Anda di halaman 1dari 14

Dear Suami, (kita) ngobrol yuk!

:
karena dalam pernikahan, komunikasi adalah koentji!

Jayaning Hartami
Ig @jayaninghartami
Kulwap BC May 2018 Vol #9
Ada 6 tahapan yang dilalui seseorang saat membangun
keluarga (Carter & McGoldick, dalam Santrock, 1995):

• Meninggalkan rumah
• Penggabungan keluarga melalui pernikahan
• Menjadi orang tua dan keluarga dengan anak
• Keluarga dengan anak remaja
• Keluarga pada kehidupan usia tengah baya
• Keluarga pada tahap usia lanjut (lansia)
Sebuah studi kualitatif yang dilakukan terhadap
pasutri di daerah Jogja menemukan bahwa :

• Pada pasangan dengan usia pernikahan 0-5th, masalah yang cenderung timbul
adalah seputar isu ekonomi dan adaptasi kebiasaan suami istri beserta keluarga
besar

• Pada pasangan dengan usia pernikahan 6-10th, masalah yang timbul adalah soal
perbedaan cara mengasuh anak, perubahan sikap positif yang “dirasa”
menghilang, dan cara berkomunikasi yang dikeluhkan berubah, tidak lagi seperti
awal pernikahan dulu.
“Kenapa pernikahan (rasanya) gak lagi seindah dulu?”
Faktor yang memengaruhi kepuasan pernikahan
(Duvall & Miller, 1985)

• Faktor yang berasal dari kehidupan sebelum pernikahan (masa lalu).


Misalnya restu orang tua, usia pernikahan, memori dari masa kanan kanak

• Faktor yang berasal dari kehidupan setelah pernikahan (masa kini)


Misalnya kehidupan seksual, hubungan dengan mertua dan ipar, kesamaan minat,
partisipasi beragama, komunikasi dsb
Gak ada pernikahan yang gak pernah mengalami masalah.

Kalau hidup sendiri saja kita selalu punya masalah untuk dihadapi.

Maka ketika menikah, berarti kita membuka diri untuk menerima


kehadiran satu orang tambahan dengan masalah yang juga ia bawa
dari kehidupan sebelumnya. Ya gak? ;)

tapi apa yang membuat semua faktor masa lalu dan masa kini bisa
dikelola dengan baik sehingga kehadirannya justru membuat kita
semakin bahagia dengan pernikahan yang kita jalani?

Komunikasi adalah kuncinya! 


Ada yang familiar dengan meme ini? wkwkw..
Istri merasa gak didengarkan..

Suami merasa dapet banyak tuntutan..

Istri merasa gak diberi banyak ruang..

Suami merasa segala sesuatu itu gak perlu didramatisir kok!

Kemudian keduanya end up dalam pernikahan yang terasa gak


membahagiakan. Mending kalo cuma itungan bulan.

Lah ini kan pernikahan ya Bu Ibuu.. Dijalani sepanjang usia, bukan


kayak rapot anak TK yang cuma terjadi setiap semesteran 
Tapi pernah gak ya kita bertanya ke diri sendiri,

apa betul pasangan saya yang tidak mampu


memenuhi apa yang saya mau..

Atau saya yang menetapkan standar yang


sebetulnya gak pas untuk dijadikan acuan
menilai “baik/buruk”nya suami?
Sebagaimana, dia ingin diperlakukan..

Sejak kecil, kita terbiasa dibesarkan dengan nasihat,


“Perlakukan orang lain, sebagaimana KITA ingin diperlakukan.”
Sounds familiar? ;)

Mindset itu yang membuat kita cenderung melakukan sesuatu yang membuat kita bahagia,
yang kita pikir juga akan membuat pasangan kita bahagia.

Tapi apakah betul standar bahagia kita (sudah) sama?


Nah, kalau gak ada komunikasi, tau dari mana bahwa pasangan kita sudah berhasil
menangkap perbuatan maupun perkataan kita sebagai bentuk cinta?
Di tengah derasnya informasi di era digital seperti
saat ini, seringkali memberikan kita berbagai
gambaran pernikahan yang tanpa kita sadari, kita
komparasikan dengan apa yang kita jalani.
Ada yang sharing suaminya suka ngasih bunga, lalu
kita tiba tiba merasa laki2 di rumah ini kok ya ga ada
romantis2nya..
Dear Suami, Ada yang posting suaminya pinter ngajak anak bikin
mainan sendiri.. Lalu kita diem diem bete karena
(kita) ngobrol suami di rumah cuma bisa paling banter nemenin
anak main sepeda..
yuk! Jadi, pasangan yang dirasa semakin “turun”
kualitasnya, atau standar kita yang mendadak jadi
“tinggi” karena liat kanan kiri? Hihihi..
Kalaupun ada standar yang diubah, sudahkah kita
membicarakan harapan yang kita punya dengan
pasangan?
Adalah salah satu prinsip yang pernah dipesankan oleh
salah seorang kawan dari komunitas Enlightening
Parenting.
Seringkali kita merasa frustasi karena sudah merasa
melakukan banyak hal ini itu, tapi gaka da perubahan
berarti dari pasangan.
Apa yang salah? Apa yang belum saya lakukan dengan
benar? Apa lagi yang kurang?
Tapi satu yang kita lupakan :
Berubah itu bahwa kita gak bisa mengharapkan terjadinya
perubahan karakter & sikap manusia dalam satu
mengubah! jentikan jari saja 
Jadi, yuk diubah sudut pandangnya. Lakukan saja
perubahan yang ingin kita lakukan. Perbaiki saja apa
yang ingin kita perbaiki.
Tujuannya bukan untuk mengubah suami, tapi untuk
menjadikan kita pasangan yang lebih baik dari hari ke
hari
Trik membangun komunikasi dengan pasangan
• Niatkan bahwa tujuan kita adalah membangun komunikasi, BUKAN mengubah pasangan

• Gunakan metode “i-message” saat ingin menyampaikan keluhan. Misalnya, “Kamu tuh gak
pernah dengerin aku!” diganti dengan, “Mas, aku seneng deh kalau Mas mau dengerin cerita aku.”

• Bersikap fleksibel dan tidak menggunakan standar diri sendiri. Karena cara berkomunikasi orang
berbeda. Ada orang yang bisa luwes mengungkapkan apa yang dia rasakan, tapi ada juga yang gak bisa.
Kita yang paling tau seperti apa pasangan kita. Karena cinta gak harus selalu berhamburan dalam bentuk
kata kata kan yaa? ;)

• Tentukan tombol “pause” untuk diri sendiri. Sekesal dan semarah apapun pada pasangan, pahamilah
bahwa ada isu sensitif tertentu yang tidak perlu kita munculkan ke permukaan. Karena seringkali ibu2 kalo
udah ngomel, bahasnya bakal melebar kemana mana yakaaan, wkwkw..

• Berikan jeda. Gak semua hal/keinginan/harapan perlu kita ceritakan dan selesaikan dalam satu waktu.
Biasanya suami malah akan semakin pusing karena bingung mana yang harus diselesaikan lebih dulu
“A successful marriage requires
falling in love many times,
always with the same person”

-Mignon McLaughlin

Selamat membangun komunikasi


dengan pasangan ^^

Anda mungkin juga menyukai