Anda di halaman 1dari 9

CARA MENYUSUN PLOT

YANDI ASD

Terjadi pembunuhan mengerikan terhadap seorang anak laki-laki di kota tempat Honami
tinggal. Korban bahkan diperkosa setelah dibunuh.
Berita itu membuat Honami mengkhawatirkan keselamatan putri satu-satunya yang dia
miliki. Pihak kepolisian bahkan tidak bisa dia percayai.
Apa yang akan dia lakukan untuk melindungi putri tunggalnya itu?
—Holy Mother, karangan Akiyoshi Rikako

Rumah itu tampak nyaman, terasa nyaman bagi Dr. Louis Creed. Rumah tua, luas, dan asri.
Tempat yang cocok untuk keluarga, anak-anak bisa bermain dan menjelajah. Perbukitan dan
bentangan padang rumput Maine terasa begitu jauh dari kota besar penuh bahaya dan sesak
oleh polusi.
Cuma satu yang mencemaskan: truk-truk besar yang menderu lewat di jalanan depan
rumah.
Di belakang rumah ada jalan setapak ke dalam hutan, tempat anak-anak sekitar biasa
berjalan khidmat beriringan, mengantar hewan-hewan kesayangan yang telah mati untuk
dikuburkan.
Tempat yang sedih, mungkin, namun aman. Ya, tempat itu pasti aman. Bukan tempat
yang akan merasukimu dalam mimpi, membuatmu terbangun dengan berkeringat ngeri dan
waswas….
—Pet Sematary, karangan Stephen King

Miftahul Abrar tumbuh dalam tradisi Islam modern. Latar belakang itu tidak membuatnya
ragu mencintai Nurul Fauzia yang merupakan anak seorang tokoh Islam tradisional. Namun,
seagama tidak membuat hubungan mereka baik-baik saja. Perbedaan cara beribadah dan
waktu hari raya serupa jembatan putus yang memisahkan keduanya, termasuk rencana
pernikahan mereka.
Hubungan Mif dan Fauzia menjelma tegangan antara hasrat dan norma agama. Ketika
cinta harus diperjuangkan melintasi jarak kultural yang rasanya hampir mustahil mereka lalui,
Mif dan Fauzia justru menemukan sekelumit rahasia yang selama ini dikubur oleh ribuan
prasangka. Rahasia itu akhirnya membawa mereka pada dua pilihan: percaya akan kekuatan
cinta atau menyerah pada perbedaan yang memisahkan mereka.
—Kambing dan Hujan, karangan Mahfud Ikhwan

In the enchanted kingdom of Brooklyn, the fashionable people put on cute shoes, go to
parties in warehouses, drink on rooftops at sunset, and tell themselves they’ve arrived. A
whole lot of Brooklyn is like that now—but not Vassa’s working-class neighborhood.
In Vassa’s neighborhood, where she lives with her stepmother and bickering stepsisters,
one might stumble onto magic, but stumbling away again could become an issues. Babs
Yagg, the owner of the local convenience store, has a policy of beheading shoplifters—and
sometimes innocent shoppers as well. So when Vassa’s stepsister sends her out for light bulb
in the middle of night, she knows it could easily become a suicide mission.
But Vassa has a bit of luck hidden in her pocket, a gift from her dead mother. Erg is a
tough-talking wooden doll with sticky fingers, a bottomless stomach, and a ferocious
cunning. With Erg’s help, Vassa just might be able to break the witch’s curse and free her
Brooklyn neighborhood. But Babs won’t be playing fair.
—Vassa in the Night, karangan Sarah Porter

Louise is a single mom, a secretary, stuck in a modern-day rut. On a rare night out, she meets
a man in a bar and sparks fly. Though he leaves after they kiss, she’s thrilled she finally
connected with someone.
When Louise arrives at work on Monday, she meets her new boss, David. The man
from the bar. The very married man from the bar… who says the kiss was a terrible mistake
but who still can’t keep his eyes off Lousie.
And then Lousie bumps into Adele, who’s new to town and in need of a friend, but she
also just happens to be married to David. David and Adele look like the picture-perfect
husband and wife, but then why is David so controlling, and why is Adele so scared of him?
As Louise is drawn into David and Adele’s orbit, she uncovers more puzziling
questions than answers. The only thing that is crystal clear is that something in this marriage
is very, very wrong, but Louise can’t guess how wrong—and how far a person might go to
protect their marriage’s secret.
—Behind Her Eyes, karangan Sara Pinborough
Bagaimana reaksimu ketika membaca beberapa blurb di atas? Penasaran? Sudah tergambar
beberapa adegan ceritanya? Sudah menentukan bagaimana arah ending ceritanya? Sudah tahu
bagaimana kisah tokoh protagonis dalam mencapai tujuannya? Sudahkah?
Kalau sudah, coba bayangkan di kepalamu sendiri bagaimana kisah itu. Resapilah.
Kalau kamu tak suka dengan kisahnya, biarkan saja, yang penting kisah itu ada di kepalamu.
Jangan dulu dibuang. Jangan dulu diabaikan. Biarkan mengendap beberapa waktu.
Ingat, tahan, jangan sampai gambaran besar cerita yang ada di kepalamu itu lenyap
seketika. Kamu harus mampu menahannya.
Sekarang, saya akan mengajakmu untuk memikirkan beberapa hal. Tidak, kamu tetap
jangan lupakan kisah itu. Biarkan saja dulu. Geser kisah itu di kepalamu sedikit, jangan
sampai terbuang. Kamu harus menyisakan ruang untuk hal-hal yang akan saya pertanyakan.
Pertama, apa yang tergambar dalam benakmu adalah sebuah rangkaian plot yang saling
terjalin satu sama lain? Kalau iya, katakanlah.
Kedua, apa yang terbayang di kepalamu itu adegan tokoh protagonis yang mulai
menghadapi masalah dalam mencapai tujuannya? Kalau iya, katakanlah.
Ketiga, apa yang terbayang di kepalamu itu ending kisah yang kamu bayangkan? Kalau
iya, katakanlah.
Keempat, apa yang selalu kamu pikirkan itu adalah PLOT UTAMA cerita tersebut?
Kalau iya, katakanlah. Jangan ragu kalau kamu memang ingin mengatakannya.
Sekarang, menurutmu apa sih plot itu?
Kenapa harus ada dalam cerita?
Kalau tidak ada plot, apa cerita dapat berjalan dengan baik atau tidak sama sekali?
Bagaimana membuat plot yang baik?
Bagaimana menyusunnya?
Bagaimana kamu menerapkan plot ke dalam ceritamu (bukan kisah yang beberapa
waktu lalu saya beri tahu) sendiri?
Katakanlah, jangan ragu kalau memang kamu kesulitan melakukannya.

Lantas apa pengertian plot itu?


Menurut KBBI, plot adalah jalan (alur) cerita (dalam novel, sandiwara, dan
sebagainya). Ada yang mengatakan kalau plot dan alur adalah satu garis yang sama dan tak
terpisahkan keberadaannya. Ada juga yang mengatakan bahwa keduanya berbeda tetapi
masih saling berimpitan.
Saya sendiri termasuk dalam tim yang mengatakan kalau plot dan alur adalah dua hal
berbeda namun saling berimpit. Alur adalah cerita, sedangkan plot adalah bagian dari alur.
Contoh: apabila saya membuat alur maju tentang proses membeli gorengan, plot yang saya
gunakan adalah saat memiliki keinginan untuk membeli gorengan, sampai di tempat
tujuan, lalu mendapat gorengan. (Perhatikan bagian yang saya bold.) Berarti plot
merupakan rangkaian peristiwa yang dijalin agar memperoleh cerita secara utuh.
Dalam plot, ada yang namanya hukum kausalitas atau hubungan sebab-akibat. Contoh:
Saya membeli gorengan karena lapar. Saya membeli gorengan adalah akibat sedangakan
lapar adalah sebab. Dua hal itu harus selalu ada agar terciptanya suatu plot.
Apa maksudnya?
Masih belum punya gambaran besar?
Baiklah, simpan dulu pertanyaan itu. Sekarang mari kita garis bawahi jika PLOT
HARUS MEMILIKI HUBUNGAN SEBAB-AKIBAT. Apabila dalam plot tidak ada sebab
atau akibat, plot tersebut dapat dikatakan PLOT HOLE alias lubang dalam cerita.

Lalu bagaimana cara menyusun plot dengan baik? Simak beberapa hal di bawah ini!
Sebelum saya menjelaskan bagaimana cara menyusun plot, yang perlu kamu ingat
pertama kali adalah: PLOT BERGERAK KARENA TOKOH PROTAGONIS. Jadi
jangan heran apabila sepanjang penyusunan plot selalu melibatkan tokoh protagonis.

1. Tokok protagonis memiliki tujuan utama


Tokoh protagonis adalah tokoh utama dalam cerita. Setiap tokoh protagonis pasti
memiliki tujuan utama. Tujuan utama inilah yang akan mendorong tokoh protagonis
untuk bergerak maju mengikuti alur cerita sampai akhir kisah. Tujuan utama setiap
tokoh protagonis haruslah kuat.
Cara agar mengetahui tujuan utama tersebut kuat atau tidak, penulis/pengarang
harus mempertanyakan beberapa hal kepada tokoh protagonis. Apabila masih ada
sesuatu yang membuat tokoh protagonis ragu, tujuan tersebut bukanlah tujuan utama.
Contoh dalam novel Rooftop Buddies karangan Honey Dee. Tujuan utama tokoh
protagonis, Rie, pergi meninggalkan rumahnya adalah karena ingin menghabiskan
waktunya bersama Bree sebelum sesuatu dalam dirinya pergi. Dari tujuan itu, kisah Rie
bergerak maju sampai bertemu dengan beberapa hal lain yang memperlihatkan sesuatu
yang baru buat Rie. Contoh lain dalam novel Jakarta Sebelum Pagi karangan Ziggy
Zezsyazeoviennazabrizkie. Pada novel itu tokoh protagonis, Emina, menemukan
beberapa bunga dan balon perak tanpa pengirim di balkon apartemennya. Dari situ
Emina mulai penasaran dan mencari tahu siapa pengirim balon-balon itu dan apa
motifnya.
Dari dua contoh novel di atas, sudah terlihat jelas jika plot mulai bergerak ketika
tokoh protagonis sudah terlihat memiliki tujuan utama yang kuat. Makin bergulirnya
waktu, tujuan utama akan membawa tokoh protagonis untuk makin mendekati akhir
cerita. Karena itulah, tujuan utama memiliki peran yang sangat penting sebagai titik
atau garis awal plot akan bergerak.

2. Pikirkan kausalitas cerita


Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, kausalitas adalah hubungan sebab-
akibat. Tanpa adanya kausalitas, cerita akan berlubang atau tidak berlogika. Contoh:
Atikah menangis sendirian di beranda rumahnya pada malam hari. Tapi ketika sudah
menangis, Atikah tidak tahu penyebab dia menangis. Nah, itu contoh yang tidak masuk
akal dan meninggalkan jejak tanya di kepala pembaca.
Seorang penulis/pengarang harus bisa memikirkan kausalitas sekecil apa pun.
Jangan sampai hanya satu kesalahan kecil membuat cerita kita fatal. Contoh: Saya
membuat tokoh protagonis yang memiliki fobia terhadap bulu hewan, tapi ketika cerita
bergerak, saya tidak sengaja membuat si tokoh protagonis ini sedang memberi makan
kucing atau anjing liar karena kasihan. Di situ memang ada kausalitasnya, tapi saya
membuat lubang dalam cerita karena tidak fokus membikin karakter tokoh.

3. Setiap tokoh memiliki topeng


Tokoh adalah manusia. Menurut Ayu Utami, setiap manusia memliki topeng (bukan
dalam konotasi buruk). Topeng berupa rupa fisik, keadaan psikologis, dan sosiologis.
Setiap tokoh utama memiliki tiga keadaan yang wajib terpenuhi, yakni bentuk
fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Ketiga hal itu sudah sering kali saya ingatkan di
beberapa grup menulis karena setiap saya membaca naskah atau tulisan baru yang ada
di platform menulis, penulis/pengarang tersebut kerap kurang memasukkan ketiga hal
itu sehingga cerita masih terlihat kering.
Bentuk fisiologis adalah fisik atau keadaan luar yang dapat dilihat tokoh lain,
misalnya bentuk wajah atau tubuh. Pembaca/pengarang tidak boleh mengabaikan
bentuk fisiologis tokoh karena itu bisa dijadikan untuk menggerakkan plot. Contohnya
dalam novel Orang-Orang Biasa karangan Andrea Hirata pada tokoh Salud. Rupa Salud
dibuat selucu mungkin (dalam hal mengerikan) oleh Andrea Hirata guna menggerakkan
plot. Kalau saja Andrea Hirata tidak membuat tokoh Salud seperti itu, atau minimal
memiliki rupa yang biasa saja, pasti cerita tidak akan bergerak lebih jauh. Tokoh yang
memiliki niat buruk kepada Salud pun tidak akan ada (kecuali kalau motifnya diubah).
Contoh lain dalam novel Rafilus karangan Budi Darma. Apabila tokoh Rafilus
dibuat biasa saja, cerita tidak akan bergulir dan tidak akan ada titik terang sampai ke
akhir kisah. Atau pada Kappa karangan Akutagawa Ryunosuke. Apabila bentuk Kappa
dibuat normal dan latarnya pun berada di kehidupan normal, pasti cerita tidak akan
bergerak seperti itu. Tujuan penulis/pengarang pun tidak akan tercapai. Oleh karena itu,
bentuk fisiologi tokoh sangatlah penting.
Selain itu, penulis/pengarang pun tidak boleh mengabaikan keadaan psikologis
dan sosiologis tokoh protagonis. Psikologis berarti mengarah pada kejiwaan tokoh,
bagaimana keadaannya ketika marah, kesal, atau memikirkan sesuatu dan sebagainya,
sedangkan sosiologis adalah keadaan lingkungan atau pergaulan hidup di mana tokoh
itu berada. Contoh dalam novel Vassa in the Night karangan Sarah Porter. Pada novel
itu, Vassa diharuskan pergi ke supermarket yang ada di kotanya pada malam hari
karena disuruh sang kakak untuk membeli bohlam. Karena supermarket di sana banyak
yang tutup, dan hanya ada satu supermarket yang masih buka, mau tidak mau Vassa
harus mendatanginya. Sayangnya, supermarket itu sangatlah mengerikan sekaligus
aneh. Di mana Vassa nanti akan bertemu dengan pemiliki supermarket yang kelewat
adil dan kondisi supermarket yang kelewat unik. Dari situ, kondisi lingkungan Vassa
sudah mulai tampak dan plot pun akan bergerak ketika kondisi lingkungannya mulai
tergali lebih dalam. Misalnya saat diketahui jika supermarket itu memiliki ceker ayam
yang dapat bergoyang-goyang dan pegawainya hanyalah sepasang tangan.
Atau juga pada novel Like Water for Chocolate karangan Laura Esquivel. Pada
novel itu ada tradisi unik di mana anak bungsu bergender perempuan harus mengasuh
ibunya sampai meninggal (keadaan sosiologis). Di situ, sang tokoh protagonis bernama
Tita memiliki sifat yang penurut (keadaan psikologis) sehingga cerita dapat bergerak.
Seandainya dari awal Tita memiliki sifat yang pemberontak, cerita ini tentu tidak akan
berakhir.

4. Tokoh protagonis diberi hasrat dan pemicu


Setiap tokoh protagonis pasti memiliki hasrat dan pemicu. Hasrat adalah keinginan
sedangkan pemicu terjadi karena hasrat. Hasrat dan pemciu saling bergandengan. Ada
hasrat, pasti ada pemicu. Contoh dalam novel Holy Mother karangan Akiyoshi Rikako.
Pada novel itu, salah satu tokoh bernama Honami ingin menjaga buah hatinya dari
suatu kasus sadis yang ada di sekitar lingkungan hidupnya. Karena tujuan Honami
itulah mulai muncul hasrat-hasrat yang membuat cerita bergerak. Contohnya Honami
ingin membuat para detektif untuk segera memenjarakan dalang di balik kasus sadis
yang menimpa Kota Aiide. Dari situ muncul ada pemicu yang membuat Honami
semakin gigih menuruti hasratnya, yakni ketika para detektif tidak memercayai apa
yang disampaikannya. Nah, pergerakan seperti ini tanpa sadar sering kita gunakan. Bisa
dikatakan kausalitas juga. Jadi saya harap banyak yang sudah mengerti mengenai hasrat
dan pemicu ini karena semakin banyak hasrat dan pemicu yan ditimbulkan, cerita akan
semakin mudah untuk bergerak.

5. Jalin plotmu seperti menalikan tali sepatu


Ini yang paling penting: menjalin plot seperti mengikat tali sepatu. Acap kali ketika
mulai menyusuk plot, kita dibuat bingung kira-kira apa bagaimana jalan cerita yang
cocok untuk cerita yang kita buat. Kalau kamu sudah menentukan atau membuat
beberapa hal seperti tujuan utama, konsekuensi, bentuk fisiologis, psikologis,
sosiologis, hasrat dan pemicu tokoh protagonis, saya akan meminta kamu untuk
menjalinnya perlahan.
Sekarang coba bayangkan jika kamu hendak mengikat tali sepatu. Sepatu yang
kamu kenakan adalah cerita utuh yang masih berantakan, sedangkan tali sepatu bagian
kanan sebagai TUJUAN UTAMA TOKOH PROTAGONIS-mu dan tali sepatu bagian
kiri sebagai KONSEKUENSI ATAU PERTARUHAN-nya.
Bayangkan!
Kalau sudah kamu bayangkan, kita praktikkan!
Pertama, kamu ambil TALI BAGIAN KANAN, lalu masukkan ke lubang yang
ada di sebelah kiri paling bawah. Itu berarti, kamu sudah mulai memberi tahu kepada
pembaca apa TUJUAN UTAMA TOKOH PROTAGONIS-mu. Lalu masukkan TALI
BAGIAN KIRI ke lubang yang ada di sebelah kanan paling bawah. Itu berarti kamu
sudah memberi tahu PERTARUHAN apa yang terjadi pada tokoh protagonismu
apabila dia bisa mencapai atau tidak bisa mencapai TUJUAN UTAMA-nya.
Bayangkan sekali lagi!
Sudah?
Kalau sudah, kamu ingat beberapa hal yang sudah kamu ramu sebelumnya,
mengenai topeng tokoh, hasrat-pemicu, kausalitas, dan sebagainya. Kamu harus
memasukkan semua itu satu demi satu ke LUBANG SEPATU untuk
MENGIKATNYA LEBIH KUAT. Kamu jalin pelan-pelan. Tapi, kamu harus
menjalinnya berdasarkan alur maju terlebih dahulu. Ya, ALUR MAJU, agar semua
yang sudah kamu buat, tidak berantakan. Kalau kamu sudah menjalinnya sampai
lubang paling atas, kamu berhenti sejenak, kemudian memulai memikirkan bagaimana
susunan plot yang cocok untuk ceritamu.
Ini yang paling sulit, tapi kamu harus melakukannya!
Kalau sudah memikirkannya, cobalah ikat TALI SEPATU-mu. Terserah kamu
mau mengikatnya seperti apa, itu kehendakmu. Kalau ikatan pertama KURANG
KUAT, berarti ada yang salah pada IKATANMU. Kalau IKATAN KEDUA juga
demikian, berarti masih ada yang salah. Tapi kamu jangan khawatir, sebagai ‘ORANG
YANG HENDAK MEMAKAI SEPATU’ kamu harus yakin kalau kamu bisa memakai
sepatu itu dengan benar. Sekarang kamu rileks, lalu mulai memikirkannya kembali
pelan-pelan dan sesuaikan porsinya dengan yang ada di pikiranmu.
Kalau sudah, lanjutkan ikatannya! Jalin sedemikiran rupa apa yang sudah kamu
pikirkan! Jangan sampai kendur lagi!

6. Buat kerangka cerita


Kalau kamu sudah menentukan jalinan plotmu, tugasmu selanjutnya adalah
memeriksanya. Ya, kerangka cerita akan membuat kamu lebih mudah menjali-n plot
yang sudah ditentukan.
Setelah kamu membayangkan MENGIKAT TALI SEPATU, sekarang kamu
harus membuat bayangan itu ke dalam bentuk tulisan. Kamu jabarkan satu per satu plot
yang sudah kamu jalin atau susun, jangan sampai terlewat. Kalau sudah, kamu terka
lagi apakah jalinan plot itu sudah rampung, atau ada yang berlubang, atau masih ada
yang tidak kuat? Ingat, plot yang dipakai untuk menjalin cerita adalah PLOT YANG
SALING BERHUBUNGAN SATU SAMA LAIN! Kamu harus memilah mana plot
yang memang dibutuhkan. Jangan sampai kebablasan dan dibuat sesukamu saja.

7. Cari pembaca pertamamu


Kalau kamu masih kesulitan bagaimana plot ceritamu tersusun dengan baik, kamu
bisa meminta saran teman tepercaya yang bisa membantumu. Kamu dan temanmu
bisa bertukar pikirkan dan menentukan solusi terbaik untuk plotmu, karena biasanya
pembaca/pengarang tidak bisa melihat kekurangan tulisannya sendiri. Kamu juga
jangan malu. Atau kalau memang belum ada teman yang bisa dipercaya, kamu bisa
mengendapkan susunan plotmu itu, lalu mencari beberapa referensi lain seperti
membaca buku atau menonton film. Ini cara sederhana tapi ciamik yang bisa kamu
terapkan dalam tulisanmu. Dengan membaca buku atau menonton film pun pasti akan
menambah wawasanmu tentang plot.

Berikut hal-hal yang perlu dihindari dalam membuat plot


1. Mengabaikan hukum kausalitas
2. Tokoh protagonis tidak memiliki tujuan dan pertaruhan
3. Terlalu banyak adegan tidak penting
4. Tokoh protagonis tidak dibuat jatuh-bangun
5. Tokoh protagonis terlalu mudah mencapai tujuan
6. Terlalu banyak memasukkan adegan sehingga plot tidak fokus
7. Tidak jelas arah alurnya
8. Terlalu buru-buru menyelesaikan cerita
9. Terlalu memaksakan twist

Anda mungkin juga menyukai