Anda di halaman 1dari 5

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien ini didiagnosis sebagai congestive heart failure dan atrial fibrilasi,
karena pada anamnesis didapatkan keluhan seperti sesak napas, sesak yang
dirasakan makin memberat saat beraktivitas dan terasa berkurang apabila pasien
duduk dibandingkan berbaring. Sesak juga dirasakan makin memberat jika sudah
masuk malam hari. Pasien juga merasa pusing, pusing, kelemahan dan palpitasi
atau dada berdebar-debar.
Congestive heart failure dapat terjadi akibat atrial fibrilasi yang dialami
oleh pasien, yaitu ketika otot miokardium pada atrium mengalami fibrilasi, maka
kontraksinya tidak terkoordinasi sayang berputar-putar dan kecil, sehingga tidak
mampu memaksimalkan pengisian ventrikel, sehingga terjadi penurunan preload.
Apabila terjadi hanya pada atrium kiri, akan menyebabkan edema pulmoner,
apabila juga terkena pada atrium kanan, akan menyebabkan penimbunan cairan
pada arus balik, sehingga paling sering tampak peningkatan JVP dan Edema
Tungkai.
Faktor yang mendukung diagnosis atrial fibrilasi juga ditemukan pada
pasien ini. Pasien ini ditemukan faktor risiko tertinggi pada lansia, yaitu
hipertensi. Dimana faktor risiko hipertensi terhadap atrial fibrilasi mencapai 83%
pada lansia.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah 130/90mmHg, Nadi
irreguler, tanda-tanda pengunaan otot bantu pernapasan, dengan terdapatnya
peningkatan tekanan vena jugular, retraksi epigastrium dan interkostal, Bunyi
jantung I meningkat dan bunyi jantung II juga meningkat, terdapat suara
tambahan gallop (+), dan murmur sistolik pada SIC V parasternal dextra yang
menunjukkan adanya tricuspid regurgitasi dan murmur sistolik pada SIC V linea
midclavicularis sinistra, yang menandakan mitral regurgitasi. Pada pasien juga
ditemukan, dimana batas kiri jantung menyimpang + 2 cm kelateral SIC V linea
midclavicularis sinistra.

19
20

Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan trombositopenia dengan nilai


Trombosit 90 × 103/mm3, Hipokalemia dengan kalium 2.8 nmol/L, dan
hiperurisemia dengan nilai asam urat 8,3 mg/dL dan Kolesterol HDL 47 mg/dl,
Kolesterol LDL 157 mg/dL.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi, didapatkan penunjang diagnosis
Atrial Fibrilasi, dimana HR irreguler, QRS complex menyempit + 60mS, tidak
dijumpainya gelombang P yang jelas pada sadapan V1. Pada pasien ini memuliki
riwayat hipertinsi lama. Sehingga juga dilakukan penilaian kriteria LVH dengan
rumus sokkolow-lyon, yaitu gelobang R tertinggi pada V5/6 ditambahkan dengan
gelombang S terendah pada V1/2. Pada pasien ini dinilai dari gelombang R pada
V6, yaitu 10 kotak kecil dijumlahkan gelombang S pada V2 yaitu 37 kotak kecil,
sehingga menurut sokkolow-lyon, pasien ini mengalami Hipertrofi ventrikel kiri,
karena total penjumlahan yaitu 47 kotak kecil, dimana kriteria sokkolow-lyon,
LVH (+) apabila total penjumlahan lebih dari 35 kotak kecil.
Pasien ini digolongkan kedalam klasifikasi Atrial Fibrilasi Persisten,
dimana FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau FA yang
memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik. Berdasarkan kecepatan laju
respon ventrikel (interval RR) maka FA pada pasien ini termasuk FA dengan
respon ventrikel normal, dimana laju ventrikel 60- 100x/menit.
Pada pasien ini, diberikan terapi, yaitu Ringer Laktat 8 tetes per menit. Hal
ini bertujuan untuk mempertahankan Natrium dalam nilai normal, dan mengatasi
hipokalemia, serta jumlah tetesan yang rendah agar tidak menambah beban
jantung akibat peningkatan cairan tubuh.
Furosemide Injeksi 3 x 1 ampul, juga diberikan pada pasien ini. Furosemide
adalah obat loop diuretik, dimana memiliki efek diuretik yang kuat namun dapat
mengeluarkan kalium, sehingga dapat memperberat kondisi hipokalemia yang
dialami oleh pasien, maka sebaiknya dikombinasi dengan spironolaktaon 25mg
sebagai diuretik hemat kalium.
Ramipril 5mg juga diberikan pada pasien ini. Ramipril adalah obat
ACE inhibitor yang bermanfaat untuk mengatasi tekanan darah tinggi
atau hipertensi. Obat ini bekerja dengan menghambat hormon yang merubah
21

angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II merupakan zat yang membuat


pembuluh darah menyempit. Dengan tidak terbentuknya angiotensin II, otot
pembuluh darah lemas dan pembuluh darah akan lebih lebar, sehingga darah dapat
mengalir lebih lancar dan tekanan darah turun. Dengan normalnya tekanan darah,
komplikasi seperti stroke, serangan jantung, dan gagal ginjal dapat dicegah.
Pada pasien ini, berusia lebih dari 65 tahun dengan persisten FA, maka
terapi pengendali laju lebih dipilih sebagai penanganan awal. Penyekat beta
direkomendasikan sebagai terapi pilihan pertama pada pasien FA dengan gagal
jantung dan fraksi ejeksi yang rendah atau pasien dengan riwayat infark miokard.
Apabila monoterapi tidak cukup, dapat ditambahkan digoksin untuk kendali laju.
Digoksin tidak dianjurkan untuk terapi awal pada pasien FA yang aktif, dan
sebaiknya hanya diberikan pada pasien gagal jantung sistolik yang tidak memiliki
aktivitas tinggi. Hal ini disebabkan karena digoksin hanya bekerja pada
parasimpatis. Amiodaron untuk kendali laju hanya diberikan apabila obat lain
tidak optimal untuk pasien. Pada pasien ini terapi pengendali laju yang digunakan,
adalah bisoprolol dengan dosis 2.5mg, karena laju jantung pada pasien ini masih
dalam batas normal, apabila takikardia, maka dosis bisoprolol yang dianjurkan,
adalah 5-10mg. Selain bisoprolol, obat pengendali laju yang dianjurkan adalah,
metoprolol, atenolol, carvedilol, propanolol, verapamil, diltiazem, dan digoxin.
Pada lansia dengan tingkat aktivitas yang rendah, digoksin dapat menjadi
pilihan untuk kendali laju karena digoksin lebih efektif pada tonus simpatis yang
rendah. Penggunaan penyekat beta dan antagonis kalsium non–dihidropiridin juga
efektif untuk kendali laju.
Pasien ini juga mengeluhkan nyeri dada yang mungkin merupakan tanda
iskemia otot jantung, karena ini ISDN 5mg 3x1 diberikan pada pasien ini.
Isosorbid Dinitrat atau ISDN adalah obat golongan nitrat yang digunakan untuk
mengurangi intensitas serangan angina (nyeri dada), terutama pada
penderita penyakit jantung koroner. Obat ini bekerja dengan cara melebarkan
pembuluh darah, serta meningkatkan pasokan darah dan oksigen ke otot jantung.
Terapi antitrombotik yang dipergunakan untuk prevensi stroke pada pasien
FA meliputi antikoagulan (antagonis vitamin K dan antikoagulan baru), dan
22

antiplatelet. Jenis antitrombotik lain yaitu trombolitik tidak digunakan untuk


prevensi stroke pasien FA.
Clopidogrel 75mg pagi hari adalah pilihan obat pada pasien ini, selain untuk
mecegah stroke, juga dapat menurunkan keluhan nyeri dada yang dirasakan pada
pasien ini. Clopidogrel merupakan obat yang berfungsi untuk mencegah trombosit
(platelet) saling menempel yang berisiko membentuk gumpalan darah. Gumpalan darah
yang terbentuk di pembuluh darah arteri dapat memicu terjadinya trombosis arteri, seperti
serangan jantung dan stroke.
SIMARC 2mg yang berisi warfarin diberikan pada pasien ini untuk
mengurangi risiko terjadinya stroke. Warfarin bekerja mengurangi produksi
protein yang berfungsi untuk membekukan darah (faktor pembekuan). Tidak
semua faktor pembekuan diganggu oleh warfarin, melainkan faktor pembekuan
yang bergantung dengan vitamin K.
Pada dasarnya, terapi pada pasien ini, adalah terapi jangka panjang, karena
kondisi pasein ini sudah kronis. Untuk mencegah stroke, dapat diberikan
antagonis vitamin K. Secara keseluruhan AVK mempunyai manfaat lebih besar
pada orang tua, bila dibandingkan dengan aspirin. Sebaliknya, efek
menguntungkan dari terapi antiplatelet pada stroke iskemik tampaknya menurun
sejalan dengan usia dan tidak mempunyai efek protektif lagi pada usia >77 tahun.
Pasien lansia dengan FA memiliki ciri-ciri berbeda dari pasien muda, yaitu
rapuh, memiliki banyak komorbiditas termasuk kardiovaskular maupun penyakit
non-jantung, mempunyai angka insiden dan prevalensi FA yang tinggi, risiko
tromboemboli dan perdarahan yang tinggi, FA bersifat persisten atau permanen,
seringkali dijumpai gejala dan keluhan yang tidak khas, respon ventrikel pada FA
kurang sensitif terhadap efek simpatis (penuaan sistem konduksi), lebih sensitif
terhadap efek obat pro-aritmia akibat menurunnya fungsi ginjal dan hati, serta
lebih sulit terdeteksi bila dibandingkan dengan pasien yang lebih muda.
Selain antagonis vitamin K, obat untuk menurunkan risiko stroke yang lain
adalah obat antikoagulan baru. Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang bukan
merupakan AVK di pasaran Indonesia, yaitu dabigatran, rivaroxaban, dan
apixaban. Dabigatran bekerja dengan cara menghambat langsung trombin
23

sedangkan rivaroxaban dan apixaban keduanya bekerja dengan cara menghambat


faktor Xa.
Dabigatran terdiri dari 2 dosis, yaitu 150mg dan 110mg. Untuk primary
efficacy endpoint berupa stroke dan emboli sistemik, D150 lebih superior dari
warfarin, tanpa perbedaan signifikan dalam hal primary safety endpoint berupa
perdarahan mayor. D110 non-inferior terhadap warfarin, dengan 20% lebih sedikit
kejadian perdarahan mayor. Angka stroke hemoragik dan perdarahan intrakranial
lebih rendah pada kedua dosis dabigatran tetapi perdarahan gastrointestinal
meningkat bermakna dengan D150.
Pemberian AKB dabigatran pada lansia memakai dosis 110mg untuk
menghindari peningkatan kejadian perdarahan. Sedangkan pada rivaroxaban dan
apixaban tidak memerlukan penyesuaian dosis.
Sebagai evaluasi klinis, digunakan skor EHRA. Skor sederhana ini dapat
digunakan untuk menilai perkembangan gejala selama penanganan fibrilasi
atrium. Skor klinis ini hanya memperhitungkan derajat gejala yang benar-benar
disebabkan oleh fibrilasi atrium, skor diharapkan dapat berkurang seiring dengan
konversi ke irama sinus atau dengan kendali laju yang efektif. Pada pasien ini,
skor EHRA III, karena pada pasien ini gejala berat, dan aktivitas harian tergaggu.

Anda mungkin juga menyukai