Anda di halaman 1dari 43

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN HALUSINASI

PENDENGARAN DENGAN FOKUS TERAPI PSIKORELIGIUS : DZIKIR


DI RSUD BANYUMAS
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dokumentasi Keperawatan
Dosen Pengampu : Hartati, S. Kep. Ns. MM

Disusun Oleh :

KELOMPOK 2

1. Triska Vinanda Kusuma (P1337420218122)


2. Melly Cahyani (P1337420218104)
3. Rizka Yasya Putri (P1337420218105)
4. Kiky Indah Cahyaningrum (P1337420218098)
5. Ade Ima Jun Budhi (P1337420218138)
6. Annisah Fitry Pangestika (P1337420218121)
7. Afifah Neli Wijayanti (P1337420218118)

TINGKAT 2C

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN PURWOKERTO

TAHUN PELAJARAN 2019

25
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Mata
Kuliah Dokumentasi Keperawatan dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada
Klien Halusinasi Pendengaran Dengan Fokus Terapi Psikoreligius : Dzikir Di
Rsud Banyumas” dengan baik. Dalam penyusunan makalah mungkin ada sedikit
hambatan. Namun berkat bantuan dukungan dari teman-teman, kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dengan adanya makalah ini, diharapkan
dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Kami juga tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas bantuan, referensi pembuatan
makalah, dukungan dan doanya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca

makalah ini dan dapat mengetahui tentang asuhan keperawatan pada klien

gangguan jiwa. Makalah ini mungkin kurang sempurna, untuk itu kami

mengharap kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini.

Purwokerto, 16 september 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi

DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. Latar Belakang ....................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................. 4

C. Tujuan .................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 6

A. Konsep Halusinasi Pendengaran ............................................................ 6

1. Definisi ............................................................................................. 6

2. Etiologi ............................................................................................. 7

3. Proses terjadinya halusinasi ............................................................. 8

4. Rentang respon ................................................................................. 9

5. Tanda dan gejala .............................................................................. 9

6. Pohon Masalah ................................................................................. 10

7. Penatalaksanaan ............................................................................... 11

B. Asuhan Keperawatan ............................................................................. 13

1. Pengkajian ........................................................................................ 13

2. Diagnosa Keperawatan ..................................................................... 15

3. Rencana Keperawatan ...................................................................... 15

4. Evaluasi ............................................................................................ 18

BAB III PENUTUP........................................................................................... 19

A. Kesimpulan ............................................................................................ 52
B. Saran ....................................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan jiwa merupakan keadaan dimana kesehatan mental

seseorang terganggu atau terguncang. Gangguan jiwa adalah sebuah

penyakit dengan manifestasi dan atau ketidakmampuan psikologis atau

perilaku yang disebabkan oleh gangguan pada fungsi sosial, psikologis,

genetik, fisik/kimiawi, atau biologis (Stuard dan Sundeen dalam Thong,

2011). Orang yang mengalami gangguan jiwa biasanya merasakan

kehampaan, seolah tidak ada lagi yang mampu memahami perasaan yang

sedang dialaminya sehingga menimbulkan perilaku yang abnormal.

Kasus klien dengan gangguan jiwa setiap tahunnya terus

bertambah. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun

2013 bahwa prevalensi gangguan jiwa di Indonesia sebesar 1,7 per mil dan

kasus gangguan jiwa di Jawa Tengah sebanyak 34.571 orang. Salah satu

contoh gangguan jiwa yaitu skizofrenia. Gejala yang sering muncul dari

skizofrenia adalah halusinasi. Seperti yang diungkapan oleh Stuart dan

Laria dalam Wahyuni (2011), “bahwa 70% klien skizofrenia mengalami

halusinasi”.

Halusinasi yang dialami klien dengan gangguan jiwa sering terjadi

saat klien sedang sendiri. Halusinasi muncul di waktu tertentu dan

intensitas yang dialami masing-masing individu tidaklah sama. Halusinasi

merupakan persepsi atau tanggapan dari panca indera tanpa adanya


rangsang dari luar (Stuart & Laria dalam Sutejo, 2013). Halusinasi dibagi

menjadi lima jenis yaitu halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecap,

pencium, dan halusinasi perabaan (Dermawan dan Rusdi, 2013). Dari

kelima jenis halusinasi tersebut, halusinasi yang paling umum dan sering

dialami oleh klien gangguan jiwa yaitu halusinasi pendengaran.

Halusinasi pendengaran merupakan keadaan dimana klien

mendengar bisikan atau suara yang tidak nyata berupa sesuatu yang

menyenangkan, ancaman, ejekan, dan sebagainya. Halusinasi pendengaran

adalah klien mendengar suara dan bunyi tidak berhubungan dengan

stimulus nyata dan orang lain tidak mendengarnya (Yosep dan Sutini,

2007). Apabila halusinasi tidak terkontrol dengan baik maka halusinasi

tersebut dapat mencederai klien, orang lain, dan dapat merusak

lingkungan. Terdapat empat cara untuk mengontrol halusinasi yaitu

menghardik halusinasi, mengkonsumsi obat dengan teratur, bercakap-

cakap dengan orang lain, melakukan aktivitas secara terjadwal (Muhith,

2015).

Seorang perawat harus mampu membantu mengontrol halusinasi

sesuai dengan peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan. Selain

sebagai pemberi asuhan keperawatan, seorang perawat juga memiliki

peran sebagi peneliti. Dalam penelitian yang akan dilakukan, penulis akan

mengidentifikasi dan mengkaji masalah-masalah yang dialami responden.

Penulis akan melakukan penelitian pada klien halusinasi pendengaran

dengan fokus studi terapi dzikir. Terapi dzikir merupakan salah satu jenis
terapi psikoreligius yang dapat digunakan untuk mengontrol atau

mengurangi halusinasi pendengaran. Menurut Dermawan (2017) fungsi

dari dzikir antara lain : dapat mensucikan hati dan jiwa, dzikir dapat

menyehatkan tubuh, dzikir dapat mencegah manusia dari bahaya nafsu dan

sebagai pengendali nafsu sehingga mampu membedakan yang baik dan

buruk.

Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Dermawan

(2017) dalam jurnal Pengaruh Terapi Psikoreligius: Dzikir pada Klien

Halusinasi Pendengaran di RSJD dr. Arif Zainudin Surakarta, terapi

dzikir efektif digunakan untuk mengntrol halusinasi. Perkembangan dari 8

responden yang dilakukan terapi psikoreligius dzikir selama 2 minggu

secara teratur diperoleh hasil : dari 8 responden sebanyak 5 responden

mengatakan halusinasi berkurang dan 3 responden lainnya belum ada

perubahan. Tujuan dari terapi dzikir yaitu untuk mengontrol dan

mengurangi halusinasi. Semakin sering berdzikir maka semakin kita

mendekatkan diri kepada Allah SWT. Saat kita dekat dengan Allah maka

hati menjadi tenang, pikiran menjadi lebih positif dan terhindar dari

bisikan-bisikan yang tidak nyata.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien yang mengalami

halusinasi pendengaran dengan terapi psikoreligius dzikir.


C. Tujuan

1. Tujuan umum :

Menggambarkan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami

halusinasi pendengaran dengan terapi psikoreligius dzikir

2. Tujuan Khusus :

a. Melaksanakan pengkajian pada klien halusinasi pendengaran

dengan terapi psikoreligius dzikir

b. Menetapkan diagnosa keperawatan pada klien halusinasi

pendengaran dengan terapi psikoreligius dzikir

c. Menyusun perencanaan tindakan keperawatan pada klien

halusinasi pendengaran dengan terapi psikoreligius dzikir

d. Mengimplementasikan rencana tindakan keperawatan pada klien

halusinasi pendengaran dengan terapi psikoreligius dzikir

e. Melakukan evaluasi tindakan keperawatan pada klien halusinasi

pendengaran dengan terapi psikoreligius dzikir

f. Mengidentifikasi efektivitas terapi psikoreligius dzikir dalam

intervensi keperawatan pada klien halusinasi pendengaran


BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Halusinasi

1. Definisi

Skizofrenia sangat erat kaitannya dengan halusinasi, klien dengan

skizofrenia pada umumnya mengalami halusinasi. Halusinasi yang sering

dialami klien dengan gangguan jiwa adalah halusinasi pendengaran.

Halusinasi sendiri merupakan gangguan persepsi sensori dari suatu obyek

tanpa adanya rangsangan dari luar, ganguan sensori ini meliputi panca

indera (Yusuf, Fitriayasri, dan Nihayanti 2015). Dermawan dan Rusdi

(2013) menyatakan bahwa halusinasi pendengaran adalah klien

mendengar suara-suara yang tidak berhubungan dengan stimulasi nyata

yang orang lain tidak mendengarnya.

Halusinasi merupakan gangguan persepsi sensori dimana klien

mengalami stimulus atau rangsangan palsu yang hanya bisa dirasakan

oleh klien. Stimulus atau rangsangan palsu tersebut berupa suara tidak

nyata. Bisikan atau suara yang dialami klien dapat berupa fantasi atau

sesuatu yang menyenangkan maupun suatu acaman bagi klien. Jika klien

tidak mampu mengontrol bisikan atau suara palsu yang didengar, maka

hal tersebut dapat memperburuk keadaan jiwa klien dan dapat

membahayakan diri klien.


2. Etiologi

Menurut Rawlins & Heacock dalam Dermawan (2013), etiologi

halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi, yaitu :

a. Dimensi Fisik

Halusinasi dapat meliputi kelima indera, tapi yang paling sering

ditemukan adalah halusinasi pendengar, halusinasi dapat

ditimbulkan dari beberapa kondisi seperti kelelahan yang luar

biasa. Pengguna obat-obatan demam tinggi hingga terjadi delirium

intoksikasi, alkohol dan kesulitan-kesulitan untuk tidur dan dalam

jangka waktu yang lama.

b. Dimensi Emosinoal

Terjadinya halusinasi karena ada perasaan cemas yang berlebihan

yang tidak dapat diatasi. Isi halusinasi : perintah memaksa dan

menakutkan → tidak dapat dikontrol dan menentang. Sehingga

menyebabkan klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

c. Dimensi Intelektual

Penunjukan penurunan fungsi ego. Awalnya halusinasi merupakan

usaha ego sendiri melawan impuls yang menekan → menimbulkan

kewaspadaan mengontrol perilaku dan mengambil seluruh

perhatian klien.

d. Dimensi Sosial

Halusinasi dapat disebabkan oleh hubungan interpersonal yang

tidak memuaskan. Koping yang digunakan untuk menurunkan


kecemasan akibat hilangnya kontrol terhadap diri, harga diri,

maupun interaksi sosial dalam dunia nyata sehingga klien

cenderung menyendiri dan hanya bertuju pada diri sendiri.

e. Dimensi Spiritual

Penurunan kemampuan untuk menghadapi stress dan kecemasan

serta menurunnya kualitas untuk menilai keadaan sekitarnya.

Akibat saat halusinasi menguasai dirinya, klien akan kehilangan

kontrol terhadap kehidupannya.

3. Proses Terjadinya Halusinasi

Menurut Kusumawati dan Hartono (2010), halusinasi berkembang

melalui empat fase, yaitu :

a. Tahap Comforting

Yaitu fase menyenangkan. Pada tahap ini masuk dalam golongan

nonpsikotik.

b. Tahap Condeming

Atau ansietas berat, yaitu halusinasi menjijikan. Termasuk dalam

psikotik ringan.

c. Tahap Controlling

Disebut juga tahap ansietas berat yaitu pengalaman berkuasa.

Termasuk dalam gangguan psikotik.

d. Tahap Conquering

Adalah fase panik, yaitu klien lebur dengan halusinasinya.

Termasuk dalam psikotik berat.


4. Rentang Respon Halusinasi

Respon Adaptif Respon Maladaptif

- Pikiran logis - Distorsi pikiran - Gangguan


- Persepsi akurat - Ilusi pikir/delusi
- Emosi konsistensi - Reaksi emosi >/< - Sulit merespon
dengan pengalaman - Perilaku emosi
- Perilaku sesuai aneh/tidak biasa - Perilaku
- Berhubungan sosial - Menarik diri disorganisasi
- Isolasi sosial

Gambar 2.1 Rentang Respon Halusinasi


(Stuart dalam Sutejo, 2013)

5. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap

klien serta ungkapan klien. Adapun tanda dan gejala klien halusinasi

pendengaran adalah :

a. Data Subjektif

Berdasarkan data subjektif, klien dengan gangguan sensori persepsi

halusinasi mengatakan bahwa klien :

1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan

2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap

3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang

berbahaya

b. Data Objektif

Berdasarkan data objektif, klien dengan gangguan sensori persepsi

halusinasi melakukan hal-hal berikut :


1) Bicara atau tertawa sendiri

2) Marah-marah tanpa sebab

3) Mengarahkan telinga ke arah tertentu

4) Menutup telinga

5) Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu

6) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas

6. Pohon Masalah

Akibat Resiko Perilaku Kekerasan

Masalah Utama Gangguan persepsi Sensori : Halusinasi

Pendengaran

Etiologi Isolasi Sosial : Menarik Diri

Gambar 2.2 Pohon Masalah


(Yusuf, Fitriyasari, dan Nihayati, 2015)

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan klien dengan skizofrenia yang mengalami

halusinasi yaitu dengan cara pemberian obat-obatan dan tindakan lain

(Stuart dan Laria dalam Muhith, 2015).

a. Terapi Farmakologi

Farmakoterapi merupakan hal yang utama dalam

pengobatan yang diberikan pada klien secara medis. Obat yang

diberikan pada klien dengan skizofrenia yaitu obat-obat


neuroleptik atau disebut juga obat-obat antipsikotik. Salah satu

neuroleptik yang paling luas digunakan adalah chlorpromazine.

Pemberian neuroleptik yang aman yaitu dengan cara injeksi

intramuskular setiap 1-4 minggu. Neroleptik yang tersedia dalam

bentuk depot meliputi flupentixol decanote, fluhenazine decanoate,

haloperidol decanoate, pipotiazine palmitate, dan zuclopenthixol

decanate. Pemberian injeksi sebaiknya dengan dosis kecil terlebih

dahulu untuk memeriksa efek samping yang mungkin muncul

akibat alergi maupun tidak cocok terhadap obat.

b. Terapi nonframakologi

1) Terapi kejang listrik atau electro compulsive therapy (ECT).

Terapi aktivitas kelompok merupakan prosedur tindakan pada

klien gangguan jiwa dengan aliran listrik untuk menimbulkan

bangkitan kejang umum, dilakukan selama 25-150 detik

menggunakan alat khusus yang aman bagi klien (Yusuf,

Fitriayasri, dan Nihayanti 2015).

2) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK).

Terapi aktivitas kelompok yaitu psikoterapi yang dilakukan

secara bersama-sama dengan jalan diskusi dan dipimpin oleh

seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang sudah terlatih

(Stuart dan Laria dalam Muhith, 2015).

3) Terapi psikoreligius dzikir.


Dzikir menurut bahasa berasal dari kata ”dzakar” yang

berarti ingat. Dzikir juga di artikan “menjaga dalam ingatan”.

Haryanto (2014) menyatakan bahwa dzikir merupakan suatu

sikap batin dan disampaikan dengan kalimat-kalimat suci

berupa Tahlil (La Ilaha illa Allah artinya Tiada Tuhan Selain

Allah swt.), Tasbih (Subhana Allah artinya Maha Suci Allah

swt.), Tahmid (Alhamdulillah, artinya Segala Puji Bagi Allah

swt.), dan Takbir (Allahu Akbar, artinya Allah Maha Besar).

Kalimat dzikir adalah kalimat yang memuji kebesaran Allah

atas segala penciptaan-Nya dan mampu meningkatkan

ketenangan hati.

Terapi psikoreligius dzikir merupakan teknik pengalihan

agar klien lupa atau terhindar dari bisikan atau suara palsu yang

sering didengarnya. Tujuan dari dzikir antara lain yaitu untuk

membuat pikiran menjadi lebih positif dan memberikan

ketentraman jiwa. Seperti yang dikatakan oleh Dermawan

(2017) bahwa dengan berdzikir hati seseorang akan lebih

tentram, kegiatan terapi religius dzikir dapat menurunkan

gejala psikiatrik. mencegah dan melindungi dari penyakit

kejiwaan, mengurangi penderitaan, meningkatkan proses

adaptasi mengontrol suara suara yang tidak nyata.


A. Asuhan Keperawatan

asuhan keperawatan dan membahas pengelolaan klien dengan gangguan

persepsi sensori : halusinasi pendengaran. Penulis mengambil kasus di RSUD

Banyumas. Pengelolaan dilakukan selama 3 hari terhitung mulai tanggal 18 April

sampai tanggal 20 April 2019.

1. Pengkajian

Penulis melakukan pengkajian tanggal 18 April 2019 di RSUD

Banyumas Provinsi Jawa Tengah. Penulis mengambil klien dengan kasus

halusinasi pendengaran.

a. Biodata

Klien pertama yaitu Tn. S seorang laki-laki berusia 31 tahun,

bertempat tinggal di Banjarnegara, berpendidikan terakhir SMP dan

sudah menikah. Tn. S masuk ke RSUD Banyumas Provinsi Jawa

Tengah tanggal 07 April 2019, diterima melalui IGD, dengan diagnosa

medik F20 (Skizofrenia). Penanggung jawab dari Tn. S adalah ibu

klien yaitu Ny. T yang berusia 51 tahun, beragama Islam.

Klien kedua adalah Ny. R seorang perempuan berusia 45 tahun,

beragama Islam, berpendidikan terakhir SD, bertempat tinggal di

Purwokerto, sudah menikah. Klien masuk ke RSUD Banyumas


tanggal 15 April 2019, diterima melalui IGD, dengan diagnosa medik F20

(skizofrenia). Penanggung jawab dari Ny. R adalah suami klien bernama Tn. S yang

berusia 52 tahun, beragama Islam.

b. Alasan masuk

Klien pertama Tn. S masuk dengan adanya perubahan perilaku sejak 04 April

2019. Perubahan perilaku ini ditandai dengan sering melamun, tidak bisa tidur, dan

sering pergi-pergi dari rumah.

Pada klien kedua yaitu Ny. R masuk RSUD Banyumas karena adanya keluhan

mulut berair liur, gelisah, sulit tidur, merasa takut. Ny. R pernah mengalami

gangguan jiwa dimasa lalu dan kambuhan lebih dari 5 kali yang terakhir tahun 2018.

c. Pengkajian fisik

Pada Tn. S diperoleh hasil pemeriksaan fisik keadaan umum : baik. Tanda tanda

vital TD :120/80 mmHg, N 90 kali/menit, suhu 36,5 oC, pernafasan 18 kali/menit,

tinggi badan 170 cm dan berat badan 50 kg. Klien tidak memiliki keluhan fisik.

Sedangkan pada Ny. R didapatkan hasil keadaan umum: baik. Tanda-tanda vital

tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 75 kali/menit, suhu 37 oC, pernafasan 20

kali/menit, tinggi badan 160 cm dan berat badan 70 kg. Klien memiliki keluhan fisik

pusing dan lemas.

d. Pengkajian psikososial

1) Genogram
Klien 1 Tn. S

Gambar 4.1 Genogram klien 1 Tn. S


Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan

: Klien Tn. S

: Menikah

: Tinggal satu rumah

: Garis keturunan

: Meninggal
Klien 2 Ny. R

Gambar 4.2 Genogram klien 2 Ny. R

Keterangan :
: Laki-laki

: Perempuan

: Klien Ny. R

: Menikah

: Tinggal satu rumah

: Garis keturunan

: Meninggal
Penjelasan :

Klien Tn. S tinggal satu rumah dengan ibunya, saudara kandung, saudara

ipar, serta keponakan. Klien dan keluarga menggunakan bahasa jawa dalam

berkomunikasi sehari-hari. Tidak ada aturan yang mengekang di dalam

keluarganya. Tidak ada anggota keluarga yang mengalami sakit seperti Tn. S.

Klien tinggal satu rumah dengan suami serta ke 3 anaknya. Komunikasi

sehari-hari yang digunakan dalam keluarga yaitu bahasa Jawa. Di dalam keluarga

tidak ada yang memiliki gangguan jiwa seperti Ny. R. Dalam pengambilan

keputusan, suami klien yang lebih dominan.

2) Konsep diri

Pengkajian konsep diri Tn. S diperoleh data gambaran diri, Tn. S

mempunyai anggota tubuh yang lengkap dan utuh, klien mensyukuri atas

pemberian dari Alloh SWT. Tn. S tidak mengalami kelainan fisik. Identitas diri,

diperoleh data bahwa klien berjenis kelamin laki-laki, sudah menikah, dan tidak

bekerja sejak dirawat di rumah sakit. Peran diri Tn. S menjalankan perannya

sebagai anak namun belum bisa membantu memenuhi kebutuhan kedua orang

tuanya karena sakit. Pengkajian ideal diri, diperoleh data bahwa Tn. S segera

bertemu istrinya dalam keadaan sehat. Pada harga diri, Tn. S merasa sedih dengan

keadaanya sekarang tetapi tetap sabar dan semangat.

Pengkajian konsep diri Ny. R diperoleh data gambaran diri klien

bersyukur atas segala bentuk nikmat yang diberikan Allah SWT. Identitas diri,

diperoleh data bahwa klien seorang perempuan, sudah menikah dan menjadi
seorang istri. Peran diri, Ny. R menjalankan perannya sebagai istri dan ibu rumah

tangga. Ideal diri, Ny. R ingin cepat sembuh agar bisa kumpul bersama suami dan

anak-anaknya di rumah. Pengkajian harga diri Ny. R merasa malu dan

merepotkan keluarga karena sudah lebih dari 5 kali di rawat di bangsal jiwa.

3) Pola hubungan sosial

Tn. S pada pengkajian hubungan sosial diperoleh hasil bahwa orang yang

paling dekat dengannya adalah ibunya. Peran serta dalam kegiatan kelompok atau

masyarakat didapatkan data Tn. S mengatakan tidak mengikuti organisasi

dimasyarakat tetapi Tn. S sering bermain dengan tetangganya. Selama di RSUD

Banyumas, klien lebih banyak tidur.

Sedangkan pada Ny. R, diperoleh hasil bahwa orang yang paling dekat

dengannya adalah suaminya. Peran serta dalam kegiatan kelompok atau

masyarakat didapatkan data Ny. R mengatakan tidak mengikuti organisasi

dimasyarakat dan selama sakit jarang keluar dari rumah. Klien Ny. R lebih

banyak diam dan tidur selama di RSUD Banyumas.

4) Pola spiritual

Tn. S berdasarkan pengkajian nilai dan keyakinan diperoleh data bahwa

Tn. S beragama Islam. Tn. S mengatakan selama dirumah klien jarang

melaksanakan sholat 5 waktu sedangkan selama di RSUD Banyumas

melaksanakan sholat 5 waktu tapi masih sering bolong-bolong.


Ny. R mengatakan bahwa dirinya beragama Islam. Ny. R mengatakan

selama dirumah mengerjakan sholat 5 waktu. Selama di Rumah Sakit Jiwa dia

tidak pernah melaksanakan sholat 5 waktu karena badannya terasa lemas.

e. Status mental

1) Penampilan Umum

Klien Tn. S menggunakan seragam klien rumah sakit yang bersih, rambut

rapi, baju klien diganti setiap habis mandi, dan menggunakan pakaian yang

sesuai.

Ny. R menggunakan pakaian bersih, rapi, baju diganti setiap selesai

mandi. Penampilan Ny. R cukup rapi, rambut panjang dan lurus.

2) Pembicaraan

Pada pengkajian terhadap Tn. S didapatkan data dia berbicara jelas dengan

nada pelan. Pembicaraan Tn. S dapat dimengerti dan dia mampu memulai

pembicaraan terlebih dahulu. Sedangkan pada klien Ny. R berbicara kurang jelas

dengan nada pelan. Pembicaraan Ny. R dapat dimengerti dan klien tidak mampu

memulai pembicaraan terlebih dahulu.

3) Aktivitas Motorik

Klien Tn. S ketika dikamar lebih banyak tidur. Tn. S mau melakukan

kegiatan seperti membersihkan tempat tidur. Klien Ny. R lebih banyak tidur dan

aktivitasnya dibantu suami.

4) Alasan Perasaan
Klien Tn. S mengatakan ketakutan, khawatir dan gelisah jika mendengar

bisikan-bisikan itu muncul. Tn. S juga ingin cepat pulang karena sudah bosan di

RSUD Banyumas.

Klien Ny. R mengatakan khawatir jika mendengar bisikan bisikan itu

datang. Ny. R juga mengatakan ingin cepat pulang karena sudah kangen dengan

ketiga anaknya terutama cucunya.

5) Afek

Tn. S dan Ny. R mempunyai afek labil, ada perubahan ekspresi wajah saat

stimulus menyenangkan atau menyedihkan ikut senang ataupun sedih.

6) Interaksi selama wawancara

Selama wawancara Tn. S kooperatif, kontak mata kurang. Klien dapat

menjelaskan apa pertanyaan perawat. Sedangkan pada Ny. R selama wawancara

klien kurang kooperatif, kontak mata kurang. Klien dapat menjelaskan apa

pertanyaan perawat namun dengan jawaban yang kurang tertata.

7) Persepsi sensori

Tn. S mengatakan ketika dirumah sering mendengarkan bisikan bisikan


yang kurang jelas bunyinya. Responnya saat mendengar suara-suara itu klien
selalu berlari kabur dari rumah. Suara itu timbul saat klien melamun dan merasa
kecapean. Suara muncul 2-4 kali.
Pada Ny. R mengatakan ketika dirumah sering mendengarkan bisikan-

bisikan anak kecil. Respon klien saat mendengar suara-suara itu klien berulang-

ulang memanggil-manggil anak kecil. Suara itu timbul saat klien melamun dan

pada malam hari. Suara muncul 2-3 kali.


8) Proses pikir

Tn. S dan Ny. R tidak ada gangguan dalam proses pikir.

9) Isi pikir

Tn. S berpikir untuk cepat sembuh dan bertemu istrinya. Sedangkan Ny.

R saat ini berpikir ingin segera kumpul bersama keluarga dan cucunya. Tn. S dan

Ny. R tidak memiliki waham.

10) Tingkat kesadaran

Selama berinteraksi dengan perawat, Tn. S tampak memahaminya. Pada

Ny. R selama interakasi tampak bingung.

11) Memori

Tn. S mampu mengingat semua kejadian, kapan masuk rumah sakit, dan

siapa yang membawanya ke rumah sakit. Sedangkan Ny. R tidak mampu

mengingat kapan masuk rumah sakit. Tn.S tidak mempunyai gangguan daya ingat

baik jangka panjang maupun jangka pendek. Ny. R mengalami gangguan dalam

mengingat kejadian yang terjadi saat ini.

12) Tingkat konsentrasi dan berhitung

Tn. S dan Ny. R mampu berhitung dengan baik dan dapat menjawab

pertanyaan “ 5 x 3 = 15 “. Tingkat konsentrasi kedua klien cukup baik, Tn. S dan

Ny. R dapat berhitung mundur dari angka 10 sampai dengan 1.

13) Kemampuan penilaian

Tn. S dan Ny. R mampu menilai mana yang baik dan yang buruk. Kedua

klien tersebut tidak ada masalah dalam kemampuan penilaian.

14) Daya tilik diri


Tn. S dan Ny. R menyadari apa yang sedang dialami saat ini. Kedua klien

tersebut tidak ada masalah dalam daya tilik diri.

f. Kebutuhan persiapan pulang

Tn. S dapat makan dan minum sendiri sesuai waktu tanpa disuruh atau diingatkan.

Tn. S dapat merapikan piring kotor yang telah dipakainya. Sedangkan Ny. R makan

dan minum dibantu oleh suaminya. Tn. S dapat BAK dan BAB secara wajar dan

mandiri di kamar mandi. Ny. R BAK dan BAB dibantu oleh suaminya.

Dalam kebersihan diri Tn. S tidak perlu diingatkan, bila sudah tiba waktunya

untuk mandi akan mandi tanpa diingatkan. Ny. R selama di rumah sakit hanya di seka

dan dibantu oleh suaminya. Tn. S dan Ny. R dalam pemenuhan kebutuhan istirahat

tidur tidak mengalami masalah.

Ketika kembali kerumah diharapkan Tn. S dan Ny. R dibantu dan dipantau dalam

minum obat. Tn. S dan Ny. R kurang mengerti manfaat obat bagi kesembuhan

penyakitnya. Dalam pemeliharaan kesehatan, Tn. S dan Ny. R setelah keluar dari RSJ

akan kontrol rutin dan minum obat secara teratur. Kegiatan di dalam rumah, Tn. S

dan Ny. R membersihkan dan merapikan tempat tidur, serta kegiatan yang diarahkan

oleh perawat sesuai jadwal.

g. Mekanisme koping

Klien Tn. S mengatakan jika ada masalah diceritakan pada ibunya, tetapi lebih

sering diam dan dipendam sendiri. Sedangkan pada Ny. R mengatakan lebih sering

diam jika tidak ada yang perlu dibicarakan, dan jarang berkomunikasi dengan orang

lain.

h. Aspek medis
Pada Tn. S diagnosa medisnya adalah skizofrenia. Selama di RSUD Banyumas

ini, klien mendapat terapi Clozapine 25 mg 3x1, Clobazam 10 mg 3x1 yaitu jam

06.00, 14.00, 22.00. Pada Ny. R diagnosa medisnya adalah skizofrenia. Selama di

RSUD Banyumas ini, klien mendapatkan terapi Clozapine 25 mg 3x1 yaitu jam

06.00, 14.00, 22.00.

2. Pohon Masalah

a. Pohon masalah Sdr. D

Resiko perilaku kekerasan (Effect)

Gangguan persepsi sensori: halusinasi (Problem)

Isolasi sosial : menarik diri (Causa)

Gambar 4.3 Pohon Masalah Tn. S

Berdasarkan data subyektif ditemukan bahwa Tn. S mengatakan mendengar

bisikan yang kurang jelas isinya. Respon Tn. S saat mendengar merasa ketakutan dan

berlari kabur dari rumah, suara timbul pada saat melamun dan kecapean. Suara

muncul 2-4 kali. Saat suara itu muncul Tn. S sudah berusaha melawan untuk

mengusir suara tersebut namun tidak kunjung pergi. Data obyektifnya Tn. S terlihat

sering menyendiri, banyak tidur, sering melamun. Sehingga muncul masalah

keperawatan gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran.

b. Pohon masalah Ny. R

Resiko perilaku kekerasan (Effect)


Gangguan persepsi sensori: halusinasi (Problem)

Isolasi sosial : menarik diri (Causa)

Gambar 4.4 Pohon Masalah Ny. R

Pada Ny. R didapatkan data subyektif klien mengatakan mendengar suara-suara

anak kecil. Suara itu muncul saat dia sedang melamun dan ketika malam hari dengan

frekuensi 2-3 kali. Respon Ny. R saat mendengar suara yaitu memanggil-manggil

anak kecil yang ada di dekatnya secara berulang-ulang. Data obyektifnya Ny. R

terlihat sering menyendiri, banyak tidur, kurang berinteraksi dengan klien lainnya.

Sehingga muncul masalah keperawatan gangguan persepsi sensori halusinasi

pendengaran.

3. Masalah keperawatan

Berdasarkan hasil analisa data, maka masalah keperawatan yang muncul pada Tn.

S dan Ny. R adalah gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.

4. Rencana keperawatan

Sesuai dengan kasus yang dialami Tn. S dan Ny. R, penulis menemukan masalah

yaitu gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran. Setelah dilakukan tindakan

keperawatan 3 hari pertemuan, diharapkan klien Tn. S dan Ny. R klien mempercayai

kepada perawat, klien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada objeknya dan

merupakan masalah yang harus diatasi, serta klien dapat mengontrol halusinasi.
Tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan persepsi sensori halusinasi

pendengaran terdiri dari 4 strategi pelaksanaan yaitu pada strategi pelaksanaan 1 klien

adalah bina hubungan saling percaya, bantu klien mengenal halusinasi berupa isi,

frekuensi, waktu terjadi, situasi pencetus, perasaan, dan respon. Jelaskan cara mengontrol

halusinasi, mengajarkan klien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik.

Strategi pelaksanaan 2 klien adalah melatih klien mengontrol halusinasi dengan

cara bercakap-cakap bersama orang lain. Strategi pelaksanaan 3 klien adalah latih klien

mengontrol halusinasi dengan melaksanakan aktivitas terjadwal. Strategi pelaksanaan 4

klien adalah bantu klien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar, yaitu benar

nama klien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu minum obat, dan

benar dosis obat disertai penjelasan mengenai kegunaan obat dan akibat berhenti minum

obat.

Strategi pelaksanaan individu berupa terapi dzikir, yaitu penulis mengajarkan

klien membaca dzikir agar hati lebih tenang. Terapi dzikir diberikan pada Tn. S dan Ny.

R selama 3 hari dengan durasi 10-15 menit di ruangan yang tenang.

5. Tindakan keperawatan

Implementasi pada Tn. S dan Ny. R dilakukan selama 3 hari, dimulai dari tanggal

18 April sampai tanggal 20 April 2019. Pada tanggal 18 April 2019 tepatnya pukul 10.00

WIB dilakukan implementasi pada Tn. S untuk mengontrol halusinasi yaitu membina

hubungan saling percaya, membantu klien mengenal halsuinasinya berupa isi, frekuesi,

waktu terjadi, situasi yang membuat halusinasi muncul, perasaan saat halusinasi muncul,

respon klien terhadap halusinasinya dan menjelaskan cara mengontrol halusinasi dengan

cara menghardik.
Penulis membuat kontrak waktu dengan Tn. S selama 15 menit, memperkenalkan

diri mengemukakan maksud dan tujuan penulis pada pertemuan pertama. Penulis

menanyakan kapan halusinasi muncul, berapa kali halusinasi muncul, situasi yang

bagaimana halusinasi itu muncul, isi halusinasi klien, perasaan klien saat halusinasi

muncul dan apa yang dilakukan klien saat halusinasinya muncul, mengajarkan klien

mengontrol halusinasi dengan cara menghardik halusinasi dengan memberi contoh

kepada klien lalu mempraktikan bersama dan menganjurkan klien melakukannya secara

mandiri.

Tn. S mengatakan bahwa saat halusinasi muncul saat klien melamun. Halusinasi

Tn. S muncul 2-4 kali sehari. Tn. S merasa ketakutan setiap kali halusinasinya muncul.

Tn. S mengatakan isi halusinasinya tidak jelas. Respon klien yaitu berlari kabur dari

rumah. Penulis mengajarkan teknik yang pertama untuk halusinasi yaitu dengan cara

menghardik. Respon klien setelah diajarkan teknik yang pertama yaitu klien memahami

bagaimana cara menghardik dan klien dapat melakukan cara menghardik halusinasi

pendengaran dengan menutup telinga dan berkata “kamu suara palsu, saya tidak percaya

kamu”.

Pukul 11.00 WIB penulis melakuan implementasi pada Ny. R untuk mengontrol

halusinasi yaitu membina hubungan saling percaya, membantu klien mengenal halusinasi

yaitu isi, frekuensi, waktu terjadi, situasi pencetus, perasaan, respon, menjelaskan

caramengontrol halusinasi, dan mengajarkan klien mengontrol halusinasi dengan cara

menghardik.

Penulis membuat kontrak waktu 15 menit, memperkenalkan diri dan

mengemukakan tujuan penulis pada pertemuan pertama. Penulis mengajak klien duduk
didalam ruangan sambil duduk berhadapan, menjaga kontak mata dengan klien. Klien

menyebutkan namanya namun klien tidak mampu mempertahankan kontak mata. Penulis

menanyakan kapan halusinasi muncul, berapa kali halusinasi muncul, situasi yang

bagaimana halusinasi itu muncul, isi halusinasi klien, perasaan klien saat halusinasi

muncul dan apa yang dilakukan klien saat halusinasinya muncul, mengajarkan klien

mengontrol halusinasi dengan cara menghardik halusinasi dengan mempraktikannya

terlebih dahulu barulah memandunya.

Ny. R mengatakan bahwa mendengar suara-suara anak kecil. Respon klien saat

mendengar suara-suara itu klien berulang-ulang memanggil-manggil anak kecil. Suara itu

timbul saat klien melamun dan pada malam hari. Suara muncul 2-3 kali. Penulis

mengajarkan teknik yang pertama untuk mengontrol halusinasi yaitu dengan cara

menghardik. Respon klien yaitu dapat memahami bagaimana cara menghardik dan

melakukan cara menghardik halusinasi pendengaran dengan menutup telinga dan berkata

“kamu suara palsu, saya tidak percaya kamu”.

Pukul 12.00 Tn. S diberikan terapi individu yaitu berupa terapi dzikir. Tn. S

berada di sebuah ruangan dengan keadaan tenang. Sebelum memulai terapi dzikir,

penulis terlebih dahulu menjelaskan maksud dan tujuan serta menanyakan perasaan klien.

Tn. S memahami maksud dan tujuan serta mengungkapkan perasaannya dan mengatakan

jika saat ini masih takut jika suara itu muncul lagi. Penulis membimbing Tn. S untuk

membaca dzikir yang telah disediakan. Setelah selesai membaca dzikir, penulis kembali

menanyakan bagaimana perasaan setelah membaca dzikir. Tn. S mengatakan setelah

membaca dzikir, pikiran tenang.


Pada pukul 12.30 penulis menghampiri klien Ny. R untuk memberikan terapi

dzikir, akan tetapi klien mengatakan bahwa dirinya merasa ngantuk karena baru saja

minum obat. Pada pukul 13.30 penulis menghampiri Ny. R kembali untuk memberikan

terapi dzikir. Penulis membimbing Ny. R untuk membaca dzikir yang telah disediakan.

Setelah selesai membaca dzikir, penulis kembali menanyakan bagaimana perasaan

setelah membaca dzikir. Ny. R mengatakan setelah membaca dzikir, pikiran sedikit

tenang dan tidak gelisah. Pukul 14.00 penulis menghampiri Tn. S dan Ny. R untuk

mengevaluasi SP 1 klien dan SP terapi dzikir. Tn. S dan Ny. R masih bisa melakukan

cara menghardik halusinasi pendengaran dan kedua klien tenang.

Pada tanggal 19 April 2019 pukul 08.00 WIB penulis melakuan implementasi ke

2 pada Tn. S untuk mengontrol halusinasi yaitu bercakap-cakap dengan orang lain.

Penulis kontrak waktu dengan Tn. S selama 15 menit, mengemukakan tujuan pertemuan

ke 2 dengan Tn. S. Penulis mengevaluasi latihan menghardik yang dilakukan oleh klien.

Setelah dilakukan evaluasi menghardik, penulis mengajarkan cara mengontrol halusinasi

dengan bercakap-cakap bersama orang lain. Tn. S mampu mempraktikkan bercakap-

cakap dengan orang lain.

Pada pukul 09.00 WIB penulis melakuan implementasi ke 2 pada Ny. R untuk

mengontrol halusinasi yaitu bercakap-cakap. Penulis kontrak waktu dengan klien selama

15 menit, mengemukakan tujuan pertemuan ke 2 dengan Ny. R. Penulis mengevaluasi

latihan menghardik yang dilakukan oleh klien. Setelah dilakukan evaluasi menghardik,

penulis mengajarkan cara mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap bersama orang

lain. Ny. R mampu mempraktikkan bercakap-cakap dengan orang lain.


Pukul 11.55 Tn. S diberikan terapi individu yaitu berupa membaca dzikir. Penulis

dan kedua klien berada di sebuah ruangan dengan keadaan tenang. Sebelum memulai

terapi dzikir, penulis terlebih dahulu menjelaskan maksud dan tujuan serta menanyakan

perasaannya. Tn. S memahami maksud dan tujuan serta mengungkapkan perasaannya dan

mengatakan jika saat ini Tn. S masih takut jika suara itu muncul lagi. Setelah slesai

membaca dzikir, penulis kembali menanyakan bagaimana perasaan setelah berdzikir. Tn.

S mengatakan setelah mendengarkan musik religi, pikiran lebih tenang.

Kemudian pukul 13.20 Ny. R diberikan terapi dzikir. Sebelum memulai terapi

dzikir, penulis terlebih dahulu menjelaskan maksud dan tujuan serta menanyakan

perasaannya. Ny. R memahami maksud dan tujuan serta mengungkapkan perasaannya

dan mengatakan jika saat ini Ny. R masih takut dan khawatir jika suara itu muncul lagi.

Setelah slesai membaca dzikir, penulis kembali menanyakan bagaimana perasaan setelah

berdzikir. Ny. R mengatakan setelah berdzikir hati tenang dan tidak gelisah. Pukul 13.30

penulis menghampiri Tn. S dan Ny. R dan mengevaluasi SP 2 klien dan SP terapi dzikir.

Tn. S dan Ny. R masih bisa melakukan bercakap-cakap dengan orang lain dan kedua

klien tenang.

Pada hari ke 3 tanggal 20 April 2019 pukul 08.00 WIB, penulis melakukan

implementasi ke 3 pada Tn. S yaitu melatih cara mengontrol aktivitas terjadwal dengan

melakukan kegiatan yang digemari. Menanyakan pada klien tentang hobi atau kegiatan

apa yang gemar dilakukan Tn. S. Saat ditanya kegiatan apa yang paling digemari yaitu

olahraga. Pukul 08.30 Tn. S melaksanakan senam rutin bersama klien yang lain.

Pada pukul 09.00 WIB, penulis melakukan implementasi ke 3 pada Ny. R yaitu

melatih cara mengontrol aktivitas terjadwal dengan melakukan kegiatan yang digemari.
Menanyakan pada klien tentang hobi atau kegiatan apa yang gemar dilakukan Ny. R. Saat

ditanya kegiatan apa yang paling digemari yaitu bersih-bersih. Ny. R mempraktikan

bersih-bersih tempat tidurnya dan memasukan ke dalam jadwal harian.

Pukul 11.40 WIB, penulis melakukan implementasi yang ke 4 pada Tn. S yaitu

membantu klien mengontrol halusinasi dengan cara minum obat secara teratur. Penulis

membuat kontrak waktu dengan klien selama 15 menit, mengemukakan tujuan dan

pertemuan ke 4 dengan klien. Penulis membantu klien minum obat secara teratur dengan

prinsip lima benar, yaitu benar nama klien, benar nama obat, benar cara minum obat,

benar waktu minum obat, dan benar dosis obat disertai penjelasan mengenai kegunaan

obat dan akibat berhenti minum obat. Klien memahami penjelasan penulis dan

melakukannya.

Pada pukul 12.05 WIB, penulis melakukan implementasi yang ke 4 pada Ny. R

yaitu membantu klien mengontrol halusinasi dengan cara minum obat secara teratur.

Penulis kontrak waktu dengan klien selama 15 menit, mengemukakan tujuan dan

pertemuan ke 4 dengan klien. Penulis membantu klien minum obat secara teratur dengan

prinsip lima benar, yaitu benar nama klien, benar nama obat, benar cara minum obat,

benar waktu minum obat, dan benar dosis obat disertai penjelasan mengenai kegunaan

obat dan akibat berhenti minum obat. Klien memahami penjelasan penulis dan akan

melakukannya.

Penulis memberikan terapi dzikir pukul 13.00 pada Tn. S dan pada Ny. R pukul

13.30. Sebelum memulai terapi dzikir, penulis terlebih dahulu menjelaskan maksud dan

tujuan serta menanyakan perasaannya. Tn. S dan Ny. R memahami maksud dan tujuan

serta mengungkapkan perasaannya dan mengatakan jika saat ini sudah tidak pernah
mendengar suara-suara lagi. Bacaan dzikir dibaca secara dengan fasih dan dibimbing oleh

penulis. Setelah selesai membaca dzikir, penulis kembali menanyakan bagaimana

perasaan setelah mendengarkan berdzikir. Tn. S mengatakan setelah membaca dzikir,

pikiran tenang dan ingin lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.

Pukul 14.00 penulis menghampiri Tn. S dan Ny. R dan mengevaluasi SP 3, SP 4

klien dan SP terapi dzikir. Tn. S dan Ny. R memahami tentang prinsip minum obat 5

benar. Sdr. A dan Sdr. A bisa melakukan melakukan aktivitas yang terjadwal. Tn. S mau

melaksanakan sholat 5 waktu yang sebelumnya hanya dzuhur, ashar, dan magrib,

sedangkan Ny. R akan melaksanakan sholat, kedua klien tenang. Tn. S sudah tidak

mendengarkan bisikan-bisikan, sedangkan Ny. R mulai berkurang halusinasinya.

6. Evaluasi

Penulis mengevaluasi tindakan selama 3 hari yang dilakukan kepada Tn. S dan

Ny. R pada tanggal 20 April 2019. Klien Tn. S dan Ny. R dapat mengenal halusinasinya

meliputi isi, frekuensi, waktu pencetus, perasaan, dan respon. Klien Tn. S dan Ny. R

mampu mempraktekkan cara mengontrol halusinasi yaitu dengan cara menghardik,

bercakap-cakap dengan orang lain, menyusun jadwal aktivitas harian, dan minum obat

secara teratur.

Penulis juga mengevaluasi pemberian terapi dzikir Tn. S dan Ny. R. Tn. S

mengatakan setelah membaca dzikir, pikiran tenang dan ingin lebih mendekatkan diri

kepada Tuhan. Ny. R mengatakan setelah membaca dzikir hati tenang dan akan

menjalankan ibadah.

A. Pembahasan

1. Pengkajian
Klien Tn. S dan Ny. R mengalami keluhan yang sama yaitu sering mendengar

suara-suara tanpa adanya rangsang dari luar. Suara yang dialami Tn. S berupa suara yang

tidak jelas tapi menakutkan. Sedangkan suara yang dialami Ny. R berupa suara anak

kecil. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa halusinasi merupakan persepsi atau

tanggapan dari panca indera tanpa adanya rangsang dari luar (Stuart & Laria dalam

Sutejo, 2013). Bisikan atau suara yang dialami klien dapat berupa fantasi atau sesuatu

yang menyenangkan maupun suatu acaman bagi klien.

Faktor predsiposisi pada Tn. S yaitu faktor psikologi, klien Tn. S baru pertama

kali dirawat di RSUD Banyumas karena gangguan jiwa. Klien tinggal bersama ibu,

saudara, serta keponakan. Klien tidak pernah mengalami aniaya maupun kekerasan.

Sedangkan Ny. R termasuk faktor biokimia, yaitu klien pernah mengalami gangguan jiwa

dimasa lalu dan kambuhan lebih dari 5 kali yang terakhir tahun 2018. Hal tersebut sesuai

dengan yang disampaikan oleh Fitria (2012) dan Keliat & Pasaribu (2016) bahwa faktor

predisposisi meliputi : faktor perkembangan, faktor sosiokultural, faktor biokimia, faktor

psikologis, faktor genetik.

Menurut Rawlins & Heacock dalam Dermawan (2013) faktor presipitasi

halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi, yaitu dimensi fisik, emosional, intelektual, sosial,

dan dimensi spiritual. Sesuai dengan data yang dipreoleh bahwa faktor presipitasi pada

Tn. S yaitu merasa tertekan karena hutangnya dan mengalami depresi berat. Tn. S

termasuk ke dalam dimensi emosional. Pada Ny. R faktor presipitasinya yaitu karena

klien kangen pada cucunya yang berada di luar kota dan klien mengalami kesulitan tidur

selama 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Ny. R termasuk dalam dimensi sosial.
Pengkajian pada Tn. S dapat berjalan dengan baik karena klien kooperatif.

Sedangkan pada Ny. R kurang berjalan dengan baik karena klien lebih banyak diam.

Untuk mengatasi hal tersebut, penulis melakukan komunikasi terapeutik dengan teknik

pertanyaan terbuka dan sering mengunjungi klien Ny. R untuk membina hubungan saling

percaya. Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Videbeck (2008) bahwa

komunikasi terapeutik digunakan untuk mencapai banyak tujuan : membangun hubungan

terapeutik perawat-klien, mengidentifikasi masalah klien, mengkaji persepsi klien tentang

masalah, mengenali kebutuhan mendasar klien, memandu klien dalam mengidentifikasi

cara pencapaian solusi yang memuaskan dan dapat diterima oleh klien.

Sesuai dengan hasil analisa data pada klien Tn. S dan Ny. R, maka diagnosa

keperawatan utama yang muncul yaitu gangguan persepsi sensori : Halusinasi

pendengan. Dermawan dan Rusdi (2013) menyatakan bahwa halusinasi pendengaran

adalah klien mendengar suara-suara yang tidak berhubungan dengan stimulasi nyata yang

orang lain tidak mendengarnya.

2. Perencanaan

Rencana tindakan keperawatan ditetapkan dengan tujuan untuk mengatasi

maupun mengurangi masalah yang dialami oleh klien. Tindakan keperawatan yang telah

ditetapkan diberikan kepada klien dan keluarga. Dermawan dan Rusdi (2013)

menyampaikan bahwa tindakan keperawatan pada klien dengan halusinasi pendengaran

dan keluarga menggunakan pendekatan strategi pelaksanaan (SP).

Tujuan dari tindakan SP klien yaitu klien mengenali halusinasi yang dialaminya,

klien dapat mengontrol halusinasinya, klien mengikuti program pengobatan secara

optimal. Sedangkan tujuan dari SP keluarga yaitu keluarga dapat terlibat dalam
perawatan klien baik dirumah maupun di rumah sakit, dan keluarga pun dapat menjadi

sistem pendukung yang efektif untuk klien.

Selain tindakan SP pada klien dan keluarga, penulis menerapkan terapi

nonfarmakologi. Terapi nonfarmakologi lebih aman digunakan karena tidak

menimbulkan efek samping seperti obat-obatan, karena terapi nonfarmakologi

menggunakan proses fisiologis (Zikria, 2012 dalam Damayanti, Jumaini dan Sri Utami,

2014). Terapi yang diberikan pada klien yaitu terapi dzikir. Sesuai dengan hasil penelitian

yang dilakukan Dermawan (2013), diperoleh data bahwa 8 responden yang dilakukan

terapi psikoreligius dzikir selama 2 minggu secara teratur diperoleh hasil : dari 8

responden sebanyak 5 responden mengatakan halusinasi berkurang dan 3 responden

lainnya belum ada perubahan.

Penulis memberikan terapi dzikir pada Tn. S dan Ny. R. Tindakan terapi dzikir

dilakukan setelah klien melaksanakan sholat. Ma’afi dalam Widyaningrum, D.P (2017)

mengatakan bahwa waktu mustajab yaitu setiap setelah solat fardhu, waktu diantara

adzan dan iqomah, ketika sujud, hari juma’at, waktu sepertiga malam, ketika turun hujan.

Terapi dzikir dilakukan dengan durasi 10-15 menit selama 3 hari di ruangan yang tenang

agar klien rileks.

3. Tindakan Keperawatan

Tindakan keperawatan SP 1, 2, 3, dan 4 yang diberikan pada Tn. S dan Ny. R

dapat berjalan lancar sesuai yang diharapkan penulis. Sesuai pengamatan penulis, selama

3 hari dilakukan asuhan keperawatan, kedua klien dapat mengikuti dan mengaplikasikan

SP 1, SP, 2, SP 3, dan SP 4 yang diberikan dengan baik.


Klien Tn. S tidak ditunggui oleh keluarga dan selama penulis melakukan asuhan

keperawatan, keluarga klien tidak berkunjung. Hal ini sebagai hambatan lain yang

ditemukan oleh penulis yaitu dalam memberikan SP keluarga terhadap keluarga Tn. S.

Pemecahan masalah ini yaitu penulis membuat pendelegasian kepada perawat untuk

melaksanakan SP keluarga ketika keluarga pasien berkunjung. Sedangkan saat penulis

menemui keluarga untuk memberikan SP keluarga, keluarga Ny. R mengatakan sudah tau

dan sudah pernah diberikan SP keluarga sebelumnya. Dalam pemecahan masalah ini

penulis memberikan modul terapi dzikir agar keluarga bisa membantu Ny. R dalam

mengaplikasikan terapi dzikir saat Ny. R megalami kekambuhan di rumah.

Terapi nonfarmakologi yang berikan kepada Tn. S dan Ny. R yaitu terapi dzikir.

Hambatan dalam pemberian pada klien Ny. R yaitu mengantuk saat akan melakukan

terapi dzikir karena efek obat. Dalam pemecahan masalah ini yaitu terapi dilakukan

setelah efek dari obat klien berkurang yaitu setelah klien tidur siang.

4. Evaluasi

Menurut Yusuf, Fitriyasari, Nihayati (2015) evaluasi keberhasilan tindakan

keperawatan yang sudah perawat lakukan untuk klien halusinasi adalah klien

mempercayai kepada perawat, klien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada

objeknya dan merupakan masalah yang harus diatasi, serta klien dapat mengontrol

halusinasi.

Secara keseluruhan, tidak ada kesenjangan antara teori dengan hasil evaluasi yang

didapat dari kedua klien. Hasil evaluasi dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan

selama 3 hari yaitu Tn. S dan Ny. R merasa lebih tenang, tingkat halusinasinya

berkurang, dan sudah tidak mendengar bisikan-bisikan. Respon obyektifnya yaitu Tn. S
dan Ny. R dapat mempraktekkan teknik mengontrol halusinasi dengan cara menghardik,

sering bercakap-cakap dengan rang lain, melakukan aktivitas secara terjadwal, dan

mengkonsumsi obat secara teratur.

Perbedaan tingkat keberhasilan antara kedua klien yaitu Tn. S sudah tidak

mendengar bisikan-bisikan lagi, sedangkan pada Ny. R masih mendengar bisikan-bisikan

tapi frekuensinya berkurang, yang awalnya 2-3 kali menjadi 1 kali dalam sehari.

Perbedaan tersebut karena pada Tn. S lebih lancar dalam membaca bacaan dzikir dan

lebih bersemangat untuk segera sembuh kembali. Tetapi pada Ny. R kurang bersemangat

untuk kesembuhannya karena sering mengalami kekambuhan dan Ny. R dalam membaca

dzikir kurang lancar serta harus selalu diingatkan.


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan dan tujuan khusus penulisan laporan kasus Asuhan

Keperawatan Gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran pada pasien Tn. S dan Ny.

R dengan terapi dzikir di RSUD Banyumas, penulis menyimpulkan :

1. Hasil pengkajian yang dilakukan kepada Tn. S dan Ny. R diperoleh data bahwa pasien

mengalamai halusinasi pendengaran. Halusinasi Tn. S dikarenakan hutang yang

dimilikinya sehingga membuat klien depresi berat. Sedangkan halusinasi Ny. R

dikarenakan klien memiliki riwayat gangguan jiwa sejak 11 tahun yang lalu dan yang

menimbulkan kekambuhan pada saat ini yaitu klien ingin bertemu dengan cucunya yang

berada di luar kota.

2. Berdasarkan analisa data dari masalah yang dialami oleh klien Tn. S dan Ny. R maka

diagnosa utama yang penulis rumuskan yaitu gangguan persepsi sensori : halusinasi

pendengaran.

3. Perencanaan tindakan keperawatan pada Tn. S dan Ny. R yaitu menggunakan Strategi

Pelaksanaan yang terdiri dari SP 1, SP 2, SP 3, dan SP 4. SP 1 yaitu melatih klien untuk

menghardik halusinasi. SP 2 yaitu melatih klien dengan cara bercakap-cakap dan

berinteraksi dengan orang lain. SP 3 yaitu melatih klien melaksanakan aktivitas yang

terjadwal telah disusun ruangan berdasarkan jadwal kegiatan harian. Dan SP 4 yaitu

melatih klien menggunakan obat secara teratur. Selain Strategi Pelaksanaan, intervensi

lain yang diberikan pada Tn.S dan Ny. R yaitu terapi dzikir.
4. Tindakan keperawatan yang penulis berikan yaitu melakukan pengelolaan kasus dengan

strategi pelaksanaan (SP) tentang cara mengontrol halusinasi serta terapi dzikir. Pada saat

pemberian terapi dzikir hari pertama klien Ny. R merasa ngantuk, sehingga pemberian

terapi dzikir dihari berikutnya diberikan setelah efek dari obat yang klien minum

berkurang.

5. Evaluasi hasil asuhan keperawatan, bahwa tindakan Strategi Pelaksanaan dan terapi

dzikir yang diberikan pada Tn. S dan Ny. R dapat diaplikasikan dengan baik. Perubahan

setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 hari dengan strategi pelaksanaan dan

terapi dzikir membantu Tn. S menjadi rajin dalam menjalankan sholat 5 waktu, hati

menjadi tenang, dan ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Sedangkan pada Ny. R

membantu klien menjadi tenang dan tidak gelisah. Perbedaan tingkat keberhasilannya

yaitu Tn. S sudah tidak mendengar bisikan-bisikan lagi, sedangkan pada Ny. R masih

mendengar bisikan-bisikan tapi frekuensinya berkurang, awalnya 2-3 kali menjadi 1 kali

dalam sehari. Perbedaan tersebut karena pada Tn. S lebih lancar dalam membaca bacaan

dzikir dan lebih bersemangat untuk segera sembuh kembali. Dan pada Ny. R kurang

bersemangat untuk kesembuhannya serta dalam membeca dzikir kurang lancar dan harus

selalu diingatkan.

B. Saran

Untuk pengembangan lebih lanjut, maka penulis memberikan saran dengan agar kualitas

pemberian asuhan keperawatan lebih baik lagi khususnya pada klien dengan halusinasi

pendengaran :

1. Bagi pasien, apabila halusinasi muncul kembali maka bisa melakukan teknik mengontrol

halusinasi dan terapi dzikir yang sudah diajarkan sebelumnya.


2. Bagi keluarga pasien, diharapkan lebih sering berkunjung ke rumah sakit untuk

menjenguk anggota keluarganya yang sedang dirawat di rumah sakit sehingga dapat

memotivasi dalam proses penyembuhan penyakitnya.

3. Bagi pihak rumah sakit, diharapkan dapat terus meningkatkan kualitas pemberian asuhan

keperawatan secara prfesional agar tindakan yang diberikan tepat dan sesuai dengan

kebutuhan pasien.

4. Bagi penulis, diharapkan lebih memahami dan menguasai konsep asuhan keperawatan

agar dapat melaksanakan tindakan keperawatan dengan tepat dan sesuai.


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai