Anda di halaman 1dari 25

Referat

NEOSTIGMIN METHYLSULFATE DAN BUPIVAKAIN


HIDROKLORIDA HIPERBARIK DALAM ANESTESI SPINAL

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat dalam Menyelesaikan MKDU Farmakologi


di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode Juli 2019

Disusun oleh:
Raden Roro Marina Rizky Utami
04102781923002

Pembimbing:
Prof. Dr. dr. HMT Kamaludin, SpFK, DAFK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul ”Neostigmin
Methylsulfate dan Bupivakain Hidroklorida Hiperbarik dalam Anestesi Spinal”.
Referat ini diajukan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Mata Kuliah
Dasar Umum farmakologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang periode Juli 2019.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. HMT Kamaludin,
SpFK, DAFK selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama
penulisan dan penyusunan referat ini. Penulis menyadari terdapat banyak
kekurangan dalam penyusunan referat ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
berbagai pihak sangat diharapkan penulis. Semoga referat ini dapat memberi
manfaat bagi pembaca.

Palembang, 4 September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................3
2.1 Anatomi Kolumna Vertebralis ..........................................................3
2.2 Anestesi Spinal ..................................................................................5
2.3 Obat Anestesi Lokal ..........................................................................6
2.3.1 Seleksi Barisitas Larutan Anestesi Lokal.................................6
2.3.2 Dampak Fisiologis ...................................................................7
2.4 Bupivakain Hidroklorida ...................................................................8
2.4.1 Farmakologi .............................................................................8
2.4.2 Metabolisme dan Ekskresi ......................................................10
2.4.3 Bupivakain Hidroklorida Hiperbarik ......................................10
2.5 Neostigmin Methylsulfate ................................................................13
2.5.1 Farmakokinetik .......................................................................13
2.5.2 Farmakodinamik .....................................................................14
2.5.3 Neostigmin Methylsulfate Intratekal ......................................15
BAB III KESIMPULAN ..........................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Saat ini penggunaan anestesi regional semakin luas dan berkembang.


Anestesi regional memiliki beberapa keunggulan diantaranya relatif murah,
pengaruh sistemik yang minimal, efek analgesia yang adekuat, dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih sempurna. Anestesi regional khususnya
anestesi spinal telah digunakan selama lebih dari seratus tahun dan teknik anestesi
ini dapat digunakan dalam beberapa prosedur pembedahan seperti pembedahan di
daerah abdomen bagian bawah, daerah perineum, dan ekstremitas bawah.
Anestesi spinal dilakukan dengan cara menyuntikan obat anestesi lokal ke dalam
rongga subaraknoid untuk mendapatkan efek analgesia setinggi dermatom tertentu
sesuai yang diinginkan.1, 2
Obat-obatan anestesi lokal yang digunakan dalam prosedur pembedahan
harus memiliki efek blokade motorik dan sensorik yang adekuat, onset kerja yang
cepat, tidak bersifat neurotoksik, dan pemulihan blokade motorik pasca operasi
yang cepat.3, 4 Salah satu obat anestesi lokal yang paling sering digunakan dalam
prosedur anestesi spinal adalah bupivakain. Bupivakain memiliki onset kerja 5-10
menit dan durasi kerja selama 75-150 menit.2 Lidokain juga sering digunakan
dalam anestesi spinal. Akan tetapi, penggunaan lidokain memberikan risiko yang
lebih tinggi untuk terjadi Transient Neurologic Symptoms (TNS). Selain itu,
lidokain juga memiliki durasi kerja yang lebih pendek, yaitu 60-75 menit. Hal ini
menyebabkan penggunaan lidokain mulai ditinggalkan.5
Durasi kerja yang lebih lama dari obat anestesi lokal kadang diperlukan
dalam operasi dengan durasi yang lama atau yang belum dapat diprediksi agar
memberikan efek analgesia yang terbaik untuk pasien selama perioperatif.
Penggunaan obat anestesi lokal dalam prosedur anestesi spinal memberikan efek
analgesia yang dianggap masih kurang lama. Berbagai usaha telah dilakukan
untuk meningkatkan kualitas dan durasi kerja anestesi spinal. Salah satunya
adalah dengan menambahkan obat-obatan adjuvan pada anestesi spinal. Adjuvan
intratekal seperti opioid, ketamin, dan klonidin sering ditambahkan untuk

1
memperpanjang durasi kerja anestesi spinal. Opioid dapat memperpanjang durasi
kerja anestesi spinal tanpa menghambat proses pemulihan pasca anestesi.
Sementara klonidin akan meningkatkan kualitas analgesia dan mengurangi
kebutuhan terhadap obat analgesia pasca operasi. Walaupun demikian,
penggunaan obat-obatan adjuvan tersebut terbatas karena dapat menimbulkan
berbagai efek samping diantaranya pruritus, retensio urin, depresi pernafasan,
gangguan hemodinamik, nistagmus, nausea, dan vomitus.6, 7, 8
Pada tahun 1995, Hood dkk melaporkan bahwa penggunaan neostigmin
methylsulfate intratekal mempunyai efek antinosisepsi dan efek analgesia pasca
operasi.9 Neostigmin methylsufate biasanya digunakan sebagai anti dotum obat
pelumpuh otot non-depolarisasi. Neostigmin methylsulfate relatif aman digunakan
untuk memperpanjang efek blokade sensorik pada anestesi spinal dan
meningkatkan kualitas analgesia pada anestesi spinal. Penambahan neostigmin
methylsulfate dapat menimbulkan efek samping mual dan muntah. Namun efek
samping tersebut tergantung pada besarnya dosis yang diberikan.8, 10-15
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Lauretti dkk dengan
menggunakan dosis neostigmin methylsulfate 25-75 μg intratekal, menyimpulkan
bahwa efek analgesia dari neostigmin methylsulfate intratekal dapat terjadi pada
dosis kurang dari 50 μg pada pasien histerektomi vagina.16 Selain itu, Chung dkk,
melaporkan penambahan neostigmin methylsulfate 25 μg pada bupivakain
hidroklorida hiperbarik 0,5% 12 mg dalam anestesi spinal memberikan efek
analgesia pasca operasi seksio sesarea yang setara dengan penambahan morfin
100 μg.17
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas penggunaan
neostigmin methylsulfate dan bupivakain hidroklorida hiperbarik dalam anestesi
spinal.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kolumna Vertebralis


Pemahaman yang baik mengenai anatomi kolumna vertebralis merupakan
salah satu faktor keberhasilan dalam melakukan prosedur anestesi spinal. Di
samping itu, pemahaman tentang distribusi obat anestesi dalam cairan
serebrospinal dan level analgesia yang ditimbulkan juga diperlukan untuk
menjaga keamanan tindakan anestesi spinal. Vertebra lumbalis merupakan
vertebra yang paling penting dalam spinal anestesi, karena sebagian besar
penusukan pada spinal anestesi dilakukan pada daerah ini. Kolumna vertebralis
terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 bagian yaitu 7 servikal, 12
thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai
empat lengkungan yaitu daerah servikal dan lumbal melengkung ke depan,
sementara daerah thorakal dan sakral melengkung ke belakang sehingga pada
waktu berbaring daerah tertinggi adalah L3 dan daerah terendah adalah L5.3, 4
Segmen medulla spinalis terdiri dari 31 segmen yaitu 8 segmen servikal, 12
thorakal, 5 lumbal, 5 sakral, dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan
melekatnya kelompok-kelompok saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda,
seperti segmen tengah thorakal lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal atau
lumbal atas. Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan saraf servikal atas
dan bawah. Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut saraf dalam
pleksus brakialis. Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam
pleksus lumbosakralis. Hubungan antara segmen-segmen medulla spinalis dan
korpus vertebralis serta tulang belakang penting artinya dalam klinik untuk
menentukan tinggi lesi pada medulla spinalis dan juga untuk mencapainya pada
pembedahan.3
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai rongga subarakhnoid dari luar
yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum, dan
duramater. Arakhnoid terletak di antara duramater dan piamater serta mengikuti
otak sampai medulla spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan

3
piamater terdapat rongga yang disebut rongga subarakhnoid. Duramater dan
arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga di bawah
batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Rongga sub arakhnoid
merupakan sebuah rongga yang terletak di sepanjang tulang belakang dan berisi
cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah, dan serabut saraf spinal yang berasal
dari medulla spinalis. Pada orang dewasa medulla spinalis berakhir pada sisi
bawah vertebra lumbal.3, 4, 18

Gambar 1. Kolumna Vertebralis.3

Gambar 2. Ligamentum Vertebralis.3

4
2.2 Anestesi Spinal
Anestesi spinal merupakan prosedur anestesi yang dilakukan dengan cara
menyuntikan obat anestesi lokal ke dalam rongga intratekal. Pemberian obat
anestesi lokal ke dalam rongga intratekal atau rongga subaraknoid di regio lumbal
antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 menghasilkan efek anestesi dengan onset yang
cepat dan derajat kesuksesan yang tinggi. Walaupun prosedur anestesi ini
sederhana, pengetahuan tentang anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat anestesi lokal di rongga
intratekal, serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan
anestesi spinal.1, 2, 3
Kontraindikasi absolut anestesi spinal meliputi koagulopati, hipovolemi
berat, peningkatan tekanan intrakranial, stenosis aorta berat, stenosis mitral berat,
dan adanya infeksi di daerah penusukan. Pasien yang menolak untuk dilakukan
anestesi spinal juga merupakan kontraindikasi absolut. Sedangkan kontraindikasi
relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati seperti penyakit
demielinisasi sistem syaraf pusat, lesi pada katup jantung, serta kelainan bentuk
anatomi spinal yang berat.1, 2, 3
Obat anestesi lokal bekerja pada lapisan superfisial dari korda spinalis,
tetapi tempat kerja yang utama adalah serabut preganglionik. Serabut sistem saraf
simpatis preganglionik yang terblok oleh konsentrasi obat anestesi lokal yang
tidak memadai untuk mempengaruhi serabut sensorik dan motorik menyebabkan
tingkat denervasi sistem saraf simpatis selama anestesi spinal meluas sekitar dua
segmen spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris dan untuk anestesi motorik,
rata-rata dua segmen dibawah anestesi sensorik.18
Anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan antara lain, perubahan
metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, komplikasi terhadap
jantung, otak, paru dapat diminimalisir, serta relaksasi otot dapat maksimal pada
daerah yang terblok sementara pasien dalam keadaan sadar. Selain itu, anstesi
spinal juga memiliki beberapa kerugian yaitu berupa komplikasi yang meliputi
hipotensi, mual dan muntah, PDPH, nyeri pinggang dan lainnya.18, 20

5
2.3 Obat Anestesi Lokal
Obat anestesi lokal merupakan suatu senyawa amino organik. Obat anestesi
lokal dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan amino amida.
Ikatan ester mempunyai sifat mudah terhidrolisis, onset kerja yang lambat, durasi
kerja yang pendek, dan hanya sedikit yang dapat menembus jaringan. Sedangkan
ikatan amida menjadi tidak aktif oleh hepatic amidase, onset kerja yang cepat,
durasi kerja yang lebih lama, dan lebih banyak yang menembus jaringan.
Kelompok ester meliputi procaine, chloroprocaine, dan tetracaine. Sedangkan,
kelompok amida antara lain lidocaine, mepivacaine, bupivacaine, dan
etidocaine.2, 20

2.3.1 Seleksi Barisitas Larutan Anestesi Lokal


Obat anestesi lokal yang sering digunakan adalah bupivakain.
Lidokain 5% sudah mulai ditinggalkan karena mempunyai efek samping
neurotoksisitas, sehingga bupivakain menjadi pilihan utama untuk anestesi
spinal saat ini. Anestesi lokal dapat bersifat isobarik, hiperbarik, atau
hipobarik terhadap cairan serebrospinal. Barisitas obat anestesi lokal
mempengaruhi distribusi obat. Distribusi larutan hiperbarik dipengaruhi
oleh gravitasi, distribusi larutan hipobarik berlawanan arah dengan gravitasi,
dan distribusi larutan isobarik bersifat lokal pada daerah injeksi.
Setelah disuntikkan ke dalam rongga intratekal, distribusi obat
anestesi lokal akan dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang
berhubungan dengan hukum fisika dinamik dari zat yang disuntikkan, antara
lain Barbotase (tindakan menyuntikan sebagian zat anestesi lokal ke dalam
cairan serebrospinal, kemudian dilakukan aspirasi bersama cairan
serebrospinal dan penyuntikan kembali zat anestesi lokal yang telah
bercampur dengan cairan serebrospinal), volume, berat jenis, dosis, tempat
penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah penyuntikan.21

6
2.3.2 Dampak Fisiologis

a. Sistem Kardiovaskular
Pada anestesi spinal terjadi penurunan aliran darah jantung dan
penghantaran (supply) oksigen ke miokardium akibat penurunan
tekanan arteri rata-rata. Penurunan tekanan darah yang terjadi sesuai
dengan tingkat blokade simpatis, semakin banyak segmen simpatis
yang terblok maka semakin besar penurunan tekanan darah yang
terjadi. Untuk menghindari terjadinya penurunan tekanan darah yang
hebat, sebelum dilakukan anestesi spinal diberikan cairan elektrolit
NaC1 fisiologis atau ringer laktat 10-20 ml/kgbb. Pada Anestesi spinal
yang mencapai T4 dapat terjadi penurunan frekuensi nadi dan
penurunan tekanan darah dikarenakan terjadinya blokade saraf
simpatis.21

b. Sistem Respirasi
Pada anestesi spinal, efek blokade motorik terjadi pada 2-3
segmen di bawah blok sensorik, sehingga pada keadaan istirahat
pernafasan tidak banyak dipengaruhi. Tetapi apabila efek blokade
yang terjadi mencapai saraf frenikus yang mempersarafi diafragma,
dapat terjadi apnea.

c. Sistem Gastrointestinal
Blokade serabut simpatis preganglionik dapat menghambat
aktivitas saluran pencernaan (T4-5) dan aktivitas serabut saraf
parasimpatis menjadi lebih dominan, walaupun demikian peristaltik
usus dan relaksasi spingter usus masih normal. Anestesi spinal dapat
menimbulkan keluhan mual dan muntah yang disebabkan karena
hipoksia serebri sebagai akibat dari hipotensi mendadak, atau tarikan
pada pleksus terutama yang melalui saraf vagus.21

7
2.4 Bupivakain Hidroklorida
Bupivakain hidroklorida merupakan obat anestesi lokal golongan amida
dengan rumus kimia 2-piperidine karbonamida, 1 butyl (2,6- dimethilfenil)
monoklorida. Bupivakain hidroklorida memiliki durasi kerja yang panjang. Dalam
prosedur pembedahan yang membutuhkan waktu lebih lama, pasien menggunakan
kateter dan obat diberikan secara kontinyu sehingga resiko toksisitas menjadi
berkurang oleh karena selang waktu pemberian obat yang cukup lama.

Gambar 3. Rumus Kimia Bupivacaine HCl

Bupivakain hidroklorida memiliki efek toksisitas yang sangat berat.


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa obat ini dapat menimbulkan toksisitas
pada jantung. Manifestasi utamanya adalah fibrilasi jantung. Oleh karena itu pada
penggunaan obat anestesi ini diperlukan pengawasan yang sangat ketat.21

2.4.1 Farmakologi
Bupivakain hidroklorida menghambat impuls saraf dengan cara
sebagai berikut:

a. Mencegah Peningkatan Permeabilitas Sel Saraf terhadap


Ion Natrium dan Kalium
Bupivakain hidroklorida bekerja pada reseptor spesifik di
saluran sodium (sodium chanel). Obat ini menghambat proses
depolarisasi dari membran sel saraf sehingga tidak terjadi potensial
aksi dan konduksi saraf.

8
b. Meningkatkan Tegangan Permukaan Selaput Lipid
Monomolekuler
Bupivakain hidroklorida meningkatkan tegangan permukaan
lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga menutup
pori-pori membran dengan demikian menghambat gerakan ion
termasuk ion natrium.

Adapun sifat-sifat fisik yang mempengaruhi obat anestetika lokal adalah:

a. Ikatan Protein
Ikatan protein berperan penting dalam blokade saraf.

b. Konstanta Disosiasi (pKa)


pKa adalah dimana 50% dari obat tersebut berada dalam bentuk
terionisasi dan 50% lainnya tidak terionisasi. Obat anestesi dengan
pKa mendekati pH fisiologis (7,4) memiliki bentuk ion yang lebih
banyak dibandingkan dengan obat anestesi dengan pKa yang lebih
tinggi sehingga obat lebih mudah berdifusi melalui membran, dengan
demikian onset kerja menjadi lebih cepat. Bupivakain mempunyai
pKa lebih tinggi (8,1) sehingga onset kerja obat ini menjadi lebih lama
(5-10 menit) dan efek analgesia yang adekuat dicapai antara 15-20
menit.

c. Kelarutan dalam Lemak


Semakin tinggi kelarutan obat anestesi di dalam lemak, maka
semakin poten dan semakin lama durasi kerja obat anestesi tersebut.
Struktur bupivakain identik dengan mepivakain, perbedaannya
terletak pada rantai yang lebih panjang dengan tambahan tiga grup
metil pada cincin piperidin. Tambahan struktur ini menyebabkan
peningkatan kelarutan bupivakain terhadap lemak serta peningkatan
ikatan obat dengan protein. Potensi bupivakain 3-4 kali lebih kuat dari
mepivakain dan 8 kali lebih kuat dari prokain. Durasi kerja bupivakain

9
2-3 kali lebih lama dibandingkan mepivakain sekitar 90-180 menit.21

2.4.2 Metabolisme dan Ekskresi


Bupivakain hidroklorida dimetabolisme melalui proses konjugasi oleh
asam glukoronida di hati dan diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh.

2.4.3 Bupivakain Hidroklorida Hiperbarik


Larutan bupivakain hidroklorida hiperbarik adalah larutan anestesi
lokal bupivakain yang mempunyai berat jenis lebih besar dari berat jenis
cairan serebrospinal (1,003-1,008). Cara pembuatannya adalah dengan
menambahkan larutan glukosa kedalam larutan isobarik bupivakain.
Mekanisme kerja larutan hiperbarik bupivakain mengikuti hukum gravitasi,
yaitu suatu zat/larutan yang mempunyai berat jenis yang lebih besar dari
berat jenis larutan sekitarnya akan bergerak ke suatu tempat yang lebih
rendah. Dengan demikian larutan bupivakain hiperbarik yang mempunyai
barisitas lebih besar akan terdistribusi secara cepat ke daerah yang lebih
rendah dibandingkan dengan larutan bupivakain yang isobarik, sehingga
mempercepat distribusi larutan bupivakain hiperbarik tersebut.21

Gambar 4. Mekanisme Kerja Anestesi Lokal.21

10
Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi larutan bupivakain
hiperbarik yaitu sebagai berikut:

a. Gravitasi
Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai berat jenis 1,003-
1,008. Jika larutan hiperbarik yang disuntikkan kedalam cairan
serebrospinal, larutan hiperbarik tersebut akan terdistribusi ke tempat yang
lebih rendah, sedangkan larutan hipobarik akan terdistribusi berlawanan
arah dengan gravitasi seperti menggantung. Sementara itu, larutan isobarik
terdistribusi secara lokal sesuai dengan tempat injeksi.

b. Postur Tubuh
Semakin tinggi tubuh seseorang, maka semakin panjang medula
spinalis dan semakin banyak volume cairan serebrospinal di bawah L2
sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis obat anestesi yang
lebih banyak dibandingkan dosis anestesi yang dibutuhkan oleh pasien yang
pendek.

c. Tekanan Intraabdomen
Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan obstruksi pada
saluran pembuluh darah vena abdomen dan pelebaran saluran-saluran vena
di ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural akan menyempit dan
akhirnya menyebabkan penekanan ke ruang subarakhnoid sehingga
distribusi obat anestesi lokal ke kranial menjadi lebih cepat. Pada pasien
dengan peningkatan tekanan intraabdomen, dosis obat anestesi yang
digunakan harus dikurangi.

d. Anatomi Kolumna Vertebralis


Anatomi kolumna vertebralis mempengaruhi lekukan-lekukan saluran
serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada
penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik.

11
e. Tempat Penyuntikan
Semakin tinggi daerah penyuntikan, maka efek analgesia yang
dihasilkan semakin besar. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan
distribusi obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L4-5.

f. Manuver Valsava
Setelah obat disuntikkan, distribusi obat akan lebih cepat jika tekanan
dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara mengedan.

g. Volume Obat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anellson, distribusi obat
secara maksimal ke arah sefalad membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit
pada semua jenis volume obat (1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Semakin besar
volume obat anestesi, maka semakin cepat onset blokade motorik yang
ditimbulkan. Selain itu, semakin besar volume obat anestesi, semakin tinggi
level blokade sensorik yang terjadi.

h. Konsentrasi Obat
Suatu penelitian melaporkan bahwa bupivakain 0,75% hiperbarik
menyebabkan distribusi obat ke arah sefalad menjadi lebih tinggi beberapa
segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik. Durasi kerja obat
menjadi lebih panjang dengan penambahan volume obat bupivakain 0,75%.
Selain itu, bupivakain 0,75% hiperbarik memberikan perubahan
kardiovaskular yang berbeda.

i. Posisi Tubuh
Penelitian J.A.W. Wildsmith menunjukkan bahwa distribusi obat
anestesi isobarik tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi tubuh, sedangkan
distribusi obat hiperbarik dipengaruhi oleh perubahan posisi tubuh. Pada
larutan hiperbarik, posisi terlentang dapat mencapai level blok T4 sedangkan
pada posisi duduk hanya mencapai level T8.

12
j. Lateralisasi
Lateralisasi obat anestesi hiperbarik dapat dilakukan dalam posisi
berbaring miring (lateral dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith
disimpulkan bahwa 5 menit setelah penyuntikan obat, distribusi obat pada
sisi tubuh sebelah bawah mencapai T10, sedangkan sisi atas mencapai S1.
Sekitar 20 menit setelah obat disuntikkan, distribusi obat pada sisi bawah
mencapai T6, sedangkan pada sisi atas mencapai T7.21

2.5 Neostigmin Methylsulfate


Neostigmin methylsulfate tersedia dalam bentuk bromida dan garam
methylsulfate. Sifat fisik dari neostigmin methylsulfate berupa bubuk kristal putih
yang tidak berbau dan mudah larut dalam air. Neostigmin methylsulfate
merupakan senyawa amonium kuarterner sintetis, yang terdiri dari karbamat dan
gugus amonium kuarterner. Neostigmin methylsulfate tidak dapat melewati sawar
darah otak. Neostigmin methylsulfate digunakan pertama kali pada tahun 1877
sebagai obat glaukoma. Selanjutnya, pada tahun 1931 Aeschliman dan Reinest
menggunakan neostigmin methylsulfate sebagai stimulan pada traktus intestinal
dan pengobatan miastenia gravis.
Neostigmin methylsulfate merupakan obat anti kolinesterase, yaitu obat
yang mempengaruhi sistem saraf otonom yang bekerja pada reseptor kolinergik.
Terdapat 2 jenis reseptor kolinergik yaitu reseptor muskarinik dan nikotinik.
Reseptor muskarinik ditemukan pada organ afektor otonom, kelenjar lakrimalis,
organ pencernaan, gaster, dan otot polos. Sedangkan reseptor nikotinik terdapat
pada susunan saraf pusat, medula adrenal, ganglia otonom
(simpatik/parasimpatik) dan "neuromuscular junction". Obat anti kolinesterase
bekerja pada kedua reseptor dengan menghambat degradasi asetilkolin.22, 23, 24

2.5.1 Farmakokinetik
Absorpsi neostigmin melalui oral kurang baik. Neostigmin dapat
diberikan secara subkutan, intramuskular, dan intravena. Karena struktur
quartenary ammonium, neostigmin methylsulfate tidak dapat melewati

13
plasenta dan tidak terdeteksi di dalam ASI. Sekitar 15%-25% neostigmin
methylsulfate terikat dengan serum albumin. Neostigmin methylsulfate
mengalami hidrolisis oleh kolinesterase menjadi 3-hidroksi fenil trimetil
amonium (3OH-PTM) yang tidak aktif. Neostigmin methylsulfate juga
dimetabolisme oleh enzim mikrosomal di dalam hati. Neostigmin
methylsulfate dan 3OH-PTM diekskresikan oleh ginjal. Pada kondisi gagal
ginjal, klirens plasma neostigmin methylsulfate menjadi lebih lambat.
Waktu paruh plasma neostigmin methylsulfate adalah 30-50 menit.22, 23, 24

2.5.2 Farmakodinamik
Neostigmin methylsulfate merupakan antikolinesterase yang
menghambat hidrolisis asetilkolin melalui mekanisme kompetisi dengan
asetilkolin untuk berikatan dengan asetilkolinesterase. Asetilkolin
terakumulasi pada sinapsis kolinergik dan efeknya memanjang dan
meningkat.

a. Efek Muskarinik
 Sistem kardiovaskular yaitu hipotensi dan bradikardia.
 Sistem pernapasan yaitu penyempitan bronkiolus dan
peningkatan sekresi trakeobronkial.
 Sistem gastrointestinal yaitu peningkatan tonus dan
motilitas usus serta peningkatan produksi asam lambung.
 Mata yaitu miosis dan peningkatan lakrimasi.
 Kelenjar ludah, yaitu peningkatan sekresi saliva.
.
b. Efek Nikotinik
 Otot rangka berupa peningkatan kekuatan otot dengan
aksi antikolinesterase yaitu dengan meningkatkan jumlah
asetilkolin selama terjadi impuls saraf atau secara
langsung merangsang reseptor kolinoseptive pada motor
end plate.
 Otonom ganglia meliputi stimulasi ganglia simpatis

14
(dalam dosis kecil) dan menghambat simpatis (dalam
dosis yang lebih besar).

2.5.3 Neostigmin Methylsulfate Intratekal


Neostigmin methylsulfate intratekal menghambat hidrolisis asetilkolin
dan menghasilkan efek analgesia pada hewan dan manusia. Beberapa
penelitian menduga bahwa serabut saraf sensorik primer dapat merangsang
saraf kolinergik di kornu dorsal, sehingga terjadi pelepasan asetilkolin oleh
saraf-saraf lokal yang mendapat modulasi lewat mekanisme pre dan pasca
sinaptik. Selanjutnya rangsangan diteruskan oleh saraf aferen kecil.16

Gambar 5. Mekanisme Kerja Cholinesterase Inhibitor

Reseptor muskarinik spinal mempengaruhi efek antinosiseptik pada


pemberian neostigmin methylsulfate. Efek antinosiseptik terjadi karena aktivasi
intrinsic asending dan desending cerebral cholinergic pathways. Pemberian
neostigmin methylsulfate intratekal akan menghambat hidrolisis asetilkolin di
spinal sehingga konsentrasi asetilkolin di dalam cairan serebrospinal meningkat.
Konsentrasi asetilkolin yang tinggi akan mengaktivasi reseptor kolinergik di

15
medula spinalis dan menimbulkan efek nosiseptik yang baik. Reseptor muskarinik
juga berinteraksi dengan reseptor opioid dan reseptor α-2 adrenergik. Akan tetapi,
sifat dan farmakologi dari interaksi antara reseptor muskarinik, α-2 adrenergik,
dan opioid masih belum jelas. Hood dkk membuktikan bahwa terjadi peningkatan
kadar asetilkolin di dalam cairan serebrospinal setelah penyuntikan neostigmin ke
dalam rongga subarakhnoid.
Neostigmin methylsulfate mempunyai efek analgesia melalui ikatan
neostigmin pada reseptor muskarinik di substansia gelatinosa serta lamina III dan
V substansia grisea medula spinalis. Derajat analgesia dari neostigmin
methylsulfate intratekal tergantung pada jumlah asetilkolin yang dilepaskan ke
susunan saraf pusat. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa neostigmin
methylsulfate tidak bersifat neurotoksik sehingga tidak membahayakan
keselamatan pasien. Efek samping seperti mual, muntah, dan efek samping
kardiovaskular (hipotensi, bradikardi) dapat timbul apabila terjadi distribusi obat
ke batang otak.
Efek samping seperti mual dan muntah akibat pemberian neostigmin
spinal berhubungan dengan dosis. Pemberian opioid pasca operasi juga dapat
menyebabkan mual. Diperlukan beberapa penelitian untuk menilai kemungkinan
bahwa neostigmin mungkin memperburuk rasa mual yang ditimbulkan oleh
reseptor opioid. Potensi neostigmin methylsulfate intratekal meningkat pada
periode pasca operasi. Sistem saraf noradrenergik desenden atau sistem spinal
antinosiseptif kolinergik yang diaktivasi oleh stimulus nyeri secara terus menerus
menyebabkan peningkatan pelepasan asetilkolin sehingga efek analgesia selektif
dari neostigmin methylsulfate menjadi meningkat.

a. Efek Samping Neostigmin Methylsulfate Intratekal terhadap


Sistem Neurologi
Dalam suatu penelitan, sampel yang menerima neostigmin
methylsulfate intratekal mengalami efek samping berupa kelemahan
motorik. Selain itu, pada pemberian neostigmin methylsulfate dengan dosis
yang lebih besar, pasien mengalami penurunan refleks tendon ekstremitas

16
bawah yang diikuti penurunan refleks tendon ekstremitas atas. Hal ini sesuai
dengan distribusi neostigmin ke arah sefalad di dalam cairan serebrospinal.
Kelemahan motorik dan penurunan refleks tendon tidak disebabkan oleh
iskemia karena neostigmin methylsulfate dalam dosis besar tidak
mengurangi aliran darah ke medula spinalis dan tidak menyebabkan
perubahan histopatologi. Oleh karena itu, penggunaan neostigmin
methylsulfate intratekal dalam dosis besar harus dibatasi pada pasien paska
operasi atau dalam manajemen nyeri kronis. Efek samping lainnya seperti
ansietas berhubungan dengan injeksi spinal neostigmin 750µg dan efek
samping ini disebabkan oleh stimulasi kolinergik sentral. Neostigmin
methylsulfate intratekal tidak menyebabkan perubahan dalam perhatian,
gangguan memori, ataupun gangguan koordinasi motorik.

b. Efek Samping Neostigmin Methylsulfate Intratekal terhadap


Sistem Gastrointestinal
Efek samping berupa mual dan muntah berhubungan dengan
peningkatan dosis neostigmin setelah pemberian secara intratekal. Efek
samping ini muncul dalam 30-90 menit setelah injeksi neostigmin intratekal.
Mual dan muntah merupakan efek samping yang paling mengganggu.

c. Efek Samping Neostigmin Methylsulfate Intratekal terhadap


Sistem Kardiovaskular
Pemberian neostigmin methylsulfate intratekal dalam dosis yang
relatif besar dapat meningkatkan tekanan darah dan frekuensi denyut
jantung. Stimulasi kardiovaskular dari neostigmin methylsulfate disebabkan
oleh rangsangan pada neuron simpatis preganglionik.

d. Efek Samping Neostigmin Methylsulfate Intratekal terhadap


Sistem Respirasi
Tidak terdapat efek samping akibat penggunaan neostigmin
methylsulfate intratekal pada sistem respirasi kecuali penurunan angka end-

17
tidal CO2 pada pemberian neostigmin dosis besar 750µg.

e. Efek Samping Neostigmin Methylsulfate Intratekal terhadap


Traktus Urinarius
Pemberian neostigmin methylsulfate menyebabkan peningkatan
tekanan intravesika. Peranan reseptor muskarinik spinal terhadap refleks
kandung kemih tidak dijelaskan. Walaupun pada pemberian neostigmin
methylsulfate intratekal dengan dosis yang lebih besar dapat menyebabkan
retensi urin, durasi retensi urin lebih singkat dibandingkan dengan durasi
retensio urin akibat pemberian morfin intratekal.9

18
BAB III
KESIMPULAN

Anestesi spinal merupakan prosedur anestesi yang dilakukan dengan cara


menyuntikan obat anestesi lokal ke dalam rongga intratekal. Pemberian obat
anestesi lokal ke dalam rongga intratekal atau rongga subaraknoid di regio lumbal
antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 menghasilkan efek anestesi dengan onset yang
cepat dan derajat kesuksesan yang tinggi. Terdapat beberapa kontraindikasi
absolut dan kontraindikasi relatif dalam penerapan prosedur anestesi spinal.
Anestesi spinal memiliki beberapa keunggulan diantaranya relatif murah,
pengaruh sistemik yang minimal, efek analgesia yang adekuat, dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih sempurna. Selain itu, anstesi spinal juga
memiliki beberapa kerugian yaitu berupa komplikasi yang meliputi hipotensi,
mual dan muntah, PDPH, nyeri pinggang dan lainnya.
Salah satu obat anestesi lokal yang paling sering digunakan dalam prosedur
anestesi spinal adalah bupivakain hidroklorida. Bupivakain hidroklorida memiliki
onset kerja 5-10 menit dan durasi kerja 75-150 menit. Larutan bupivakain
hidroklorida hiperbarik adalah larutan anestesi lokal bupivakain yang mempunyai
berat jenis lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal (1,003-1,008). Larutan
bupivakain hiperbarik akan terdistribusi secara cepat ke daerah yang lebih rendah
dibandingkan dengan larutan bupivakain yang isobarik, sehingga mempercepat
distribusi larutan bupivakain hiperbarik tersebut.
Neostigmin methylsulfate merupakan obat anti kolinesterase, yaitu obat
yang mempengaruhi sistem saraf otonom yang bekerja pada reseptor kolinergik.
Neostigmin methylsulfate intratekal menghambat hidrolisis asetilkolin dan
menghasilkan efek analgesia. Derajat analgesia dari neostigmin methylsulfate
intratekal tergantung pada jumlah asetilkolin yang dilepaskan ke susunan saraf
pusat. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa neostigmin methylsulfate
tidak bersifat neurotoksik sehingga tidak membahayakan keselamatan pasien.
Efek samping seperti mual, muntah, dan efek samping kardiovaskular (hipotensi,
bradikardi) dapat timbul apabila terjadi distribusi obat ke batang otak.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Bridenbaugh PO, Greene NM, Brull SJ. Spinal (Subarachnoid) Spinal


(Subarachnoid) Neural Blokade. Cousins MJ, Bridenbaugh PO eds. Neural
blockade in clinical anesthesia and management of pain. Third edition,
Philadelphia : Lippincott-Raven: 1998, 203-9.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. Clinical
Anesthesiology. 4th edition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical
Books: 2006, 151-52, 263-75.
3. Kleinman W, Mikhail M. Spinal, epidural and caudal blocks. Morgan GE,
Mikhail MS, eds. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Mc Graw
Hill Lange Medical Books: 2006, 289-323.
4. Bernards CM. Epidural and spinal anesthesia. Barash PG, Cullen BF,
Stoelthing RK,eds. Clinical Anesthesia Fifth Edition, Philadelphia:
Lippincott-Williams & Wilkins; 2006, 691-717.
5. Latief SA, Surjadi K, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Ed 1.
Jakarta: Balai Penerbit Buku Kedokteran Universitas Indonesia. 2001: 124-
7.
6. Chaney MA. Side Effects of Intrathecal and Epidural Opioids. Can J.
Anaesth. 1995;42(10): 891-903.
7. Howksworth C, Serpell M. Intrathecal Anesthesia with Ketamine. Reg
Anaesth. 1998; 55: 541-547.
8. Eisenach JC, De Kock M. Α2 Adrenergic Agonists for Regional Anesthesia.
A Clinical Review of Clonidine. Anesthesiology. 1996; 85(3): 655-74.
9. Hood DD, Eisenach JC, Tuttle R. Phase I of safety assessment of intrathecal
neostigmine methylsulphate in human. Anesthesiology 1995 ; 82 : 331343.
10. Khan ZH, Mamidi S, Majedi H, Afsa, Nourrijelyanis K. Postoperative pain
relief following intrathecal injection of acetylcholline esterase inhibitor
during lumbar disc surgery: a prospective double blind randomized study.
Journal of clinical pharmacy and therapeutics 2008;33:669-75.
11. Lauretti G.R, Reis M.P, Prado W.P, Klam J.G. Dose-response study of
intrathecal morphine versus intrathecal neostigmine, their combination or
placebo for postoperative analgesia in patients undergoing anterior and
posterior vaginoplasty. Anesthesia Analgesia 1996 ; 82 : 1182-7.
12. Pan PM, Mok MS. Efficacy of intrathecal neostigmine for the relief of post
caesarean pain. Anesthesiology 1995;83:786.
13. Eisenach JC, Hooc DD. Phase I of human safety assessment of intrathecal
neostigmine containing methyl and propylparaben. Anest. Analgesia 1997;
85 : 843-846.
14. Gracelly RH. Pain management. Acta Anesthesiology Scandinavia 1999 ;
43 : 897-908.
15. Liu SS, Hodgson PS, Moore JM, Trautman WJ, Burkhead DL. Dose
response effects of spinal neostigmine added to bupivacaine spinal
anesthesia in volunteers. Anesthesiology 1999 ; 90 : 710-7.
16. Lauretti GR, Hood DD, Eisenach JC, Pfeifer BL. A Multy-Center Study of

20
Intrathecal Neostigmine for Analgesia following Vaginal Hysterectomy.
American Society of Anesthesiologists 1998;89:913-8.
17. Chung CJ, Kim JS, Park HS, Chin YJ. The Efficacy of Intrathecal
Neostigmine, Intrathecal Morphine, and Their Combination for Post-
Cesarean Section Analgesia. Anesth-Analg 1998;87:341-6.
18. Covino BG, Scott DB, Lambert DH. Handbook of Spinal Anaesthesia and
Analgesia, Mediglobe, Fribourg: 1994; 71-104.
19. Stoelting RK, Hiller SC. Pharmacology & Physiology in Anesthetic
Practice. Fourth Edition, Lippincott Williams & Wilkin, Philadelphia: 2006;
140-154.
20. de Jong RH. Local Anesthetic Pharmacology. Brown DL, eds. Regional
Anesthesia and Analgesia, WB Saunders Company. Philadelphia: 1996;
124-138.
21. Halim. Formulir penelitian perbandingan efek penambahan neostigmin 25
µg dan klonidin 30 µg pada anestesi spinal bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5
mg terhadap lama analgesia pasca operasi ortopedi ekstremitas bawah.
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang.2012.
22. Goodman and Gilman. The pharmacological basis of therapeutics. 11th
Edition. Mc Graw Hill: 2006, 204-214.
23. Martindale. The Complete Drug Reference. 33rd Edition. PhP
Pharmaceutical press; 2002: 1419-21.
24. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Cholinesterase Inhibitors. Clinical
Anaesthesiology. 4th ed. New York: Mc Graw Hill Lange Medical Books :
2006: 231-234.38.

21
21

Anda mungkin juga menyukai