu masih menggosokkan
kanebo pada sisi motor ninja berwarna hitam. Ia mengedipkan mata seraya tersenyum. Hal yang
selalu ia lakukan pada wanita cantik siapa pun itu, bahkan terhadap Aina yang notabene sudah
bersuami. Baru setelah Fahri mendongak hendak berucap, tampak dari kejauhan mobil sport
berwarna hitam pekat, membelok dari perempatan sebelah rumah. Aina pun bergegas kembali ke
rumah, karena menyadari itu adalah mobil suaminya yang baru saja pulang, setelah hampir tiga
bulan dihabiskan di luar kota dengan segala urusan pekerjaan.

"Mas Devan kenapa nggak ngomong dulu kalau mau pulang?" Aina bergegas, tampak
terburu-buru membuatkan kopi untuk sang suami.

"Aku pulang mau ambil barang di rumah teman. Jadi, setelah ini langsung berangkat
lagi." Devan menyesap kopi yang baru saja dihidangkan Aina di meja.

Aina terdiam dan hanya menatap sang suami dengan pandangan kecewa. Lagi dan lagi
suami yang dia rindukan harus berangkat kerja, padahal baru saja sampai. Dia pun duduk di
depan Devan dengan helaan napas yang terdengar jelas.

"Kenapa sih, Mas? Nggak pernah ada waktu buat istrimu sendiri? Aku tuh pengen kayak
yang lain juga kalau pergi diantar suami. Apa-apa ada suami, atau jangan-jangan … Mas ada
wanita lain?" Pandangan Aina menajam.

"Ngomong jangan asal! Aku tuh kerja buat siapa? Hh!" Devan seketika berdiri dengan
kedua mata yang melebar maksimal.

"Awas saja kalau sampai aku menemukan bukti!" Aina ikut berdiri dengan melempar
kedua tangan di pinggang.

“Apa yang kamu buktikan, Aina?” Suara rendah Devan membekukan siapa pun yang
mendengarnya, tetapi tidak bagi Aina.
“Kamu bisa saja menghubungi wanita lain, atau menyimpan foto janda muda di ujung
desa, 'kan?”

“Kamu kelewatan, Aina!” teriak Devan.

“Hay, jangan meninggikan suaramu!”

Perdebatan berlanjut, saling beralibi, beradu argumen, mencari pembenaran. Suara


tamparan terdengar setelahnya, wajah Aina memerah, rasa panas menjalar.

“Kamu menamparku? Seperti inikah suami yang baik?” Aina semakin berani menatap
suaminya, walau kedua netranya berkaca-kaca.

Tangan kekar itu menarik rambut yang masih terbalut hijab, beberapa helai rambut
menyembul dan menjuntai ke kening. Setetes air mata lolos menganak sungai diikuti bulir-bulir
lainnya.

“Suamimu ini baru pulang, bukannya kamu layani dengan baik justru mencurigaiku.
Kamu sendiri juga ngapain tadi ngobrol sama Fahri? Aku malah punya bukti kuat kalau kamu
yang punya niatan selingkuh.”

“Lepaskan, aku! Jangan bawa-bawa Fahri. Dia tidak ada hubungan apa pun dengan
masalah keluarga kita!” Aina memberontak sekuat tenaga. Namun, Devan bergeming. Sekali
sentak, Aina terpental mendarat di dinding. Kepala berdenyut nyeri, bau amis menguar, cairan
kental mengalir dari keningnya.

“Aina, kamu tidak apa-apa?” Penyesalan jelas terlukis di wajahnya. Tangan kokoh yang
hendak memegang pundak Aina ditepis. Wanita itu carut marut dengan penampilan yang tak
sedap dipandang. Hijab berantakkan, rambut mencuat menerobos keluar hijab, mata sembab,
wajah basah oleh air mata dan darah mengalir merembeti dahi.

“Fahri jauh lebih sempurna! Dia sayang anak-anak, lemah lembut, tak suka main tangan
sepertimu.” Wanita itu tak berdaya, bersimpuh di lantai. Sekujur tubuhnya sakit, hati jauh lebih
perih.
“Bela terus dia. Dasar! Cih!” Devan mengamit jaket dan keluar mengendarai mobilnya.
nama Fahri yang didengar terasa dorongan kuat untuk segera menyingkir.

Udara terasa hangat menjelang pukul dua siang. Aina berdiri dengan tertatih, menjadikan
dinding rumah sebagai penopang. Berjalan perlahan menghampiri putrinya yang menangis di
kamar. Pertengkarannya bersama Devan pasti mengusik tidur sang putri.

Devan adalah segalanya bagi Aina, lelaki yang diagungkan, lelaki yang menjadi pusat
perhatiannya, itu dulu. Semua berubah sejak Devan menerima jabatan baru di pelayaran. Ia jadi
lebih sering pesiar dibanding dulu saat masih mejabat staf administrasi kantor. Berbagai macam
konflik muncul menghiasi perjalanan rumah tangga mereka. Sakinah, mawadah, warohmah,
semakin menjauh dari kehidupan mereka. Meski keuangan mereka membaik sejak Devan
bekerja melaut, tahun pertama mereka bisa membeli rumah pribadi di salah satu kompleks
perumnas, tahun berikutnya Aina dan Devan memiliki kendaraan pribadi. Namun, semua itu
tidak sejalan dengan kebahagiaan yang Aina rasakan.

***

Lain hari, ketika Aina baru selesai membereskan rumah. Terdengar tangisan keras dari
kamar. Sore itu, Ana terduduk di ranjang sembari memeluk bingkai foto. Aina bergegas
menghampiri, lalu meraih bingkai tersebut, kemudian meletakkannya di nakas. Bingkai foto
pengantin saat Aina dan Devan berpose di depan kantor KUA dulu, setelah selesai prosesi ijab
qobul.

"Ada apa, Sayang?" Aina langsung meraih Ana dan memangkunya.

"Papa kapan pulang, Ma?" Tangisnya semakin tersedu dan tidak mau berhenti.

Aina terdiam cukup lama, larut dalam kemelut yang masih menguasai hatinya. Ia pun
hanya menjelaskan kalau sang papa berkerja untuk Ana. Namun, bukannya berhenti menangis,
malah tangisan itu mengeras. Tak lama, terdengar ketukan beruntun di depan. Aina berjalan
seraya menggendong Ana yang semakin rewel.

"Fahri?" Kerutan di dahi Aina menunjukkan keterkejutan yang kentara sekali.

"Ana kenapa nangis kenceng gitu, Mbak? Sampai kedengaran dari rumah, lho."
"Biasa. Ana kangen sama papanya." Aina menunjukkan kekecewaan yang tergambar
jelas dari perubahan raut mukanya. Seolah, kangen itu sendiri tertuju untuknya juga.

Fahri dengan sigap mengambil Ana dari gendongan Aina. Membawanya mondar-mandir
dengan posisi menggendong menghadap tubuh Fahri, lalu kepala Ana disandarkan di bahu
kirinya. Lama dengan posisi itu, tangisan Ana perlahan mereda, dan gadis kecil itu akhirnya
terlelap di gendongan Fahri.

Hari demi hari berlalu, Aina dan Fahri semakin akrab, termasuk dengan Ana. Gadis kecil
itu sampai terbiasa hanya mau makan saat ada Fahri bersamanya. Sampai Aina merasa tidak
enak dengan hal tersebut. Namun, kedekatan yang terjalin membuatnya berpikir semakin jauh.
Lamunannya hilang berganti dengan senyuman merekah, seolah bunga bermekaran dalam
hatinya setelah mengingat perhatian Fahri selama ini.

Perasaannya menghangat memandang sikap Fahri yang terlihat menyayangi Ana, andai
saja Pemuda itu adalah suaminya. Lagi dan lagi pemikiran itu hinggap di otaknya. Ah, itu
memang mustahil, mengingat ia sudah menikah.

Malam berikutnya keduanya sedang menikmati dinner di rumah Aina. Ana sudah terlelap
sejak beberapa menit lalu. Jadi, mereka hanya berdua. Aina sengaja mengundang Fahri sebagai
bentuk terima kasih atas sikap baiknya terhadap keluarga Aina. Selama acara makan, setiap
lekuk wajah pemuda di hadapan Aina ini tak pernah lolos dari sorot kekagumannya. Devan,
suaminya tidak pernah memperlakukan dirinya istimewa. Bagaimana dia bisa merasa dicintai,
jika berbicara dengan lembut saja tidak pernah. Suaminya cenderung pendiam dan acuh.
Sekalinya bicara, maka amarahlah yang lolos dari bibirnya.

Dalam diam mereka menyantap makanan yang sudah Aina hidangkan. Ditemani alunan
denting intrumen Winter Sonata yang Aina putar, menambah kadar romantis pada suasana
malam itu. Fahri tampak menikmati suap demi suap yang ia kunyah. Kemudian, suasana berubah
ketika Aina mulai menghentikan aktifitas makannya, lalu terdiam dengan kedua mata berair.
Namun, air itu tidak sampai meluncur turun.

"Kenapa sedih gitu, Mbak?" Tanpa sengaja jemari Fahri sudah mendarat di atas
punggung tangan Aina.
Aina terkesiap, jiwanya merasakan getaran yang tidak sanggup dia jelaskan. Sekejab
keduanya berpandangan, lalu sama-sama menarik jemari dan mematung dengan pemikiran
masing-masing. Makanan yang tersaji akhirnya tak tersentuh setelah hal itu terjadi.

"Tidak apa-apa. Hanya kepikiran sama Mas Devan dan Ana." Aina berucap setelah lama
terdiam.

"Oh. Cobalah salat tahajud. Siapa tahu bisa lebih tenang dan tidak berpikir yang aneh-
aneh lagi."

Aina hanya tersenyum menimpali jawaban Fahri. Sementara itu, Fahri yang merasa
suasana berubah canggung, memilih pamit dan memberikan sebuah kado berukuran besar untuk
Ana. Bukan kado ulang tahun atau perayaan apa pun. Fahri memang sayang anak kecil. Baginya
senyum lugu yang terpulas menggemaskan, seolah penyemangat dan menyimpan ribuan kunci
kebahagiaan.

Baru saja kado tadi berada dalam dekapan Aina, seketika pintu terbuka dengan
menimbulkan suara yang mampu memompa jantung semakin cepat. Ternyata Devan pulang.

"Apa-apaan kalian!" Wajah Devan mengeras dengan irama langkah yang sengaja
diperlebar.

"Kamu hanya salah paham, Bang. Kami tid---"

Satu pukulan mendarat di pipi Fahri, membuat ucapannya terhenti seketika. Pemuda
berkemeja biru polos itu terjerembab dengan menghambur kursi terlebih dulu.

"Mas! Kamu ini kenapa? Kita hanya makan." Aina tersedu seraya menolong Fahri yang
mengaduh.

"Lepaskan tanganmu darinya, atau kamu juga aku pukul!" Devan mengangkat tangan
kanannya di udara.

"Silakan!" Aina berdiri seolah siap dengan segala resiko.

Fahri berdiri dengan tertatih, bibirnya sudah membuka dan siap menjelaskan kepada
Devan. Namun, dengan sigap dan penuh amarah suami Aina mengusir dengan suara yang
menggelegar. Tak ingin semakin gaduh, dan memperlebar masalah, Fahri akhirnya pergi dengan
tanpa kata. Aina merasa bersalah, karena ia yang mengundang Fahri, lebih tepatnya sedikit
memaksa untuk makan malam di rumahnya.

Malam itu Devan menghajar Aina dengan puas. Tangis Ana yang terbangun karena
kegaduhan yang menggema sekali pun, tak menghentikan perbuatan Devan. Lelaki bercambang
itu sungguh emosi, karena perbuatan sang istri yang menurutnya melampaui batas.

***

Jantung bermarathon ria, tangan mendingin hingga wajah merah merona. Sudah setengah
jam Aina menunggu Fahri di restoran. Ia mengusap tangan memudarkan dingin di udara. Aina
sebetulnya kurang yakin apakah Fahri mau menemuinya setelah kejadian semalam. Namun, Aina
tetap nekat dan mengajak bertemu di sini.

"Hai, maaf lama," sapa Fahri sambil duduk. Aina mengangguk dengan seulas senyum
yang terkesan kaku dan dipaksakan.

Aina menatap lekat Fahri. "Aku minta maaf atas perbuatan Mas Devan semalam." Ia
sebisa mungkin berbicara santai menyembunyikan gemuruh di hati.

"Nggak papa, Mbak. Santai saja. Sudah lama bertetangga. Aku paham sekali tabiat Bang
Devan. Mbak Aina ada perlu apa ngajak ketemu di sini? Nanti kalau suami mbak lihat, dikira
kita benar ada apa-apa. Kalau tidak ada yang serius, Aku pamit dulu. Ada urusan penting." Fahri
berdiri cepat.

"Kenapa buru-buru? Kamu membenciku? Apa karena bekas biru di pipimu itu? Aku
hanya ingin minta maaf atas nama Mas Devan." Aina menggaet lengan Fahri berharap pemuda
itu masih menghendaki untuk duduk kembali.

"Aku nggak marah. Aku harus memberikan undangan ke teman-teman, Mbak. Takutnya
nggak sempet kalau waktunya mepet," jelas Fahri seraya duduk kembali di tempat semula.

"Undangan? Undangan reunikah?" Aina menebak asal dengan kerutan dahi yang
tergambar jelas akan ketidakyakinannya.
"Bukan. Bulan depan Aku mau nikah, Mbak. Untuk keluarga Mbak Aina nggak usah
pakai undangan. Nanti pas waktunya sudah dekat, Biar Mamak sama Bapak yang datang. Mbak
sama Mas Devan wajib bantuin biar acaranya lancar." Fahri tersenyum simpul sembari
memamerkan undangan yang tercetak foto kedua calon mempelai sebagai cover-nya.

"Bagaimana bisa menikah?" tanya Aina menunduk, menyembunyikan kepedihan hatinya.

"Maksud, Mbak?" Kerutan di dahi Fahri muncul begitu saja.

"Selama ini mengapa kamu perhatian padaku?"

"Apa salah aku perhatian sama tetangga sendiri?" jawab Fahri tanpa beban, seolah tidak
mengerti maksud perkataan Aina barusan.

Aina menghela napas, tidak ada solusi lain. Ia merasa yakin kalau harus mengungkapkan
perasannya. "Aku mencintaimu Fahri dari awal kita bertemu."

Dari raut wajah Fahri bisa terlihat betapa ia terkejut. "Selama ini aku hanya menganggap
Mbak Aina sebagai teman tak lebih dari itu. Jadi, maaf ...."

"Aku belain ngajak kamu ketemuan di sini tanpa sepengetahuan Mas Devan, demi kamu,
Fahri. Bahkan Ana tidak aku ajak. Aku ingin bicara leluasa dan bebas denganmu."

"Mbak, ini salah! Sekali pun sempat terlintas secuil rasa untuk Mbak, tapi aku kembali
sadar kalau Mbak Aina itu istri orang."

Tanpa aba-aba Aina lari begitu saja, layaknya gadis yang baru saja ditolak setelah
menyatakan cinta. Lupa akan status perkawinannya dengan Devan.

"Mbak!" Panggilan Fahri tak membuatnya menoleh.

Wanita itu setengah berlari menghindar dari sakit hati, dia abaikan tatapan orang-orang
yang menatapnya aneh. Tetes demi tetes air mata mengaliri wajah, hijab biru yang ia kenakan
sudah beralih fungsi menjadi saputangan dadakan. Ingin dirinya berteriak meminta keadilan, tapi
apa yang harus diperjuangkan? Ia pikir sikap lembut Fahri selama ini karena rasa cinta. Aina
bahkan udah ada niat untuk meninggalkan Devan, apabila Fahri berkenan dan menerima
hubungan keduanya. Namun, ternyata mimpi itu hancur tanpa menyisakan secuil harapan.
***

Sebulan, dua bulan, dan tiga bulan sudah Aina hidup dengan tiada semangat. Fahri yang
sekarang mempunyai istri, semakin menjauh darinya. Namun, demi Ana ia tetap berjuang
melawan sakit hati. Dari perlakuan kasar Devan yang tiada belas kasihan semenjak memukul
Fahri beberapa bulan lalu. Akan tetapi, siapa yang tahu batas kesabaran seorang manusia, apabila
harus menjalani hidup yang tidak sesuai ekspektasinya? Termasuk Aina yang seorang manusia
biasa.

"Aku ingin kita cerai!" Devan berkata lantang sembari menggendong Ana yang terus-
terusan menangis.

Aina diam, perlahan berdiri dan menunjukkan tatapan kosong yang mengenaskan.
Cekungan matanya semakin jelas terlihat. Tirus kedua pipi terlampau ramping, hingga rahangnya
tercetak jelas membentuk dagu yang semakin lancip.

Seakan tak memberi waktu pada Aina untuk berbicara, Devan langsung saja pergi
berjalan keluar rumah dengan perkakas yang bisa dibilang tidak sedikit. Bahkan beberapa di
antaranya harus di tinggal dan baru diambil kemudian.

"Silakan pergi! Tapi berikan Ana padaku!" Aina histeris dengan pelototan yang tampak
seram dengan bulatan hitam yang tercetak mengelilingi kedua matanya.

"Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu ketemuan sama Fahri setelah malam sebelumnya
aku memukul pipinya. Hh? Jawab! Kamu itu jalang! Jadi jangan harap Ana ada bersamamu. Aku
akan menjauhkan putriku dari wanita iblis sepertimu! Camkan itu!"

Keduanya saling beradu melempar opini dan fakta yang menurut mereka sama-sama
benar. Kemudian, Aina mengambil sebuah ponsel dan memberikannya pada Devan.

"Baca dan lihatlah dengan jelas. Di sini siapa yang selingkuh?" Aina terisak.

Devan membaca semua chat di aplikasi whatsapp dengan tidak percaya. Rahasia yang
selama ini tertutup rapat, entah dari mana Aina bisa mendapatkan nomor istri sirinya. Wanita
yang kini kurus ceking tersebut, akhirnya merebut Ana dari gendongan Devan. Terjadi aksi
dorong-dorongan dan saling rebut. Ana yang merasa kesakitan akhirnya hanya bisa menangis
tanpa tahu apa yang terjadi dengan orang tuanya. Saat itulah, Fahri dan istrinya datang setelah
mendengar keributan tersebut. Devan yang geram, langsung memutar badan menghadap Fahri.
Keduanya pun bertarung. Saling pukul, saling sikut, hingga tidak ada yang menyadari kalau Ana
berada terlalu dekat dengan jendela yang terbuka. Aina yang sadar terlebih dulu, segera meraih
sang putri. Namun, dorongan kuat Devan pada tubuh Fahri yang terdorong ke arah Aina,
membuat ibu satu anak itu, terpaksa melempar Ana ke arah istrinya Fahri. Aina sendiri akhirnya
lolos dari pandangan dan badannya seolah tertelan jendela di lantai dua, di kamar Aina.

"Mbak!" Fahri menjerit saat menyadari tubuh Aina sudah melewati jendela tadi, dan
terjun bebas menghambur tanah.

Darah segar yang mengucur dari kepala Fahri, tak membuatnya terasa sakit. Padahal
Devan menghajarnya dengan brutal. Pemandangan Aina yang bagaikan bermandikan kolam
merah, membuat kedua kakinya lunglai tak mampu menahan berat badannya. Ia bertopang pada
bahu sang istri, lalu keduanya tersedu sembari memeluk Ana yang syok akibat kejadian barusan.
Sementara itu, Devan terdiam setelah merebut Ana dari Fahri dan mendekap erat. Tak ada
keinginan untuk mendekat ke jendela dan melihat kondisi sang istri. Devan terus-terusan diam
dan tidak mau melepaskan sang putri, bahkan saat diinterogasi polisi.

#End

Anda mungkin juga menyukai