Anda di halaman 1dari 39

Case Report Cession

Morbus Hansen

Oleh :

Rijal Fikri Mardhatillah 1940312007


Viton Surya Irlaks 1840312685

Preseptor :

Dr. dr. Qaira Anum, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

dr.Ennesta Asri, Sp.KK, FINSDV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019

0
DAFTAR ISI

hal
DAFTAR ISI ............................................................................................................ i

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................1

1.1. Latar Belakang ..............................................................................................1

1.2. Batasan Masalah ...........................................................................................2

1.3. Tujuan Penulisan ...........................................................................................2

1.4. Metode Penulisan ..........................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................3

2.1. Definisi Morbus Hansen ...............................................................................3

2.2. Epidemiologi Morbus Hansen ......................................................................3

2.3. Etiologi .........................................................................................................4

2.4. Patofisiologi ..................................................................................................4

2.5. Manifestasi Klinis .........................................................................................7

2.6. Reaksi Kusta ...............................................................................................12

2.7. Diagnosis.....................................................................................................13

2.8. Pemeriksaan Penunjang ..............................................................................19

2.9. Penatalaksaan ..............................................................................................21

2.10. Pencegahan Kecacatan ..............................................................................24

BAB 3 LAPORAN KASUS ..................................................................................26

3.1 Anamnesis ....................................................................................................26

3.2 Pemeriksaan Fisik ........................................................................................28

3.3 Pemeriksaan Sensibilitas ..............................................................................29

3.4 Pembesaran Saraf Perifer ............................................................................30

3.5 Pemeriksaan Motoris ...................................................................................30

3.6 Pemeriksaan kecacatan ................................................................................30

i
3.7 Resume.............. .......................................................................................... 31

3.8 Diagnosis Kerja........................................................................................... 31

3.9 Diagnosis Banding ...................................................................................31

3.10 Pemeriksaan Rutin .................................................................................31

3.11 Tatalaksana ............................................................................................32

3.12 Prognosis............ ....................................................................................32

BAB 4 DISKUSI ......................................................................................................1

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................3

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun
yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang
sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan
istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini
sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen
pada tahun 1874. 1
Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi kronik granulomatosa
yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 2 Jumlah
kasus kusta yang tercatat WHO pada tahun 2014 di dunia sebanyak 213.899 orang
pasien baru. Kemudian pada tahun 2015 jumlah penderita kusta baru tercatat
sebanyak 210.578 orang. 4,5
Status kusta di Indonesia tahun 2000 adalah eliminasi, dimana terdapat <1
kasus per 10.000 penduduk. Angka prevaensi kusta tahun 2017 merupakan angka
terendah dalam 5 tahun terakhir yaitu sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk. Jumlah
kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah 21.538 orang. Menurut data
Depkes, pada tahun 2013 Sumatera Barat merupakan provinsi dengan peringkat ke-
19. 2-5
Untuk menegakkan diagnosis kusta, setidaknya ditemukan satu tanda
kardinal, yaitu bercak kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi, dan adanya basil
tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear). Obat antikusta
yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon)
kemudian klofazimin dan rifampisin. Untuk mencegah resistensi, pengobatan
tuberkulosis telah menggunakan multidrug treatment (MDT) sejak tahun 1951,
sedangkan untuk kusta baru di mulai pada tahun 1971. 2,3

1
Morbus Hansen adalah penyakit yang ditakuti karena dapat menyebabkan
ulserasi, multilasi, dan deformitas. Kerusaan saraf yang terjadi dapat bersifat
irreversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik. Sehingga diperlukan
pengetahuan mengenai etiologi, patogenesis, diagnosis, dan pengobatan penyakit
tersebut. 2
1.2. Batasan Masalah
Penulisan case report session ini membahas tentang definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatatalaksanaan, komplikasi
dan prognosis morbus Hansen.
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan case report session ini bertujuan untuk mengetahui dan
memahami mengenai morbus Hansen.
1.4. Metode Penulisan
Penulisan case report session ini disusun berdasarkan studi kepustakaan
yang merujuk kepada berbagai literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Morbus Hansen


Morbus Hansen atau dengan nama lain kusta atau lepra adalah penyakit
infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat
intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat.2
2.2. Epidemiologi Morbus Hansen
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar
diseluruh dunia disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit
tersebut. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan
kurang lebih 13%, tetapi jarang pada anak dibawah umur 1 tahun. Frekuensi
tertinggi terdapat pada kelompok umur 23-35 tahun. 2
Kusta terdapat diseluruh dunia terutama Asia, Afrika, Amerika latin daerah
tropis dan subtropis serta sosial ekonominya rendah. 2 Kusta terdapat di 120 negara
di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis dengan hotspot di Afrika
Tengah, sebagian Asia dan Brasil. 2 Jumlah kasus kusta diseluruh dunia selama 12
tahun terakhir ini menurun disebagian besar negara atau daerah endemis. Kasus
yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal
dari 121 negara sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 tercatat 249.007.
Berdasarkan Global Leprosy Update tahun 2017 yang dikeluarkan oleh
WHO di dapatkan bahwa jumlah pasien baru yang di diagnosis kusta sebanyak
192.713 orang yang tersebar di 150 negara. Persebaran terbanyak pasien kusta baru
diketahui berada di daerah Asia Tenggara (119.055 kasus), kemudian disusul
dengan Amerika (31.527 kasus), Afrika (30.654 kasus), Pasifik Barat (7.040 kasus),
Timur Tengah (4.0405 kasus) dan Eropa (32 kasus). Terdapat peningkatan kejadian
di seluruh dunia kecuali Eropa.
Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah
21.538 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 17.441 orang. 2 Selama periode
2008 – 2013 di Indonesia, angka penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013

3
merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.00 penduduk dengan
prevalensi berkisar 0,79-0,96 per 10.000 penduduk. 3 Indonesia merupakan negara
yang menjadi salah satu dari 22 negara yang menjadi prioritas global dalam 10
tahun terakhir. Status kusta di Indonesia tahun 2000 adalah eliminasi, dimana
terdapat <1 kasus per 10.000 penduduk. Angka prevalensi kusta tahun 2017
merupakan angka terendah dalam 5 tahun terakhir yaitu sebesar 0,70 kasus/10.000
penduduk (Gambar 2.1). Jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009
adalah 21.538 orang. Menurut data Depkes, dalam tahun 2015-2017 jumlah
penderita baru kusta tidak mengalami perubahan signifikan. 2-5

Gambar 2.1 Jumlah pasien baru kusta di indonesia 5 tahun terakhir

2.3. Etiologi
Penyebab morbus Hansen adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan
oleh G.A Hansen tahun 1874 di Norwegia. M.leprae berupa batang lurus dengan
panjang sekitar 1 sampai 8 μm dan diameter 0,3 μm. 5 Kuman ini merupakan basil
gram positif yang tahan asam dan alkohol.2

2.4. Patofisiologi
M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala
yang lebih berat, ataupun sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda,

4
sehingga mempengaruhi timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh
yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat
disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan
tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. 1,2

Masuknya kuman penyebab kusta yang dikenal dengan M. leprae sampai


sekarang masih belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian telah
memperlihatkan M. leprae masuk kedalam tubuh paling sering melalui kulit
terutama kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan juga melalui
mukosa nasal. Adanya kuman didalam tubuh akan menyebabkan terjadinya suatu
reaksi antara tubuh dengan kuman penyebab dengan mengeluarkan makrofag untuk
melakukan proses fagositosis. 7,8

M.leprae memiliki sel target untuk pertumbuhannya yaitu sel Schwann,


disamping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Apabila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel
Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Sehingga kondisi ini
menyebabkan aktifitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang
progresif. 7 Gejala klinis klinis yang timbul akibat terinfeksi M.leprae bergantung
dari respon tubuh terhadap mikroorganisme tersebut. Jika imunitas seluler orang
tersebut bagus dan kuat, maka gejala klinis yang terjadi adalah MH tipe tuberkuloid.
Apabila imunitas selulernya lemah, maka gejala klinisnya adalah MH tipe
lepramatosa.7

a. Patogenesis MH tipe tuberkuloid


MH tipe tuberkuloid (TT), memilik fungsi sistem imunitas seluler yang
tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman melalui proses
fagositosis. Setelah semua kuman difagositosis, makrofag berubah menjadi sel
epiteloid yang tidak bergerak aktif dan terkadang bersatu membentuk sel datia
Langhans. Apabila kondisi infeksi ini tidak segera diatasi maka akan menimbulkan
kerusakan saraf dan jaringan .sekitarnya akibat reaksi berlebihan dan masa
epiteloid. 7

5
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dengan kulit
penderita atau melalui inhalasi, kemudian masuk melalui pembuluh limfe dan darah
kemudian mencapai target dari basal antara lain : 7
1. Sel Schwann saraf tepi
2. Sel endotel pembuluh darah
3. Sel pericytes pembuluh darah
4. Sel monosit dan makrofag
Imunitas seluler seseorang pada MH tipe TT menjadi kompenen cukup
penting dalam mengatasi kuman. Imunitas seluler yang tinggi ditandai dengan uji
lepromin yang positif. Hal ini dapat mengakibatkan dalam waktu yang singkat sel-
sel radang akan berkumpul ke sekitar makrofag atau sel Schwann. Tujuan sel
radang tersebut adalah memfagosit kuman-kuman dan mengaktifkan makrofag
untuk menghancurkan kuman M. leprae. Efek samping dari peradangan tersebut
akan menyebabkan penekanan pada saraf sehingga proses anestesinya terjadi lebih
cepat dan berat. 7
Peradangan terjadi hanya disekitar sel Schwann yang terbatas pada saraf
kulit saja, tidak masuk ke pembuluh darah. Hal ini menyebabkan lesi hanya sedikit
dan asimetris, dengan batas tegas karena dibatasi oleh sel radang, kelenjar ekrin dan
pilosebaseus akan tertekan sehinggamenyebabkan keringat berkurang, kulit kering
7
dan rambut kulit tidak ada.

b. Patogenesis MH tipe lepramatosa


Pada MH tipe lepramatosa (LL) terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular
sehingga makrofag yang berperan dalam proses fagositosis tidak mampu
menghancurkan kuman. Hal ini menyebabkan terjadinya multifikasi kuman secara
bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Sistem imun seluler yang rendah dan
ditandai dengan uji lepromin negatif menyebabkan proses fagositasis menjadi
lemah, sehingga kuman bermultiplikasi lebih banyak di dalam sel makrofag atau
sel Schwann. 6,7
Makrofag yang tidak mampu melakukan proses fagositosis berubah menjadi
sel Virchow atau Foam cell yang mengandung banyak kuman basil sehingga
apabila kondisi ini terus berlanjut maka kuman basil yang banyak akan
menyebabkan pecahnya Foam cell sehingga kuman basil akan keluar kemudian di

6
tangkap oleh sel Schwann yang lain sehingga terjadi penyebaran sesuai dengan
jaras saraf tepi. Kemudian kuman basil akan masuk kedalam aliran darah dan
menimbulkan lesi pada kulit dengan jumlah banyak, simteris, batas tegas, dengan
anestesi yang lama terjadi. 6,7

c. Patogenesis MH tipe Borderline


Pada MH tipe ini klinisnya berada di antara tipe tuberkuloid dan
lepromatosa dapat berubah tipe karena merupakan tipe yang tidak stabil. 2,8

2.5. Manifestasi Klinis


Diagnosis penyakit kusta didasarkan atas gambaran klinis, bakterioskopis,
histopatologis, dan serologis. Jika memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin
untuk membantu penentuan tipe. Namun hasilnya cukup lama diketahui hyaitu
sekitar 3 minggu. M. Leprae yang masuk kedalam tubuh seseorang, dapat
menimbulkan gejala klinis sesuai dengan kerentanan atau imunitas orang tersebut.
Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler penderita. Bila imunitas
seluler baik akan tambah gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya jika
sistem imunitas seluler rendah memberikan gambaran lepromatosa. Manifestasi
klinis penyakit MH pada pasien mencerminkan tingkat kekebalan selular pasien
tersebut. Gejala dan keluhannya tergantung pada: 7-9
1. Multifikasi dan diseminasi kuman M.leprae
2. Respon imun penderita terhadap kuman M.leprae
3. Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Terdapat tiga tanda kardinal pada penyakit kusta. Jika terdapat 1 dari 3 tanda
tersebut sudah cukup untuk menetapkan diagnosis penyakit MH ini. Tanda kardinal
7-9
tersebut diantaranya:
1. Lesi kulit yang anestesi
2. Penebalan saraf perifer
3. Ditemukan M. leprae (bakteriologis positif)
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai adalah klasifikasi menurut Ridley
dan Jopling yang mengelompokan penyakit MH menjadi 5 kelompok berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis. 2

7
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat
ditemukan lesi yang regrasi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik
dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea
sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan
otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman
merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman
MH. 9

2. Tipe Boderline Tuberkuloid (BT)


Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang
sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid.
Gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit
biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal. 9

3. Tipe Mid Borderline (BB)


Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe penyakit MH.
Merupakan bentuk dimorfik. Lesi dapat berupa makula infiltratif, permukaan lesi
dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT
dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik dalam ukuran, bentuk, ataupun
distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini. 9

4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)


Lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan
dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi
bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris
dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah
sering tampak normal dengan bagian pinggir dalam infiltrat lebih jelas
dibandingkan dengan pingir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched
out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa kerusakan sensasi, hipopigmentasi,
berkurangnya keringat, dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan
dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat-tempat penebalan saraf.

8
5. Tipe Lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu,
cuping telinga, sedangkan di badan mengenai bagian yang dingin seperti lengan,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut
terdapat penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka
menjadi kasar, dan cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai dengan
madarosis, iritis, keratitis. Lebih lanjut dapat terjadi deformitas hidung. 8
Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat
terjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and
glove anaesthesia. Bila menjadi progresif, muncul makula dan papula baru
sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut
saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi
dan pengecilan otot tangan dan kaki. 1,8

Tabel 2.1 Klasifikasi Morbus Hansen 1

9
Gambar 2.2 Soliter, anestesi dan lesi anular pada tuberkuloid polar leprosy,
yang telah ada sejak 3 bulan. Tepi yang tajam, dan eritem. Pinprick perception
pada sentral lesi tidak ada. Sentral lesi lebih hipopigmentasi jika dibandingkan
dengan kulit sekitarnya yang normal.6

Gambar 2.3 beberapa lesi Borderline leprosy (BT), ysng memiliki


konfigurasi anular yang inkomplit dengan papul satelit. bandingan dengan TT lesi,
lesi in lebih kurang eritema. 6

10
Tabel 2.2 Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Pausibasiler 2

Tabel 2.3 Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler 2

Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan
kedalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,

11
BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus di obati
dengan regimen MDT-TB.2
Tabel 2.4 Klasifikasi Klinis Kusta Berdasarkan WHO 1995 2

2.6. Reaksi Kusta


Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum jelas, terminologi
dan klasifikasi masih bermacam-macam. Mengenai patofisiologinya yang belum
jelas tersebut akan dijelaskan secara imunologik. Reaksi imun dapat
menguntungkan tetapi dapat juga merugikan yang disebut reaksi imun patologik
dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya. Dalam klasifikasi yang bermacam-
macam itu yang tampaknya paling banyak di anut pada akhir – akhir ini, yaitu ENL
(eritema nodusum leprosum) dan reaksi reversal atau reaksi upgrading. 2
ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL,
berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbul ENL.
Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena
kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. Leprae + antibodi (IgM, IgG) +
Komplemen  kompleks imun.2
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat
menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis
dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konsitusi dari
ringan sampai berat. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau
seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru yang relatif
singkat, arttinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi makula menjadi infiltrat,
lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.2

12
Reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan lesi eritema nodusum
sedangan reversal tanpa nodusm sehingga disebut reaksi lepra nodular, sedangkan
reaksi reversal adalah reaksi non nodular. Hal ini penting membantu menegakkan
diagnosis atas dasar lesi ada atau tidaknya nodus. Kalau ada berarti reaksi non
nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline. 2
2.7. Diagnosis
Diagnosa pasien kusta dapat ditegakkan berdasarkan pada penemuan tanda
kardinal (minimal 1 tanda kardinal) yaitu: 1,2,8
1. Bercak kulit yang mati rasa
Ditemukannya bercak kulit yang hipopigmentasi atau eritematosa,mendatar atau
meninggi.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang
terkena:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa/rasa berkurang
b. Gangguan fungsi motorik
Adanya pembesaran saraf perifer yang diketahui dengan cara palpasi
bisanya mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf yang bersangkutan.
Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle test. Saraf perifer yang
diperiksa antara lain : n. fasialis, n. Aurikularis magnus, n. radialis, n. ulnaris, n.
medianus, n. poplitea lateralis, dan n. tibialis posterior. Pada pemeriksaan akan
dinilai hal-hal sebagai berikut:
• Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan
• Ada pembesaran saraf atau tidak
• Bentuk pembesaran regular (smooth) atau irregular,bergumpal
• Perabaan keras atau kenyal
• Nyeri atau tidak
c. Gangguan fungsi otonom kulit kering,edema, pertumbuhan rambut terganggu.
3. Adanya basil tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).
Lokasi pengambilan kerokan jaringan kulit adalah kulit cuping telinga dan
lesi kulit pada bagian yang aktif. Bahan kadang-kadang diperoleh dari biopsi kulit
atau saraf. Untuk menegakkan diagnosis kusta, setidaknya ditemukan satu tanda

13
kardinal, bila tidak maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan perlu
diperhatikan klinisnya dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta
dapat ditegakkan atau disingkirkan, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan
1,2,8,9
diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. Bila ditemukan tanda kardinal di
atas maka pasien adalah tersangka kusta,observasi dan periksa ulang setelah 3-6
bulan. 9
Cara Pemeriksaan Kusta
1. Cara Pemeriksaan :
a. Anamnesis: 2,9
- Keluhan yang ada/kapan timbul bercak .
- Apakah ada riwayat kontak .
- Riwayat pengobatan sebelumnya.
b. Pemeriksaan kulit / rasa raba.
Untuk memeriksa rasa raba dengan memakai ujung kapas yang dilancipkan
kemudian disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai,
sebaiknya penderita duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dulu petugas
menerangkan bahwa bilamana merasa disentuh bagian tubuh dengan kapas, ia harus
menunjuk kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya,menghitung jumlah sentuhan
atau dengan menunjukkan jari tangan keatas untuk bagian yang sulit dijangkau, ini
dikerjakan dengan mata terbuka bilamana hal ini telah jelas,maka ia diminta
menutup matanya. Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian untuk
mengetahui ada tidaknya anestesi. pada telapak tangan dan kaki memakai bolpoin
2,9
karena pada tempat ini kulit lebih tebal.
c. Pemeriksaan saraf (nervus )
Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering
diutamakan pada saraf ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya cacat
kusta mengikuti kerusakan pada saraf-saraf utama. 2,9

2. Teknik Pemeriksaan Saraf: 1,9


a. Saraf Ulnaris.
Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita dengan
posisi siku sedikit ditekuk sehingga lengan penderita rileks. Dengan jari telunjuk
dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba saraf ulnaris di dalam

14
sulkus nervi Ulnaris yaitu lekukan diantara tonjolan tulang siku dan tonjolan kecil
di bagian medial (epicondilus medialis). 1,9
Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil digulirkan dan
menelusuri keatas dengan halus sambil melihat mimik / reaksi penderita adalah
tampak kesakitan atau tidak. 1,9
b. Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis). 1,9
1) Penderita diminta duduk disuatu tempat (kursi, dll.) dengan kaki dalam
keadaan rileks.
2) Pemeriksa duduk di depan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki-
kiri penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan .
3) Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis
bagian luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai menemukan
benjolan tulang (caput fibula) setelah menemukan tulang tersebut jari
pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm ke arah belakang .
4) Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian kekanan dan
kiri sambil melihat mimik / reaksi penderita.
c. Saraf Tibialis Posterior. 1,9
1) Penderita masih duduk dalam posisi rileks .
2) Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis Posterior
dibagian belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam(maleolus
medialis)dengan tangan menyilang (tangan kiri memeriksa saraf tibialis kiri
dan tangan kanan pemeriksa memeriksa saraf tibialis posteior kanan pasien )
3) Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik /
reaksi dari penderita.
3. Pemeriksaan Gangguan Fungsi Saraf
Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu diperiksa
adalah Mata, Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba dan Kekuatan Otot.
Alat yang diperlukan : ballpoint yang ringan dan kertas serta tempat duduk untuk
penderita. 1,9
Cara pemeriksaan Fungsi Saraf.Periksa secara berurutan agar tidak ada
yang terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki. 1,9

15
1. Mata
Fungsi Motorik (Saraf Facialis )
a. Penderita diminta memejamkan mata.
b. Dilihat dari depan / samping apakah mata tertutup dengan sempurna / tidak,
perhatikan apakah ada celah atau tidak.
c. Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat,
1,9
misal lagofthalmus ± 3 mm, mata kiri atau kanan.
Catatan : Untuk fungsi sensorik mata (pemeriksaan kornea, yaitu fungsi
saraf Trigeminus) tidak dilakukan dilapangan. 1,9
2. Tangan
1) Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus ) 1,9
a. Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha
penderita atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian rupa,
sehingga semua ujung jari tersangga.
b. Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil
memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoint pada lengannya
dan satu atau dua titik pada telapak tangan
c. Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk menunjukkan
tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain .
d. Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif.
e. Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan
yang diperiksa.
f. Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh .
g. Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan
h. Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm.

2) Fungsi Motorik (Kekuatan Otot)Saraf Ulnaris, Medianus dan Radialis.


a. Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking).
- Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan kanan
penderita dengan telapak tangan penderita menghadap keatas dan posisi
ektensi (jari kelingking / 5 bebas bergerak tidak terhalang oleh tangan
pemeriksa .

16
- Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari-jari
lainnya,bila penderita dapat melakukannya minta ia menahan
kelingkingnya pada posisi jauh dari jari lainnya , dan kemudian ibu jari
pemeriksa mendorong pada bagian pangkal kelingking. 1,9
Penilaian :
- Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh berarti
dari jari lainnya berarti lumpuh.
- Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa
berarti lemah .
- Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongapemeriksa ibu jari
bisa maju dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa berarti masih
kuat. 1,9
Bila masih ragu , penderita diminta menjepit sehelai kertas yang
diletakkan diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu pemeriksa
menarik kertas tersebut sambil menilai ada tidaknya tahanan / jepitan terhadap
kertas tesebut. 1,9
Penilaian :
- Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah .

- Bila ada tahanan terhadap kertas tersebut berarti otot masih kuat. 1,9
b. Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari )
- Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking
tangan kanan penderita agar telapak tangan penderita menghadap
keatas,dan dalam posisi ekstensi .
- Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap telapak
tangan penderita (seakan-akan menunjuk kearah hidung) dan penderita
diminta untuk mempertahankan posisi tersebut.
- Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian batas
antara punggung dengan telapak mendekati telapak tangan. 1,9
Penilaian :
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah .
1,9
- Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh.

17
c. Saraf Radialis ( Kekuatan otot Pergelangan tangan ).
- Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan
kanan penderita .
- Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang terkepal
keatas (ektensi).
- Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi (keatas) lalu dengan
tangan kanan pemeriksa menekan tangan penderita kebawah kearah
fleksi. 1,9
Penilaian :
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .
- Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh (pergelangan tangan
tidak bisa digerakkan keatas). 1,9
3. Kaki
a) Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior)
- Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak kaki
menghadap keatas .
- Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita .
- Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan.
- Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan
berdiameter 1 cm.
- Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm. 1,9
b) Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis)
- Dalam keadaan duduk ,penderita diminta mengangkat ujung kaki
dengan tumit tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan
dengan tumit).
- Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa
dengan kedua tangan menekan punggung kaki penderita
kebawah/lantai. 1,9
Keterangan:
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat.
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .

18
- Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa
ditegakkan keatas). 1,9
2.8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit). 1
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu penegakan
diagnosis dan followup pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit yang
di warnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain dengan
Ziehl-Neelsen. Hasil pemeriksaan bakterioskopik yang negatif pada seorang
penderita, belum tentu orang tersebut tidak mengandung kuman lepra.2,9
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.
2,9
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).
Tabel 2.5 Kepadatan BTA 1,2

Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan


jumlah solid dan nonsolid. 1,2
Jumlah BTA solid
Rumus : x 100% = x %
Jumlah BTA solid + non solid

Syarat perhitungan:
a. Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
b. IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk medapat 100 BTA harus
mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapangan
c. Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum
harus dicari dalam 100 lapangan. 1,2

19
b. Pemeriksaan Histopatologik
Granuloma adalah akumulasi makrofag atau derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan bersifat non solid. Pada tipe
lepromatosa terdapat zona sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat campuran
unsur-unsur tersebut.2
Tabel 2.6 Karakteristik histologis berbagai tipe kusta menurut Ridley-Jopling.2

c. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-
1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi tidak spesifik
antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh
kuman M. Tuberculosis. 2
Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah dapat membantu diagnosis
kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Di
samping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis karena tidak didapati lesi
2
kulit, misalnya pada kontak serumah.

20
Macam-macam pemeriksaan serologik kusta adalah uji MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay) dan uji ML dipstick (Mycobacterium Leprae Dipstick). 2
2.9. Penatalaksaan
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Untuk mencegah
resistensi , pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multidrug treatment
(MDT) sejak tahun 1951, sedangkan untuk kusta baru di mulai pada tahun 1971. 2
Regimen pengobatan MDT
Kombinasi obat dapson (DDS), rifampisin, dan klofazimin (lampren)
bertujuan untuk mengurangi resistensi dapson, memperpendek masa pengobatan,
mempercepat memutus mata rantai penularan, serta mengurangi ketidak-taatan
pasien dan menurunkan angka putus obat. 7 Berdasarkan klasifikasi WHO (1997)
untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu
pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan lesi 2-5 buah dan penderita
multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Oleh sebab itu skema rejimen MDT-
WHO menjadi sebagai berikut: 9
1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan
sekali, di bawah pengawasan, ditambah dengan DDS 100 mg/hari (1-2
mg/kgBB) swakelola selama 6 bulan.
a. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi
rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, DDS 100 mg/hari
swakelola ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari
swakelola. Lama pengobatan 1 tahun.
b. Rejimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah
dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
c. Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan dengan
9
berat badan.
Berikut merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT: 7,9
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibawah ini:

21
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe
Berikut merupakan regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan
yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut: 8,9
Tabel 2.7 Pengobatan Morbus Hansen Pausibasiler 8,9

Keterangan:
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum diminum didepan petugas)

- 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600 mg)


- 1 tablet dapson/DDS 100mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28

- 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Tabel 2.8 Pengobatan Morbus Hansen Multibasiler. 8,9

22
Keterangan:
a. Dewasa
- Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
 3 tablet lampren @ 100mg (300 mg)
 1 tablet dapson/DDS 100 mg
- Pengobatan harian: hari ke 2-28

 1 tablet lampren50 mg
 1 tablet dapson/DDS 100 mg 8,9
b. Dosis MDT MB untuk anak (10-14 tahun)
- Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminumdi depan petugas)
 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
 1 tablet dapson/DDS 50 mg
- Pengobatan harian: hari ke 2-28
 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
 1 tablet dapson/DDS 50 mg 8,9
Pengobatan Reaksi Kusta
Prinsip pengobatan reaksi kusta : 8,9
 Pemberian obat antireaksi
 Istirahat atau imobilisasi
 Analgetik, sedatif untuk mengatasi rasa nyeri
 Obat anti kusta diteruskan
Pada Reaksi ENL obat yang sering dipakai adalah prednison. Dosisnya
tergantung kepada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari,
kadang-kadang lebih tergantung makin beratnya reaksi. Klofazimin sebagai obat
antikusta dapat juga dipakai sebagai anti reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih
2,8
tinggi, biasanya 200-300 mg sehari.
Lampren/ klofazimin diberikan dengan cara: 9
 3 x 100 mg/hari selama 2 bulan
 2x 100 mg/hari selama 2 bulan

23
 1 x 100 mg/hari selama 2 bulan
Pada reaksi reversal perlu diperhatikan, apakah reaksi disertai neuritis atau
tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberikan pengobatan tambahan.
Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya
disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednison 40-60
mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-perlahan. Anggota gerak yang terkena
neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif kalau diperlukan dapat
diberikan, klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif. 2
Cara pemberian kortikosteroid : 9
 Dimulai dengan dosis tinggi atau sedang
 Gunakan prednison atau prednisolon
 Gunakan sebagai dosis tunggal pagi hari
 Dosis diturunkan setelah terjadi respon maksimal
 Dosis dapat dimulai antara 40-80 mg prednison/ hari dan diturunkan 5-10
mg/ 2 minggu
Tabel 2.9 Pemberian prednison 1,8

2.10. Pencegahan Kecacatan


Cara terbaik untuk melakukan pencegahan kecacatan atau prevention of
disabilities adalah (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat, selanjutnya dengan mengenali
gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai
pengobatan sesegera mungkin. 1
WHO expert Committee on leprosy (1997) membuat klasifikasi kecacatan
pada penderita kusta, yaitu: 1

24
Cacat pada tangan dan kaki
a. Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat.
b. Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas
yang terlihat
c. Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
a. Tingkat 0 : tidak ada kelainan / kerusakan pada mata (termasuk visus)
b. Tingkat 1 : ada kelainan / kerusakan pada mata tetapi tidak terlihat dengan
visus sedikit berkurang
c. Tingkat 2: ada kelainan mata yang terlihat dan atau visus yang terganggu
Kerusakan pada tangan atau kaki dapat berupa ulserasi, absorbs, mutilasi,
dan kontraktur.Kerusakan pada mata dapat berupa anestesi kornea, iridosiklitis, dan
lagoftalmos. 1,2

2.11. Prognosis
Pada penderita yang tidak diberi pengobatan maka pasien dapat sembuh
sendirinya yaitu pada tipe TT atau pasien BT yang beralih ke TT. Di lain hal
penyakit ini dapat menjadi progresif dengan kejadian morbiditas pada kerusakan
saraf dan reaksi kusta. 1,2

25
BAB 3
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.I
Umur : 59 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nomor RM : 01.05.59.54
Pekerjaan : Pedagang
Pendidikan : SMA
Alamat : Aia Pacah, Padang
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Minang
Negeri Asal : Indonesia

Anamnesis

Seorang pasien laki-laki berusia 59 datang ke poliklinik kulit dan kelamin


RSUP. Dr. M. Djamil Padang, dengan:

Keluhan Utama

- Bercak merah yang mati rasa pada wajah sebelah kanan sekitar 8 bulan yang
lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


− Awalnya timbul bercak merah yang mati rasa sebesar koin pada pipi wajah
sebelah kanan sekitar 8 bulan yang lalu.
− Bercak merah yang mati dirasakan semakin membesar hingga ke area sekitar
mata kanan sekitar 6 bulan yang lalu.
− Pasien mengobati keluhan ini ke salah satu dokter Sp.KK di kota Padang, lalu
diberikan obat berupa tablet yang tidak diketahui namanya, pasien lupa warna
obatnya dan dikonsumsi tiga kali sehari serta obat oles berupa krim
berwarna

26
putih dioleskan dua kali sehari. Bercak merah dirasakan berkurang warnanya,
namun keluhan mati rasa masih ada.
− Bercak merah tidak ada rasa gatal, tidak ada nyeri, tidak ada kesemutan, namun
hanya terasa tebal.
− Riwayat penglihatan kabur ada sejak 6 bulan yang lalu dan kotoran mata tidak
ada.
− Riwayat kelopak mata tidak dapat menutup sempurna tidak ada.
− Demam dan riwayat demam disangkal.
− Riwayat kerontokan alis sebelah kanan lebih kurang 4 bulan yang lalu ada.
− Riwayat sendal terlepas secara tidak sadar tidak ada.
− Pasien tidak ada merasakan kebas atau kurang rasa pada ujung jari tangan dan
kaki.
− Riwayat hidung kurang penciuman atau tersumbat lama disangkal.
− Riwayat suara serak disangkal.
− Riwayat pendengaran berkurang disangkal.
− Riwayat tangan yang susah digerakkan tidak ada
− Riwayat tungkai yang susah digerakkan tidak ada.
− Riwayat memakai alat mandi bersama tidak ada.
− Riwayat pemakaian handuk secara bersama disangkal.
− Riwayat pelihara binatang atau kontak dengan binatang tidak ada.
− Riwayat alergi memakai kacamata atau cat rambut disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


− Riwayat bercak merah yang mati rasa pada pipi kanan sebelumnya tidak ada.
− Riwayat kontak lama dengan orang yang memiliki keluhan bercak merah yang
mati rasa pada pipi kanan tidak ada.
− Pasien tidak pernah mendapatkan imunisasi BCG.
− Riwayat batuk-batuk lama dan minum obat paket 6 bulan disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


− Riwayat anggota keluarga dengan keluhan bercak merah yang mati rasa pada
pipi kanan tidak ada.
− Riwayat anggota keluarga dengan batuk lama dan konsumsi obat paket 6 bulan
disangkal
− Riwayat atopi pada keluarga disangkal.

27
Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi
− Pasien seorang pedagang toko kelontong.
− Pasien menikah dan mempunyai 3 orang anak.
− Pasien berasal dari Padang.
− Pasien pernah merantau selama 8 tahun di Jakarta, riwayat tinggal atau
mengungsi di daerah endemis kusta tidak ada.

Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Komposmentis Kooperatif
Nadi : 78 x/menit
Napas : 18 x/menit
Berat Badan : 67 kg
Tinggi badan : 166 cm
IMT : 22,48 kg/m2
Status gizi : Normoweight
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
KGB : Tidak ada pemebesaran
Pemeriksaan thorak : Dalam batas normal
Pemeriksaan abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : CRT < 2 detik, edema tidak ada

Status Dermatologikus
Lokasi : Wajah kanan di sekitar mata
Distribusi : Terlokalisir, unilateral
Bentuk : Tidak khas
Susunan : Tidak khas
Batas : Tegas
Ukuran : Plakat
Effloresensi : Plak eritem dengan skuama putih
Status Venerologikus : Tidak dilakukan pemeriksaan

28
Kelainan selaput : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan kuku : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan rambut : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan Kelenjar Limfe : Tidak terdapat pembesaran KGB

Pemeriksaan Sensibilitas
- Rasa raba: Hipoestesi pada lesi.
- Rasa tusuk : Hipoestesi pada lesi.

29
Pembesaran Saraf Perifer
- N. Aurikularis Magnus
Kanan: Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
Kiri : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
- N. Ulnaris
Kanan : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
Kiri: Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
- N. Peroneus Lateral
Kanan : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
Kiri : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
- N. Tibialis Posterior
Kanan :Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
Kiri :Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)

Pemeriksaan Motoris:
- M. orbicularis oculi : kuat
- M. abductor digitiminimi : kuat
- M. interoseous dorsalis : kuat
- M. abductor pollicis brevis : kuat
- M. tibialis anterior : kuat

Pemeriksaan kecacatan :
- Mutilasi : Tidak ada
- Absorbsi : Tidak ada
- Atrofi otot : Tidak ada
- Xerosis kutis : Ada
- Ulkus trofik : Tidak ada
- Madarosis : Ada
- Lagoftalmus : Tidak ada
- Claw hand : Tidak ada
- Ape hand : Tidak ada
- Wrist drop : Tidak ada

30
- Dropped foot : Tidak ada
- Facies leonina : Tidak ada

Resume
Seorang pasien laki-laki berusia 59 tahun datang ke poliklinik kulit dan
kelamin RSUP. Dr. M. Djamil Padang, dengan keluhan utama bercak merah yang
mati rasa pada wajah sebelah kanan sekitar 8 bulan yang lalu. Awalnya timbul
bercak merah yang mati rasa sebesar koin pada pipi kanan sekitar 8 bulan yang lalu.
Bercak merah tidak ada rasa gatal, tidak ada nyeri, tidak ada kesemutan. Bercak
merah yang mati rasa dirasakan semakin membesar hingga ke area sekitar mata
kanan sekitar 6 bulan yang lalu. Pasien mengobati keluhan ini ke salah satu dokter
Sp.KK di kota Padang, lalu diberikan obat berupa tablet yang tidak diketahui
namanya, pasien lupa warna dan dikonsumsi tiga kali sehari serta obat oles berupa
krim berwarna putih dioleskan dua kali sehari. Bercak merah dirasakan berkurang
warnanya, namun keluhan mati rasa masih ada. Riwayat kerontokan alis sebelah
kanan lebih kurang 4 bulan yang lalu. Pasien dilakukan pemeriksaan BTA dan
ditemukan hasil BTA negatif. Pasien disarankan untuk melakukan biopsi
jaringan, namun pasien menolak. Riwayat konsumsi obat paket 6 bulan disangkal.
Pasien merupakan seorang pedangan toko kelontong dengan aktivitas fisik sedang.
Pada pemeriksaan fisik umum dalam batas normal. Pemeriksaan status
dermatologikus ditemukan plak eritem, skuama putih pada wajah kanan di sekitar
mata dengan bentuk tidak khas, susunan tidak khas, batas tegas , dengan ukuran
plakat.

Diagnosis Kerja
Morbus Hansen suspek tipe TT
Diagnosis Banding
- Tinea Fascialis
Tatalaksana
Tatalaksana Umum
 Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit kusta disebabkan oleh infeksi M.
leprae dan komplikasinya dapat menyebabkan kecacatan.
 Menjelaskan kepada pasien untuk berobat secara teratur dan tidak boleh putus

31
obat serta menjelaskan mengenai efek samping obat yang dapat membaik
setelah obat dihentikan.
 Menerangkan kepada pasien untuk selalu memakai sarung tangan setiap akan
memegang benda panas atau setiap akan bekerja menggunakan benda tajam.
 Selalu memakai sandal setiap akan berakifitas jika perlu memakai kaus kaki
 Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan merawat luka.
 Menyarankan untuk melakukan pemeriksaan pada anggota keluarga serumah
karena penyakit ini merupakan penyakit yang menular pada kontak lama dan
erat.
Tatalaksana Khusus

 MDT-PB 1x1

 Vitamin B kompleks tab 1 x 1


 Zinc tab 1 x 20 mg
 Tupepe krim 2 x sehari pada kulit kering

Prognosis
 Quo ad Vitam : Bonam
 Quo ad Sanam : Dubia ad Bonam
 Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam

32
 Quo ad kosmetikum : Dubia ad Malam

1
BAB 4
DISKUSI

Seorang pasien laki-laki berusia 59 tahun datang ke poliklinik kulit dan


kelamin RSUP. Dr. M. Djamil Padang, dengan keluhan utama bercak merah yang
mati rasa pada wajah bagian kanan sekitar 8 bulan yang lalu. Awalnya timbul
bercak merah yang mati rasa sebesar koin pada pipi kanan sekitar 8 bulan yang lalu.
Bercak merah tidak ada rasa gatal, tidak ada nyeri, tidak ada kesemutan. Bercak
merah yang mati rasa dirasakan semakin membesar hingga ke area sekitar mata
kanan sekitar 6 bulan yang lalu. Pasien mengobati keluhan ini ke salah satu dokter
Sp.KK di kota Padang, lalu diberikan obat berupa tablet yang tidak diketahui
namanya, pasien lupa warna dan dikonsumsi tiga kali sehari serta obat oles berupa
krim berwarna putih dioleskan dua kali sehari. Bercak merah dirasakan berkurang
warnanya, namun keluhan mati rasa masih ada. Riwayat kerontokan alis sebelah
kanan lebih kurang 4 bulan yang lalu. Pasien dilakukan pemeriksaan BTA dan
ditemukan hasil BTA negatif. Pasien disarankan untuk melakukan biopsi jaringan,
namun pasien menolak. Riwayat konsumsi obat paket 6 bulan disangkal. Pasien
merupakan seorang pedangan toko kelontong dengan aktivitas fisik sedang.

Kusta merupakan penyakit infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan


oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Seseorang yang terinfeksi M.leprae
gejala klinis yang akan timbul tergantung dari respon tubuh terhadap
mikroorganisme tersebut. Apabila imunitas seluler orang tersebut bagus dan kuat,
maka gejala klinis yang terjadi adalah MH tipe tuberkuloid. Apabila imunitas
selulernya lemah, maka gejala klinisnya adalah MH tipe lepramatosa. Sumber
infeksi pada kasus ini sulit untuk diidentifikasi berdasarkan anamnesis. Tidak
ditemukannya keluarga, tetangga sekitar rumahnya maupun rekan kerja yang
mengalami keluhan seperti pasien. Masa inkubasi penyakit ini cukup lama yaitu
berkisar 4 hari sampai dengan 40 tahun. Hal ini mengingat evidence dari morbus

2
hansen bawah rute penularan dapat melalui kontak langsung. Saraf perifer merupakan lokasi
pertama yang diserang, kemudian lanjut mengenai kulit hingga menyebabkan gejala berupa
kulit yang mati rasa, dan dapat menyerang organ lain kecuali susunan saraf pusat. Cardinal
sign morbus hansen adalah lesi kulit yang mati rasa (makula/plak hipopigmentasi/ eritematous/
hipoestesi) penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.

Pada pemeriksaan fisik umum dalam batas normal. Pemeriksaan status dermatologikus
ditemukan plak eritem, skuama putih pada wajah kanan di sekitar mata dengan bentuk tidak
khas, susunan tidak khas, batas tegas , dengan ukuran plakat. Berdasarkan kriteria WHO, lesi
dapat diklasifikan sebagai kusta Pausi Basiler (PB). Pada pemeriksaan sensibulitas, didapatkan
hipoestesi pada lesi di pipi kanan. Pada pemeriksaan saraf perifer tidak ditemukan adanya
pembengkakkan ataupun nyeri. Pada pemeriksaan kecacatan ditemukan adaya xerosis kutis
dan madarosis.

Berdasarkan tanda-tanda klinis diatas kita bisa menduga diagnosis penyakit kusta secara
klinis namun diagnosis dapat ditegakkan dengan menggunakan pemeriksaan lanjutan yaitu
BTA dan biopsi.

Terapi umum yang diberikan adalah menjelaskan tentang penyebab penyakit kusta,
penularan, pengobatan dan pencegahan kecacatan, menjelaskan lama pengobatan penyakit
kusta, menjelaskan efek samping obat penyakit kusta, memberikan edukasi anggota keluarga
yang serumah agar diperiksa karena kusta dapat muncul tanpa gejala klinis yang jelas. Terapi
khusus yang diberikan berupa MDT-PB 1x1 dan vitamin B complex 1x1 tab per oral. Untuk
mencegah resistensi, pengobatan morbus hansen telah menggunakan multidrug treatment
(MDT). Selain untuk mencegah resistensi, MDT digunakan sebagai usaha untuk
memperpendek masa pengobatan.

Untuk prognosis kesembuhan dan kehidupan pada pasien ini adalah bonam selama
pasien dapat berobat dan kontrol teratur, prognosis fungsi adalah dubia ad bonam karena
terdapat hipoestesi, serta prognosis kosmetik adalah dubia ad malam karena lesi yang masih
terlokalisir.

3
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s Dermatology in General


Medicine 8th ed. New York : McGraw Hill 2011.
2. Wisnu I, Daili ESS, Menaldi. Kusta. Dalam: Menaldi SL (eds). Ilmu Penyakit kulit
dan Kelamin. Edisi ke-7. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2017.
3. Kusta. Pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015.pp: 1-8.
4. Global Leprosy Strategy 2016-2020. World Health Organization. 2016.
5. Global Leprosy Update. World Health Organization. 2017
6. Hajar,S. Morbus Hansen Biokimia dan Imunopatogenesis. Journal Kedokteran Syiah
Kuala. 2017. Vol.17(3), p.190-4.
7. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection. In:Goldsmith LA,
Katz SI,Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology
in GeneralMedicine. 8th Ed: Volume 2. New York: McGraw-Hill; 2012.
8. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ Disease of the Skin, Clinical
Dermatology.12th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2015.
9. Burns T., B.S., Cox N. et al,Rook’s Textbook of Dermatology.9th Edition.2016.
10. James W. D., B.T.G., Elston D. M, Andrew’s Diseases Of Skin: Clinical Der
matology 12 th edition.2015:

Anda mungkin juga menyukai