A. Pengertian
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm
94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi
makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi
tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Brunner & suddarth, 2010)
Apendiks merupakan organ digestif yang terletak pada rongga abdomen
bagian kanan bawah. Apendiks berbentuk tabung dengan panjang kisaran 10 cm dan
berpangkal utama di sekum. Apendiks memiliki beberapa kemungkinan posisi, yang
didasarkan pada letak terhadap struktur-struktur sekitarnya, seperti sekum dan ileum.
30% terletak pelvikum artinya masuk ke rongga plevis, 65% terletak di belakang
sekum, 2% terletak preileal, dan kurang dari 1% yang terletak retroileal. Apendiks
mendapatkan persarafan otonom parasimpatis dari nervus vagus dan persarafan
simpatis dari nervus torakalis X. Persarafan ini yang menyebabkan radang pada
apendiks akan dirasakan periumbilikal. Vaskularisasi apendiks adalah oleh arteri
apendikularis yang tidak memiliki kolateral (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
Appendiksitis perforasi adalah merupakan komplikasi utama dari
appendiks, dimana appendiks telah pecah sehingga isis appendiks keluar menuju
rongga peinium yang dapat menyebabkan peritonitis atau abses (Margaret, Rendy.
2012). Appendiktomi adalah pengangkatan terhadap appendiks terimplamasi
dengan prosedur atau pendekatan endoskopi ( Padila 2012 ).
B. Etiologi
Etiologi dari penyakit ini yang berhubungan dengan sumbatan pada lumen
apendiks (Sjamsuhidajat, dkk, 2011 & Humes, et.al, 2007). Hal-hal yang dapat
menyebabkan, antara lain :
1. Hiperplasia jaringan limfa
2. Masa fekalith
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan
oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan
epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam
makanan yang rendah (Burkitt, Quick, Reed, 2007).
3. Sumbatan oleh cacing ascaris
4. Sumbatan karena fungsional, yang terjadi karena kurangnya makanan berserat
sehingga menimbulkan konstipasi. Konstipasi menyebabkan peningkatan
pertumbuhan flora normal kolon.
5. Kerusakaan struktur sekitar, seperti erosi mukosa apendiks akibat infeksi
Entamoeba hystolitica.
Faktor yang berpengaruh:
a) Obstruksi: hiperplasi kelenjar getah bening (60%), fecalit (massa keras dari
feses) 35%, corpus alienum (4%), striktur lumen (1%).
b) Infeksi: E. Coli dan steptococcus.
c) Tumor
C. Manifestasi Klinik
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disrtai dengan demam
ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri tekan local pada tititk McBurney bila dilakukan tekanan.
3. Nyeri tekan lepas dijumpai
4. Terdapat konstipasi atau diare
5. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar dibelakang sekum
6. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal
7. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih
atau ureter.
8. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung
pelvis
9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai
abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi.
Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
D. KLASIFIKASI
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis
kronik (Sjamsuhidayat, 2011).
1. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah
nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah
epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang
muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat
2. Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis
kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total
lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya
sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
E. Patofisiologi
Sumbatan:
Sekresi mucus
Tekanan intra lumen ↑ Appendiks akut fokal:
Gangguan drainase
limphe Nyeri viseral ulu hati karena
Oedema + kuman regangan mukosa
Ulserasi mukosa
Appendiks gangrenosa
Tekanan intra lumen ↑↑↑:
Gangguan arteri ↓
Nekrosis + kuman
gangren Peritonitis
↓
Peritonitis umum
Obstruksi
Mukosa terbendung
Apendiks teregang
Tekanan intraluminal
Apendicitis
perforasi
pembedahan operasi
Cemas
luka insisi
Kerusakan jaringan
kulit
Resiko infeksi
F. Pemeriksaan Diagnosis
1. Anamnesa
a. Nyeri (mula-mula di daerah epigastrum, kemudian
menjalar ke titik McBurney).
b. Muntah (rangsang visceral)
2. Pemeriksaan fisik
a. Status generalis
1) Tampak kesakitan
b. Status lokalis
3. Pemeriksaan penunjang
a. laboratorium
1) Hb normal
b. Rongent: appendicogram
1) Non-filling
2) Partial filling
3) Mouse tail
4) Cut off
G. Penatalaksanaan
Setelah penegakan diagnosis apendisitis dilakukan, tata laksana utama pada
apendisitis adalah Apendektomi Tata laksana mulai diarahkan untuk persiapan
operasi untuk mengurangi komplikasi pasca-operasi dan meningkatkan
keberhasilan operasi.
1. Medikamentosa
Persiapan operasi dilakukan dengan pemberian medikamentosa berupa
analgetik dan antibiotik spektrum luas, dan resusitasi cairan yang adekuat.
Pasien apendisitis seringkali datang dengan kondisi yang tidak stabil karena
nyeri hebat sehingga analgetik perlu diberikan. Antibiotik diberikan untuk
profilaksis, dengan cara diberikan dosis tinggi, 1-3 kali dosis biasanya.
Antibiotik yang umum diberikan adalah cephalosporin generasi 2 / generasi 3
dan Metronidazole. Hal ini secara ilmiah telah dibuktikan mengurangi
terjadinya komplikasi post operasi seperti infeksi luka dan pembentukan abses
intraabdominal (Tjandra, et.al, 2006).
Pilihan antibiotik lainnya adalah ampicilin-sulbactam, ampicilin-asam
klavulanat, imipenem, aminoglikosida, dan lain sebagainya. Waktu pemberian
antibiotik juga masih diteliti. Akan tetapi beberapa protokol mengajukan
apendisitis akut diberikan dalam waktu 48 jam saja. Apendisitis dengan
perforasi memerlukan administrasi antibiotik 7-10 hari.
2. Operasi apendiktomi
Sampai saat ini, penentuan waktu untuk dilakukannya apendektomi
yang diterapkan adalah segera setelah diagnosis ditegakkan karena merupakan
suatu kasus gawat-darurat. Beberapa penelitian retrospektif yang dilakukan
sebenarnya menemukan operasi yang dilakukan dini (kurang dari 12 jam
setelah nyeri dirasakan) tidak bermakna menurunkan komplikasi post-operasi
dibanding yang dilakukan biasa (12-24 jam). Akan tetapi ditemukan bahwa
setiap penundaan 12 jam waktu operasi, terdapat penambahan risiko 5%
terjadinya perforasi.
Teknik yang digunakan dapat berupa, (1) operasi terbuka, dan (2)
dengan Laparoskopi. Operasi terbuka dilakukanndengan insisi pada titik
McBurney yang dilakukan tegak lurus terhadap garis khayalan antara SIAS
dan umbilikus. Di bawah pengaruh anestesi, dapat dilakukan palpasi untuk
menemukan massa yang membesar. Setelah dilakukan insiis, pemebdahan
dilakukan dengan identiifkasi sekum kemudian dilakukan palpasi ke arah
posteromedial untuk menemukan apendisitis posisi pelvik. Mesoapendiks
diligasi dan dipisahkan. Basis apendiks kemudian dilakukan ligasi dan
transeksi.
Apendektomi dengan bantuan laparoskopi mulai umum dilakukan saat
ini walaupun belum ada bukti yang menyatakan bahwa metode ini
memberikan hasil operasi dan pengurangan kejadian komplikasi post-operasi.
Apendekotmi laparoskopi harus dilakukan apabila diagnosis masih belum
yakin ditegakkan karena laparoskopi dapat sekaligus menjadi prosedur
diagnostik. Sampai saat ini penelitian-penelitian yang dilakukan masih
mengatakan keunggulan dari metode ini adalah meningkatkan kualitas hidup
pasien. Perbaikan nfeksi luka tidak terlalu berpengaruh karena insisi pada
operasi terbuka juga sudah dilakukan dengan sangat minimal.
Komplikasi pasca-operasi dari apendektomi adalah terjadinya infeksi
luka dan abses inttraabdomen. Infeksi luka umumnya sudah dapat dicegah
dengan pemberian antibiotik perioperatif. Abses intra-abdomen dapat muncul
akibat kontaminasi rongga peritoneum (Tjandra, et.al, 2006).
3. Pasca operasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan. Angkat
sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat
dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila
dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila
tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum,
puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan
minum mulai 15 ml/jam selam 4-5 jam lalu naikkan menjasi 30 ml/jam.
Keesokan harinya diberikan diberikan makanan saring, dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak. Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk
duduk tegak di tempat tidur selam 2x30 menit. Pada hari kedua pasien dapat
berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien
diperbolehkan pulang.
H. Kompilkasi
Komplikasi utama appendiksitis adalah perforasi appendik yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidensi perforasi 10-32%. Perforasi
terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 OC
atau lebih tinggi, penampilan toksik dan nyeri abdomen atau nyeri tekan abdomen
yang kontinyu.
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatkan nyeri, spasme otot dinding
perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonotis umum atau abses yang
terlokalisasi, ileus, demam, malise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi
dengan peritonitis umum aatu pembentukan abses telah terjadi sejak pasien
pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi
untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah
baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk), pemasangan NGT, puasa,
koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik
berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasil
kultur, transfusi untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara
intensif, bila ada.
Bila terbentukabses apendiks akan teraba massa di kuadrankanan bawah yang
cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan
kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazole, atau
klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi
dapat dilakukan 6 – 12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus
segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau
vagina dengan fluktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.
Tomboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan
komplikasi yang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan demam sepsis,
menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada
keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis
intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.
I. Pengkajian Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Riwayat :
Data yang dikumpulkan perawat dari klien dengan kemungkinan apendisitis
meliputi : umur, jenis kelamin, riwayat pembedahan dan riwayat medik lainnya
pemberian barium, baik lewat mulut/rektol, riwayat diit terutama makanan yang
berserat.
Pengkajian
a. Data subyektif
Sebelum operasi
1) Nyeri daerah pusar menjalar ke daerah perut kanan bawah.
2) Mual, muntah, kembung.
3) Tidak nafsu makan, demam.
4) Tungkai kanan tidak dapat diluruskan.
5) Diare konstipasi.
Sesudah operasi
1) Nyeri daerah operasi.
2) Lemas, haus.
3) Mual, kembng.
4) Pusing.
b. Data obyektif
Sebelum operasi
1) Nyeri tekan di titik Mc Berney.
2) Spasma otot.
3) Taksikardi, takipea.
4) Pucat, gelisah.
5) Bising usus berkurang atau tidak ada.
6) Demam 38-38,5oC.
Sesudah operasi
a. Terdapat luka operasi di kuadran kanan abonsmen.
b. Terpasang infus.
c. Terdapat ardin/pipa lambung.
d. Bising usus berkurang.
e. Selaput mulut mukosa kering.
c. Pemeriksaan laboratorium
1) Leukosit 10.000 – 18.00 /mm3.
2) Nitrofit meningkat 75%.
3) WBC yang meningkat sampai 20.000 mungkin induksi terjadinya perforasi
(jumlah sel darah merah).
d. Data pemeriksaan diagnostik
1) Radiologi : foto colon yang memungkinkan adanya fecolit pada katup.
2) Barium enema : apendiks terisi barium hanya sebagian.
e. Potensial infeksi
1) Perforasi.
2) Periforstis.
3) Dehidrasi.
4) Sepsis.
5) Elektrolit darah tidak seimbang.
6) Pnemuoni.
J. Diagnosis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini
terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh
saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau
rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk
mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah
demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi,
diduga sudah terjadi perforasi.
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan
membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi
perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler
abses (Sjamsuhidajat, dkk, 2011; Humes, et.al, 2007; & Tjandra, et.al, 2006).
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung.
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan,
dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran
kanan bawah:
1. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran
kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
5. Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas
oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
6. Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul
dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif,
hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium.
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltik
normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata
akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam
menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak
terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher)
akan terdapat nyeri pada jam 9-12 (Sjamsuhidajat, dkk, 2011; Humes, et.al, 2007; &
Tjandra, et.al, 2006). Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat
digunakan skor Alvarado, yaitu:
Skor Alvarado Skor
Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke fossa iliaka kanan 1
Anoreksia 1
Mual atau Muntah 1
Nyeri di fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan temperatur (>37,5C) 1
Peningkatan jumlah leukosit ≥ 10 x 109/L 2
Neutrofilia dari ≥ 75% 1
Total 10
Pasien dengan skor awal ≤ 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk ( Brunicardi,
et.al, 2006).
Fluid Management
1. Timbang berat badan
dan monitor ke-
cenderungannya.
2. Pertahankan
keakuratan catatan
intake dan output
3. Monitor status nutrisi
4. Berikan intake oral
selama 24 jam
5. Kolaborasi dokter
jika ada tanda dan
gejala kelebihan
cairan
4 Resiko infeksi Setelah dilakukan Infection Control
dengan faktor tindakan keperawatan (Kontrol infeksi)
resiko prosedur selama ...diharapkan 1. Bersihkan
invasif resiko infeksi dapat lingkungan setelah
terkontrol dengan dipakai pasien lain
kriteria hasil: 2. Pertahankan teknik
Risk control isolasi
1. Klien bebas dari 3. Batasi pengunjung
tanda dan gejala bila perlu
infeksi 4. Instruksikan pada
2. Mendeskripsikan pengunjung untuk
proses penularan mencuci tangan saat
penyakit, factor berkunjung dan
yang mempengaruhi setelah berkunjung
penularan serta meninggalkan
penatalaksanaannya, pasien
3. Menunjukkan 5. Gunakan sabun
kemampuan untuk antimikrobia untuk
mencegah cuci tangan
timbulnya infeksi 6. Cuci tangan setiap
4. Jumlah leukosit sebelum dan
dalam batas normal sesudah tindakan
5. Menunjukkan kperawtan
perilaku hidup sehat 7. Pertahankan
lingkungan aseptik
selama pemasangan
alat
8. Ganti letak IV
perifer dan line
central dan dressing
sesuai dengan
petunjuk umum
9. Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan infeksi
kandung kencing
10. Tingktkan intake
nutrisi
11. Berikan terapi
antibiotik bila perlu
Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. (2010). Shwartz’s Principles of
Brunner & Suddarth, 2010, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo
Margaret, Rendy. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit Dalam. Nuha
Medika: Yokyakarta.
Maurytania, A.R, 2003, Buku Saku Ilmu Bedah, Widya Medika, Yogyakarta.
Mosby-Year book.Inc,Newyork.
USA.
Tjandra JJ, Clunie GJA, Kaye AH, & Smith JA. (2006). Textbook of Surgery. 3rd ed.
Blackwell Publishing.
University IOWA., NIC and NOC Project., 2010, Nursing outcome Classifications,
Philadelphia, USA.