Anda di halaman 1dari 3

BAB 1

Pendahuluan

I. Latar Belakang
Kejang Demam adalah kejang yang dikarenakan demam pada balita, tanpa adanya
infeksi maupun kelianan gangguan saraf pusat dan saraf lainya (Aden R, 2010)
Menurut The International League Agains Epilepsy (ILAE) 2009 mendefinisikan
kejang demam sebagai kejang yang terjadi antara usia 6 bulan dan 6 tahun, yang
berkaitan dengan demam lebih dari 38º c(temperatur rektal), tanpa bukti infeksi saraf
pusat, gangguan metabolic atau riwayat kejang demam sebelumnya
Kejang demam yang harus dibedakan dari epilepsi , ditandai dengan kejang tanpa
demam berulang. Definisi ini tidak mencakup kejang yang terjadi pada akibat
penyakit saraf. Luaran untuk kejang tersebut berbeda dari kejang demam, karena
penyakit yang mendasar berpotensi menyebabkan gejala sisa pada system saraf pusat
(The American Academy of Pediatric,2008)
Angka Kejadian Kejang demam menurut Penelitian Gunawan, dkk (2012) “Faktor
Resiko Kejang Demam Berulang pada Anak”, menyebutkan di beberapa negara di
dunia, seperti di USA hampir 1,5 juta kejadian kejang demam terjadi tiap tahunnya,
dan sebagian besar terjadi dalam rentang usia 6 hingga 36 bulan dengan puncak pada
usia 18 bulan. Angka kejadian kejang demam bervariasi diberbagai negara. Daerah
Eropa Barat dan Amerika tercatat 2 sampai 4% angka kejadian kejang demam
pertahunnya. Sedangkan di India sebesar 5 sampai 10% dan di Jepang 8,8%. Jika
dihitung presentase 100% kasus kejang demam, Hampir 80% kasus Kejang demam
adalah kejang demam sederhana dan 20% merupakan kasus kejang demam kompleks
(Gunawan, P.I, dkk, 2012).
Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi sekitar 80%-90%
dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Kejang demam
dilaporkan di Indonesia mencapai 2-4% (Pasaribu, 2013).
Kejadian kejang demam terjadi pada 2%-4% anak-anak, dengan insiden puncak
pada usia 2 tahun, 30% kasus kejang demam akan terjadi kembali pada penyakit
demam berikutnya, prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna.
Angka kematian mencapai 0,64%-0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam
sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2-7%. Kejang
demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan
pencapaian tingkat akademik, 4% penderita kejang demam secara bermakna
mengalami tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi (Bulan, 2010).
Di Indonesia dilaporkan angka kejadian kejang demam 3-4% dari anak yang
berusia 6 bulan–5 pada tahun 2012-2013. Di provinsi Jawa Tengah mencapai 2-3%
dari anak yang berusia 6 bulan–5 tahun pada tahun 2012- 2013 (Depkes Jateng,
2013).
Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, usia, genetik, prenatal
dan perinatal. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih
Angka kesakitan bayi menjadi indikator kedua dalam menentukan derajat
kesehatan anak, karena nilai kesehatan merupakan cerminan dari lemahnya daya
tahan tubuh bayi dan anak balita. Salah satu penyakit tersering yang di derita oleh
anak adalah penyakit kejang demam.
Usia pertama kali kejang pada kelompok kasus diketahui sebagian besar adalah
kurang dari dua tahun. Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk glutamat baik
ion otropik maupun metabotropik sebagai reseptor eksitator padat dan aktif,
sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum
matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi Corticotropin releasing hormon
(CRH) merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan.
Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi, berpotensi untuk terjadi
bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam. Mekanisme homeostasis pada otak
belum matang masih lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan
pertambahan umur, oleh karena pada otak belum matang neural Na+ /K+ATP ase
masih kurang. Pada otak yang belum matang regulasi ion Na+ , K+ , dan Ca++ belum
sempurna, sehingga mengakibatkan gangguan repolarisasi pasca depolarisasi dan
meningkatkan eksitabilitas neuron.
Oleh karena itu, pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural
lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai
developmental window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator lebih dominan
dibanding inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor.
Anak mendapat serangan bangkitan kejang demam pada umur awal masa
developmental window mempunyai waktu lebih lama fase eksitabilitas neural
dibanding anak yang mendapat serangan kejang demam pada umur akhir masa
developmental window. Apabila anak mengalami stimulasi berupa demam pada otak
fase eksitabilitas akan mudah terjadi bangkitan kejang. Developmental window
merupakan masa perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berumur
kurang dari dua tahun Sehingga anak yang mengalami serangan kejang demam pada
umur di bawah dua tahun mempunyai risiko terjadi bangkitan kejang demam berulang
Candra (2009), mengatakan bahwa anak yang mengalami kejang demam dapat
meningkatkan risiko kerusakan pada otak, mempunyai riwayat keluarga dengan
kejang demam, keterlambatan perkembangan dan memunculkan gejala epilepsi.
Orang tua anak sebaiknya harus mengetahui informasi tentang penanganan yang
diberikan pada anak yang mengalami kejang demam. Sebab apabila orang tua
memiliki sikap yang minim dan tidak segera membawa anak mereka ke petugas
kesehatan, maka akan mengakibatkan anak tersebut mengalami dampak dan diatas
salah satunya kerusakan otak dan kematian.
Untuk itu disarankan edukasi kepada orang tua, jika anak menderita demam jangan
sampai menjadi demam tinggi yang dapat memicu bangkitan kejang demam, dan
dapat mengurangi kecemasan orang tua.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
Hubungan Usia Balita dengan Kejadian Kejang Demam yang Berulang di RSUD
Salatiga

Anda mungkin juga menyukai