Anda di halaman 1dari 39

Cinta Kasih

sebagai Media Harmonisasi Kehidupan


Masyarakat Urban
dengan Vegetarian

Bab I Pendahuluan
1.1 latar belakang
Surabaya merupakan salah satu kota metropolis di
Indonesia yang terus berkembang, terletak di timur Pulau
Jawa dan menjadi Ibukota Provinsi Jawa Timur. Surabaya
memiliki latar belakang penduduk yang heterogen berasal dari
berbagai karakter, etnis dan kultur berbeda. Salah satu entitas
budaya masyarakat urban yang ada di Surabaya adalah pelaku
vegetarian, dengan jumlah diperkirakan 2000-an
(menggunakan data jumlah anggota IVS Surabaya pada
Desember 2012)
Vegetarian merupakan pola hidup manusia yang telah
berlangsung lama, berdasarkan pengetahuan sejarah manusia,
vegetarian berasal dari filsafat Timur, tepatnya India yakni
ajaran filsafat tentang keabadian/Jainisme. Jainisme
dipopulerkan oleh Vardhaman Mahavira pada 526 SM yang
sezaman dengan Budha Sidharta Gautama (Kebung, 2011:
54). Ajaran Jaina tidak muncul dari sumber Brahman-Arya
tetapi mencerminkan kosmologi dari zaman yang lebih tua
daripada Yoga, Sankhya dan Budhisme. Paham Jainisme
tentang Ahimsa (himsa =han yang berarti membunuh)
sebenarnya adalah tidak mau melukai/menyakiti karena pada
dasarnya semua makhluk hidup memiliki monade hidup/jiwa,
sehingga jika membunuh makhluk hidup berarti akan
menggelapkan jiwa kita sendiri karena akan menjadikan diri
kita sebagai kuburan hewan yang dibunuh kemudian
dikonsumsi tersebut.
Sementara itu ajaran Ahimsa dalam kitab
Sarasamuccaya menjelaskan tentang larangan menyakiti dan
membunuh hewan sebagai berikut, bahwa manusia yang
perilakunya tidak pernah menyakiti makhluk lain, tidak
mengikatnya, tidak membunuhnya, melainkan hanya
menyenangkan makhluk lain tersebut, maka orang yang
demikian itu dianggap memperoleh kebahagiaan tertinggi.
Lebih lanjut juga dijelaskan jika ketampanan yang
dikehendaki, sempurna tanpa cacat, usia panjang atau
kepandaian, keberanian, kesaktian, kesadaran yang langgeng,
maka perbuatan membunuh atau menyakiti itu hendaknya
jangan dilakukan (Kajeng, 2010: 119-120).
Pola hidup sebagai vegetarian telah menjadi tren perilaku
yang dianut oleh sebagian penduduk kota Surabaya saat ini,
banyaknya restoran vegetarian atau restoran yang
menyediakan menu khusus bagi vegetarian merupakan salah
satu indikator perkembangan pola hidup tersebut. Pada
Desember 2012, terdapat 27 restoran yang secara khusus
menyediakan menu vegetarian padahal tiga tahun yang lalu
hanya tiga restoran (Jawa Pos 12 Desember 2012), sedangkan
secara keseluruhan di Surabaya terdapat 304 rumah makan
dan 362 restoran yang sebagian besar juga menyediakan menu
vegetarian (Dinas Pariwisata Pemkot Surabaya, Desember
2012).
Pelaku vegetarian di Surabaya sangat bervariasi terdiri
atas berbagai latar belakang usia, agama, jenis kelamin, etnis
serta berbagai profesi. Secara formal terdapat lembaga yang
didirikan oleh para komunitas vegetarian, yakni Indonesian
Vegetarian Society/IVS cabang Surabaya dengan anggota
berjumlah 1500 orang (Jawa Pos, 12 Desember 2012), namun
tidak semua individu pelaku vegetarian di Surabaya menjadi
anggotanya.
Beberapa alasan telah menjadi pertimbangan dipilihnya
pola hidup vegetarian, suatu entitas budaya di kota Surabaya
sebagai obyek utama penelitian:
Pertama adalah aspek budaya, Surabaya merupakan kota
dengan beraneka kultur masyarakat, etnis, pendidikan dan
latar sosial yang heterogen, keadaan demikian memungkinkan
peluang yang besar timbulnya konflik di masyarakat.
Penduduk Surabaya sangat terbuka dengan masuknya
berbagai unsur budaya asing/daerah, hal ini terjadi karena
karakteristik masyarakat lugas dan terbuka. Salah satu entitas
budaya yang adaadalah komunitas vegetarian, komunitas
masyarakat dengan pola hidup tidak mengonsumsi makanan
berbasis hewan dan produk turunannya. Vegetarian sebagai
pola hidup saat ini telah berkembang pesat, salah satu
indikator adalah telah bermunculan restoran yang khusus
menyediakan menu vegetarian atau restoran umum yang juga
menyediakan menu bagi kaum vegan serta adanya beberapa
kegiatan pameran/expo di berapa pusat perbelanjaan di
Surabaya dengan tema vegetarian.
Kedua adalah aspek kesehatan. Ilmu kedokteran modern
telah membantu membuktikan bahwa pola hidup vegetarian
sangat sehat dan baik bagi kesehatan tubuh manusia. Hal ini
sesuai dengan pernyataan seorang ahli gizi bahwa
mengonsumsi makanan berbasis tumbuhan bermanfaat secara
drastis dalam menjaga kesehatan dan bahkan mungkin
menyelamatkan hidup, Fueling your body with plant-based
can revolusionize your health- perhaps even save your life
(Atlas, 2010: vi).
Pelaku vegetarian bisa menemukan sumber protein
nabati yang lebih sehat dan alami, yang berasal dari protein
kedelai, hal ini membantu mengurangi resiko terserang
penyakit seperti kanker, jantung, asam urat, diabetes melitus,
osteoporosi, dll. Terhindarnya pola hidup vegetarian dari
berbagai penyakit berbahaya tersebut karena secara ilmiah
makanan berbasis hewan ternak dan ikan laut serta produk
hasil olahannya memiliki kadar purin tinggi seperti yang ada
di dalam jeroan, hati, limpa, babat, usus, paru, otak, udang,
kerang, cumi, kepiting, dll. Purin adalah zat yang terdapat di
dalam setiap mahkluk hidup baik hewan atau tumbuhan,
ketika manusia mengonsumsinya maka dengan sendirinya zat
purin tersebut berpindah ke dalam tubuh manusia meski telah
dipanaskan dalam air mendidih dengan suhu lebih dari 100
derajat (Lestari, 2009: 7-8).
Ketiga adalah aspek penyelamatan lingkungan.
Vegetarian sebagai pola hidup diharapkan mampu
mengurangi penggunaan air bersih dalam jumlah besar.
Mengurangi penggunaan air bersih dalam jumlah besar,
mampu secara nyata mengurangi efek negatif Global
Warming yang saat ini telah dirasakan oleh banyak negara di
dunia, meliputi hujan ekstrim, badai salju dan panas yang
ekstrim. Hutan adalah paru-paru dunia yang di bawahnya
terdapat cadangan air bersih yang diperlukan semua mahkluk
hidup, hutan juga menyediakan oksigen bagi kita semua
karena kemampuannya untuk mengikat karbon dioksida
(CO2) dan memproduksi oksigen, hutan mampu menjaga
suhu bumi tetap teduh dan stabil. Dalam perkembangan saat
ini terjadi peningkatan hutan-hutan tropis yang gundul baik di
Indonesia atau Amerika Tengah dan Afrika Tengah, banyak
hutan ditebang dengan berbagai tujuan diantaranya untuk
membuka lahan bagi industri peternakan dan perkebunan,
keadaan demikian yang turut mendukung terjadinya
perubahan iklim/climate change (KVMI, 2005: 31-32).
1.2 Masalah Penelitian
Fokus penelitian ini adalah pada bagaimana pola hidup
vegetetarian menjadi suatu identitas subkultur bagi
masyarakat urban di Surabaya sebagai pelakunya. Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah motivasi yang melatarbelakangi seseorang
menjadi pelaku vegetarian di Surabaya ?
2. Bagaimanakah makna identitas sebagai vegetarian
menurut pelaku dan yang bukan pelaku vegetarian di
kota Surabaya?
3. Bagaimanakah ideologi penganut vegetarianisme di
Surabaya dianut dan diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengungkapkan tentang motivasi yang melatarbelakangi
seseorang menjadi pelaku vegetarian.
2. Mengetahui apakah makna identitas vegetarian dari
aspek pelaku dan bukan pelaku subkultur vegetarian.
3. Mengetahui bagaimanakah suatu ideologi yang terdapat
pada pelaku vegetarian di Surabaya dianut dan
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Aspek teoritis, melalui penelitian ini diharapkan dapat
memberi sumbangan studi dan kajian teoritik tentang
makna identitas pelaku subkultur vegetarian sebagai
bagian dari masyarakat urban berdasarkan beberapa
pendekatan studi budaya yang telah dipelajari.
2. Aspek praktis, sebagai masukan untuk mengetahui
nilai guna subkultur vegetarian sebagai masukan bagi
perumus kebijakan dalam penanggulangan konflik
sosial. Sebagai bahan pertimbangan pihak-pihak
terkait dalam penyusunan program penanggulangan
Global Warming/pemanasan global. Sebagai upaya
preventif membentuk karakter pribadi yang sabar,
penuh toleransi dan memiliki kepekaan sosial untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa/konflik
masyarakat di masa mendatang.

1.5 Kerangka Teori


Penelitian mengenai perilaku vegetarian ini
menggunakan pendekatan Etnografi sebagai langkah-langkah
metodologinya. Pilihan menggunakan metode etnografi
dikarenakan peneliti memerlukan keterangan mendalam dari
pelaku vegetarian, sehingga diharapkan bisa diketahui
bagaimana makna identitas sesungguhnya dari pelaku
vegetarian.
Pada studi makna identitas sebagai vegetarian di kota
Surabaya dilakukan analisis melalui konsep-konsep tentang
subkultur, motivasi, identitas sosial, ideologi. Beberapa
pandangan tentang konsep tersebut dijadikan acuan teoritis
dalam penelitian ini.

1.6 Metode Etnografi


Istilah etnografi berasal dari kata ethno (bangsa) dan
graphy (menguraikan). Etnografi merupakan suatu kegiatan
penelitian yang bertujuan untuk memahami cara orang-orang
(pelaku vegetarian) berinteraksi dan bekerjasama melalui
fenomena mengamati kehidupan sehari-hari mereka (pelaku
vegetarian) (Jason dkk dalam Mulyana, 2003: 143). Jadi
etnografi bertujuan menguraikan suatu budaya masyarakat
tertentu secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya dari
pelaku vegetarian, baik bersifat material seperti artefak
budaya yang meliputi alat-alat, pakaian, bangunan (tempat
penelitian) dan sebagainya yang bersifat abstrak, seperti
pengalaman spiritual, kepercayaan, norma dan sistem nilai
yang diteliti yang tersusun dalam uraian tebal/thick
description (Geertz dalam Mulyana, 2003: 143).
Metode penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah
Etnografi menurut James P. Spradley. Menurut Spradley
(1979), etnografi sendiri bertujuan untuk memahami sudut
pandang penduduk asli (keyakinan/ideologi dan makna
identitas pelaku vegetarian), hubungannya dengan kehidupan
dan untuk mendapatkan pandangannya tentang dunianya
(Spradley, 1979: 3).
Menurut pandangan Spradley, ketika membuat
kesimpulan budaya, seorang Etnografer membuat kesimpulan
dari tiga sumber: Pertama, dari hal yang dikatakan orang.
Dalam konteks ini adalah tindakan/respons dari masyarakat
baik yang terlibat secara langsung sebagai pelaku vegetarian
(aktif), terlibat tidak langsung (pasif) atau juga yang anti
dengan vegetarian (kontradiktif). Kedua, dari cara orang
bertindak. Dalam konteks vegetarian adalah perilaku atau
aktivitas yang terjadi, sedang berlangsung di dalam pola hidup
tidak mengonsumsi hewan/makhluk bernyawa sebagai sumber
nutrisi. Ketiga, dari berbagai artefak/benda budaya yang
digunakan orang tersebut. Artefak-artefak dalam pelaku
vegetarian bisa berupa buku/teks panduan menjadi seorang
vegetarian, data-data mengenai manfaat kesehatan dan
penyelamatan lingkungan sebagai salah satu manfaat
vegetarian, dokumentasi aktifitas pelaku vegetarian di
masyarakat, dan lain sebagainya (Spradley, 1979: 10).

Bab II Kajian Teoritis


2.1 Teori Budaya Subkultur
Konsep tentang Subkultur dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan menurut Dick Hebdige, yang
menjelaskan bahwa Subkultur merupakan sebuah perjuangan
kaum muda/komunitas budaya minoritas sebagai suatu posisi
atas perjuangan kelas yang lebih luas, meminjam istilah teori
hegemoni Antonio Gramsci, penekanan perjuangan tersebut
menurut Hebdige bergeser dari politik kelas menuju politik
gaya hidup/life style (Hall dalam Hebdige, 2005: 16).
Selain itu, Hebdige juga menjelaskan bahwa terdapat
pengaruh kompleks antara level yang berbeda pada formasi
sosial yang dihasilkan oleh pengalaman atas kelompok yang
dominan dan subordinat, dan pengalaman ini dalam
perkembangannya menjadi ‘material mentah’ yang ditemukan
sangat ekspresif dalam budaya dan subkultur. Media
memainkan peran penting dalam menegaskan pengalaman
kita untuk diri kita, media memberikan kepada kita kategori
yang telah tersedia untuk mendefinisikan dunia sosial, ini
terutama melalui surat kabar, televisi, film, yang dengannya
pengalaman diorganisasikan, dimaknai, dan dibuat melekat
dalam perbedaan sebagaimana adanya. Hal ini akan
mengejutkan kita, untuk menyadari bahwa banyak hal yang
ditemukan, yang dikodekan dalam subkultur sesungguhnya
sangat subjektif untuk penilaian tertentu yang dilakukan oleh
media (2005: 85).
Dengan jelas ditegaskan bahwa subkultur bukanlah
bentuk istimewa, tidak berada diluar gambaran lingkaran
produksi dan reproduksi yang terhubung bersama, setidaknya
pada level simbol, bagian yang terpisah dan tersekat dari
keseluruhan masyarakat. Adanya fungsi media dalam
pembentukan citra atas subkultur ditegaskan oleh Stuart Hall
dalam Hebdige, yakni media menguasai secara progresif
budaya dan aspek yang sangat ideologis, sebagai kehidupan
kelompok dan kelas sosial, dalam aspek produktifitas dan
hubungan sosial mereka, peningkatan perpecahan dan sekat
perbedaan kehidupan merupakan tanggung jawab utama
media untuk : 1. Menyediakan dasar yang dengannya
kelompok dan kelas mengkonstruksi citra kehidupan, makna,
praktek atas kelas dan kelompok lain. 2. Menyediakan citra,
kehadiran dan pemikiran yang dengannya masyarakat disusun
dari bagian yang terpisah dan terkotak bisa dihapuskan.
Subkultur mengenal adanya perbedaan dalam apresiasi
terhadap suatu budaya tertentu, namun perbedaan suatu sikap
budaya tidak ditampilkan secara langsung atau frontal, tetapi
disampaikan secara tidak langsung. Pertentangan/resistensi
tersebut diungkap secara tidak langsung di dalam bentuk gaya
hidup. Subkultur berkomunikasi melalui tindakan konsumsi
yakni subkultur mengungkapkan identitasnya dan
mengomunikasikan maknanya melalui komoditas tertentu
yang digunakan. Dari tindakan konsumsi itulah dapat dikenali
upaya memisahkan subkultur dari bentuk-bentuk kultural
yang lebih luas/ortodoks (Hebdige dalam Storey, 2006:152).
Kata 'sub' mengandung konotasi suatu kondisi yang khas
dan berbeda dibandingkan dengan masyarakat
dominan/mainstream, jadi istilah subkultur autentik
tergantung pada lawannya, yaitu istilah budaya dominan atau
budaya mainstream yang diproduksi massal dan tidak
autentik. Fokus utama diletakkan pada variasi dari kolektivitas
yang lebih luas dan diposisikan secara sama, namun tidak
problematis, sebagai sesuatu yang normal, rata-rata dan
dominan. Subkultur dengan kata lain, dipandang rendah dan
atau menikmati satu kesadaran tentang 'kelainan'/otherness
atau perbedaan (Barker, 2011: 341).
2.2 Teori Identitas Sosial
Pendekatan budaya tentang makna identitas suatu
kelompok sosial atau individu terhadap pelaku vegetarian di
Surabaya menggunakan pendekatan Psikologi Sosial, tepatnya
penelitian Psikologi Sosial mengenai identitas, dan pertama
kali telah dilakukan oleh Tajfel dan Turner dari University of
Bristoll pada 1970-an di Inggris. Definisi psikologi sosial,
dengan fokus pada target utama yakni kebiasaan sosial
manusia, fokus utama kajian adalah perilaku manusia, dengan
menambahkan istilah kebiasaan/behaviour, secara sederhana
Psikologi Sosial bertujuan untuk memahami bahwa cara
beroperasi pikiran manusia hanya bisa disusun dari apa yang
dilakukan dan dikatakan masyarakat, pikiran itu tidak
langsung bisa diamati. Psikologi sosial fokus pada studi
proses mental dan struktur yang ada di antara hubungan
dialektikal antara rangsangan dan kebiasaan. Bagaimana
masyarakat tersebut, apa yang mereka lakukan, menyamakan
rangsangan umum yang karenanya mereka bereaksi, dan ini
dimediasi oleh struktur dan proses mental (Hogg, 2006: 9).
Terdapat beberapa definisi mengenai identitas sosial,
pertama Turner menyebutkan bahwa identitas sosial berusaha
memahami mengapa anggota suatu komunitas meyakini suatu
hal yang berbeda, berpakaian dengan cara berbeda,
menerapkan nilai-nilai yang berlainan, berkomunikasi dengan
bahasa berbeda, tinggal dalam tempat berbeda dan secara
umum memiliki kebiasaan ‘menyimpang’. Menurut Turner,
kebudayaan sebagai suatu hasil dalam interaksi sistem sosial
memiliki elemen dasar dalam kehidupan manusia, seperti
yang diungkapkan oleh Turner tentang elemen dasar dari
suatu sistem sosial yakni status (posisi dalam sistem sosial
yang mengindikasikan kedudukan seseorang), norma
(seperangkat aturan khusus akan suatu kebiasaan yang
tepat/baik untuk inividu dalam status tertentu) dan aturan
merupakan kebiasaan tambahan untuk masyarakat dalam
penyesuaian terhadap norma (Turner, 1972: 4).
Selain itu, Turner juga menjelaskan bahwa budaya dapat
dianggap sebagai suatu sistem yang tersusun oleh dua elemen
dasar yakni material artefak dan non material, komponen
simbol seperti norma dan kepercayaan. Proses lingkaran
kebudayaan dibuat bersamaan dengan pembuatan dan
pelestarian kebudayaan itu oleh proses kelembagaan tersebut.
Dari perspektif kelembagaan, komponen nonmaterial budaya
sebagai pengaruh dan yang dipengaruhi oleh struktur lembaga
dan proses kelembagaannya yang paling penting bagi analisis
penelitian (Turner, 1972: 12).
Hogg menjelaskan tentang tindakan konsumsi pada
barang dan jasa yang memiliki makna tersendiri pada suatu
komunitas tertentu. Apa pun jenis produk yang dikonsumsi
baik itu barang dan jasa, pakaian, atau lembaga dan komunitas
tertentu melambangkan suatu identitas tersendiri (yakni
komunitas pelaku vegetarian di Surabaya), sebagai wujud
keberadaan atau eksistensi suatu kelompok (Hogg, 2006:
101).
Smith menjelaskan identitas sebagai kesatuan inheren
diri manusia, menggambarkan definisi yang tepat mengenai
identitas manusia. lebih lanjut, Smith menjelaskan bahwa
tanda identitas adalah tipis dalam kehidupan nyata tetapi
bukan tidak ada/tidak dapat dijelaskan. Masyarakat menjadi
satu dalam nuansa alamat email dan ekspresi gaya. Terdapat
satu susunan fase baru yang menandai keikutsertaan mereka
sebagai pilihan anggota suatu subkultur (Smith, 2005: 28).
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Davis, bahwa
identitas merupakan istilah yang luas untuk manusia, rasa
ingin tahu tentang siapa kita dan entitas apa kita
sesungguhnya, menggunakan istilah yang khusus bagaimana
kita menyeimbangkan dan fokus menyelesaikan kerancuan
kita dengan alam, waktu dan budaya menjadikan kita penerus
(Goeffman dalam Davis 1994: 25).
Pendapat lain diungkapkan oleh Giddens dalam Chaney
(2011: 14), menyebutkan tentang definisi identitas diri adalah
suatu proyek yang diwujudkan, yang dipahami oleh para
individu dengan cara-cara pendirian mereka sendiri, dan cara-
cara menceritakan mengenai identitas personal dan biografi
mereka. Giddens menganggap bahwa gagasan mengenai gaya
hidup telah dikorupsi oleh konsumerisme, konsumsi pasar
telah menawarkan kebebasan memilih dan dengan demikian
bermaksud mempromosikan individualisme.
Pendapat mengenai identitas juga disampaikan oleh
Jenkin dalam Hockey, (2003: 9), yang mengatakan bahwa
identitas hanya bisa dipahami sebagai suatu proses menjadi
atau sebagai sesuatu. Satu identitas sosial sungguh-sungguh
menunjukkan suatu identitas, untuk siapa kita menjadi
pribadi/tunggal dan sosial/plural, tidak pernah menjadi
masalah yang pasti.
Terdapat beberapa pendekatan mengenai Identitas Sosial,
tetapi yang menjadi dasar adalah yang dikemukakan oleh
Tajfel dan Turner, dalam hal ini dijabarkan oleh oleh Michael
Hogg dan Dominic Abram. Lebih lanjut, Hogg (2006: 15),
juga menjelaskan adanya pengaruh interaksi simbolik dalam
pembentukan makna identitas sosial, yakni pengaruh sosial
terhadap individu yang dimediasi oleh konsepsi pribadi,
kepribadian itu sendiri muncul dan secara konstan diubah
melalui kehidupan dengan proses interaksi antar individu,
interakasi ini sangat simbolis sejak kebiasaan/perilaku tidak
hanya fungsional saja tapi merupakan ekspresi yang
berlebihan. Simbol adalah sesuatu yang disepakati atau dibagi
dengan menyimboliskan diri kita seperti yang lain atau
menggunakan norma yang sama dengan yang lain, kita telah
mengkonstruksikan diri kita sebagai objek sosial, sebagai
mikrokosmos dari masyarakat yang kita hidup di tengahnya.
Hogg menjelaskan bahwa dalam pendekatan identitas
sosial keberadaan kelompok sosial adalah tidak dapat
dielakkan (inevitable) karena bersifat fungsional, memenuhi
kebutuhan individu dan masyarakat berdasarkan norma,
struktur, penyederhanaan, bisa diperkirakan dan lain-lain.
Karenanya tidak mungkin untuk memperkirakan,
menjelaskan isi atau budaya dengan mewacanakan proses
psikologis sendirian. Proses psikologis memastikan bahwa
kelompok adalah tidak terelakkan tapi tidak dengan mengatur
langsung kelompok jenis apa mereka? karakter yang mereka
miliki? atau bagaimana mereka berhubungan dengan
kelompok lain? (2006 : 16).
Pendekatan identitas sosial menyebutkan bahwa terdapat
proses yang mengubah seseorang menjadi anggota kelompok
yakni pertama, Penggolongan diri/self categorization yakni
proses penggolongan akan menghasilkan tiruan persepsi atas
semua anggota dari kategori sosial atau kelompok dengan
karakter yang sama dan membedakannya dengan kelompok
lain. Tujuan dari proses penggolongan diri adalah penekanan
atas kesamaan antara diri pribadi dan orang lain dalam
kelompok dan perbedaan antara diri pribadi dengan kelompok
lain, hal itu adalah tiruan diri/self-stereotyping. Penggolongan
diri menjelaskan dua hal: 1. Menyebakan seseorang menerima
dirinya sebagai “sama” juga, memiliki identitas sosial yang
sama, anggota lain atas suatu kategori-yang menjadikan
seseorang berada dalam kategori sosial yang relevan, atau
menempatkan suatu kelompok pada satu posisi. 2. Bermakna
memiliki kategori sama-perilaku yang sama dalam aspek
peniruan atas kategori tersebut. Kategori diri adalah proses
yang mengubah individu ke dalam kelompok (Hogg, 2006:
19).
Proses yang kedua adalah perbandingan sosial/social
comparison, yang menyebutkan terdapat kerangka subjektif
penilaian manusia, yakni terdapat seperangkat perbandingan
lain yang subjektif dan terdapat pada individu dalam
pembuatan penilaian tertentu, dan inilah yang mengatur
pembuatan penilaian tersebut. Dalam perspektif identitas
sosial disebutkan bahwa semua pengetahuan diturunkan dari
masyarakat melalui perbandingan sosial dan ini termasuk
pengetahuan mengenai dunia fisik.
Dengan perbandingan sosial, kita belajar tentang diri
kita dan mendapat kepercayaan diri secara utuh serta
kegunaan keyakinan kita. Karena itu kita termotivasi untuk
membuat perbandingan sosial dengan tujuan menjadi percaya
diri atas persepsi diri kita, orang lain dan dunia secara umum.
Pendekatan identitas sosial menyebut adanya motivasi dasar
individu untuk kepercayaan diri, yang memuaskan dalam
kontek kelompoknya dengan membesarkan perbedaan antara
kelompoknya dengan kelompok lain dalam aspek nilai-nilai
kebaikan kelompoknya. Kategorisasi dan perbandingan sosial
bekerja bersama-sama untuk menjelasakan bentuk khusus
suatu perilaku, yakni perilaku kelompok yang meliputi
perbedaan dan diskriminasi kelompok, kesukaan kelompok,
persepsi atas penilaian superoritas kelompok terhadap
kelompok lain, meniru persepsi atas kelompoknya dan
kelompok lain, diri, menyesuaikan dengan norma kelompok,
memilih dan mendahulukan kelompoknya daripada kelompok
lain (Hogg, 2006: 20-21).
Konsep diri terdiri atas keseluruhan deskripsi diri dan
penilaian diri yang sangat subjektif terdapat di setiap individu,
hal ini sangat jelas dan terstruktur menjadi batasan serta
kumpulan perbedaan relatif yang disebut identifikasi diri. Satu
identifikasi diri bisa terdiri atas beberapa deskripsi diri yang
berlawanan dan beberapa lagi sama dengan penggolongan
identifikasi diri yang lain, misal identifikasi diri seorang
prajurit, bisa meliputi identifikasi diri sebagai loyal, keras,
agresif, berdedikasi, tidak individu, bersedia membunuh
berdasarkan perintah (Hogg. 2006: 22).
Identifikasi diri terdiri atas satu dari dua subsistem
konsep diri yang relatif terpisah yakni identitas sosial atau
identitas personal. Identitas sosial meliputi identifikasi sosial:
kesatuan identitas deskripsi diri diturunkan dari keanggotaan
dalam kategori sosial (kebangsaan, jenis kelamin,
perlombaan, jabatan, tim olahraga, dan keanggotaan
sementara suatu kelompok lainnya/short-lived and transient
group memberships. Identitas personal meliputi identifikasi
personal: deskripsi diri yang lebih pribadi secara alamiah dan
biasanya berarti atribut khusus dari individu. Pendekatan
identitas sosial meletakan fokus utamanya kepada konsep
sosial daripada identitas personal karena pada kondisi tertentu
hal ini lebih menonjol, juga karena identitas sosial adalah
fenomena perilaku yang secara kualitatif berbeda, ini
merupakan perilaku kelompok yang terdapat rangkaian
konsep diri yang awalnya sangat sosial menjadi identitas
sangat pribadi. Terdapat suatu motivasi individual di dalam
mengadopsi suatu nilai tertentu, kategori diri tertentu dan
menghindari suatu nilai yang lain, hal ini nampaknya
merupakan suatu proses mekanis melalui kemampuan
individu untuk secara subjektif menegaskan kembali suatu
konteks atau menegosiasi semua konteks baru perilaku untuk
dilihat. Individu tersebut berusaha untuk memilih secara
subjektif referensi atau kerangka acuan yang berbeda (Hogg,
2006: 22-23).
2.3 Teori Ideologi
Pada studi terhadap pelaku vegetarian di Surabaya,
terdapat aspek ideologi yang harus dipahamai oleh Peneliti.
Ideologi menurut Eagleton merupakan suatu konsep
keyakinan yang beroperasi jauh melampaui akal pemikiran
manusia, sehingga seseorang/kelompok bersedia melakukan
suatu pekerjaan secara sadar dan sukarela bahkan untuk
menderita sekalipun. Eagleton menyebutkan bahwa sangat
sulit untuk menjelaskan bagaimana datangnya ideologi,
sehingga seseorang bersedia melakukan sesuatu atas nama
sesuatu yang abstrak semacam ide, yang dengan konsep
tersebut lelaki dan perempuan hidup bersama dan juga
bersedia mati bersama. Lebih jauh lagi, Eagleton mengatakan
bahwa ideologi merupakan konsep yang memiliki banyak
makna dan terus diperdebatkan (Eagleton, 1991: 1).
Terdapat beberapa penyebutan untuk makna ideologi
yang sebenarnya masih saling berhubungan: 1. Proses
produksi makna, tanda dan nilai dalam kehidupan sosial. 2.
Tubuh dari karakteristik ide/pemahaman tentang kelas atau
kelompok masyarakat yang lebih kecil. 3. Ide/pemahaman
yang membantu untuk melegitimasi kekuasaan politik yang
dominan. 4. Ide/pemahaman yang salah untuk membantu
kekuasaan politik yang dominan. 5. Komunikasi terputus yang
sistematis. 6. Yang menawarkan posisi untuk subjek. 7.
Bentuk pemikiran yang dimotivasi oleh kesenangan sosial. 8.
Identitas pemikiran. 9. Ilusi kepentingan sosial. 10.
Penghubung antara wacana dan kekuasaan. 11. Media, aktor
kesadaran sosial yang membuat dunia mereka berarti. 12.
Orientasi tindakan yang diatur oleh kepercayaan. 13. Realitas
fenomenal atas kebingungan bahasa 14. Tanda yang tertutup.
15. Media yang penting dan menjadikan individu
meninggalkan hubungan mereka dengan struktur sosial. 16.
Proses ketika kehidupan sosial dihadapkan pada realitas
alamiah (Eagleton, 1991: 2).
Sementara itu, Eagleton (1991: 4), juga menyebutkan
bahwa ideologi bisa dilihat dalam dua cara perbedaan,
pertama, sebagai keyakinan yang tidak masuk akal sama
sekali/Blindly Irrational, kedua, keyakinan yang terlalu
rasional dan cenderung berlebih-lebihan/exescively
rasionalistic. Pada satu sisi, ideologi sangat bernafsu, penuh
retorika, memaksa dengan sangat seakan-akan sebagai
keyakinan agama semu, disertai dunia teknokratik kapitalisme
modern yang seadanya, di sisi lain ideologi adalah sistem
konsep yang kering dengan tujuan merekonstruksi masyarakat
dari bawah sesuai dengan tujuan utamanya/blueprint yakni
tanpa kekerasan/bloodless. Istilah ideologi dalam kalimat
yang lain memiliki beberapa acuan, bisa dipandang tidak
hanya sebagai satu sistem kepercayaan, tapi juga untuk
mempertanyakan kekuasaan/kekuasaan politik. Pernyataan
yang paling mudah untuk dipahami adalah ideologi telah
dilakukan dengan pengesahan kekuasaan atas kelas atau
kelompok sosial.
Menurut Thompson dalam Eagleton, mempelajari
ideologi berarti mempelajari bagaimana makna membantu
menopang hubungan dominasi kekuasaan tesebut menjadi
sah/legitimate. Terdapat kemungkinan satu-satunya definisi
umum dari ideologi yang bisa diterima secara luas, proses
legitimasi setidaknya meliputi enam strategi perbedaan: 1.
Kekuasaan dominan akan melegitimasi dirinya dengan
mempromosikan nilai dan kepercayaan yang menyenangkan.
2. Mewajarkan dan membiasakan keyakinan untuk membantu
kehadiran mereka nyata dan tidak dapat disangkal, 3.
Pemikiran menjelekan orang lain yang kemungkinan akan
melawannya. 4. Tidak termasuk konsep persaingan
ide/pemikiran. 5. Mungkin dengan tidak membicarakan tapi
menghilangkan secara sistematis dan logis. 6. Mengaburkan
suatu realitas masyarakat dengan cara menyesuaikan dengan
dirinya. Berdasarkan uraian tersebut, terdapat makna ideologi
yang lebih luas yakni suatu bentuk keterkaitan antara sistem
kepercayaan dan kekuasaan politik. Makna tersebut akan
menjadi netral/tidak memihak atas pertanyaan apakah
keterkaitan itu melawan atau menyetujui tatanan sosial
tertentu.

Bab III
Metodologi Penelitian
Paradigma merupakan cara atau jalan suatu analisis
ilmiah yang memungkinkan semua masalah yang
dirumuskan dapat dipecahkan dengan baik. Dalam rangka
mendapat pemahaman yang komprehensif tentang vegetarian
dan makna identitas sebagai vegetarian, penelitian ini
menggunakan pendekatan studi kualitatif yang bertujuan
menemukan makna identitas, motivasi serta ideologi individu
pelaku vegetarian. Metode kualitatif yang digunakan melalui
kajian literatur, interpretasi peristiwa, wawancara sebagai
sarana pendukung dari kajian teori tentang perspektif
subkultur vegetarian Surabaya. Penelitian ini bersifat
Etnografi. Instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu
sendiri/human instrument, yang berfungsi untuk menetapkan
fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data,
melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis
data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas
temuannya (Sugiyono, 2011: 222).
Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Creswell
(2004: 182) bahwa peneliti kualitatif melihat fenomena sosial
secara komprehensif, sehingga melihat gejala yang ada
sebagai satu kesatuan yang utuh. Informan dalam penelitian
ini adalah vegetarian baik laki-laki dan perempuan, telah
menjadi pelaku vegetarian minimal setahun dan ketika
penelitian dilakukan masih tetap sebagai pelaku aktif
vegetarian, berasal dari berbagai latar etnis, pekerjaan,
pendidikan dan latar sosial lainnya. Telah berdomisili di
Surabaya sekurang-kurangnya setahun terakhir.
Tujuan Etnografi menurut Spradley, pada dasarnya
untuk memahami sudut pandang penduduk asli (pelaku
vegetarian), melalui hubungannya dengan kehidupan dan
untuk mendapatkan pandangannya tentang dunianya
(Spradley, 2007: 3). Seorang etnografer akan mengamati dan
mencatat berbagai kondisi emosional, juga menyelidiki makna
ekspresi rasa takut, cemas dan marah serta berbagai perasaan
lain yang berhubungan dengan pelaku vegetarian. Melalui
metode etnografi, teknik pengumpulan data yang utama
adalah Observasi Partisipasi dan Wawancara Terbuka
serta mendalam, yang dilakukan dalam jangka waktu relatif
lama, bukan kunjungan singkat. Pada penelitian ini,
penelitian survey tidak dilakukan oleh peneliti karena
penelitian ini cukup dilakukan dengan wawancara secara
mendalam dan melakukan pengamatan budaya yang melekat
terhadap para pelakunya.
Kemudian, Spradley menjelaskan bahwa seorang etnografer
membuat kesimpulan budaya berdasarkan dari tiga sumber:
Pertama, dari hal yang dikatakan orang. Kedua, dari cara
orang bertindak. Ketiga, dari berbagai artefak yang digunakan
orang tersebut (Spradley, 2007: 10). Dalam metode etnografi,
terdapat dua belas langkah metodologi yang nantinya
diterapkan dalam penelitian tentang pelaku vegetarian ini.

Dua belas langkah Metodologi Etnografi:


Pertama, menetapkan seorang informan, dengan tujuan untuk
mengidentifikasi beberapa karakter seorang informan yang
baik, kemudian untuk menemukan informan yang sebaik
mungkin dalam mempelajari keterampilan wawancara
etnografi dan melakukan penelitian etnografi (Spradley, 2007:
59)
Kedua, mewawancarai seorang informan, mewawancarai
informan memiliki tujuan untuk mengidentifikasi unsur-unsur
dasar dalam wawancara etnografis, memformulasikan dan
menggunakan beberapa macam penjelasan etnografi dan
untuk melakukan suatu praktik wawancara (Spradley, 2007:
71)
Ketiga, membuat catatan etnografi, bertujuan untuk mampu
menyusun buku catatan penelitian lapangan, mampu
melakukan kontak dengan informan dan melakukan
wawancara pertama (Spradley, 2007: 87)
Keempat, mengajukan pertanyaan deskriptif, bertujuan untuk
mengumpulkan sampel dari percakapan seorang informan
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
deskriptif (Spradley, 2007: 99)
Kelima, melakukan analisis wawancara etnografis, bertujuan
untuk memahami bagaimana suatu makna tercipta dengan
penggunaan simbol-simbol budaya. Kemudian dilanjutkan
dengan memulai suatu analisis domain dengan melakukan
pencarian suatu domain pendahuluan (Spradley, 2007: 117)
Keenam, membuat analisis domain, yang akan digunakan
untuk memahami sifat dasar semantik serta peran hubungan
itu dalam pembuatan sebuah analisis domain, untuk
mengidentifikasi langkah-langkah dalam menganalisis suatu
domain kebudayaan (Spradley, 2007: 139)
Ketujuh, mengajukan pertanyaan struktural, bertujuan untuk
mengidentifikasi berbagai jenis pertanyaan struktural, serta
untuk menguji suatu domain-domain budaya yang telah
dihipotesiskan sebelumnya (Spradley, 2007: 157)
Kedelapan, membuat analisis taksonomik, analisis ini
bertujuan untuk memilih sebuah fokus yang bersifat
sementara unntuk membuat analisis mendalam, untuk
memahami berbagai taksonomi rakyat dan bagaimana
taksonomi itu mengorganisir suatu domain (Spradley, 2007:
175)
Kesembilan, mengajukan pertanyaan kontras, bertujuan untuk
memahami prinsip-prinsip penemuan utama dalam studi
makna budaya, mempelajari cara-cara menemukan berbagai
kontras atau perbedaan antara berbagai simbol budaya
Spradley, 2007: 201)
Kesepuluh, membuat analisis komponen, bertujuan untuk
memahami peran analisis komponen dalam studi sistem
makna budaya, untuk mengidentifikasikan langkah-langkah
dalam membuat analisis komponen (Spradley, 2007: 229)
Kesebelas, menemukan tema-tema budaya, bertujuan untuk
memahami sifat dasar tema-tema dalam sistem makna budaya,
untuk mengidentifikasikan beberapa strategi membuat sebuah
analisis tema (Spradley, 2007: 249)
Keduabelas, menulis sebuah etnografi, bertujuan untuk
memahami sifat dasar penulisan etnografis sebagai bagian
dari proses penerjemahan, untuk mengidentifikasikan tahap-
tahap yang berbeda dalam penulisan etnografis. Keduabelas
langkah penelitian etnografi tersebut akan dipakai dalam
penelitian ini dan akan diuraikan dalam teknik pengumpulan
data di bawah ini.

Teknik Pengumpulan Data


Pada teknik pengumpulan data, peneliti menggunakan
langkah penelitian etnografis sebagaimana konsekuensi dari
Teori Relasional Spradley. Pengumpulan data tersebut
ditempuh oleh peneliti melalui langkah-langkah penentuan
informan dan tema budaya, wawancara etnografis,
pengamatan partisipan atau terlibat, membuat catatan
etnografis dan pemilahan data pustaka. Peneliti memulai
aktifitas penelitian ini terhitung mulai bulan Oktober 2011
(membaca berbagai literatur terkait vegetarian di Surabaya
dan Teori Subkultur), bulan Desember 2011 peneliti mulai
mengamati dan mengenal lebih intensif pelaku vegetarian di
Surabaya yang ternyata terdiri atas anggota IVS (Indonesian
Vegetarian Society) dan bukan anggota IVS.
Peneliti pada bulan Januari 2012, mengikuti beberapa
kegiatan yang sifatnya insidental yang dilakukan pelaku
vegetarian utamanya yang bukan anggota IVS, dengan
berkumpul di suatu rumah di Jalan Darmokali No. 14
Surabaya. Rumah yang digunakan sebagai kantor notaris
sekaligus galeri seni karena banyak terdapat lukisan dan
benda seni, baik yang disimpan di lantai satu atau lantai dua.
Pada bulan Februari, ketika sedang berbincang mengenai
topik kecelakaan lalulintas yang sering terjadi di dekat tempat
tinggal peneliti, terlintas ide untuk membuat Ambulance gratis
yang bisa digunakan sebagai pertolongan korban kecelakaan
karena seringnya korban terlambat diangkut ke rumah sakit
terdekat. Selain itu, Ambulance tersebut bisa digunakan siapa
dan kapan saja yang membutuhkan. Akhirnya rencana
Ambulance tersebut terlaksana pada bulan November 2012
dan saat laporan ini ditulis, mobil Ambulance tersebut
ditempatkan di desa Peneliti Jalan Raya Desa Sidorejo, yang
merupakan jalan utama yang menghubungkan Surabaya-
Mojokerto dan dikenal sebagai jalur tengkorak/maut.
Pada bulan Maret 2012 dan bulan-bulan seterusnya,
peneliti terlibat pembicaraan lebih intens dengan pelaku
vegetarian tersebut, menganalisa kehidupan yang telah
mereka jalani dan sisa kehidupan yang akan dijalani
kemudian, berusaha memberikan lebih banyak manfaat untuk
orang lain baik berupa moral dan material. Pada bulan April
2012, peneliti mulai mengurangi intensitas pertemuan karena
harus menyiapkan berbagai referensi kepustakaan berupa
buku dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan objek
penelitian, yaitu mengenai makna identitas pelaku vegetarian,
motivasi dan ideologi yang memengaruhi mereka. Peneliti
juga mulai intens mengamati pelaku vegetarian yang
merupakan anggota IVS Surabaya. Bulan Oktober 2012,
peneliti mengikuti mata kuliah Subkultur yang membahas apa
definisi subkultur, bagaimana perkembangan awal subkultur
dan kapan suatu budaya bisa dianggap subkultur. Mata kuliah
tersebut penting karena berkaitan dengan objek utama
Penelitian Tesis ini, vegetarian sebagai suatu subkultur. Pada
bulan Desember 2012, peneliti mengikuti Helvi Expo
bertempat di Ballroom Grandcity Surabaya, yang diadakan
oleh komunitas IVS Surabaya. Pada momen ini, dengan
berbagai pertimbangan di antaranya agar lebih mengenal dan
memahami pelaku vegetarian, peneliti mengisi formulir
aplikasi sebagai anggota IVS Surabaya sekaligus anggota
International Vegan Union, meski peneliti sendiri bukan
seorang pelaku vegetarian.
Pada bulan Januari 2013, peneliti mengajukan izin
tertulis kepada IVS Surabaya untuk melakukan penelitian
lapangan dengan lokasi di Vihara Budha Maitrya Jalan Dukuh
Kupang Utara, yang menjadi kantor sekretariat IVS Surabaya
sekaligus tempat diadakannya meat free Monday setiap hari
Senin pukul 18.00-20.00. Di bulan Februari, peneliti beberapa
kali mendatangi Vihara tersebut untuk berkoordinasi dengan
pengurus dan sejak bulan Maret sampai laporan ini ditulis,
peneliti berusaha rutin datang pada setiap Senin malam
dengan tujuan semakin mengenal dan memahami akitifitas
para pelaku Vegetarian. Sebagaimana yang telah peneliti
sebutkan, perjalanan pengumpulan data tersebut sudah
ditempuh melalui langkah-langkah penentuan informan dan
tema budaya, wawancara etnografis, pengamatan terlibat,
membuat catatan etnografis dan pemilahan data pustaka.

Bab IV
Temuan dan Analisis
4.1 Motif Vegetarian
Pelaku vegetarian menyadari bahwa ajaran cinta kasih,
tidak menyakiti dan membunuh makhluk lain merupakan
suatu tindakan mulia, sehingga memotivasi mereka untuk
secara sadar mengakui bahwa apa yang selama ini telah
mereka lakukan sebelumnya dan juga masyarakat pada
umumnya (dengan mengonsumsi makhluk bernyawa) adalah
suatu tindakan yang ‘tidak benar’. Mereka mengikuti apa
yang telah diajarkan oleh kelompoknya dan apa yang menjadi
suara hatinya yang terdalam, suara kebenaran dari Sang
Pencipta, untuk selanjutnya berhenti menyakiti dan
membunuh hewan apalagi memakannya. Mereka sangat
percaya diri dan yakin bahwa vegetarian adalah tindakan yang
tepat, keputusan tersebut telah membuat persepsi kehidupan
mereka berbeda dengan kelompok lainnya, pelaku vegetarian
akhirnya menyesuaikan diri dengan aturan dalam
komunitasnya, menjadi bagian dari komunitas dengan segala
konsekuensinya, dan lebih menghargai identitas sebagai
vegetarian.
Vegetarian merupakan awal untuk belajar akan cinta
kasih kepada semua makhluk hidup, setiap hari, dari cinta
kasih itu diteruskan dengan nilai-nilai spiritual yang tinggi.
Hewan-hewan yang kecil harus dihargai, bukan hanya tidak
dimakan, terdapat nafas kehidupan di sana, proses belajar
untuk mencintai dan menghormati makhluk lain itu berakibat
seorang pelaku vegetarian akhirnya bisa mengendalikan diri
ketika bertemu keadaan yang tidak diinginkan, itulah
kemuliaan yang tinggi sebagai manusia.
Secara kualitatif peneliti menemukan adanya tiga jenis
motivasi yang ada pada pelaku vegetarian, ketiga jenis
motivasi tersebut adalah motif spiritual, motif kesehatan
serta motif ajaran agama.
Suatu masyarakat cenderung untuk menyamakan apa
yang mereka lakukan, menyamakan rangsangan yang umum
yang karenanya mereka bereaksi, reaksi terhadap pola makan
yang tidak wajar dari pelaku vegetarian tersebut dimediasi
oleh struktur dan proses mental masyarakat secara umum,
reaksi tersebut beragam namun intinya masyarakat Surabaya
tetap bisa menerima keberadaan komunitas pelaku vegetarian
sebagai bagian dari varian kebudayaan masyarakat Surabaya
secara umum.
4.2 Identitas Vegetarian
Terdapat suatu pengaruh interaksi simbolik dalam
pembentukan makna identitas sosial pelaku vegetarian di
Surabaya, yakni pengaruh sosial masyarakat terhadap individu
pelaku vegetarian yang dimediasi oleh konsepsi pribadi,
kepribadian itu sendiri muncul dan secara konstan diubah
melalui kehidupan dengan proses interaksi antar individu, di
dalam kehidupan keseharian baik di tempat kerja dan di
rumah. Pelaku vegetarian awalnya tidak menunjukkan
identitasnya sebagai seorang vegetarian namun pada akhirnya
lingkungan di sekitarnya mengetahui, interaksi yang timbul
beragam baik menghormati atau sebaliknya, tetapi pada
akhirnya keberadaan pelaku vegetarian diakui sebagai bagian
dari masyarakat secara umum, interaksi ini sangat simbolis
sejak kebiasaan/perilaku tidak hanya fungsional saja tapi
merupakan ekspresi yang berlebihan, masyarakat pada
akhirnya bisa menerima keberadaan pelaku vegetarian,
memperhitungkan keberadaannya dengan menyediakan menu
yang tidak mengandung unsur hewani (simbol makanan
vegetarian) khusus untuk pelaku vegetarian tersebut dalam
berbagai acara syukuran yang ada di lingkungan tempat
tinggalnya.
Terdapat proses yang mengubah seseorang menjadi
anggota kelompok yakni pertama, Penggolongan diri/self
categorization yakni proses penggolongan akan menghasilkan
tiruan persepsi atas semua anggota dari kategori sosial atau
kelompok dengan karakter yang sama dan membedakannya
dengan kelompok lain. Terdapat proses yang dilalui pelaku
vegetarian di Surabaya sebelum memutuskan untuk memilih
bervegetarian, yakni terlebih dulu telah mengenal orang lain
yang telah bervegatarian/ajaran tentang vegetarian, kemudian
memahami persepsi dan karakter yang muncul, dan akhirnya
bervegetarian/mengategorikan dirinya sebagai vegetarian.
Proses yang kedua adalah perbandingan sosial/social
comparison, yang menyebutkan terdapat kerangka subjektif
penilaian manusia, yakni terdapat seperangkat perbandingan
lain yang subjektif dan terdapat pada individu dalam
pembuatan penilaian tertentu, dan inilah yang mengatur
pembuatan penilaian tersebut. Kerangka subjektif dalam
pemikiran pelaku vegetarian Surabaya di antaranya adalah,
keyakinan membunuh hewan untuk dikonsumsi adalah suatu
dosa besar/karma pembunuhan. Keyakinan selanjutnya adalah
realitas yang dirasakan setelah bervegetarian, ketika orang
lain mudah terpancing untuk marah/emosi, pelaku vegetarian
merasa bangga karena mereka tidak mudah untuk
marah/emosi.
Secara kualitatif, peneliti menemukan terdapat delapan
identitas sosial pelaku vegetarian di Surabaya, meliputi: Tidak
Mengonsumsi Makanan Hewani Kecuali Susu Hewan dan
Telur Unggas, Lebih Sabar dalam Menghadapi Masalah,
Memiliki Kondisi Fisik Relatif Lebih Sehat Dibandingkan
Orang yang Tidak Bervegetarian, Wajah dan fisik Tampak
Lebih Fresh, Tanda Penuaan Relatif Lebih Lambat, Berpikir
Lebih Spiritual, Lebih Memilih Hidup Sederhana, Identitas
Sosial Vegetarian dari Aspek Non-Pelaku (orang yang
sungguh-sungguh terpanggil hatinya sehingga bisa menahan
nafsunya untuk tidak memakan daging dan pelaku vegetarian
lebih sabar dalam menghadapi sesuatu yang tidak disukai).
Identitas sosial pelaku vegetarian di Surabaya adalah
fenomena perilaku yang secara kualitatif berbeda dengan
individu yang bukan pelaku, ini merupakan perilaku
kelompok yang di dalamnya terdapat rangkaian konsep diri
mengenai bagaimana pola makan vegetarian kemudian
berkembang menjadi pola hidup seorang vegetarian yang
penuh cinta kasih, sabar dan lebih spiritual, suatu konsep yang
awalnya sangat sosial menjadi identitas sangat pribadi.
Terdapat suatu motivasi individual di dalam diri pelaku
vegetarian untuk mengadopsi suatu nilai tertentu, kategori diri
tertentu dan menghindari suatu nilai yang lain, hal ini
nampaknya merupakan suatu proses mekanis melalui
kemampuan individu untuk secara subjektif menegaskan
kembali suatu konteks atau menegosiasi semua konteks yang
baru dari suatu perilaku untuk dilihat. Pelaku vegetarian di
Surabaya secara subjektif menegasakan dan menegosiasikan
suatu konsep baru tentang bagaimana seharusnya manusia itu
hidup dan berhubungan dengan alam sekitarnya, hidup yang
selaras dan harmonis dengan tidak membunuh hewan dan
mengonsumsinya sehingga dapat membantu menanggulangi
berbagai permasalahan, baik kesehatan, krisis pangan serta
kerusakan lingkungan.
4.3 Ideologi Vegetarian
Secara kualitatif, peneliti menemukan bahwa terdapat
empat aspek ideologi yang ada pada pelaku vegetarian di
Surabaya, diyakini sepenuh hati dan menjadi satu dalam
sikap, perbuatan dan pemikiran pelaku vegetarian yang
menjadi informan. Berikut merupakan beberapa
ideologi/keyakinan mereka, meliputi: Jiwa Lebih
Tenang/Sabar, Semakin Merasa Dekat dengan Tuhan,
aspek Spiritual Lebih Berkembang serta Vegetarian
sebagai Suatu Ilmu Pengetahuan .
Aspek ketenangan jiwa yang dimiliki oleh pelaku
vegetarian, salah satu pemicunya adalah kemampuan
menurunkan tingkat emosi sehingga bisa mengendalikan diri
ketika menghadapi permasalahan. Setiap hari, seorang pelaku
vegetarian berlatih untuk mengembangkan ajaran cinta kasih
kepada semua makhluk, setiap hari berlatih hidup sederhana
melalui pola makan vegetarian namun tetap bisa bersyukur
dan berbahagia. Namun bukan berarti seorang pelaku
vegetarian tidak bisa marah, marah adalah hal yang lumrah,
marah yang terkendali untuk pembelajaran, bertujuan untuk
kebaikan dari kebiasaan-kebiasaan yang kurang tepat dalam
kehidupan
Apa pun latar belakang agama yang dianut oleh
pelaku vegetarian, terdapat satu kesamaan yang dirasakan
yakni semakin merasa dekat dengan Sang Pencipta. Di dalam
kehidupan keseharian, mulai bangun pagi hingga malam
menjelang tidur, semua tindakan dilakukan dengan penuh
kesadaran sebagai wujud pengakuan terhadap keberadaan
Tuhan. Setiap hari selalu berlatih untuk berpikir yang positif,
berbuat untuk kebaikan semua makhluk hidup, setiap hari
selalu berlatih hidup sederhana baik dari pola makan dan pola
hidup, hanya untuk semakin dekat dengan Tuhan, sebagai
umat yang taat.
Aspek selanjutnya yang diyakini oleh pelaku
vegetarian dalam penelitian ini adalah spiritualitas yang lebih
berkembang. Pelaku vegetarian yang sungguh-sungguh dalam
menerapkan pola hidup vegetarian, menyadari bahwa ada
aspek spiritual dalam diri mereka yang dirasakan lebih
berkembang. Keyakinan akan aspek spiritualitas yang lebih
berkembang, ditemui pada semua pelaku vegetarian baik
Budha, Islam dan yang lainnya. Mereka bisa menangkap
dengan jelas cahaya Ketuhanan, mengakui kebesaran Sang
Pencipta yang telah membuat kehidupan tidak hanya di dunia
tapi juga di akhirat kelak. Terdapat aspek spiritualitas yang
universal yang telah dirasakan oleh mereka yang
bervegetarian dengan sungguh-sungguh.
Pola hidup vegetarian terdiri atas seperangkat
pengetahuan terhadap suatu pola makan yang melaksanakan
ketentuannya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan
yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pola hidup
pelakunya, vegetarian merupakan Ilmu Kebijaksanaan
Kehidupan Manusia.
Aspek yang dikaji oleh ilmu pengetahuan itu
(ontologis), istilah vegetarian berasal dari bahasa latin vegetus
yang memiliki makna sehat, kuat dan bergairah, jadi orang
yang bervegetarian adalah orang yang sehat, kuat dan
bergairah. Pengertian lain vegetarian adalah orang yang
memilih untuk sama sekali tidak memakan makhluk berjiwa,
baik yang terbang di udara, merayap di darat dan berenang di
air.
Cara untuk mendapatkan pengetahuan tersebut
(epistemologis), terdapat beberapa upaya dalam melaksanakan
pola vegetarian, selain tentu saja tidak memakan makhluk
yang bernyawa. Berdasarkan penuturan informan, dijelaskan
bahwa melalui pola makan sederhana dengan tidak
mengonsumsi daging/makhluk bernyawa, maka dengan
sendirinya pelaku vegetarian telah berlatih untuk hidup
sederhana dalam berbagai aspek, meliputi pemikiran, gaya
hidup dan lain-lain.
Untuk manfaat apakah ilmu pengetahuan tersebut
dipergunakan (aksiologis), aspek aksiologis/manfaat dalam
bervegetarian. Secara kualitatif menurut penuturan informan
dalam penelitian ini, sangat banyak, oleh peneliti kemudian
diklasifikasikan sebagai identitas yang khusus, yakni bagian
dari identitas sosial yang terdapat pada pelaku vegetarian di
Surabaya yang meliputi: lebih sabar dalam menghadapi setiap
masalah, memiliki fisik lebih sehat dibandingkan orang yang
tidak bervegetarian, wajah dan fisik tampak lebih fresh, tanda
penuaan lebih lambat, lebih banyak berpikir spiritual serta
lebih memilih hidup sederhana. Kesemua manfaat tersebut
terjadi secara perlahan tanpa disadari oleh pelakunya.
Bab V
Simpulan dan Saran
Pelaku vegetarian menyadari bahwa ajaran cinta kasih,
tidak menyakiti dan membunuh makhluk lain merupakan
suatu tindakan mulia, sehingga memotivasi mereka untuk
secara sadar mengakui bahwa apa yang selama ini telah
mereka lakukan sebelumnya dan juga masyarakat pada
umumnya (dengan mengonsumsi mahkluk bernyawa) adalah
suatu tindakan yang ‘tidak benar’. Mereka mengikuti apa
yang telah diajarkan oleh kelompoknya dan apa yang menjadi
suara hatinya yang terdalam, suara kebenaran dari Sang
Pencipta, untuk selanjutnya berhenti menyakiti dan
membunuh hewan apalagi memakannya. Terdapat adanya tiga
jenis motivasi yang ada pada pelaku vegetarian, ketiga jenis
motivasi tersebut adalah motif spiritual, motif kesehatan
serta motif ajaran agama.
Terdapat proses yang dilalui pelaku vegetarian di
Surabaya sebelum memutuskan untuk memilih bervegetarian,
pertama terlebih dulu telah mengenal orang lain yang telah
bervegatarian/ajaran tentang vegetarian, kemudian memahami
persepsi dan karakter yang muncul, dan akhirnya
bervegetarian/mengategorikan dirinya sebagai vegetarian.
Kedua adalah adanya kerangka subjektif dalam pemikiran
pelaku vegetarian Surabaya diantaranya adalah, keyakinan
membunuh hewan untuk dikonsumsi adalah suatu dosa
besar/karma pembunuhan. Keyakinan selanjutnya adalah
realitas yang dirasakan setelah bervegetarian, ketika orang
lain mudah terpancing untuk marah/emosi, pelaku vegetarian
merasa bangga karena mereka tidak mudah untuk
marah/emosi.
Delapan identitas sosial pelaku vegetarian di Surabaya,
meliputi: Tidak Mengonsumsi Makanan Hewani Kecuali Susu
Hewan dan Telur Unggas, Lebih Sabar dalam Menghadapi
Masalah, Memiliki Kondisi Fisik Relatif Lebih Sehat
Dibandingkan Orang yang Tidak Bervegetarian, Wajah dan
fisik Tampak Lebih Fresh, Tanda Penuaan Relatif Lebih
Lambat, Berpikir Lebih Spiritual, Lebih Memilih Hidup
Sederhana, Identitas Sosial Vegetarian dari Aspek Non-
Pelaku (orang yang sungguh-sungguh terpanggil hatinya
sehingga bisa menahan nafsunya untuk tidak memakan daging
dan pelaku vegetarian lebih sabar dalam menghadapi sesuatu
yang tidak disukai).
Secara umum, vegetarian merupakan suatu pola
makan yang tidak mengonsumsi makanan berbasis hewani,
tetapi masih mengonsumsi susu hewan dan telur unggas.
Istilah vegetarian berasal dari bahasa latin vegetus yang
memiliki makna sehat, kuat dan bergairah, jadi orang yang
bervegetarian adalah orang yang sehat, kuat dan bergairah.
Secara khusus vegetarian merupakan suatu upaya pelaku
untuk mendekat kepada Tuhan, bervegetarian menghendaki
batin yang bersih penuh kerendahan hati, tenang, damai,
penuh belas kasih sehingga dapat dengan jelas merasakan
keberadaan Tuhan yang berada di dalam diri setiap manusia,
Tuhan berada di dalam setiap hati manusia yang jernih, karena
suara hati yang jernih itulah suara Tuhan. Demikianlah
keyakinan yang ada pada pelaku vegetarian dalam penelitian
ini. Berkaitan dengan penelitian makna identitas sosial
vegetarian di Surabaya, hasil penelitian menemukan dua jenis
pola vegetarian yakni Vegan dan Lacto ovo.
Apa pun motivasi awal bervegetarian, pada akhirnya
bervegetarian merupakan suatu upaya seseorang untuk bisa
mendekat dan memahami keberadaan Sang Pencipta,
merasakan bahwa Tuhan itu berada di dalam diri manusia,
sangat dekat bahkan melebihi urat leher manusia itu sendiri.
Kesimpulan tersebut dibuktikan pada temuan-temuan di
lapangan yang dialami oleh pelaku vegetarian, yang di awali
dengan pola makan vegetarian kemudian secara perlahan
merubah perilaku seseorang dan akhirnya menjadi suatu pola
hidup. Hasil penelitian menemukan dua jenis pola vegetarian
yakni Vegan dan Lacto ovo. Terdapat empat aspek ideologi
yang ada pada pelaku vegetarian di Surabaya, diyakini
sepenuh hati dan menjadi satu dalam sikap, perbuatan dan
pemikiran pelaku vegetarian yang menjadi informan,
meliputi: Jiwa Lebih Tenang/Sabar, Semakin Merasa
Dekat dengan Tuhan, aspek Spiritual Lebih Berkembang
serta Vegetarian sebagai Suatu Ilmu Pengetahuan .

Saran
Perlu adanya studi-studi lanjutan yang terkait dengan
makna identitas vegetarian di masyarakat. Sampai saat ini
studi tentang vegetarian masih terbatas, yakni pada kandungan
gizi dan nutrisi pelaku vegetarian saja, belum banyak yang
memahami bagaimanakah sesungguhnya perilaku vegetarian
itu, identitas mereka dan berbagai keyakinan mereka.
Keberadaan pelaku vegetarian seharusnya mendapat
perhatian khusus dari pemerintah atau pembuat kebijakan
publik, karena aspek positif yang ada pada pelaku vegetarian
sangat besar, baik aspek budaya, kesehatan dan penyelamatan
lingkungan. Apalagi akhir-akhir ini, di Indonesia timbul
beberapa kerusuhan di masyarakat, terkadang dipicu oleh hal
yang sederhana. Sebagai negara multikultur, semestinya
semua masyarakat mampu menghargai dan menghormati
perbedaan yang ada sehingga bisa hidup damai penuh cinta
kasih terhadap sesama.
Daftar Pustaka

Abrams, Dominic dan Michael A Hogg. 2006. Social


Identification. A Social Psychology of Intergroup
Relations and Group Processes. London: Routledge
Al-kandahlawi, Maulana Muhammad Zakariyya. Rah. a.
2006. Himpunan Fadhilah Amal. Yogyakarta: Ash-
Shaff
Atlas, Nava. 2010. Vegan Express. Featuring 160 Recipes
for Quick, Delicious and Healthy Meals. New York:
Broadway Books
Barker, Chris. 2011. Cultural Studies. Teori dan Praktik.
Bantul: Kreasi Wacana
Chaney, David. 2011. Life Style: Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra
Creswell, John W. 2004. Research Design: Qualitative
Quantitative And Mixed Methods Approaches.
California: University of Nebraska
Davis, Fred. 1994. Fashion, Culture, and Identity. Chicago:
The University of Chicago Press
Dewi, Ratna Sari. Hubungan Asupan Protein, Vitamin B12,
Vitamin C dan Zat Besi dengan Kadar Hemoglobin
pada Kelompok Lakto-ovo Vegetarian. Skripsi.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Airlangga
Fatmawati, Suju. 2012. Hubungan antara Pengetahuan Gizi
dan Asupan Zat Gizi dengan Status Gizi dan Risiko
Osteoporosis pada Kelompok Lakto-ovo Vegetarian.
Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas
Airlangga
George, Diana and John Trimbur. 2007. Reading Culture:
Contexts for Critical Reading and Writing. Sixth
Edition. New York: Pearson Longman
Haruyama, Shigeo. 2013. The Miracle of Endhorphin: Sehat,
Mudah dan Praktis dengan Hormon Kebahagiaan.
Bandung: Mizan Pustaka
Hebdige, Dick. 2002. Subculture: The Meaning of Style
London: Routledge
Hockey, Jenny and Allison James. 2003. Social Identities: A
Cross the Life Course. New York: Palgrave Macmillan
Hogg, Margaret K. ed. 2006. Consumer Behavior I: Research
and Influences. Consumer Behavior as a Field of
Study. London: Sage Publication ltd
Indonesia Vegetarian Society. 2007. Panduan Vegetarian
Sedunia. Jakarta: IVS Press
Kajeng, I Nyoman. 2010. Sarasamuccaya, dengan Teks
Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna. Surabaya:
Paramita
Kaplan, David dan Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kebung, Konrad. 2011. Filsafat Berpikir Orang Timur.
Indonesia, Cina dan India. Jakarta: Prestasi
Pustakaraya
Keluarga Vegetarian Maitrya Indonesia. 2005. Panduan
Vegetarian Indonesia. Jakarta: KVMI Press
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta
Kremmel, Susan. 2006. Understanding Eating Boundaries: A
Study of Vegetarian Identities. A Thesis Master of Arts
Department of Sociology. College of Arts and
Sciences. University of South Florida
Lestari, Diana Putri. 2009. Hidup Sehat Bebas Penyakit:
Solusi Cerdas Terhindar dari Penyakit. Yogyakarta:
Moncer
Maetrya, Bhiksu Berkantong, 2012. Jakarta: Lembaga
Pengkajian dan Pengembangan Maetrya Indonesia
Nalurita, Dwi Wahyu. 2006. Perbedaan Kecukupan Gizi
(Protein, Zat Besi, Vitamin B12 dan Vitamin C) dan
Status Gizi Kelompok Vegetarian Lacto Ovo dan Lacto
Vegan. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Airlangga
Nugroho, Sri Haryanto S. 2009. Terapi Pengobatan Tumor-
Kanker. Yogyakarta: Kanisius
Pradopo, Rakhmad Djoko, dkk. 2001. Metodologi Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya
Rutland, Jonathan. 1979. Tubuh Manusia: Pustaka
Pengetahuan Modern. Jakarta: Widyadara
Saputra, Riki. 2012. Tuhan Semua Agama: Perspektif Filsafat
Perennial Seyyed Hossein Nasr. Yogyakarta: lima
Sati, Pakih D. A. 2011. Syarah Al-Hikam: Kalimat-Kalimat
Menakjubkan Ibnu ‘Atha’illah dan Tafsir Motivasinya.
Yogyakarta: Diva Press
Schreiber, David Servan. 2010. Hidup Bebas Kanker:
Terobosan Terbaru Mencegah, melawan dan
Mengobati Kanker. Bandung: Qanita
Setyani, Konita Insiyana. 2012. Perbedaan Indeks Massa
Tubuh (IMT) dan Status Anemia pada Vegetarian dan
Nonvegetarian. Skripsi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Airlangga
Smith, Marc A and Peter Kollock. ed. 2005. Communities In
Cyberspace. New York: Routledge
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta:
Tiara Wacana
Storey, John. 2006. Cultural Studies dan kajian Budaya Pop:
Pengantar komprehensif Teori dan Metode.
Yogyakarta: Jala Sutra
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan
R&D. Bandung: Alfabeta
Suhartono, Suparlan. 2005. Sejarah Pemikiran Filsafat
Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Suseno, Franz Magnis. 2010. Filsafat sebagai Ilmu Kritis.
Yogyakarta: Kanisius
Turner, Jonathan H. 1972. Pattern of Social Organization: A
Survey of Social Institutions. California: McGraw-Hill,
Inc.
Penelitian sosial budaya mengenai suatu masyarakat tertentu diharapkan mampu
untuk secara persuasif mereduksi timbulnya konflik di tengah masyarakat, karena Indonesia
merupakan negara multikultur dengan banyak etnis dan agama berbeda. Salah satu penelitian
sosial yang signifikan adalah penelitian mengenai perilaku vegetarian di Surabaya yang
menggunakan pendekatan Etnografi sebagai langkah-langkah metodologinya. Metode
penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah Etnografi menurut James P. Spradley. Menurut
Spradley (1979), Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan
tujuan utama pada aktivitas untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang
penduduk asli (pelaku vegetarian di Surabaya). Etnografi sendiri bertujuan untuk memahami
sudut pandang penduduk asli (keyakinan/ideologi dan makna identitas pelaku vegetarian),
hubungannya dengan kehidupan dan untuk mendapatkan pandangannya tentang dunianya
(Spradley, 1979: 3).

Menurut pandangan Spradley, ketika membuat kesimpulan budaya, seorang


Etnografer membuat kesimpulan dari tiga sumber; Pertama, dari hal yang dikatakan orang.
Dalam konteks ini adalah tindakan/respons dari masyarakat baik yang terlibat secara
langsung sebagai pelaku vegetarian, terlibat tidak langsung atau juga yang kontradiktif.
Kedua, dari cara orang bertindak. Dalam konteks vegetarian adalah perilaku atau aktivitas
tidak mengonsumsi hewan/mahluk bernyawa sebagai sumber nutrisi. Ketiga, dari berbagai
artefak yang digunakan orang tersebut. Artefak-artefak dalam pelaku vegetarian bisa berupa
buku/teks panduan menjadi seorang vegetarian, data-data mengenai manfaat kesehatan dan
penyelamatan lingkungan sebagai salah satu manfaat vegetarian (Spradley, 1979: 10).
Pelaku vegetarian di Surabaya dalam persepektif ilmu sosial dikenal sebagai
Subkultur/budaya minoritas yang berbeda. Subkultur mengenal adanya perbedaan dalam
apresiasi terhadap suatu budaya tertentu, namun perbedaan suatu sikap budaya tidak
ditampilkan secara langsung atau frontal, tetapi disampaikan secara tidak langsung.
Pertentangan/resistensi tersebut diungkap secara tidak langsung di dalam bentuk gaya hidup.
Subkultur berkomunikasi melalui tindakan konsumsi yakni subkultur mengungkapkan
identitasnya dan mengomunikasikan maknanya melalui komoditas tertentu yang digunakan.
Dari tindakan konsumsi itulah dapat dikenali upaya memisahkan subkultur dari bentuk-
bentuk kultural yang lebih luas/ortodoks (Hebdige dalam Storey, 2006:152).

Dengan metode ini pelaku vegetarian baik dari IVS (Indonesian Vegetarian
Society/Non IVS berusaha untuk mengadakan upaya perlawanan simbolik terhadap: 1.
Budaya konsumtif masyarakat Surabaya yang lebih dominan. Yakni budaya mengonsumsi
mahkluk bernyawa/hewan meliputi sapi, ayam, ikan, telur dan lain-lain sebagai bahan pokok
yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat kota Surabaya (total lebih dari tiga juta
penduduk Surabaya pada Desember 2012). 2. Berbagai industri peternakkan di Surabaya dan
sekitarnya.
Pelaku vegetarian/Subkultur vegetarian Surabaya yang dimaksud adalah istilah bagi
pelaku vegetarian yang berdomisili di Surabaya baik yang tergabung dalam IVS dengan
jumlah anggota resmi di Surabaya lebih dari 1500 orang/Non IVS, pelaku vegetarian adalah
individu yang menghindari daging, telur dan makanan laut lainnya karena seorang vegan
menolak semua produk-produk yang terbuat dari binatang ternak dan hasil laut di dalam diet
yang dilakukan sebagai sebuah gaya hidup terbaik pilihannya, (Atlas, 2010: 2). Penelitian
terhadap pelaku vegetarian di Surabaya mendapatkan temuan bahwa seorang vegetarian akan:
1. Cenderung lebih sehat baik jasmani maupun rohani, bersikap sabar, penuh
cinta kasih, menghormati, menghargai terhadap semua mahkluk hidup baik
manusia, hewan serta tumbuhan karena sama-sama dianugerahi
kehidupan/nyawa oleh Tuhan.
2. Menghindari kekerasan dalam penyelesaian setiap masalah, meski masih
tetap bisa marah namun tidak meledak-ledak karena marah hanya boleh
untuk menegakkan kebenaran

Berdasarkan hasil temuan tersebut, dapat diduga terdapat korelasi positif antara individu yang
tidak mengonsumsi makanan berbasis hewan sebagai sumber nutrisi dengan sikap dan
perilaku kesehariannya. Apabila 10% saja dari penduduk Indonesia menerapkan pola hidup
Vegetarian, kemungkinan hal ini akan mampu mereduksi terjadinya berbagai potensi konflik
di masyarakat serta mengurangi ketergantungan atas impor daging dari Negara lain.

Penulis merupakan mahasiswa magister kajian sastra dan budaya pada Fakultas ilmu
Budaya Universitas Airlangga Surabaya. Lahir di Sidoarjo pada 22-01-1981, menyelesaikan
pendidikan dasar di SDN Barengkrajan I pada 1993, pada 1996 lulus dari SMPN I Krian serta
lulus SMAN I Krian pada 1999. Pada 2005 menyelesaikan pendidikan Sarjana Sastra
Indonesia dari Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Saat ini aktif sebagai tenaga pengajar di
SMK YPM 7 Tarik di Sidoarjo.

Tema analisis yang kedua yakni Ilmu Sosial, Metodologi dan Perkembangan Kontemporer
dengan Subtema Perkembangan Penelitian Sosial terhadap Perkembangan Ilmu Sosial

Bertujuan menjawab pertanyaan kedua yakni Kontribusi apa yang dapat dimainkan oleh
ilmuwan sosial di tengah kuasa tirani modal?

Anda mungkin juga menyukai