Upaya Mengatasi Permasalahan Serta Pengembangan Industri Produsen Konsentrat Ikan
Alifia Naufalina 530005912
MMPO5303 - Pengolahan Hasil Perikanan
2019.1
Magister Program Ilmu Kelautan Bidang Minat Manajemen Perikanan
2019 Pendahuluan 1. Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat menunjang kegiatan usaha budidaya perikanan, sehingga pakan yang tersedia harus memadai dan memenuhi kebutuhan ikan. Pada budidaya ikan 60%-70% biaya produksi digunakan untuk biaya pakan (Afrianto dan Liviawaty, 2005). Peningkatan efisiensi pakan melalui pemenuhan kebutuhan nutrisi sangat dibutuhkan dalam rangka menekan biaya produksi. Di era globalisasi ini bahan pakan ikan yang semakin mahal mempengaruhi harga pakan pada umumnya. Banyak bahan pakan yang harus didapat dari impor. Oleh karena itu segi biaya pakan merupakan faktor yang paling tinggi pengeluarannya. Selain biaya pakan, kebutuhan nutrisi dari ikan harus diperhatikan. Ketersediaan pakan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan yang dibudidayakan. Pakan yang diberikan pada ikan dinilai baik tidak hanya dari komponen penyusun pakan tersebut melainkan juga dari seberapa besar komponen yang terkandung dalam pakan mampu diserap dan dimanfaatkan oleh ikan dalam kehidupannya (NRC, 1993). Dalam proses budidaya ikan khususnya pada kegiatan pembesaran, faktor yang terpenting adalah ketersediaan pakan dalam jumlah yang cukup, dan harus mengandung seluruh nutrient yang diperlukan, yakni karbohidrat, lemak, protein, mineral dan vitamin dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Kondisi tersebut sangat dibutuhkan bagi usaha bidang budidaya perikanan (Kordi, 2009). Pelet merupakan bentuk makanan yang terdiri atas beberapa macam bahan dan dijadikan adonan, kemudian dicetak sehingga berbentuk seperti batang atau silinder kecil dengan kisaran ukuran 1-2cm, serta memiliki diameter, panjang, dan tingkat kepadatan tertentu. Jadi pelet bukan berbentuk butiran atau tepung, dan tidak pula berupa larutan (Setyono, 2012). Mengacu pada Standart Nasional Indonesia (SNI) tahun 2006 yaitu pakan ikan buatan dirumuskan sebagai upaya meningkatkan jaminan mutu dan keamanan pangan, mengingat pakan buatan banyak diperdagangkan serta berpengaruh terhadap kegiatan budidaya. Sehingga memiliki karakteristik pelet yang dihasilkan yaitu mengandung protein berkisar 20-35%, lemak berkisar 2-10%, abu kurang dari 12%, dan kadar air kurang dari 12%. Permasalahan yang sering menjadi kendala yaitu penyediaan pakan buatan ini memerlukan banyak biaya yang relatif tinggi bahkan mencapai 60- 70% dari komponen biaya produksi (Afrianto, 2005). Alternatif pemecahan yang dapat diupayakan adalah dengan membuat pakan buatan melalui teknik sederhana dengan memperhatikan kandungan nutrisi yang baik terutama sumber protein. Protein merupakan salah satu faktor terpenting dalam keberhasilan pembuatan pelet. Kualitas protein sangat tergantung dari kemudahannya dicerna dan nilai biologis yang ditentukan oleh asam amino yang menyusunnya, semakin lengkap kandungan asam aminonya maka kualitas protein semakin baik. Bahan baku yang biasa digunakan masyarakat dalam pembuatan pelet yaitu dengan memanfaatkan bahan dari tumbuhan maupun hewan. Bahan yang berasal dari tumbuhan yaitu seperti bungkil kelapa, ampas tahu, tepung kedelai, kacang tanah dan tepung daun singkong. Sedangkan bahan yang berasal dari hewan yaitu memanfaatkan tepung ikan, telur ayam, tepung ulat sutra dan darah (Afrianto eddy, 1993). Tentu saja bahan baku yang digunakan harus mempunyai kandungan gizi yang baik dan mudah didapat ketika diperlukan, mudah diproses, mengandung zat gizi tinggi dan berharga murah dan tidak bersaing dengan manusia (Liviawaty,evi 1993). Salah satu bahan pakan alternatif yang dapat dimanfaatkan yaitu tulang ikan. Tulang ikan merupakan sisa akhir dari tubuh ikan yang masih dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku pakan yang memiliki kandungan nutrisi lengkap. Tulang ikan mengandung sel sel hidup dan matrik intraseluler dalam bentuk garam mineral. Garam tersebut terdiri atas kalsium fosfat sebanyak 80% dan sisa sebagian besar terdiri dari kalsium karbonat dan magnesium fosfat 100cm3 dari tulang yang mengandung 10.000 mg kalsium. Tulang juga digunakan untuk menampung mineral lainnya (Tababaka, 2004). Tepung tulang ikan adalah suatu produk padat kering yang dihasilkan dengan cara mengeluarkan sebagian besar cairan atau seluruh lemak yang terkandung pada tulang ikan (Kaya, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan (Trilaksani, 2006) tepung tulang ikan tuna mengandung kadar kalsium 39,24%, dan fosfor 13,66%, kadar air tulang sebesar 5,60%, abu 81,13%, protein 0,76%, dan lemak 3,05%. Menurut (Afrianto, 1993) Kandungan nutrisi tepung tulang ikan yaitu protein 25,54%, lemak 3,8%, serat kasar 1,8 dan air 5,52%. Pada umumnya tepung ikan yang bermutu baik harus memiliki sifat yaitu: butir-butirannya seragam, bebas dari sisa tulang, mata ikan dan benda asing lainnya (Moelyanto, 1982). Pelaku industri tepung ikan, mengaku kesulitan pasokan bahan baku. Kendala bahan baku ikan dari laut inilah yang pada gilirannya membuat mereka hanya bisa memproduksi kurang dari 10% dari kapasitas produksi terpasang. Akibatnya, sembari menunggu pasokan bahan baku, para pelaku industri tersebut berupaya keras untuk hanya sekedar bertahan hidup. Industri tepung ikan saat ini hanya mampu berproduksi kurang dari kapasitas yang dimiliki. Alasannya, bahan baku ikan dari nelayan sangat minim. Sehingga, pihaknya mengupayakan sejumlah langkah agar industri tersebut masih bisa bertahan. Sudah ada tiga tahun belakangan ini, hanya bisa produksi sekitar 15 ton per hari. Padahal kapasitas produksi sampai 480 ton per hari. Itu berarti sekitar 6,2% dari kapasitas terpasang. Permintaan tepung ikan di pasar domestik, terutama untuk industri pembuat pakan ikan, sangat tinggi. Bahkan, berdasarkan data yang dia miliki, permintaan pasar ikan nasional sampai 120 ribu ton per tahun. Sekitar 80 ribu ton tepung ikan di antaranya didatangkan dari impor. Angka produksi sungguh kecil dibanding kapasitas produksi yang dimiliki, apalagi dibandingkan dengan permintaan pasar di dalam negeri. Melihat kendala tersebut, penulis akan menjabarkan upaya-upaya sebagai solusi mengatasi permasalah berikut. 2. Tujuan Adapun yang menjadi latar belakang diatas, penulisan artikel ini bertujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui bagaimanakah permasalahan yang terjadi di produsen pengolahan konsentrat ikan serta solusi untuk pemgembangan yang berkelanjutan. 2. Mengetahui bagaimanakah permasalahan penyediaan bahan baku ikan pada nelayan. 3. Bagaimana prospek pengembangan industri konsentrat ikan kedepannya. 4. Mengetahui kendala yang dihadapi produsen konsentrat ikan serta solusi mengatasinya. 3. Manfaat Adapun manfaat penulisan artikel ini adalah : 1. Bagi produsen, nelayan, dan pengembangan industri menjadi titik temu atas kendala permasalahan yang dihadapi. Menjadi hal-hal yang perlu di perhatikan agar dikemudian hari samsa-sama membangun perikanan yang berkelanjutan. 2. Bagi penulis dapat mengetahui persis seperti apa yang terjadi terkait keberhasilan industri konsentrat ikan. Permasalahan dan Pembahasan 1. Produsen Konsentrat Ikan Produksi ikan meningkat, maka secara langsung akan terjadi kenaikan permintaan pakan (Hadadi dkk, 2007). Pakan yang berkualitas tergantung pada bahan baku pakan, maka ketersediaan bahan baku harus terjaga secara kualitas dan kuantitas (Ayuda, 2011). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut harga pakan ikan masih terlalu mahal. Biaya pakan sendiri, berkontribusi antara 70% - 80% biaya produksi peternak ikan budidaya. Contohnya pakan Grobest ditempat saya dulu bekerja, protein 32% saja materialnya (bahan baku) Rp 7.500/kg, harganya Rp 9.000/kg. Harga tersebut memang kurang pas untuk pembudidaya ikan skala kecil. Untuk menekan harga, sejumlah pabrik pakan juga mulai menjual pakan ikan di harga Rp 8.000/kg, namun dengan formula bahan baku yang berbeda. Disinilah yang menjadi tanda tanya, kandungan proteinnya. pakan ikan mahal karena bahan mentah pelet seperti tepung ikan masih diimpor. Harga pakan ikan, bisa ditekan jika tepung impor lokal yang harganya lebih murah bisa memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Harga tahun 2014 tepung ikan impor sekarang US$ 1,7 per kg, turun dari sebelumnya US$ 2,1 per kg. Sementara kalau yang lokal hanya US$ 1,1 per kg. Tahun lalu impor tepung ikan 46.000 ton. Permasalahan mahalnya bahan baku serta hasil tangkapan ikan nelayan juga menurun, membuat hasil dari konsentrat ikan juga mahal. Tepung ikan (fish meal) adalah produk olahan yang berbahan dasar ikan. Bahan baku tersebut mengalami proses produksi seperti perebusan, pengepresan, pengeringan, serta penggilingan sehingga tercipta produk yang mengandung protein hewani yang nantinya dapat diperuntukkan sebagai bahan baku pangan, baik untuk konsumsi manusia atau hewan. Produk yang dihasilkan dari industri ini bisa merupakan tepung ikan, protein konsentrat, dan minyak ikan (fish oil). Contohnya PT. HBT mensiasati kekurangan bahan baku ikan, merupakan perusahaan perikanan yang bergerak di bidang penepungan ikan (fish meal processing) dengan hasil samping berupa minyak ikan (fish oil) dan protein konsentrat . PT. HBT berdiri sejak tahun 1997 dengan kapasitas awal mencapai 75 ton/hari. Fasilitas penunjang yang dimiliki oleh PT. HBT adalah processing line (3 line), tricanter by flottweg (3 unit), separator (purifier) 3 unit dan tangki penampungan 4 unit. Untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing serta meningkatkan kapasitas produksi, PT. HBT telah merencanakan untuk membuat fish oil in soft gel bekerjasama dengan IPB serta pembuatan pupuk cair (fertilizer) bekerjasama dengan Direktorat PPN, Ditjen P2HP. “Kami berusaha semaksimal mungkin agar bertahan di bidang industri penepungan ikan, dengan mencari peluang-peluang baru dalam pengembangan hasil produksi dengan mempertimbangkan nilai ekonomis maupun menjaga kesejahteraan orang banyak serta menciptakan industri ramah lingkungan (zero waste),” simpul Hendra. Menurut Kepala Sub Direktorat Pengembangan Industri Direktorat Pengembangan Produk Non Konsumsi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Dwi Budianto mengatakan, pihaknya memahami betul persoalan bahan baku yang mendera industri pengolahan tepung ikan, termasuk yang dialami oleh PT. HBT. Kendati demikian, menurut Dwi, pihaknya tidak merekomendasikan untuk impor bahan baku, karena secara regulasi tidak diizinkan. Dwi menyarankan PT. HBT menginovasi produk di perusahaan tersebut, dalam hal ini produk turunan dari tepung ikan. “Memang sesuai aturan yang ada, impor ikan untuk pembuatan tepung tidak boleh. Karena tepung itu dianggapnya produk yang paling bawah. Kalau khusus untuk dibikin tepung, kelihatannya tidak dibolehkan. Kalau yang boleh diimpor adalah untuk produksi untuk pengalengan. Kelangkaan ikan sebagai bahan baku olahan dapat terjadi karena berbagai hal, antara lain: 1). Saat tidak musim ikan, penangkap lebih suka mengekspor ikannya dari pada menjualnya ke pengolah di dalam negeri, 2). Karena stok ikan di laut memang sudah menipis, atau 3). Tidak harmonisnya hubungan antara penangkap dengan pengolah sehingga bila harga jual ikan segar di luar negeri lebih tinggi, penangkap lebih suka mengekspor ikan sejenisnya daripada menjualnya kepada pengolah di dalam negeri. Untuk mengatasi ini berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, antara lain melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER. 05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap sebagaimana telah diubah dengan PerMen KP No. PER. 12/MEN/2009 tentang keharusan mempunyai industri pengolahan bagi kapal asing yang akan beroperasi di Indonesia, atau Keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan No. KEP.033/DJ-P2HP/ 2008 yang mengatur jenis-jenis ikan yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan sehingga diijinkan untuk di ekspor dalam bentuk segar. Keputusan ini akhirnya dicabut setelah berkali-kali mengalami perubahan akibat terjadinya tarik menarik kepentingan antara pihak penangkap dengan pihak pengolah. Hal lain yang masih merupakan tantangan industri pengolahan ikan adalah rendahnya pangsa dan penetrasi pasar, serta kurangnya inovasi pengolahan ikan, khususnya hasil budidaya untuk mengantisipasi produksi ikan budidaya yang berlebih yang diprogramkan pada empat tahun ke depan. Industri pengolahan berbasis bioteknologi seperti pemanfaatan senyawa aktif asal biota laut seperti mikro dan makroalga penghasil bahan-bahan obat dan farmasi belum dikembangkan secara optimal. Pengembangan industri tersebut berpotensi ekonomi tinggi, dapat mencapai empat miliar dolar Amerika (Dahuri, 2002).
2. Penyedia Bahan Baku Ikan Oleh Nelayan
Pada musim tangkap lemuru, sekitar bulan oktober-desember, nelayan biasa memperoleh lemuru dalam jumlah besar, sehingga jumlah lemuru yang tidak terserap pasar dan menjadi limbah semakin banyak. Hal ini tentu saja mengganggu keindahan dan kebersihan lingkungan, menebarkan aroma tidak sedap, dihinggapi lalat yang dapat menimbulkan penyakit, menjadi tempat pertumbuhan bakteri dan virus patogen, serta berbagai dampak negatif lainnya. Untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan, serta meningkatkan penghasilan nelayan, ikan sisa tersebut harus dimanfaatkan agar memiliki nilai tambah. Berdasarkan pengamatan, nilai tambah tertinggi bisa didapatkan dengan mengolah limbah ikan lemuru menjadi tepung ikan (fish meal). Peluang usaha tepung ini sangat prospektif karena saat ini industri pembuat tepung ikan masih sedikit, sehingga masih banyak ikan yang terbuang. Hal ini tentu mengakibatkan pemborosan sumber daya. Komoditas tepung ikan memiliki peluang pemasaran yang prospektif, baik untuk pasaran dalam maupun luar negeri. Kebutuhan tepung ikan sebagai bahan baku pakan Indonesia cukup besar, namun Karena produksi tepung ikan masih minim, maka 90% harus diimpor. Pada tahun 2011, impor tepung ikan Indonesia sebesar 167,224,729 kg atau senilai USD 44,384,799 dengan rata-rata kenaikan impor per tahun sebesar 39% (KKP, 2012). Sedangkan tahun 2014, menurut Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (KKP), kebutuhan tepung ikan tahun 2014 sebesar 90.000 ton, dan impor tepung ikan sebesar 80.000 ton mencapai US$ 480 juta atau Rp 5,7 triliun (Nurhayat, 2015). Berdasarkan analisis situasi tersebut, dapat diuraikan beberapa masalah yang dihadapi oleh kelompok nelayan tersebut, yaitu: 1. Pemanfaatan ikan masih terbatas sebagai produk untuk dipasarkan langsung (ikan segar), terutama untuk bahan baku sarden kaleng. 2. Belum adanya pengetahuan cara pemanfaatan ikan sisa sehingga hanya dibuang dan menjadi sampah yang mengganggu. 3. Tidak adanya alat-alat yang memadai untuk pengolahan limbah ikan menjadi olahan yang bermanfaat, khususnya untuk menjadi tepung ikan. 4. Perlunya pengembangan usaha untuk meningkatkan pendapatan mereka selain melaut mencari ikan. Apalagi pada saat kondisi laut tidak memungkinkan, nelayan tidak bisa melaut dan tidak memperoleh pendapatan. 5. Belum memahami tentang managemen usaha dan pembukuan. Berdasarkan permasalahanpermasalahan tersebut, maka masalah utama yang harus diselesaikan adalah pemanfaatan limbah padat dari ikan, yaitu berupa ikan sisa yang tidak tertampung di pasar maupun di industri pengolahan. Dengan termanfaatkannya limbah ikan tersebut, selain berdampak positif dalam mengurangi pencemaran lingkungan sekitar, juga menciptakan adanya diversifikasi usaha kelompok nelayan tersebut, meningkatkan pendapatan, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Pemilihan jenis ikan yang akan dijadikan bahan pembuat tepung harus memperhatikan karakteristik ikan, nilai ekonomis dan ketersediaan. Salah satu karakter ikan yang penting adalah kadar lemaknya karena berpengaruh pada kualitas tepung. Kadar lemak ikan jika terlalu tinggi akan berpengaruh buruk terhadap kualitas tepung ikan. Ikan pelagis, yaitu ikan-ikan yang biasa hidup dilapisan air bagian atas, memiliki kadar lemak yang relatif tinggi. Sedangkan ikan jenis demersal, yang biasa hidup di dasar perairan, kadar lemaknya relatif rendah. Ikan dikategorikan memiliki kadar lemak rendah jika kadar lemaknya 3- 5%, dan digolongkan tinggi jika lebih dari 10% (Murtijdo, 2003). Lemuru merupakan salah satu jenisikan pellagis yang banyak dibuat tepung ikan. Untuk menghilangkan kandungan lemaknya, terlebih dahulu dilakukan perebusan sebelum dijemur. Lemuru adalah kelompok sardinella, dimana musim tangkap puncaknya pada sekitar bulan November. Panjang badan umumnya antara 15 –18 cm (Merta, 1992), berkilau pada bagian perut dan kebiruan pada bagian punggung (Amri, 2007). Berdasarkan hasil penelitian lemuru mengandung protein tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai nutrisi pada pakan ternak. Kandungan nutrisi dalam tepung ikan adalah protein 60-75%, lemak 6-14%, kadar air 4-12% dan kadar abu 6-18% (Akhiarif, 2011). Tepung ikan tersebut sebagai bahan campuran bergizi dalam pakan ternak. Persentase tepung ikan dalam pakan ternak untuk ayam maupun itik petelor 5- 10%, itik potong 12%, puyuh 10% (Alfiyah, 2012). Khusus tepung ikan dari lemuru dapat meningkatkan omega-3 pada telur ayam (Redjeki & Trinovani, 2012). Dari 20 ton ikan basah dapat diolah menjadi 9 ton tepung ikan (Sukirno & Sriharti, 2000). Hasil sampingan dari pembuatan tepung ikan adalah minyak ikan. Menurut Prabowo (2004), minyak ikan lemuru merupakan limbah hasil pengolahan tepung ikan yang banyak mengandung Eicosapentaenoic Acid (EPA) dan Docosahexanoic Acid (DHA) yang termasuk dalam asam lemak omega-3 (linolenat). Hasil penelitian pada ikan nila gift (Oreochormis sp) telah mendapatkan bahwa pelet stimulant pakan ikan (SPI) dengan nilai protein 30% dapat meningkatkan bobot badan ikan nila gift (Oreochormis sp) dari 100 g selama 4 bulan menjadi 575 g. Tepung ikan mengandung protein hewani yang tinggi, tersusun dari asam-asam amino esensial yang komplek, diantaranya Lisin dan Methionin, juga mengandung mineral Calsium dan Phospor, serta vitamin B kompleks khususnya vitamin B12. Bila ditinjau dari sisi kualitasnya sampai saat ini tepung ikan masih sulit untuk mencari substitusinya. Indonesia memiliki potensi yang besar bagi pengembangan produk tepung ikan. Industri skala kecil pengolahan dan pembuatan tepung ikan di Indonesia, akan sangat tepat diterapkan, mengingat kesediaan bahan baku ikan rucah maupun sisa olahan cukup besar. Besarnya impor tepung ikan rata-rata pertahun bagi pabrik makanan ternak dan ikan mengalami kenaikan 11,20 %. Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan tepung ikan produksi dalam negeri belum mencukupi Tepung ikan memiliki kisaran yang berbeda. Tepung ikan yang bermutu baik memiliki butiran – butiran seragam, bersih, bebas dari kontaminasi serangga, jamur, mikroorganisme pathogen, bebas dari sisa – sisa tulang, mata ikan dan benda asing, seragam, serta bau khas ikan amis (Afrianto dan Liviawaty, 2005). Makin baik mutu tepung ikan, makin tinggi harganya. Harga tepung ikan di pasaran sekitar Rp 5000 - Rp 9000 per kg, tergantung kandungan proteinnya.. Harga tepung ikan, secara umum banyak ditentukan oleh presentase kandungan protein kasarnya. Tepung dengan rataan protein kasar yang tinggi akan semakin tinggi harganya. Tepung ikan impor berkualitas baik jika kandungan protein kasarnya bekisar antara 60-74% dengan kadar lemak bekisar antara 31,72 % - 57,02 %, lemak antara 4,57%-20,68%, dengan kadar air antara 7,33%-11,16% (Direktorat Jenderal Perikanan, 1998). Nelayan harus diarahkan untuk bisa menangani hasil ikan sisa, kemudian pemerintah membuka ruang pasar, menghubungkan antar nelayan dan produsen konsentrat. Mempercepat distribusi, mamfasilitasi sarana prasaran kepada nelayan, membuat mitra kerja dengan produsen konsentrat tentunya dengan perizinan dan regulasi yang sesuai ketentuan KKP.
3. Prospek Pengembangan Produsen Konsentrat Ikan
Bagi Produsen Skala Kecil Masyarakat Pesisir Selama ini pengolahan limbah ikan menjadi tepung ikan identik dengan kebutuhan alat yang berukuran besar dan mahal. Akibatnya, pengusaha lebih banyak berperan dalam pengolahan ini daripada masyarakat. Minat masyarakat pada hal tersebut cenderung kurang karena terkait kendala penyediaan alat dan pendanaan. Karena itu, dipandang perlu untuk membuat suatu mesin berteknologi tepat guna penggiling limbah ikan menjadi tepung ikan yang tidak terlalu mahal. Mesin penggiling ikan adalah mesin yang digunakan untuk menghancurkan ikan yang telah kering, untuk dihaluskan menjadi tepung ikan. Selanjutnya tepung ikan dijadikan bahan dasar campuran makanan ternak, karena kandungan protein pada ikan sangat tinggi. Alat yang dialihteknologikan dalam kegiatan ini berupa alat penepung (disc mill) dengan desain sebagaimana Gambar dibawah ini. Terdapat 2 ukuran alat dalam kegiatan ini, yaitu mesin dengan mesin 7 pk dan 20 pk. Mesin 20 pk ditujukan untuk skala produksi, saat limbah ikan dan sisa ikan melimpah, sehingga produksi lebih efektif dan efisien. Sedangkan alat penepung ukuran yang lebih kecil dimaksudkan untuk produksi tepung ikan pada saat jumlah bahan baku berupa ikan lemuru yang diolah untuk tepung ikan tidak terlalu banyak. Mesin kecil ini lebih dimaksudkan untuk pemanfaatan dan pengolahan limbah, sehingga dapat mengurangi dampak limbah terhadap lingkungan. Produk berupa tepung ikan dikemas dalam kemasan sedang untuk penjualan pada peternak yang membuat sendiri pakan ternaknya. Selain itu, untuk mempermudah mitra memasarkan produknya, mitra telah dihubungkan dengan salah satu pengusaha local yang memproduksi tepung ikan dalam skala menengah dan telah memiliki pelanggan tetap dalam jumlah besar di sejumlah kota di Jawa Timur. Dengan demikian lebih menjamin proses pemasaran. Dari sisi ekonomi, kegiatan ini dapat menambah penghasilan mitra. Hal ini antara lain karena mitra tetap bisa mendapatkan penghasilan meskipun tidak sedang melaut melalui pembuatan tepung ikan. Bahan baku Tepung ikan didapatkan dari hasil tangkapan sendiri beberapa hari sebelumnya dan telah dikeringkan, atau membeli ikan rucah kering dari nelayan lain atau pedagang ikan. Secara tidak langsung akan meningkatkan pendapatan nelayan lain (selain mitra) karena hasil tangkapannya yang tidak terserap pasar tetap bisa bernilai ekonomi karena dibeli oleh mitra untuk bahan baku pembuatan tepung ikan. Mitra diharapkan dapat mengembangkan usahanya. Jika skala usaha berkembang dengan baik, akan dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak dan mengurangi pengangguran. Berkembangnya usaha tidak hanya dibutuhkan pengetahuan saja tapi kemampuan berwirusaha yang mumpuni, dengan menguasai seluk beluk tentang kewirausahaan. Kemampuan ini dapat berupa bakat maupun hasil latihan atau praktik. Menurut Suryana (2006), Kemampuan yang harus dimiliki seorang wirausaha diantaranya: kemampuan memperhitungkan risiko, kemampuan berpikir kreatif, kemampuan managemen, kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi serta menguasai strategi keuangan dan pemasaran. Dengan demikian, pelatihan yang diberikan dalam kegiatan ini menumbuhkan jiwa kewirausahaan yang merangsang munculnya ide-ide wirausaha lain, sehingga diharapkan usahanya makin berkembang dan terjadi diversifikasi usaha. Jika ditinjau dari jenis mesin yang dialihteknologikan, yaitu mesin pembuat tepung, mesin tesrsebut dapat dimanfaatkan untuk menepungkan bahana lain asalkan kering, seperti kopi, jagung, bersa, kedelai, dan lain-lain. Dengan demikian, pada masamasa paceklik ikan, mesin penepung masih dapat dimanfaatkan bahkan dpat digunakan untuk berproduksi jenis produk non ikan. Sehingga kemanfaatana dan efektifitas mesin tersebut tinggi, tergantung dari kreatifitas dari mitra dalam pengembangan dan diversifikasi jenis usahanya. Melalui kegiatan ini, dapat mengurangi limbah yang diakibatkan oleh limbah padat ikan, sehingga lingkungan menjadi lebih sehat dan indah. Ikan sisa maupun ikan rucah yang semula tidak diolah, dibiarkan dan mencemari lingkungan, saat ini dimanfaatkan dengan baik dengan diolah menjadi produk yang bermanfaat yaitu tepung ikan. Dengan demikian dapat mengurangi penyebab penyakit, yaitu gatal-gatal, diare, thypus. Kegiatan pengembangan pengolahan tepung ikan melalui alih teknologi dan bantuan alat serta pelatihan dan praktek produksi bermanfaat bagi mitra maupun masyarakat sekitar mitra baik secara ekonomi maupun lingkungan. Secara ekonomi, dapat meningkatkan penghasilan mitra melalui pengolahan ikan sisa menjadi produk tepung ikan yang bermanfaat dan prospek usahanya masih cerah, juga bagi masyarakat sekitar yang hasil tangkapannya tidak terserap pasar, tetap memiliki nilai ekonomis dengan dijual pada produsen tepung ikan. Manfaat bagi lingkungan adalah mencegah pemborosan sumberdaya alam dan mengurangi pencemaran lingkungan karena tidak ada lagi ikan sisa yang terbuang percuma, namun dapat diolah menjadi tepung ikan.
Bagi Produsen Skala Besar Industri
Kandungan protein ikan sangat tinggi dibandingkan dengan protein hewan lainnya, dengan asam amino esesnsial sempurna, karena hampir semua asam amino esensial terdapat pada daging ikan. Berdasarkan lokasi terdapatnya dalam daging, yaitu protein sarkoplasma, miofibrillar dan protein pengikat (stroma), protein pembentuk atau pembentuk enzim, koenzim dan hormon. Secara umum daging ikan terdiri dari 15 – 24 % protein, 1 -3 % glikogen (karbohidrat), 0,1 -22 % lemak, 66 – 84 % air dan bahan organic lain sebesar 0,8 – 2 %. Dari data ini terlihat bahwa ikan mengandung protein dalam jumlah tinggi. Demikian pula bila ditinjau dari nilai gizi proteinnya, protein daging ikan mempunyai nilai cerna dan nilai bioogis yang tinggi (relative lebih tinggi dibandingkan dengan daging hewan ternak). Saat ini, di Indonesia belum banyak dikembangkan pengolahan daging ikan menjadi konsentrat protein ikan. Metode pengawetan yang banyak dilakukan masih dilakukan secara tradisional oleh masyarakat di Indonesia dengan melakukan penggaraman dan pengasapan yang diikuti pengeringan (ikan asin,ikan pindang, ikan peda dan ikan asap). Ditinjau dari segi gizi, ikan yang diberi perlakuan penggaraman kurang menguntungkan, karena jumlah yang dikonsumsi relative sangat sedikit akibat rasa asin yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, pengolahan ikan dengan menggunakan metode lain yang lebih menguntungkan dan memiliki nilai gizi tinggi sangat diperlukan dengan menggunakan pengolahan konsentrat protein ikan. Konsentrat protein ikan adalah suatu produk untuk dikonsumsi manusia yang dibuat dari ikan utuh atau hewan air lain atau bagian daripadanya, dengan cara menghilangkan sebagian besar lemak dan kadar airnya, sehinga diperoleh kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan baku asalnya. Pengolahan konsentrat protein ikan yang dikembangkan masih secara konvensional yang kurang disukai masyarakat karena dua hal. Pertama, pengolahan yang dilakukan berbentuk mirip tepung ikan yang umumnya digunakan untuk ternak, dan kedua sulit ditambahkan dalam pengolahan pangan yang lain, sehingga banyak orang yang tidak mau mengkonsumsinya. Salah satu bentuk usaha dalam mengoptimalkan pemanfaatan ikan-ikan di Indonesia adalah dengan mengembangkan surimi dan produk lanjutannya (gel-based products). Surimi adalah suatu daging ikan lumat beku yang telah mengalami proses pencucian (leaching), penambahan garam dan bahan anti denaturasi (gula/sorbitol) dan pembekuan sehingga dihasilkan produk yang mempunyai elastisitas (kekuatan gel) yang dapat memenuhi kriteria sebagai bahan baku produk fish gel (baso, sosis, burger, otak-otak, siomay, nugget) dengan daya tahan simpan yang tinggi. Dalam usaha untuk meningkatkan daya terima masyarakat terhadap konsentrat protein ikan, telah dikembangkan konsentrat protein ikan jenis baru yang disebut marine beef atau meat textured fish protein concentrate. Keistimewaan marine beef adalahselain nilai gizinya tinggi juga sifat fungsional proteinnya tidak hilang, sehingga dapat diolah lebih lanjut menjadi berbagai macam produk olahan daging. Marine beef yang telah dihedridasi mempunyai daya emulsi, koagulasi dan pembentukan gel yang sangat baik. Marine beef dapat digunakan sebagai bahan pengganti daging sapi dalam pembuatan hamburger,sosis, meat loaf,meat ball, dan meat sauce. Keamanan dalam mengkonsumsi marine beef juga terjamin. Bahan kimia yang digunakan dalam pembuatannya hanya natrium klorida dan natrium bikarbonat, dan jumlah yang digunakan sangat sedikit. Pengolahan Minyak Ikan sangat berbeda dengan minyak lainnya, yang dicirikan dengan (1) variasi asam lemaknya lebih tinggi dibandingkan dengan minyak atau lemak lainnya, (2) jumlah asam lemaknya lebih banyak; (a) panjang rantai karbon mencapai 20 atau 22, (b) lebih banyak mengandung jenis asam lemak tak jenuh jamak (ikatan rangkap sampai dengan 5 dan 6), dan (c) lebih banyak mengandung jenis omega-3 dibandingkan dengan omega-6. Asam lemak yang berasal dari ikan pada prinsipnya ada 3 jenis yaitu jenuh, tidak jenuh tunggal dan tidak jenuh jamak. Asam lemak tak jenuh tunggal mengandung satu ikatan rangkap dan asam lemak tak jenuh jamak mengandung banyak ikatan rangkap per molekul. Pengolahan minyak ikan di Indonesia masih dilakukan secara tradisional. Minyak ikan yang diproduksi terdiri atas minyak hati dan minyak dari badan ikan yang merupakan hasil samping pengolahan tepung ikan dan pengalengan ikan. Pemanfaatan minyak ikan yang dihasilkan di Indonesia baru digunakan sebagai komponen ransum pakan ikan maupun pakan ternak dan sebagaian kecil digunakan dalam penyamakan kulit serta industry kecil lainnya. Pengembangan Olahan Minyak Ikan sangat mudah teroksidasi oleh karena banyaknya ikatan rangkap pada gugus rantai asam lemaknya. Hal ini berarti bahwa harus diberikan perhatian yang lebih apabila minyak ikan ditambahkan pada produk makanan, jika tidak akan menyebabkan timbulnya bau atau rasa yang tidak enak dan senyawa-senyawa hasil oksidasi yang berpengaruh buruk bagi kesehatan. Perlakuan terhadap minyak ikan yang dapat menghilangkan kendala- kendala tersebut yang memungkinkan para produsen makanan memasukkan minyak ikan bagi peningkatan nilai tambah produk tampak adanya perubahan penampakkan dan usia simpan produk. Prospek minyak hati ikan cucut botol sebagai bahan baku industri di pasaran Internasional memiliki masa depan yang cerah, sehingga upaya pengolahan lebih lanjut minyak hati cucut botol menjadi bahan setengah jadi (skualen) merupakan prospek bisnis yang baik, hal ini dapat menjadi kenyataan karena teknologi pengolahannya telah dapat dihasilkan yang meliputi metoda dan teknik penanganan hati cucut botol di kapal, ekstraksi minyak dan cara isolasi skualen dari minyak tersebut. Bahan baku utama untuk pembuatan skualen adalah hati ikan cucut dari keluarga Squalidae dan ikan cucut ini banyak tersebar merata di seluruh perairan Indonesia. Skualen adalah suatu senyawa kimia banyak terdapat dalam minyak hati ikan cucut botol atau biasa juga disebut ikan cucut yang hidup pada perairan dalam (300 -1000 meter), yaitu pada bagian zat yang tidak dapat disabunkan. Skualen ini merupakan senyawa kimia yang mempunyai nilai ekonomis tinggi karena banyak digunakan sebagai bahan baku industri kosmetika, farmasi (obat-obatan), industri sutera (pengkilap warna), pengolahan karet, bahan pelumas, dan lain-lain. Oleh karena manfaat dari skualen ini sangat banyak, maka minyak hati cucut botol ini menjadi penting dan dibutuhkan tetapi sangat disayangkan kebutuhannya belum dapat dipenuhi oleh usaha penangkapan ikan cucut tersebut dalam negeri. Secara kimia, skualen adalah senyawa hidrokarbon yang mempunyai enam ikatan rangkap. Senyawa ini merupakan cairan jernih yang tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan larut dalam pelarut lemak. Skualen mempunyai titik beku -60°C, titik didih 225°C. indek bias 1.40 - 1.50 dan angka iod 366 - 380. Penanganan Bahan Mentah: Ikan cucut botol segera setelah ditangkap, diambil hatinya, cuci dengan air laut, kemudian masukkan kedalam kantong plastik. Kantong-kantong plastik itu kemudian dimasukkan kedalam peti berinsulasi dan dies dengan menggunakan es hancuran yang perbandingannya 1 : 1. Pengesan ini dilakukan selama penangkapan hingga saat hati cucut botol tersehut diekstraksi minyaknya. Ekstraksi Minyak, maka dilakukan ekstraksi dengan mencampur hati cucut botol dengan asam formiat teknis sebanyak 1% dari berat hati cucut botol (proses silase). Setelah 3 hail proses silase, kemudian dilakukan penyaringan hasil silase melalui kain blacu untuk memperoleh minyak kasar. Setelah minyak disimpan pada suhu rendah (sekitar 5°C) selama 24 jam, kemudian dilakukan sentrifuse pada kecepatan putaran 5000 rpm. Peluang Pengembangan Pasar produk pengolahan minyak ikan berteknologi adalah industri makanan seperti : susu bubuk bayi, biskuit, permen, dan lainnya. Untuk menentukan jumlah permintaan pasar harus diperhitungkan jumlah industri makanan tersebut dan juga jumlah pemakaiannya dari setiap industri tersebut. Dikarenakan penggunaan produk minyak ikan berteknologi belum secara meluas di industri makanan dalam negeri maka perlu pula dilakukan perhitungan peluang pasar di luar negeri terutama regional. Bahan baku industri minyak ikan adalah minyak ikan dari ikan-ikan pelagis dengan kadar lemak yang tinggi, seperti: lemuru dan lainnya. Sumber minyak ikan tersebut dapat dari: Hasil ekstraksi yang khusus untuk diambil minyaknya Hasil ekstraksi dari pengolahan tepung ikan Hasil samping dari pengolahan ikan kaleng. Ketiga sumber pasokan tersebut dapat digunakan namun akan mempengaruhi kepada mutu minyak, harga bahan baku, dan jumlah ketersediaan pasokan. Untuk menanggulangi kemungkinan kekurangan pasokan bahan baku maka perhitungan jumlah ketersediaan pasokan tidak hanya berasal dari domestik tetapi juga berasal dari luar negeri (import). Dengan terbukanya peluang berusaha dan pemasaran dalam perdagangan bebas maka beberapa produk baik yang sejenis atau substitusi akan dijumpai dengan mudah dipasar baik nasional maupun internasional. Dalam situasi yang demikian maka konsumen akan mempunyai peluang yang sangat luas dan bebas memilih barang yang diinginkan. Oleh sebab itu nisbah antara harga dan mutu akan sangat menentukan dalam keberhasilan pengembangan agroindustri perikanan. Rendahnya harga yang dipengaruhi oleh tingginya efisiensi akan memberikan peluang konsumen untuk dapat membelinya. Sedangkan tingginya mutu suatu produk akan memberikan jaminan dan keyakinan kepada konsumen untuk mempoleh kepuasan. Mutu produk industry minyak ikan akan sangat dipengaruhi mutu bahan mentah minyak ikan, penguasaan teknologi emulsifikasi dan enkapsulasi, serta mesin dan peralatan yang digunakan. Ketiga faktor tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan industri minyak ikan guna menghasilkan mutu produk yang dapat bersaing dan diterima konsumen. Disamping itu juga seiring dengan pemenuhan akan food safety dimana produsen dituntut untuk dapat memberikan jaminan mutu (quality assurance) terhadap produk yang diproduksi dan dipasarkan maka industri enkapsulasi minyak ikan harus pula menerapkan konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang merupakan suatu teknik operasional pengawasan mutu yang bertumpu pada upaya pencegahan sejak dini mulai dari produksi bahan baku, transportasi, pengolahan sampai pada distribusi dan pemasarannya. Kementerian Perindustrian (Kemperin) ingin mendorong industri pangan berbasis perikanan. Untuk itu, Kemperin memasukkan industri tersebut dalam sektor prioritas berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RPIN) pada 2015–2035. Menteri Perindustrian Saleh Husin menjelaskan, pada 2015–2019, kebijakan pengembangan industri pangan berbasis perikanan fokus pada aneka produk olahan ikan. Selanjutnya, pada 2020–2024, fokus akan beralih pada pengembangan minyak ikan sebagai pangan. Sedangkan pada tahun 2020–2035, diharapkan industri pengolahan ikan telah menjadi bagian dari industri pangan fungsional. Kemperin menilai, minyak ikan merupakan salah satu produk olahan yang mempunyai potensi besar. Namun, saat ini produsen baru mampu menghasilkan minyak ikan dengan kategori crude oil, bukan untuk pangan. Apabila diolah dengan benar, suplemen minyak ikan mempunyai nilai tambah sebesar 1.000% dari bahan baku ikan segar. Oleh karena itu, minyak ikan akan menjadi salah satu komoditi prioritas dalam pengembangan industri pengolahan ikan. Saat ini, industri olahan ikan yang sedang berkembang adalah pengalengan. Kapasitas terpasang industri ini mencapai 630.000 ton, namun produksinya hanya 315.000 ton pada 2015. Kemperin mencatat, nilai ekspor ikan dalam kaleng mencapai US$ 23 juta pada 2015. Nilai ekspor ini menunjukkan peningkatan, tapi masih relatif kecil, hanya 2,98% dari total ekspor nonmigas. Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo Suwondo mengakui, saat ini memang belum ada pemain industri minyak ikan di Indonesia. "Pengolahan ikan menjadi minyak ikan membutuhkan ilmu dan teknologi yang sangat tinggi," ujarnya.
4. Kendala Yang Dihadapi
Tantangan untuk industri pengolahan ikan di Indonesia adalah persaingan yang sangat ketat dalam mendapatkan bahan baku ikan segar, negara pesaing telah menerapkan integrated technology yang memungkinkan pengolahan di laut yang belum diterapkan oleh industri pengolahan ikan dalam negeri, persyaratan ekspor semakin ketat, masih adanya Illegal Fishing dan transhipment ikan dilaut, kenaikan harga bahan bakar minyak dan masih adanya persepsi negatif pada perdagangan internasional seperti adanya zat pengawet (Mercury Issue) dan ikan yang tidak segar dari Indonesia. Dalam upaya mensukseskan peran industri pengolahan hasil perikanan dalam pembangunan Nasional dengan memperhatikan peluang dan tantangan yang ada, maka beberapa hal perlu dilakukan antara lain: peningkatan jumlah kapal armada penangkapan yang berskala besar (200 GT ke atas), peningkatan pemberlakuan atau penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) bagi unit pengolahan ikan (UPI) atau industri pengolahan ikan, dan peningkatan pendidikan dan pelatihan tentang teknik pengolahan yang baik. Sejak pencanangan industrialisasi perikanan 2011 dan menjadi makin populer tahun 2012 sektor perikanan mulai melakukan pembenahan. Pembenahan tersebut dimulai dengan mendorong peningkatan produksi perikanan untuk komoditas yang potensial dikembangkan secara ekonomi. Beberapa komoditas unggulan di Maluku Utara adalah tuna, cakalang dan tongkol (TTC), udang dan rumput laut. Sementara itu komoditas tangkap terus digenjot untuk mendukung industri UMKM (pengolahan) seperti ikan asin, kerupuk ikan, abon, ikan asap dan pindang. Namun setelah beberapa tahun berjalan, belum terlihat perkembangan yang signifikan dari tahapan pencapaian program tersebut. Permasalahan terus menggeluti bagi usaha mulai dari bahan baku yang langka serta mahal, logistik yang tidak tersedia, sampai pada kebijakan impor dari pemerintah pada jenis hasil perikanan tertentu. Berdasarkan data masih ada industri pengolahan ikan nasional yang masih mengimpor bahan baku hal ini disebabkan karena; (a) Terjadi kekurangan bahan baku; (b) stok ikan yang tersedia tidak cukup untuk kebutuhan industri; (c) logistik perikanan yang tidak memadai; (d) kecukupan bahan baku merupakan kunci utama keberhasilan industrialisasi; dan (e) distribusi stok yang tidak merata antara wilayah pengelolaan perikanan dimana sebagian besar stok bahan baku terdapat di wilayah timur Indonesia. Untuk menjamin ketersediaan bahan baku secara kontinyu dan berkesinambungan diperlukan sistim tata niaga (logistik) yang kuat dan tangguh; (f) sistem logistik perikanan harus dikembangkan atau dibangun mulai dari pusat stok ikan (stocking area), perkapalan dan sistem pendukung termasuk bahan bakar; (g) perlu intervensi berupa komitmen kebijakan pemerintah untuk tidak memberlakukan impor terhadap ikan yang menjadi bahan baku dan tersedia di perairan Indonesia. Untuk mendorong peningkatan penyerapan pasar terhadap hasil industri pengolahan perikanan ke pasar lokal yang ditingkatkan ke pasar berstandar internasional. Gagasan industrialisasi bukan gagasan omong kosong jika diikuti dengan upaya untuk membangun setiap rantai sistem usaha tersebut. Namun akan menjadi omong kosong apabila nelayan, pembudidaya, pengolah dan pedagang tidak dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas penghasilan mereka (Yonvitner, 2015). Nelayan kita menyediakan bahan pangan secara keseluruhan dari budidaya dan tangkap mencapai 12,7 juta ton per tahun termasuk 4,3 juta ton dari rumput laut (KKP, 2011). Artinya 8,4 juta ton komoditas perikanan akan mampu memenuhi tingkat konsumsi pangan ikan masyarakat Indonesia setiap tahunnya yang hanya mencapai 7,1 juta ton. Secara logika kita mendapati ternyata ketersediaaan ikan nasional cukup untuk menopang bergeraknya industri perikanan karena kebutuhan ikan yang mencapai 7,1 juta ton tersebut termasuk di dalamnya ikan olahan yang diolah UMKM lebih kurang 3 juta ton (Heruwati, 2002). Kesimpulan Industrialisasi pengolahan hasil perikanan harus menjadi objek kegiatan utama di sektor perikanan dalam penanganan dan pengembangannya. Penanganan industri pengolahan hasil perikanan hendaknya dilakukan dengan baik dan benar, begitu pula dengan arah pengembangannya. Hal ini karena industri pengolahan hasil perikanan di Indonesia memiliki banyak peluang disamping tantangan yang ada. Peluang industri pengolahan hasil perikanan adalah sebagai berikut: 1). pasar domestik maupun ekspor produk olahan hasil perikanan yang masih terbuka luas; 2) adanya dukungan pemerintah yang kuat terhadap keberlangsungan industri pengolahan hasil perikanan di Indonesia; 3) adanya kecenderung peningkatan permintaan olahan siap saji oleh konsumen; 4) adanya potensi ketersediaan bahan baku yang besar, serta; 5) adanya ketersediaan tenaga kerja yang melimpah. Pengembangan industri perikanan saat ini masih sangat bervariasi, berupa kelompokkelompok usaha bersama, koperasi, maupun perusahaan yang berdiri sendiri atau yang bermitra dengan usaha-usaha kecil di sekitarnya. Untuk itu perlu dilakukan studi dan evaluasi terhadap kondisi riil dan empiris di lapangan mengenai bentuk-bentuk kelembagaan tradisional, yang dikembangkan oleh pemerintah, maupun oleh pengusaha. Beberapa kasus dari pengembangan industri tersebut perlu dikaji kekuatan dan kelemahannya, untuk kemudian digunakan sebagai landasan bagi penyusunan pemikiran teoritik. Langkah selanjutnya adalah melakukan uji coba dengan membuat penyesuaian atau penyempurnaan pada satu atau dua kasus yang kemudian dirangkai menjadi suatu model. Hal ini sangat penting mengingat besarnya keragaman karakteristik lingkungan, fisik, geografis, ekonomi, intelektual, religi, budaya, dan sosial masyarakat Indonesia. Model pemberdayaan ideal industri perikanan di Indonesia yang diajukan haruslah menggambarkan ciri inklusif dan holistik, dengan penekanan pada daya saing, bersifat non tradisional dan komersial, terutama dilihat dari pengembangan bisnis perikanan yang tangguh. Di samping itu, beberapa inovasi berikut perlu dikembangkan mengiringi program industrialisasi perikanan antara lain adalah: (1) Inovasi teknologi alat tangkap ikan ramah lingkungan; (2) Inovasi teknologi dan bioteknologi benih unggul; (3) Inovasi teknologi pakan ikan budidaya, baik pakan alami maupun pakan buatan; (4) Inovasi teknologi dan bioteknologi bioremediasi serta pembersihan air dan lingkungan; (5) Inovasi teknologi dan bioteknologi vaksin dan obat ikan; (6) Inovasi teknologi pengolahan ikan hasil budidaya termasuk teknologi pemanfaatan limbah ikan; (7) Inovasi teknologi dan bioteknologi senyawa aktif dan nutrasetikal dari bahan asal laut ; (8) Inovasi sistem atau model industri yang sesuai dengan sumberdaya, baik sumberdaya ikan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia; (9) Inovasi sistem kebijakan industri yang sesuai dengan kondisi fisik dan sosial, ekonomi, politik dan budaya Indonesia. Semoga dengan beberapa strategi inovasi di atas merupakan persyaratan minimal yang harus dipenuhi agar cita-cita industrialisasi, baik untuk perikanan tangkap, budidaya, maupun industri pengolahan ikan dapat tercapai. Daftar Pustaka Afrianto, E dan and Liviawaty,E. 2005. Tepung Ikan dan Pengembangannya Kanisius, Yogyakarta. Afrianto, E dan E. Liviawati. 2005. Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta. 141 hal. Akhiarif. 2011. Cara pembuatan tepung ikan. http://id.shvoong.com/writing- andspeaking/2124819-cara-pembuatantepung-ikan/#ixzz2zlZUdRpC Alfiyah, Y. 2012. Tepung Ikan Tradisional Campuran Pakan Alternatif Unggas, Sapi, dan Domba Ikan. http://www.scribd.com/doc/93039017/1 4349074-TEPUNG-IKAN Amri, K. 2007. Ikan Lemuru Berbaju Sarden. Majalah Intisari, Januari 2007 Ayuda, B. 2011. Kandungan Serat Kasar, Protein Kasar, dan Bahan Kering Pada Limbah Nangka yang Difermentasi Dengan Trichoderma viride dan Bacillus subtilis Sebagai Bahan Pakan Alternatif Ikan. Skripsi. Universitas Airlangga. Ditjenkan, Deptan. Utoyo, B. 2011. Pengertian dan Definisi Industri. http://ca rapedia.com/pertian definisi info 2063.Html Fajar, A. 2013. Pembukuan Sederhana Usaha Kecil dan Rumahan. http://adityafajar.com/pembukuansederhana-usaha-kecil-dan-rumahan Handajani, Hany dan Widodo, Wahju. 2010. Nutrisi Ikan. UMM Press. Malang. 271 hal. http://repository.uin-suska.ac.id/11381/1/2010_2010123EI.pdf http://www.kemenperin.go.id/artikel/15592/Pemerintah-Dorong-Industri-Minyak-Ikan http://www.neraca.co.id/article/41438/industri-tepung-ikan-inginkan-solusi-bahan-baku- pengolahan-hasil-perikanan https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3091165/pengusaha-pakan-ikan- keluhkan-harga-bahan-baku-mahal https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/88170/1/ART2015_YRI.pdf Hutagalung Saut P, 2013. Implementasi Blue Econimy di dalam Industrialisasi Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Seri analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Maluku Utara, 2015. Ikram, U., M. Javed, K. Saleem and S. Siddiq. 2006. Cotton Saccharifying Activity of Cellulases Produced by Co-culture of Aspergillus niger and Trichoderma viride. Res. J. Agric Biol. Sci. Vol (33). 5 hal Kaya, A. 2008. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan Biskuit. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perairan, IPB. Bogor Kemenetrian Kelautan dan Perikanan. 2011. Statistik Perikanan Tangkap dan Budidaya RI. Deparmeten Kelautan dan Perikanan.Jakarta. Kemenristek Dikti melalui program IbM 2015 Kementerian Kelautan Perikanan. 2012. Buku Statistik Ekspor dan Impor Hasil Perikanan Indonesia Tahun 2011. statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/file/5 1/ buku_impor.pdf Khairuman dan Amri, K. 2002. Membuat Pakan Ikan Konsumsi. Agro Media Pustaka. Jakarta. 83 hal Koeshendrajana, S. 2010. Isu Pemasaran Ikan: Strategi Menghadapi Program Peningkatan Produksi Ikan Budidaya. Presentasi dalam Focus Group Discussion Strategi menghadapi program peningkatan produksi ikan budidaya, Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta 12 Mei 2010. Kusriningrum. 2008. Perancangan Percobaan. Airlangga University Press. Surabaya. Merta, I.G.S. 1992. Dinamika Populasi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Selat Bali dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi. Bogor: Program Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Murtidjo, B. A. 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta. Murtidjo, B.A. 2003. Beberapa Metode Pengolahan Tepung Ikan. Kanisius. Yogyakarta Nainggolan, O dan C. Adimunca. 2005. Diet Sehat Dengan Serat. Cermin Dunia Kedokteran No. 147:43-46. Nurhayat, W. 2015. Impor Tepung Ikan Capai Rp 5,7 Triliun/Tahun. http://finance.detik.com/read/2015/01/0 5/185900/2794634/4/impor-tepungikan-capai-rp-57- triliun-taun Partomo, TS., Soejoedono, AR. 2002. Ekonomi Skala Kecil/Menengah & Koperasi. Ghalina Indonesia, Jakarta. Pembangunan Kelautan dalam RPJMN, 2015-2019. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Perencanaan pembangunan Nasional Prabowo, D. 2004. Suplementasi Minyak Ikan Lemuru pada Ransum Dasar terhadap Kadar Kolesterol Telur, Titer Kekebalan ND dan Produksi Telur Ayam Petelur. Tesis. Program Pascasarjana Unsoed. Purwokerto. Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Perikanan dan Kelautan, 2016). Nomor 01/PUSDATIN/I/2016. Redjeki, S., Trinovani, E. 2012. Pengaruh Penambahan Tepung Ikan Lemuru terhadap Kandungan Omega-3 pada Telur Ayam. http://lppm- poltekkesbdg.blogspot.com/2012/01/pengaruhpenambahan-tepung-ikan-lemuru.html Rencana Pembangunan jangka menengah Nasional, 2015-2019, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bandan Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2014. Retnowati, N. 2011. Kebijakan Pemanfaatan Limbah Hasil Perikanan. Direktorat Pengolahan, Ditjen P2HP.Focus Group Discussion: Mengubah Limbah Menjadi Hasil Samping Bernilai Tambah. BBP4B-KP. RPJMD Maluku Utara 2014 diolah oleh RDI 2015, Road Map Pembangunan Kelautan dan Perikanan Menuju Provinsi Maluku Utara Sebagai Lumbung Ikan Nasional dan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia. Stevie, I., Wardhani, R., Jatmiko, P.B. 2011. Rancang Bangun Mesin Penggiling Limbah Ikan Menjadi Tepung Ikan Dengan Kapasitas 118,8 Kg/Jam. http://digilib.its.ac.id/public/ITS- paper25040-2109039027-Paper1, pdf Sukirno, Sriharti. 2000. Analisis Penerapan IPTEKDA Pada Unit Usaha Tepung Ikan Jumina Di Desa Kesenden Kecamatan Kejaksan Cirebon. Prosiding. Seminar Peran teknologi Tepat Guna Terhadap Pengembangan IPTEKS dan SDM Dalam rangka Menyongsong Otonomi Daerah. Nopember 2000. Suryana. 2012. Kewirausahaan. Salemba Empat, Jakarta. Suryawati, S.H dan Tajerin, 2015. Penilaian Kesiapan Maluku Sebagai Lumbung Ikan Nasional Evaluation of Readiness for Maluku as “Lumbung Ikan Nasional” Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta Utara. Sutjiamidjaja, I. dan Sutjiamidjaja, H. 1999. Program pengembangan perikanan Indonesia sebagai sumber kesejahteraan nelayan, Lowongan pekerjaan, serta devisa Negara. Pembahasan PROTEKAN 2003. Tababaka, R. 2004. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp) Sebagai Bahan Tambahan Kerupuk. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. Watloly A. 2010. Filosofi Lumbung Ikan: Implikasi bagi Maluku dan Indonesia. Materi Ceramah Seminar Nasional: Maluku Sebagai Lumbung Ikan Nasional. Yonvitner, 2015. Bahan Baku: Urat Nadi Industri Pengolahan Perikanan Mikro Kecil Dan Menengah Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
(Diakses pada Tanggal 22-25 April 2019 via google.com)