Disusun oleh:
Raden Roro Marina Rizky Utami
04102781923002
Pembimbing:
Prof. Dr. dr. HMT Kamaludin, SpFK, DAFK
Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul ”Neostigmin
Methylsulfate dan Bupivakain Hidroklorida Hiperbarik dalam Anestesi Spinal”.
Referat ini diajukan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Mata Kuliah
Dasar Umum farmakologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang periode Juli 2019.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. HMT Kamaludin,
SpFK, DAFK selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama
penulisan dan penyusunan referat ini. Penulis menyadari terdapat banyak
kekurangan dalam penyusunan referat ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
berbagai pihak sangat diharapkan penulis. Semoga referat ini dapat memberi
manfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................3
2.1 Anatomi Kolumna Vertebralis ..........................................................3
2.2 Anestesi Spinal ..................................................................................5
2.3 Obat Anestesi Lokal ..........................................................................6
2.3.1 Seleksi Barisitas Larutan Anestesi Lokal.................................6
2.3.2 Dampak Fisiologis ...................................................................7
2.4 Bupivakain Hidroklorida ...................................................................8
2.4.1 Farmakologi .............................................................................8
2.4.2 Metabolisme dan Ekskresi ......................................................10
2.4.3 Bupivakain Hidroklorida Hiperbarik ......................................10
2.5 Neostigmin Methylsulfate ................................................................13
2.5.1 Farmakokinetik .......................................................................13
2.5.2 Farmakodinamik .....................................................................14
2.5.3 Neostigmin Methylsulfate Intratekal ......................................15
BAB III KESIMPULAN ..........................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
memperpanjang durasi kerja anestesi spinal. Opioid dapat memperpanjang durasi
kerja anestesi spinal tanpa menghambat proses pemulihan pasca anestesi.
Sementara klonidin akan meningkatkan kualitas analgesia dan mengurangi
kebutuhan terhadap obat analgesia pasca operasi. Walaupun demikian,
penggunaan obat-obatan adjuvan tersebut terbatas karena dapat menimbulkan
berbagai efek samping diantaranya pruritus, retensio urin, depresi pernafasan,
gangguan hemodinamik, nistagmus, nausea, dan vomitus.6, 7, 8
Pada tahun 1995, Hood dkk melaporkan bahwa penggunaan neostigmin
methylsulfate intratekal mempunyai efek antinosisepsi dan efek analgesia pasca
operasi.9 Neostigmin methylsufate biasanya digunakan sebagai anti dotum obat
pelumpuh otot non-depolarisasi. Neostigmin methylsulfate relatif aman digunakan
untuk memperpanjang efek blokade sensorik pada anestesi spinal dan
meningkatkan kualitas analgesia pada anestesi spinal. Penambahan neostigmin
methylsulfate dapat menimbulkan efek samping mual dan muntah. Namun efek
samping tersebut tergantung pada besarnya dosis yang diberikan.8, 10-15
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Lauretti dkk dengan
menggunakan dosis neostigmin methylsulfate 25-75 μg intratekal, menyimpulkan
bahwa efek analgesia dari neostigmin methylsulfate intratekal dapat terjadi pada
dosis kurang dari 50 μg pada pasien histerektomi vagina.16 Selain itu, Chung dkk,
melaporkan penambahan neostigmin methylsulfate 25 μg pada bupivakain
hidroklorida hiperbarik 0,5% 12 mg dalam anestesi spinal memberikan efek
analgesia pasca operasi seksio sesarea yang setara dengan penambahan morfin
100 μg.17
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas penggunaan
neostigmin methylsulfate dan bupivakain hidroklorida hiperbarik dalam anestesi
spinal.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
piamater terdapat rongga yang disebut rongga subarakhnoid. Duramater dan
arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga di bawah
batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Rongga sub arakhnoid
merupakan sebuah rongga yang terletak di sepanjang tulang belakang dan berisi
cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah, dan serabut saraf spinal yang berasal
dari medulla spinalis. Pada orang dewasa medulla spinalis berakhir pada sisi
bawah vertebra lumbal.3, 4, 18
4
2.2 Anestesi Spinal
Anestesi spinal merupakan prosedur anestesi yang dilakukan dengan cara
menyuntikan obat anestesi lokal ke dalam rongga intratekal. Pemberian obat
anestesi lokal ke dalam rongga intratekal atau rongga subaraknoid di regio lumbal
antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 menghasilkan efek anestesi dengan onset yang
cepat dan derajat kesuksesan yang tinggi. Walaupun prosedur anestesi ini
sederhana, pengetahuan tentang anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat anestesi lokal di rongga
intratekal, serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan
anestesi spinal.1, 2, 3
Kontraindikasi absolut anestesi spinal meliputi koagulopati, hipovolemi
berat, peningkatan tekanan intrakranial, stenosis aorta berat, stenosis mitral berat,
dan adanya infeksi di daerah penusukan. Pasien yang menolak untuk dilakukan
anestesi spinal juga merupakan kontraindikasi absolut. Sedangkan kontraindikasi
relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati seperti penyakit
demielinisasi sistem syaraf pusat, lesi pada katup jantung, serta kelainan bentuk
anatomi spinal yang berat.1, 2, 3
Obat anestesi lokal bekerja pada lapisan superfisial dari korda spinalis,
tetapi tempat kerja yang utama adalah serabut preganglionik. Serabut sistem saraf
simpatis preganglionik yang terblok oleh konsentrasi obat anestesi lokal yang
tidak memadai untuk mempengaruhi serabut sensorik dan motorik menyebabkan
tingkat denervasi sistem saraf simpatis selama anestesi spinal meluas sekitar dua
segmen spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris dan untuk anestesi motorik,
rata-rata dua segmen dibawah anestesi sensorik.18
Anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan antara lain, perubahan
metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, komplikasi terhadap
jantung, otak, paru dapat diminimalisir, serta relaksasi otot dapat maksimal pada
daerah yang terblok sementara pasien dalam keadaan sadar. Selain itu, anstesi
spinal juga memiliki beberapa kerugian yaitu berupa komplikasi yang meliputi
hipotensi, mual dan muntah, PDPH, nyeri pinggang dan lainnya.18, 20
5
2.3 Obat Anestesi Lokal
Obat anestesi lokal merupakan suatu senyawa amino organik. Obat anestesi
lokal dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan amino amida.
Ikatan ester mempunyai sifat mudah terhidrolisis, onset kerja yang lambat, durasi
kerja yang pendek, dan hanya sedikit yang dapat menembus jaringan. Sedangkan
ikatan amida menjadi tidak aktif oleh hepatic amidase, onset kerja yang cepat,
durasi kerja yang lebih lama, dan lebih banyak yang menembus jaringan.
Kelompok ester meliputi procaine, chloroprocaine, dan tetracaine. Sedangkan,
kelompok amida antara lain lidocaine, mepivacaine, bupivacaine, dan
etidocaine.2, 20
6
2.3.2 Dampak Fisiologis
a. Sistem Kardiovaskular
Pada anestesi spinal terjadi penurunan aliran darah jantung dan
penghantaran (supply) oksigen ke miokardium akibat penurunan
tekanan arteri rata-rata. Penurunan tekanan darah yang terjadi sesuai
dengan tingkat blokade simpatis, semakin banyak segmen simpatis
yang terblok maka semakin besar penurunan tekanan darah yang
terjadi. Untuk menghindari terjadinya penurunan tekanan darah yang
hebat, sebelum dilakukan anestesi spinal diberikan cairan elektrolit
NaC1 fisiologis atau ringer laktat 10-20 ml/kgbb. Pada Anestesi spinal
yang mencapai T4 dapat terjadi penurunan frekuensi nadi dan
penurunan tekanan darah dikarenakan terjadinya blokade saraf
simpatis.21
b. Sistem Respirasi
Pada anestesi spinal, efek blokade motorik terjadi pada 2-3
segmen di bawah blok sensorik, sehingga pada keadaan istirahat
pernafasan tidak banyak dipengaruhi. Tetapi apabila efek blokade
yang terjadi mencapai saraf frenikus yang mempersarafi diafragma,
dapat terjadi apnea.
c. Sistem Gastrointestinal
Blokade serabut simpatis preganglionik dapat menghambat
aktivitas saluran pencernaan (T4-5) dan aktivitas serabut saraf
parasimpatis menjadi lebih dominan, walaupun demikian peristaltik
usus dan relaksasi spingter usus masih normal. Anestesi spinal dapat
menimbulkan keluhan mual dan muntah yang disebabkan karena
hipoksia serebri sebagai akibat dari hipotensi mendadak, atau tarikan
pada pleksus terutama yang melalui saraf vagus.21
7
2.4 Bupivakain Hidroklorida
Bupivakain hidroklorida merupakan obat anestesi lokal golongan amida
dengan rumus kimia 2-piperidine karbonamida, 1 butyl (2,6- dimethilfenil)
monoklorida. Bupivakain hidroklorida memiliki durasi kerja yang panjang. Dalam
prosedur pembedahan yang membutuhkan waktu lebih lama, pasien menggunakan
kateter dan obat diberikan secara kontinyu sehingga resiko toksisitas menjadi
berkurang oleh karena selang waktu pemberian obat yang cukup lama.
2.4.1 Farmakologi
Bupivakain hidroklorida menghambat impuls saraf dengan cara
sebagai berikut:
8
b. Meningkatkan Tegangan Permukaan Selaput Lipid
Monomolekuler
Bupivakain hidroklorida meningkatkan tegangan permukaan
lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga menutup
pori-pori membran dengan demikian menghambat gerakan ion
termasuk ion natrium.
a. Ikatan Protein
Ikatan protein berperan penting dalam blokade saraf.
9
2-3 kali lebih lama dibandingkan mepivakain sekitar 90-180 menit.21
10
Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi larutan bupivakain
hiperbarik yaitu sebagai berikut:
a. Gravitasi
Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai berat jenis 1,003-
1,008. Jika larutan hiperbarik yang disuntikkan kedalam cairan
serebrospinal, larutan hiperbarik tersebut akan terdistribusi ke tempat yang
lebih rendah, sedangkan larutan hipobarik akan terdistribusi berlawanan
arah dengan gravitasi seperti menggantung. Sementara itu, larutan isobarik
terdistribusi secara lokal sesuai dengan tempat injeksi.
b. Postur Tubuh
Semakin tinggi tubuh seseorang, maka semakin panjang medula
spinalis dan semakin banyak volume cairan serebrospinal di bawah L2
sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis obat anestesi yang
lebih banyak dibandingkan dosis anestesi yang dibutuhkan oleh pasien yang
pendek.
c. Tekanan Intraabdomen
Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan obstruksi pada
saluran pembuluh darah vena abdomen dan pelebaran saluran-saluran vena
di ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural akan menyempit dan
akhirnya menyebabkan penekanan ke ruang subarakhnoid sehingga
distribusi obat anestesi lokal ke kranial menjadi lebih cepat. Pada pasien
dengan peningkatan tekanan intraabdomen, dosis obat anestesi yang
digunakan harus dikurangi.
11
e. Tempat Penyuntikan
Semakin tinggi daerah penyuntikan, maka efek analgesia yang
dihasilkan semakin besar. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan
distribusi obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L4-5.
f. Manuver Valsava
Setelah obat disuntikkan, distribusi obat akan lebih cepat jika tekanan
dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara mengedan.
g. Volume Obat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anellson, distribusi obat
secara maksimal ke arah sefalad membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit
pada semua jenis volume obat (1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Semakin besar
volume obat anestesi, maka semakin cepat onset blokade motorik yang
ditimbulkan. Selain itu, semakin besar volume obat anestesi, semakin tinggi
level blokade sensorik yang terjadi.
h. Konsentrasi Obat
Suatu penelitian melaporkan bahwa bupivakain 0,75% hiperbarik
menyebabkan distribusi obat ke arah sefalad menjadi lebih tinggi beberapa
segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik. Durasi kerja obat
menjadi lebih panjang dengan penambahan volume obat bupivakain 0,75%.
Selain itu, bupivakain 0,75% hiperbarik memberikan perubahan
kardiovaskular yang berbeda.
i. Posisi Tubuh
Penelitian J.A.W. Wildsmith menunjukkan bahwa distribusi obat
anestesi isobarik tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi tubuh, sedangkan
distribusi obat hiperbarik dipengaruhi oleh perubahan posisi tubuh. Pada
larutan hiperbarik, posisi terlentang dapat mencapai level blok T4 sedangkan
pada posisi duduk hanya mencapai level T8.
12
j. Lateralisasi
Lateralisasi obat anestesi hiperbarik dapat dilakukan dalam posisi
berbaring miring (lateral dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith
disimpulkan bahwa 5 menit setelah penyuntikan obat, distribusi obat pada
sisi tubuh sebelah bawah mencapai T10, sedangkan sisi atas mencapai S1.
Sekitar 20 menit setelah obat disuntikkan, distribusi obat pada sisi bawah
mencapai T6, sedangkan pada sisi atas mencapai T7.21
2.5.1 Farmakokinetik
Absorpsi neostigmin melalui oral kurang baik. Neostigmin dapat
diberikan secara subkutan, intramuskular, dan intravena. Karena struktur
quartenary ammonium, neostigmin methylsulfate tidak dapat melewati
13
plasenta dan tidak terdeteksi di dalam ASI. Sekitar 15%-25% neostigmin
methylsulfate terikat dengan serum albumin. Neostigmin methylsulfate
mengalami hidrolisis oleh kolinesterase menjadi 3-hidroksi fenil trimetil
amonium (3OH-PTM) yang tidak aktif. Neostigmin methylsulfate juga
dimetabolisme oleh enzim mikrosomal di dalam hati. Neostigmin
methylsulfate dan 3OH-PTM diekskresikan oleh ginjal. Pada kondisi gagal
ginjal, klirens plasma neostigmin methylsulfate menjadi lebih lambat.
Waktu paruh plasma neostigmin methylsulfate adalah 30-50 menit.22, 23, 24
2.5.2 Farmakodinamik
Neostigmin methylsulfate merupakan antikolinesterase yang
menghambat hidrolisis asetilkolin melalui mekanisme kompetisi dengan
asetilkolin untuk berikatan dengan asetilkolinesterase. Asetilkolin
terakumulasi pada sinapsis kolinergik dan efeknya memanjang dan
meningkat.
a. Efek Muskarinik
Sistem kardiovaskular yaitu hipotensi dan bradikardia.
Sistem pernapasan yaitu penyempitan bronkiolus dan
peningkatan sekresi trakeobronkial.
Sistem gastrointestinal yaitu peningkatan tonus dan
motilitas usus serta peningkatan produksi asam lambung.
Mata yaitu miosis dan peningkatan lakrimasi.
Kelenjar ludah, yaitu peningkatan sekresi saliva.
.
b. Efek Nikotinik
Otot rangka berupa peningkatan kekuatan otot dengan
aksi antikolinesterase yaitu dengan meningkatkan jumlah
asetilkolin selama terjadi impuls saraf atau secara
langsung merangsang reseptor kolinoseptive pada motor
end plate.
Otonom ganglia meliputi stimulasi ganglia simpatis
14
(dalam dosis kecil) dan menghambat simpatis (dalam
dosis yang lebih besar).
15
medula spinalis dan menimbulkan efek nosiseptik yang baik. Reseptor muskarinik
juga berinteraksi dengan reseptor opioid dan reseptor α-2 adrenergik. Akan tetapi,
sifat dan farmakologi dari interaksi antara reseptor muskarinik, α-2 adrenergik,
dan opioid masih belum jelas. Hood dkk membuktikan bahwa terjadi peningkatan
kadar asetilkolin di dalam cairan serebrospinal setelah penyuntikan neostigmin ke
dalam rongga subarakhnoid.
Neostigmin methylsulfate mempunyai efek analgesia melalui ikatan
neostigmin pada reseptor muskarinik di substansia gelatinosa serta lamina III dan
V substansia grisea medula spinalis. Derajat analgesia dari neostigmin
methylsulfate intratekal tergantung pada jumlah asetilkolin yang dilepaskan ke
susunan saraf pusat. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa neostigmin
methylsulfate tidak bersifat neurotoksik sehingga tidak membahayakan
keselamatan pasien. Efek samping seperti mual, muntah, dan efek samping
kardiovaskular (hipotensi, bradikardi) dapat timbul apabila terjadi distribusi obat
ke batang otak.
Efek samping seperti mual dan muntah akibat pemberian neostigmin
spinal berhubungan dengan dosis. Pemberian opioid pasca operasi juga dapat
menyebabkan mual. Diperlukan beberapa penelitian untuk menilai kemungkinan
bahwa neostigmin mungkin memperburuk rasa mual yang ditimbulkan oleh
reseptor opioid. Potensi neostigmin methylsulfate intratekal meningkat pada
periode pasca operasi. Sistem saraf noradrenergik desenden atau sistem spinal
antinosiseptif kolinergik yang diaktivasi oleh stimulus nyeri secara terus menerus
menyebabkan peningkatan pelepasan asetilkolin sehingga efek analgesia selektif
dari neostigmin methylsulfate menjadi meningkat.
16
bawah yang diikuti penurunan refleks tendon ekstremitas atas. Hal ini sesuai
dengan distribusi neostigmin ke arah sefalad di dalam cairan serebrospinal.
Kelemahan motorik dan penurunan refleks tendon tidak disebabkan oleh
iskemia karena neostigmin methylsulfate dalam dosis besar tidak
mengurangi aliran darah ke medula spinalis dan tidak menyebabkan
perubahan histopatologi. Oleh karena itu, penggunaan neostigmin
methylsulfate intratekal dalam dosis besar harus dibatasi pada pasien paska
operasi atau dalam manajemen nyeri kronis. Efek samping lainnya seperti
ansietas berhubungan dengan injeksi spinal neostigmin 750µg dan efek
samping ini disebabkan oleh stimulasi kolinergik sentral. Neostigmin
methylsulfate intratekal tidak menyebabkan perubahan dalam perhatian,
gangguan memori, ataupun gangguan koordinasi motorik.
17
tidal CO2 pada pemberian neostigmin dosis besar 750µg.
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
20
Intrathecal Neostigmine for Analgesia following Vaginal Hysterectomy.
American Society of Anesthesiologists 1998;89:913-8.
17. Chung CJ, Kim JS, Park HS, Chin YJ. The Efficacy of Intrathecal
Neostigmine, Intrathecal Morphine, and Their Combination for Post-
Cesarean Section Analgesia. Anesth-Analg 1998;87:341-6.
18. Covino BG, Scott DB, Lambert DH. Handbook of Spinal Anaesthesia and
Analgesia, Mediglobe, Fribourg: 1994; 71-104.
19. Stoelting RK, Hiller SC. Pharmacology & Physiology in Anesthetic
Practice. Fourth Edition, Lippincott Williams & Wilkin, Philadelphia: 2006;
140-154.
20. de Jong RH. Local Anesthetic Pharmacology. Brown DL, eds. Regional
Anesthesia and Analgesia, WB Saunders Company. Philadelphia: 1996;
124-138.
21. Halim. Formulir penelitian perbandingan efek penambahan neostigmin 25
µg dan klonidin 30 µg pada anestesi spinal bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5
mg terhadap lama analgesia pasca operasi ortopedi ekstremitas bawah.
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang.2012.
22. Goodman and Gilman. The pharmacological basis of therapeutics. 11th
Edition. Mc Graw Hill: 2006, 204-214.
23. Martindale. The Complete Drug Reference. 33rd Edition. PhP
Pharmaceutical press; 2002: 1419-21.
24. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Cholinesterase Inhibitors. Clinical
Anaesthesiology. 4th ed. New York: Mc Graw Hill Lange Medical Books :
2006: 231-234.38.
21
21