Anda di halaman 1dari 2

Kasus HO

Di Surabaya saat ini mulai ada aktivitas pembangunan gedung-gedung besar seperti mall,
perkantoran, maupun apartemen. Anehnya, kendati diantaranya tidak memiliki Izin Gangguan (HO)
dan izin mendirikan bangunan (IMB), sudah dimulai pembangunan, seperti pembangunan
Apartemen Gunawangsa. Kenapa hal itu bisa terjadi? Tak adakah sanksi hukumnya?

Menjamurnya apartemen di Surabaya, ternyata menimbulkan masalah. Seperti pembangunan


Apartemen Gunawangsa. Dalam penelusuran Surabaya Pagi, apartemen yang digarap PT
Gunawangsa Investindo ini ternyata bermasalah. Selain belum mengantongi Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB) dan HO (ijin gangguan).

Tak hanya itu saja, proyek ini juga menimbulkan dampak besar ke warga sekitar. Tepatnya, warga
yang berada di RT III/RWIII Menur Pumpungan. Belasan rumah di sana rusak, lantai dan dinding
retak-retak, bahkan pondasi rumah bergeser akibat pembangunan Apartemen Gunawangsa.

Kasus pembangunan Apartemen Gunawangsa di Manyar kian memanas. Rabu (6/10) kemarin, warga
Kedung Tomas RT 003/RW 003 Kelurahan Menur Pumpungan Kecamatan Sukolilo, secara resmi
menggugat developer dan pihak terkait pembangunan apartemen tersebut. Yakni, PT Gunawangsa
Investindo, PT. Teno Track dan PT. MKU. Warga menuntut ganti rugi senilai Rp 7,5 miliar.

Yang menjadi persoalan sekarang ini, apakah secara hukum proyek ini bisa dikatakan illegal menyusul
ketiadaan izin HO dan IMB? Adakah sanksi hukumnya?
Seperti diungkangkapkan Pakar Hukum Lingkungan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr.
Suparto Wijoyo, dalam Perda No. 6/1999 tentang Retribusi Izin Gangguan, tidak memuat ketentuan
sanksi, baik pidana maupun administratif.

Menurut Perda No. 6/1999, setiap usaha atau kegiatan yang menimbulkan bahaya, kerugian dan
gangguan wajib memiliki Izin Gangguan, tetapi dalam Perda tersebut tidak mengatur tentang sanksi
apabila usaha/kegiatan tidak memiliki Izin Gangguan. Namun apabila ada orang yang beritikad baik
mengurus Izin Gangguan atau bagi pemegang izin yang mendaftar ulang izinnya tetapi terlambat
mendaftar retribusi, maka kepada pemohon/pemegang izin tersebut diancam dengan pidana
kurungan paling lama (enam) bulan dan atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah retribusi
yang terhutang.

Celah Hukum
Oleh karenanya, besar kemungkinan pengusaha melihat adanya celah atau kekurangan Perda
tersebut sehingga bersikap lebih baik tidak mengurus/memiliki Izin Gangguan daripada memiiki Izin
Gangguan yang dapat berpotensi terkena sanksi pidana kurungan/denda apabila lalai melakukan
kewajiban membayar retribusi.

Namun keadaan semestinya berubah sesudah berlakunya Perda No. 1/2004 tentang Izin Gangguan
sebagai pengganti Perda No. 6/1999. Pasalnya, dalam perda ini setiap orang pribadi atau badan yang
mendirikan dan atau memperluas tempat usaha/kegiatan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan
bahaya, kerugian dan gangguan terhadap masyarakat atau kelestarian lingkungan yang tidak memiliki
Izin Gangguan dapat diberikan sanksi.
Apa sanksinya? Bisa berupa, pertama, sanksi administratif berupa bestuur dwang yang bersifat
reparatur. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Perda Kota Surabaya No. 1/2004. Dalam pasal ini,
Kepala Daerah diberi wewenang untuk melakukan penutupan/penyegelan/penghentian kegiatan
pada tempat usaha yang tidak memiliki Ijin Gangguan. Kedua, sanksi pidana berupa kurungan paling
lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka Kepala Daerah diberi wewenang secara implisit oleh Perda
No. 1/2004, untuk menegakkan Ijin Gangguan bagi setiap orang atau badan yang melakukan
usaha/kegiatan di Kota Surabaya, tegasnya.
Dalam kasus ini, ungkap Suparto pemerintah dan para penegak hukum harus tegas untuk
menghentikan pembangunan apartemen Gunawangsa. Sebab, pembangunan yang dilakukan
pengembang tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Menurut Suparto hal ini merupakan
kejahatan dan harus diberantas.

Jika tidak mempunyai ijin HO dan IMB pembangunan apartemen itu ilegal dan harus dihentikan.
Secara ekologis, pembangunan tanpa ijin itu merupakan kejahatan dan harus dilakukan proses
hukum, tegas Suparto.

Suparto menegaskan, jika pembangunan apartemen Gunawangsa itu tetap dilanjutkan, sementara
perijinan belum lengkap, maka sama saja dengan melecehkan terhadap Pemkot. Sebab, kata dosen
hukum Unair ini, mereka dalam membangun sudah melanggar hukum.
Atas dasar pertimbangan bahwa Pemerintah Kota telah lalai melakukan fungsi pengawasan terhadap
usaha/kegiatan yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan terhadap masyarakat atau
kelestarian lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai