Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan saluran cerna atas adalah masalah yang sangat sering kita jumpai.
Derajatnya dapat bervariasi dari perdarahan samar yang tidak diketahui hingga perdarahan
hebat yang mengancam nyawa. Ulkus peptikum (Tukak peptik) adalah salah satu penyakit
saluran cerna bagian atas yang kronis. Ulkus peptikum mengacu pada ulkus gaster dan
duodenal yang disebabkan oleh asam peptik. Ulkus peptikum adalah kecacatan pada mukosa
gastrointestinal yang disebabkan karena sel epitel terkena pengaruh asam dan pepsin yang
melebihi kemampuan mukosa melawan efek tersebut. Ulkus peptikum mempunyai sifat
penetrasi, yang dimulai dari mukosa menembus lapisan yang lebih dalam. Penetrasi ke
pembuluh darah dapat mengakibatkan perdarahan masif dan jika terjadi penetrasi ke seluruh
dinding lambung akan mengakibatkan perforasi akut.

Ulkus peptikum dapat terjadi pada semua orang dan semua golongan umur. Di
Indonesia, lebih banyak ditemukan pada orang-orang Tionghoa daripada orang jawa. Selain
itu juga banyak dijumpai pada suku Tapanuli, rakyat Sulawesi. Daerah yang banyak dijumpai
ulkus peptikum diantaranya Rusia, Jepang, dan Cili. Kejadian pada kaum pria dan wanita
sangat bervariasi. Secara klinis ulkus duodeni lebih sering dijumpai daripada ulkus gaster.
Pada beberapa negara seperti Jepang lebih banyak dijumpai ulkus gaster. Orang astenik,
tinggi kurus disebut tipe tukak (ulcer type), tetapi kelainan pada lambung dapat juga dijumpai
pada orang yang gemuk, pendek, dan obesitas.1 Ulkus gaster tersebar di seluruh dunia
dijumpai lebih banyak pada pria, meningkat pada usia lanjut, dan kelompok sosial ekonomi
rendah dengan puncak pada dekade keenam.

Ulkus peptikum merupakan penyakit yang masih banyak ditemukan dalam klinik
terutama pada kelompok umur di atas 45 tahun. Kelompok umur terbanyak adalah 45-65
tahun, dengan kecenderungan makin tua umur prevalensi makin meningkat dan perbandingan
antara laki-laki dan perempuan 2:1. Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyebab utama
tukak peptik adalah H.pylori sehingga penyakit ini disebut juga sebagai acid H.pylori
disease, namun demikian peranan faktor-faktor lain dalam kejadian tukak peptik jelas ada
sehingga tukak peptik dikatakan sebagai penyakit multifaktor.

1
Lambung dan duodenum dilindungi dari faktor iritan oleh lapisan mukus, epitel, tetapi
beberapa faktor iritan seperti makanan minuman dan obat anti inflamasi non steroid
(OAINS), alkohol, dan empedu yang dapat menimbulkan kecacatan lapisan mukus dan
terjadi difusi balik ion H+, sehingga timbul tukak peptik.

Penatalaksanaan Ulkus peptikum dari waktu ke waktu semakin baik seiring dengan
ditemukannya faktor-faktor penyebab dan ditunjang dengan kemajuan di bidang pemeriksaan
penunjang serta farmasi yang berhasil menemukan dan mengembangkan obat-obat yang
sangat berpotensi untuk penanganan tukak peptik. Insiden dan kekambuhan tukak peptik saat
ini menurun sejak ditemukan H. Pylori sebagai penyebab dan dilakukan terapi eradikasi.

BAB II

2
STATUS PASIEN

Identitas Pasien :
• Nama : Ny. S
• TTL : Kebumen, 04 April 1944
• Usia : 71 Tahun
• Alamat : Jl. Kampung Serdang 11/9 Jakarta Pusat
• Tgl MRS : 21 April 2015
• No. RM : 76.XX.XX

Anamnesis :
Keluhan Utama :
BAB hitam sejak 2 SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan buang air besar berwarna
hitam sejak 2 hari SMRS. Pasien juga mengeluh pusing terutama saat bangun tidur dan
setelah jongkok. Badan terasa lemas (+). Kadang-kadang disertai mual namun tidak ada
muntah. Pasien juga mengeluh perutnya terasa kembung dan panas. Demam (-). Nafsu makan
pasien menurun selama sakit. Penurunan berat badan disangkal. Buang air kecil tidak ada
keluhan. Buang air besar konsistensi cair berwarna hitam > 10 kali selama 2 hari SMRS.
Pasien mengatakan pernah dirawat di RS pada tahun 1997 dengan keluhan yang sama.
Riwayat mengkonsumsi obat-obatan dalam jangka panjang disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat keluhan serupa (+) tahun 1997 dan dirawat di RS. Riwayat gastritis (+) sejak usia ±
40 Tahun, Hipertensi (+), DM (+), Penyakit Jantung (-).

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat keluhan serupa disangkal. Riwayat HT (-), DM (-), Penyakit Jantung (-)

Riwayat Alergi :

3
Riwayat keluhan serupa disangkal. Riwayat HT (-), DM (-), Gastritis (-)

Riwayat Pengobatan :
Pasien hanya mengkonsumsi obat lambung yang dibeli di apotek

Riwayat Psikososial :
Pasien makan kadang tidak teratur. Sering mengeluh nyeri uluhati dan mengkonsumsi obat
lambung.

Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
TTV :
TD: 130/90 mmHg
N : 90 x/per menit
RR : 20 x per menit
S : 36,5OC

Status Generalis :
Kepala : Normocephal
Mata : Simetris kanan dan kiri, Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik (-/-)
Hidung : Normonasi, sekret (-/-), epistaksis (-/-)
Telinga: Normotia, serumen (-/-)
Mulut : Mukosa bibir kering, anemis (+), sianosis (-), Faring hiperemis (-), Tonsil T 1-
T1
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thoraks
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris.
Palpasi : Vokal fremitus dextra-sinistra sama.
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler + / +, ronkhi -/- , wheezing -/-

Jantung

4
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas atas : ICS II linea midclavicularis Sinistra
Batas Kanan : ICS IV linea parasternal Dextra
Batas Kiri : ICS V linea midclavicularis Sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II reguler, murmur (-), Gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : BU (+) normal
Perkusi : Timpani pada seluruh abdomen
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar & lien tidak teraba
Ekstremitas
Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, anemis (+/+), edema (-/-), sianosis (-/-)
Bawah: Akral hangat, CRT < 2 detik, anemis (+/+), edema (-/-), sianosis (-/-)

Pemeriksan Penunjang :

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 7,8 gr/dl 11,7 – 15,5 gr/dl


Jumlah Leukosit 12,01 ribu/µL 3,6 – 11 ribu/µL
Hematokrit 22% 35% – 47%

Jumlah Trombosit 345 ribu/µL 150 – 440 ribu/µL

Eritrosit 2,64 10^6/µL 3,8 – 5,2 10^6/µL

GDS 99 mg/dL 70-200 mg/dL


Natrium 135 mEq/L 135-147 mEq/L
Kalium 3,7 mEq/L 3,5-5,0 mEq/L
Klorida 98 mEq/L 94-111

Resume :

5
Pasien ♀ 71 tahun datang ke RSIJCP dengan BAB berwarna hitam > 10 kali sejak 2
hari SMRS. Pusing (+), lemas (+), mual (+), perut kembung dan terasa panas, nyeri uluhati
(+), tidak nafsu makan (+). Riwayat keluhan serupa tahun 1997 (+). Riwayat gastritis (+), HT
(+), DM (+).
Pemeriksaan Fisik : TD = 130/90 mmHg
N = 90 kali / menit
R = 20 kali / menit
S = 36,5OC
Mata : CA (+/+)
Abdomen :Nyeri tekan epigastrium (+)
Ekstremitas : Anemis
Pemeriksaan laboratorium : Hb 7,8 gr/dL; Leukosit 12,01x10 3/µL; Hematokrit 22%; Eritrosit
2,64x106/µL

Daftar Masalah :
• Melena + Nausea + Anoreksia
• Cephalgia + Malaise

Assessment :
Melena + Nausea + Anoreksia
S = Pasien mengeluh BAB hitam konsistensi cair > 10 kali sejak 2 hari SMRS, Mual, Nyeri
ulu hati, tidak nafsu makan
O = TD = 130/90 mmHg
N = 90 kali / menit
R = 20 kali / menit
S = 36,5OC
Hb 7,8 gr/dL; Leukosit 12,01x103/µL; Hematokrit 22%; Eritrosit
2,64x106/µL
A = Suspek Ulkus Peptikum
P =R/ Endoskopi
Inf NaCl 0,9%
Ceftriaxone 2x1 gr (iv)
Ranitidin 2 x 50 mg (iv)
Vitamin K 3x1 ampul (iv)

6
Cephalgia + Malaise
S = Pasien mengeluh pusing, lemas
O = = TD = 130/90 mmHg
N = 90 kali / menit
R = 20 kali / menit
S = 36,5OC
Hb 7,8 gr/dL; Leukosit 12,01x103/µL; Hematokrit 22%; Eritrosit
2,64x106/µL
A = Anemia
P = R/ Transfusi PRC 400 cc

BAB III

7
TINJAUAN PUSTAKA
“ULKUS PEPTIKUM”

I. DEFINISI
Penyakit ulkus peptikum adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang
meluas sampai di bawah epitel. Penyakit ulkus peptikum umumnya terjadi di duodenum
dan lambung, Ini juga dapat terjadi pada esofagus, pylorum, jejenum, dan Meckel’s
divertikulum. Penyakit ulkus peptikum terjadi ketika faktor agresif (gastrin, pepsin)
menembus faktor defensif yang melibatkan resistensi mukosa (mucus, bikarbonat,
mikrosirkulasi, prostaglandin, dinding mukosa) dan dari efek Helicobacter pylori.

II. ANATOMI
Lambung merupakan organ yang berbentuk seperti huruf J yang membentuk
curvatura major dan curvatura minor. Spleen terletak di sebelah kiri dari lambung dan
pankreas terletak di sebelah inferior dan posterior dari lambung. Sedangkan hati terletak
di sebelah kanannya. Lambung terletak di regio hipocondrium sinistra dari permukaan
abdomen. Lambung terdiri atas 5 bagian :
1. Cardia yang berhubungan langsung dengan esofagus;
2. Fundus yang menjadi atap yang merupakan perluasan dari cardia;
3. Corpus atau badan lambung;
4. Antrum; dan
5. Pylorus, terdapat sfingter yang memisahkan lambung dari duodenum.

8
Struktur dari dinding lambung secara umum mirip dengan organ intestinal,
dengan tambahan lapisan otot oblique yang membantu secara mekanik dalam fungsi
mengocok dan membantu lambung untuk mengembang. Dinding lambung dari luar ke
dalam tersusun atas:
- Lapisan Serosa;
- Lapisan otot longitudinal;
- Lapisan otot circular;
- Lapisan otot oblique;
- Lapisan submukosa;
- Muskularis mukosa;
- Mukosa yang terdiri dari lamina propria dan epitel columna lambung dengan
kantung lambung (gastric pits) dan kelenjarnya.

Arteri coeliacus menyuplai darah arteri ke lambung dan darah vena mengalir ke
vena portal hepatis. Lambung mendapat persarafan parasimaptis melalui nervus vagus
(Nervus X) dan simpatis dari nervus Splanicus. Sebagian besar mukosa lambung
dibentuk oleh lipatan-lipatan yang dikenal sebagai rugae. Mukosa antrum lebih halus dari
mukosa lambung. Lapisan mukus membantu melindungi lambung terhadap trauma
mekanik, HCl dan enzim proteolitik.
Kantung lambung merupakan bagian invaginasi dari epitel yang masuk ke dalam
lamina propria. Dua atau tiga kelenjar lambung dihubungkan dengan tiap kantung
melalui isthmus. Kelenjar lambung merupakan struktur tubular dengan kekhususan tiap

9
sel untuk menghasilkan HCl (sel parietal atau oksintik) dan pepsin (sel chief),penghasil
mukus (sel goblet), dan sel entero-endokrin dan sel stem.
Sel Parietal ditemukan pada daerah fundus, corpus dan atrum. Sel parietal terletak
di dinding luar dari kantung lambung dan tidak berkontak dengan lumen kantung.
Walaupun terpisah dari lumen kantung lambung oleh sel-sel utama, sel parietal
menyalurkan sekresi HCl mereka ke dalam lumen melalui saluran-saluran halus, atau
kanalikulus, yang berjalan di antara sel-sel utama. Selain menghasilkan HCl, sel parietal
juga menghasilkan faktor intrinsik dan gastroferrin yang penting dalam absorbsi vitamin
B12 dan zat besi.
Sel chief atau sel utama ditemukan paling banyak pada corpus. Sel ini
bertanggung jawab dalam sekresi pepsinogen, yang merupakan suatu molekul enzim
inaktif yang disintesis dan disimpan oleh kompleks Golgi dan retikulum endoplasma sel
chief. Apabila pepsinogen ini disekresikan dalam lumen lambung, maka molekul
pepsinogen akan diuraikan oleh HCl menjadi bentuk aktif, pepsin. Pepsin ini berfungsi
untuk mencerna protein dan bekerja untuk menghasilkan lebih banyak pepsinogen.
Sel entero-endokrin utama pada lambung adalah sel G yang menghasilkan
gastrin, Sel D yang menghasilkan somatostatin, dan sel entero-chromaffin-like (ECL)
yang menghasilkan histamin.

III. FISIOLOGI
Lambung melakukan beberapa fungsi. Fungsi terpenting adalah mrnyimpan
makanan yang masuk sampai disalurkan ke usus halus dengan kecepatan yang sesuai
untuk pencernaan dan penyerapan optimal. Karena usus halus merupakan tempat utama
pencernaan dan penyerapan, lambung perlu menyimpan makanan dan menyalurkannya
sedikit demi sedikit ke duodenum dengan kecepatan yang tidak melebuhi kapasitas usus.
Fungsi kedua lambung adalah untuk mensekresikan asam hidroklorida (HCl) dan enzim-
enzim yang memulai pencernaan protein.
Terdapat empat aspek motilitas lambung:
1. Pengisian Lambung (gastic filling).
Jika kosong, lambung memiliki volumesekitar 50 ml, tetapi organ ini dapat
mengembang hingga kapasitasnya mencapai sekitar 1 liter ketika makan. Hal ini
terjadi karena terdapat dua faktor, yaitu:
a. Plastisitas otot polos yang mengacu pada kemampuan otot polos mempertahankan
ketegangan konstan. Dengan demikian, pada saat serat-serat otot polos lambung

10
teregang pada pengisian lambung, serat-serat tersebut akan melemas tanpa
menyebabkan peningkatan ketegangan otot.
b. Relaksasi reseptif lambung saat ia terisi. Di dalam lambung terdapat lipatan-
lipatan yang dikenal sebagai rugae. Selama makan, lipatan-lipatan tersebut
mengecil dan mendatar saat lambung sedikit demi sedikit melemas karena terisi.
Relaksasi refleks lambung sewaktu menerima makanan ini disebut relaksasi
reseptif. Relaksasi ini meningkatan kemampuan lambung untuk menambah
volume sehingga makanan bisa disimpan. Apabila kapasitas lebih dari 1 liter
makanan yang masuk, lambung akan teregang dan individu tersebut akan merasa
tidak nyaman.
2. Penyimpanan Lambung
Sebagian sel otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial yang otonom dan
berirama. Salah satu kelompok sel-sel pemacu tersebut terletak di lambung di daerah
fundus bagian atas. Sel-sel tersebut menghasilkan potensial gelombang lambat yang
menyapu ke bawah di sepanjang lambung menuju sfingter pilorus dengan kecepatan
tiga kali per menit. Pola depolarisasi spontan ritmik tersebut yaitu irama listrik dasar
atau BER (basic electical rhythm) lambung, berlangsung secara terus-menerus dan
mungkin disertai oleh kontraksi lapisan otot polos sirkuler lambung.Bergantung pada
tingkat eksitabilitas otot polos, BER dapat dibawa ke ambang oleh aliran arus dan
mengalami potensial aksi yang kemudian memulai kontraksi otot yang dikenal
sebagai gelombang peristaltik. Gelombang peristaltik menyebar ke seluruh fundus dan
korpus lalu ke antrum dan sfingter pilorus. Karena lapisan otot di fundus dan korpus
tipis, kontraksi peristaltik di kedua daerah tersebut melemah sedangkan di antrum
memiliki gelombang yang lebih kuat karena lapisan otot di antrum lebih tebal. Oleh
karena itu, makanan yang masuk ke lambung dari esofagus tersimpan relatif tenang
tanpa mengalami pencampuran. Makanan secara bertahap disalurkan dari korpus ke
antrum, tempat berlangsungnya pencampuran makanan.

3. Pencampuran Lambung
Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab makanan bercampur
dengan sekresi lambung dan menghasilkan kimus. Setiap gelombang peristaltik
antrum mendorong kimus ke depan ke arah sfingter pilorus. Kontraksi tonik sfingter
pilorus dalam keadaan normal menjaga sfingter hampir, tetapi tidak seluruhnya,
tertutup rapat. Lubang yang tersedia cukup besar untuk air dan cairan lain lewat,
tetapi terlalu kecil untuk kimus yang kental lewat, kecuali apabila kimus terdorong
oleh kontraksi peristaltik yang kuat. Walaupun demikian, dari 30 ml kimus yang

11
dapat ditampung oleh antrum, hanya beberapa mililiter isi antrum yang terdorong ke
duodenum setiap gerakan peristaltik. Sebelum lebih banyak kimus dapat diperas
keluar, gelombang peristaltik sudah mencapai sfingter pilorus dan menyebabkan
sfingter tersebut berkontraksi lebih kuat sehingga aliran kimus ke duodenum
terhambat. Bagian terbesar kimus antrum yang terdorong ke depan, tetapi tidak dapt
didorong ke dalam duodenum dengan tiba-tiba berhenti pada sfingter yang tertutup
dan tertolak kembali ke dalam antrum, hanya untuk didorong ke depan dan tertolak
kembali pada saat gelombang peristaltik baru datang. Gerakan maju mundur tersebut
disebut retropulsi, menyebabkan kimus tercampur merata di antrum.

4. Pengosongan Lambung
Kontraksi peristaltik antrum, selain menyebabkan pencampuran lambung, juga
menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Pengosongan
lambung diatur oleh faktor lambung (jumlah kimus dalam lambung dan derajat
keenceran dari kimus dan faktor dudenum (lemak, asam, hipertonisitas, dan
peregangan). Semakin tinggi eksitabilitas, semakin sering BER menghasilkan
potensial aksi, semakin besar aktivitas di antrum, dan semakin cepat pengosongan
lambung.

IV. EPIDEMIOLOGI
Insidens dan prevalensi dari ulkus peptikum telah menurun pada tahun terakhir
yang sebagian besar dikarenakan ditemukannya pengobatan eradikasi bakteri H. pylori.
Meskipun terjadi kemajuan dalam pengobatan ulkus ini, komplikasi tetap menjadi
masalah. Ini dapat dikarenakan oleh peningkatan pengunaan ASA dan NSAIDs dan
peningkatan usia pada beberapa negara. Penemuan dari berbagai studi menemukan
insiden tiap tahun dari perdarahan ulkus sekitar 19,4- 57,0 kasus per 100,000 individu
dan perforasi sekitar 3,8 – 14 kasus per 100,000 individu. Komplikasi ini juga sering
dihubungkan dengan peningkatan terjadinya ulkus rekuren dan mortalitas.
Komplikasi dari ulkus peptikum juga berdampak terhadap ekonomi negara.
Total biaya akibat ulkus peptikum di USA, berdasarkan pada biaya dan penurunan
produktivitas kerja, telah diestimasi mencapai 5,65 milliar per tahun.
Penyebaran penggunaan ASA dan NSAIDs kemungkinan memberikan
konstribusi terhadap komplikasi ulkus peptikum. Penggunaan ASA (meski pada dosis
rendah) atau NSAIDs paling sering dilaporkan menjadi salah satu faktor risiko

12
terjadinya perdarahan duodenum dan lambung pada studi yang telah dilakukan.
Beberapa studi telah melaporkan peningkatan risiko perdarahan kembali ketika terjadi
infeksi H. pylori dengan penggunaan ASA/NSAIDs secara bersamaan.
Pada 31% pasien dengan perdarahan ulkus peptikum mengalami perdarahan
kembali dalam 30 hari. Mortalitas tinggi terjadi pada pasien dengan komplikasi ulkus
peptikum, khususnya setelah perforasi. Mortalitas meningkat sesuai umur, yang
kemungkinan menggambarkan peningkatan prevalensi dari comorbiditas.
Di United States, Ulkus peptikum terjadi pada sekitar 4,5 juta orang. Secara
keseluruhan, Insiden dari ulkus duodenum menurun dalam 3-4 dekade terakhir.
Meskipun tingkat dari ulkus lambung sederhana menurun, insiden dari komplikasi
ulkus lambung dan rawat inap tetap stabil, karena penggunaan aspirin dan peningkatan
usia. Tingkat rawat inap dari ulkus lambung sekitar 30 pasien per 100,000 kasus.
Prevalensi terjadinya ulkus peptikum hampir sama pada laki-laki dan
perempuan. Prevalensinya sekitar 11-14% pada pria dan 8-11% pada wanita.
Kecenderungan usia untuk terjadinya ulkus menurun pada pria yang lebih muda,
terutama untuk ulkus duodenum dan meningkat pada wanita yang lebih tua.
Secara klinis ulkus duodeni lebih sering dijumpai daripada ulkus lambung. Pada
beberapa negara seperti Jepang dijumpai lebih banyak ulkus lambung daripada ulkus
duodeni.

V. FAKTOR RISIKO DAN ETIOLOGI


Umumnya yang berperan besar terjadinya ulkus adalah H. Pylori yang
merupakan organisme yang menghasilkan urease dan berkoloni pada mukosa antral dari
lambung dimana penyebab tersering ulkus duodenum dan ulkus lambung. H. Pylori
paling banyak terjadi pada orang dengan sosialekonomi rendah dan bertambah seiring
dengan usia. Penyebab lain dari ulkus peptikum adalah penggunaan NSAIDs, kurang
dari 1% akibat gastrinoma (Zollinger-Ellison syndrome), luka bakar berat, dan faktor
genetik.
Faktor risiko terjadinya ulkus adalah herediter (berhubungaan dengan
peningkatan jumlah sel parietal), merokok, hipercalcemia, mastositosis, alkohol, dan
stress.

VI. PATOGENESIS
1. Faktor Asam Lambung “No Acid No Ulcer”

13
Sel parietal/oxyntic mengeluarkan asam lambung HCl, sel peptik/ zimogen
mengeluarkan pepsinogen yang oleh HCl diubah jadi pepsin dimana HCl dan
pepsin adalah faktor agresif terutama pepsin dengan pH < 4. Bahan iritan akan
menimbulkan defek barier mukosa dan terjadi difusi balik ion H +. Histamin
terangsang untuk lebih banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan
peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung, gastritis
akut/kronik dan ulkus lambung.
Produksi asam lambung (HCl) distimulasi oleh gastrin yang disekresi oleh
sel G pada antrum, asetilkolin dilepaskan oleh nervus vagus dan histamin
dilepaskan oleh sel entero-chromaffin-like (ECL), yang semuanya menstimulasi
reseptor pada sel parietal yang merupakan penghasil asam.
Ulkus duodenum sangat jarang terjadi pada orang yang tidak menghasilkan
asam lambung, ulkus rekuren terjadi ketika produksi asam sangat meningkat,
sebagai contoh, oleh tumor yang mensekresi gastrin. Bagaimanapun, produksi asam
lambung biasanya rendah pada orang-orang dengan ulkus lambung dan ini dapat
menghasilkan gastritis kronik.

2. Balance Theory 1974


Ulkus terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara faktor agresif/ asam
dan pepsin dengan defensif (mukus, bikarbonat, aliran darah, PG), bisa faktor
agresif meningkat atau faktor defensif menurun.

3. Prostaglandin
Faktor risiko pada ulkus peptikum meningkat pada pasien yang menggunakan non-
steriod anti inflammatory drugs (NSAIDs), termasuk aspirin, yang menghambat
produksi prostaglandin oleh sel epitel. Oleh karena itu, risiko dari ulkus peptikum
berkurang oleh artifisial prostaglandin E2 agonist, misoprostil.

4. Obat Anti Inflamasi Non- Steroid (OAINS)


Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan asam asetil salisilat (ASA)
merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan dalam berbagai keperluan.
Pemakaian OAINS/ASA secara kronik dan reguler dapat menyebabkan terjadinya
resiko perdarahan gastrointestinal 3 kali lipat dibanding yang tidak
menggunakannya.

14
Patogenesis terjadinya kerusakan mukosa terutama gastroduodenal
penggunaan OAINS/ASA adalah akibat efek toksik/ iritasi langsung pada mukosa
yang memerangkap OAINS/ASA yang bersifat asam sehingga terjadi kerusakan
epitel dalam berbagai tingkat, namun yang paling utama adalah efek OAINS/ASA
yang menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat
sehingga menekan produksi prostaglandin/prostasiklin. Seperti diketahui,
prostaglandin endogen sangat berperan dalam memelihara keutuhan mukosa dengan
mengatur aliran darah mukosa, proliferasi sel-sel epitel, sekresi mukus dan
bikarbonat, mengatur fungsi immunosit mukosa serta sekresi basal asam lambung.
Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada
penggunaan OAINS/ ASA melalui 4 tahap, yaitu : menurunnya sekresi mukus dan
bikarbonat, terganggunya sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa,
berkurangnya aliran darah mukosa dan kerusakan mikrovaskular yang diperberat
oleh kerja sama platelet dan mekanisme koagulasi.

5. Helicobacter pylori
Bakteri spiral pada lambung telah diketahui selama lebih ratusan tahun, dan
menjadi lebih signifikan pada tahun 1982 ketika Warren dan Marshall melakukan
kultur dari 11 pasien dengan gastritis dan dr Marshall mendemonstrasikan bahwa
hal itu menyebabkan gastritis. Infeksi H. Pylori sebagian besar ditemukan pada
pasien dengan ulkus peptikum, meskipun hanya sekitar 15% dari infeksi tersebut
berkembang menjadi ulkus. Eradikasi infeksi H. Pylori secara permanent dapat
mengobati sebagian besar pasien dengan ulkus peptikum.
Kebanyakan kuman patogen memasuki barier dari mukosa lambung, tetapi
HP sendiri jarang sekali memasuki epitel mukosa lambung ataupun bagian yang
lebih dalam dari mukosa tersebut. Bila HP bersifat patogen maka yang pertama kali
terjadi adalah HP dapat bertahan dalam suasana asam di lambung; kemudian terjadi
penetrasi terhadap mukosa lambung; dan pada akhirnya HP berkolonisasi di
lambung tersebut. Pada keadaan tersebut beberapa faktor dari HP memainkan
peranan penting diantaranya urease memecah urea menjadi amoniak yang bersifat
basa lemah yang melindungi kuman tersebut terhadap asam lambung.
Infeksi H. Pylori pada antrum gaster, yang menstimulasi produksi gastrin,
menyebabkan hipersekresi asam dan ulkus duodenum, sementara infeksi pada
corpus lambung, dimana terdapat sel parietal paling banyak, menyebabkan

15
berkurangnya produksi asam lambung dan dihubungkan dengan gastritis, ulkus
lambung, kanker lambung, dan lymphoma gaster.
Ulkus peptikum merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara faktor
gastroprotektif, seperti lapisan mukus dan prostaglandins, dan faktor agresif, seperti
asam lambung dan efek dari merokok, alkohol, dan NSAIDs. Ulkus lambung
kebanyakan disebabkan infeksi HP (30- 60%) dan OAINS sedangkan ulkus
duodenum hampir 90% disebabkan oleh HP, penyebab lain adalah Sindrom
Zollinger Elison.

VII. GAMBARAN KLINIS


Secara umum, pasien dengan ulkus peptikum biasanya mengeluh dispepsia.
Dispepsia adalah suatu sindroma klinik/ kumpulan gejala pada saluran cerna seperti
mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar, rasa penuh dan cepat
merasa kenyang.
Pada ulkus duodenum rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit
bisa membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum
obat antasida (Hunger Pain Food Relief = HPFR). Sakit yang dirasakan seperti rasa
terbakar, rasa tidak nyaman yang mengganggu dan tidak terlokalisir.
Pada ulkus lambung rasa sakit timbul setelah makan, rasa sakit di rasakan
sebelah kiri, anoreksia, nafsu makan berkurang, dan kehilangan berat badan. Walaupun
demikian, rasa sakit saja tidak dapat menegakkan diagnosis ulkus lambung karena
dispepsia non ulkus juga dapat menimbulkan rasa sakit yang sama. Muntah juga kadang
timbul pada ulkus peptikum yang disebabkan edema dan spasme seperti pada ulkus
kanal pilorik (obstruction gastric outlet).

VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis ulkus peptikum ditegakkan berdasarkan: 1) anamnesis (dispepsia/
rasa sakit pada ulu hati); 2) pemeriksaan penunjang (radiologi dengan barium meal
kontras/ colon in loop dan endoskopi); dan 3) hasil biopsi untuk pemeriksaan kuman
H. Pylori.
Ulkus Duadenum
Upper Gastrointestinal Endoscopy (UGIE) atau Upper Gastrointestinal barium
radiografi.
Ulkus lambung

16
Upper Gastrointestinal Endoskopi.
Deteksi H. Pylori
Deteksi antibodi pada serum dan rapid urease test pada biopsi antral. Urea
breath test umumnya digunakan untuk mengetahui eradikasi dari H. Pylori jika perlu.
IX. TERAPI
Tujuan terapi adalah menghilangkan keluhan/ gejala, menyembuhkan/
memperbaiki kesembuhan ulkus, mencegah kekambuhan/rekurensi ulkus, dan
mencegah komplikasi.
Walaupun ulkus lambung dan ulkus duodenum sedikit berbeda dalam
patofisiologi tetapi respon terhadap terapi sama. Ulkus lambung biasanya ukurannya
lebih besar, akibatnya memerlukan waktu terapi yang lebih lama. Untuk pengobatan
ulkus lambung sebaiknya dilakukan biopsi untuk menyingkirkan adanya suatu
keganasan/kanker lambung.
Terapi terhadap ulkus peptikum terdiri dari: Non-medikamentosa,
medikamentosa, dan tindakan operasi.

TERAPI NON-MEDIKAMENTOSA
 DIET. Walaupun tidak diperoleh bukti yang kuat terhadap berbagai bentuk diet
yang dilakukan, namun pemberian diet yang mudah cerna khususnya pada ulkus
yang aktif perlu dilakukan. Makan dalam jumlah sedikit dan lebih sering, lebih
baik daripada makan yang sekaligus kenyang.
Mengurangi makanan yang merangsang pengeluaran asam lambung/ pepsin,
makanan yang merangsang timbulnya nyeri dan zat-zat lain yang dapat
mengganggu pertahanan mukosa gastroduodenal. Beberapa peneliti menganjurkan
makanan biasa, lunak, tidak merangsang dan diet seimbang.
Merokok menghalangi penyembuhan ulkus, menghambat sekresi bikarbonat
pankreas, menambah keasaman bulbus duodeni, menambah refluks dudenogastrik
akibat relaksasi sfingter pilorus sekaligus meningkatkan kekambuhan ulkus.
Merokok sebenarnya tidak mempengaruhi sekresi asam lambung tetapi dapat
memperlambat pemyembuhan luka serta meningkatkan angka kematian karena
efek peningkatan kekambuhan penyakit saluran pernafasan dan penyakit jantung
koroner.
Alkohol belum terbukti mempunyai bukti yang merugikan. Air jeruk yang asam,
coca-cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh ulserogenik tetapi dapat menambah

17
sekresi asam lambung dan belum jelas dapat menghalangi penyembuhan luka dan
sebaiknya jangan diminum sewaktu perut kosong.
 OBAT-OBATAN. OAINS sebaiknya dihindari. Pemberian secara parenteral
(supositorik dan injeksi) tidak terbukti lebih aman. Bila diperlukan dosis OAINS
diturunkan atau dikombinasikan dengan ARH2/PPI/misoprostrol. Pada saat ini
sudah tersedia COX 2 inhibitor yang selektif untuk penyakit OA/RA yang kurang
menimbulkan keluhan perut. Agen inhibitor COX-2 selektif dibedakan menurut
susunan sulfa (rofecoxib, etoricoxib) dan sulfonamida (celecoxib, valdecoxib).
Penggunaan parasetamol atau kodein sebagai analgesik dapat dipertimbangkan
pemakaiannya.

TERAPI MEDIKAMENTOSA
 ANTASIDA. Pada saat ini antasida sudah jarang digunakan, antasida sering
digunakan untuk menghilangkan keluhan rasa sakit/dispepsia. Preparat yang
mengandung magnesium tidak dianjurkan pada gagal ginjal karena menimbulkan
hipermagnesemia dan kehilangan fosfat sedangkan alumunium menyebabkan
konstipasi dan neurotoksik tapi bila dikombinasi dapat menghilangkan efek
samping. Dosis anjuran 4 x 1 tablet, 4 x 30 cc.
 KOLOID BISMUTH (COLOID BISMUTH SUBSITRAT/CBS DAN
BISMUTH SUBSALISILAT/BSS). Mekanisme belum jelas, kemungkinan
membentuk lapisan penangkal bersama protein pada dasar ulkus dan
melindunginya terhadap pengaruh asam dan pepsin, berikatan dengan pepsin
sendiri, merangsang sekresi PG, bikarbonat, mukus. Efek samping jangka panjang
dosis tinggi khusus CBS neuro toksik.
Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir sama dengan ARH2 serta adanya
efek bakterisidal terhadap Helicobacter pylori sehingga kemungkinan relaps
berkurang. Dosis anjuran 2x2 tablet sehari dengan efek samping berupa tinja
berwarna kehitaman sehingga menimbulkan keraguan dengan perdarahan.
 SUKRALFAT. Suatu kompleks garam sukrosa dimana grup hidroksil diganti
dengan aluminium hidroksida dan sulfat. Mekanisme kerja kemungkinan melalui
pelepasan kutub aluminium hidroksida yang berikatan dengan kutub positif
molekul protein membentuk lapisan fisikokemikal pada dasar ulkus, yang
melindungi ulkus dari pengaruh agresif asam dan pepsin. Efek lain membantu

18
sintesa prostaglandin, menambah sekresi bikarbonat dan mukus, meningkatkan
daya pertahanan dan perbaikan mukosal. Dosis anjuran 4x1 gr sehari.
 PROSTAGLANDIN. Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung
menambah sekresi mukus, bikarbonat, dan meningkatkan aliran darah mukosa serta
pertahanan dan perbaikan mukosa. Efek penekanan sekresi asam lambung kurang
kuat dibandingkan dengan ARH2. Biasanya digunakan sebagai penangkal
terjadinya ulkus lambung pada pasien yang menggunakan OAINS. Dosis anjuran
4x200 mg atau 2x400 mg pagi dan malam hari. Efek samping diare, mual, muntah,
dan menimbulkan kontraksi otot uterus sehingga tidak dianjuran pada orang hamil
dan yang menginginkan kehamilan.
 ANTAGONIS RESEPTOR H2/ARH2. (Cimetidin, Ranitidine, Famotidine,
Nizatidine), struktur homolog dengan histamin. Mekanisme kerjanya memblokir
efek histamin pada sel parietal sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk
mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel. Pengurangan sekresi
asam post prandial dan nokturnal, yaitu sekresi nokturnal lebih dominan dalam
rangka penyembuhan dan kekambuhan ulkus.
Dosis terapeutik :
Cimetidin : dosis 2x400 mg atau 800 gr malam hari
Ranitidin : 300 mg malam hari
Nizatidine : 1x300 mg malam hari
Famotidin : 1x40 mg malam hari
Roksatidin : 2x75 mg atau 150 mg malam hari
Dosis terapetik dari keempat ARH2 dapat menghambat sekresi asam dalam potensi
yang hampir sama, tapi efek samping simetidin lebih besar dari famotidin karena
dosis terapeutik lebih besar.

PROTON PUMP INHIBITOR/ PPI (Omeprazol, Lanzoprazol, pantoprazol,
Rabeprazol, Esomesoprazol). Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim
K+ H+ ATPase yang akan memecah K+ H+ ATP menghasilkan energi yang
digunakan untuk mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam
lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli,
menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien ulkus, mengurangi aktivitas faktor
agresif pepsin dengan pH>4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh triple drugs
regimen.
Dosis Terapetik :

19
Rabeprazole 2x 20 mg/ hari
Omeprazole 2x 20 mg/ hari
Esomesoprazole 2x 20 mg/ hari
Lanzoprazole 2x 30 mg/ hari
Pantoprazole 2x 40 mg/ hari

REGIMEN TERAPI HELICOBACTER PYLORI 5
Terapi Triple. Secara historis regimen terapi eradikasi yang pertama digunakan
adalah: bismuth, metronidazole, tetrasiklin. Regimen triple terapi (PPI 2x1,
Amoxicillin 2x1000, klaritromisin 2x500, metronidazole 3x500, tetrasiklin 4x500)
dan yang banyak digunakan saat ini:
1. Proton pump inhibitor (PPI) 2x1 + Amoksisilin 2 x 1000 + Klaritromisin 2x500
2. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Claritromisin 2x500 (bila alergi penisilin)
3. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Amoksisilin 2x 1000
4. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Tetrasiklin 4x500 bila alergi terhadap
klaritromisin dan penisilin
Lama pengobatan eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazol), 5 hari rabeprazole. Ada
anjuran lama pengobatan eradikasi 2 minggu, untuk kesembuhan ulkus, bisa
dilanjutkan pemberian PPI selama 3-4 minggu lagi. Keberhasilan eradikasi
sebaiknya di atas 90%. Efek samping triple terapi 20-30%.
Kegagalan pengobatan eradikasi biasanya karena timbulnya efek samping dan
compliance dan resisten kuman. Infeksi dalam waktu 6 bulan pasca eradikasi
biasanya suatu rekurensi denfan infeksi kuman lain.
Tujuan eradikasi HP adalah mengurangi keluhan/gejala, penyembuhan ulkus,
mencegah kekambuhan. Eradikasi selain dapat mencegah kekambuhan ulkus, juga
dapat mencegah perdarahan dan keganasan.
Terapi Quadripel. Jika gagal dengan terapi triple, maka dianjurkan memberikan
regimen terapi Quadripel yaitu: PPI 2x sehari, Bismuth subsalisilat 4x2 tab, MNZ
4x250, Tetrasiklin 4x500, bila bismuth tidak tersedia diganti dengan triple terapi.
Bila belum berhasil, dianjurkan kultur dan tes sensitivitas.

TINDAKAN OPERASI
Tindakan operasi dilakukan pada keadaan:
1. Elektif (gagal pengobatan/ ulkus refrakter)
2. Darurat (komplikasi: perdarahan, perforasi, stenosis pilorik)
3. Ulkus lambung dengan keganasan

20
Terdapat tiga tindakan operasi yang dilakukan pada ulkus lambung, yaitu:
highly selective vagotomy (HSV), vagotomi dan drainage, vagotomi dan
gastrectomi distal.
Highly Selective Vagotomy
Highly selective vagotomy (HSV), juga disebut vagotomi sel parietal atau
vagotomi gastric proximal, aman (risiko mortalitas < 0.5%) dan menyebabkan
efek samping yang minimal. Operasi ini memutuskan suplai nervus vagus ke 2/3
proksimal dari lambung, dimana pada dasarnya terletak sel parietal. Sedangkan
innervasi vagus ke antrum, pylorus, dan abdmoninal viscera tetap
dipertahankan.Tidak adekuatnya innervasi ke daerah tersebut karena kesalahan
teknik operasi dapat mengakibatkan penekanan asam tidak adekuat dan insiden
tinggi terjadinya ulkus rekuren. HSV menurunkan sekresi asam lambung sekitar
65-75%, yang sebanding dengan dilakukannya truncal vagotomi dan obat-obat
supresi asam. Pengosongan lambung terhadap makanan biasa umumnya normal
pada pasien setelah vagotomi sel parietal. Pengosongan cairan dapat normal atau
meningkat karena penurunan compliance berhubungan dengan kehilangan
relaksasi reseptif dan akomodasi. HSV tidak dilakukan sebagai pengobatan untuk
tipe II (gastric dan duodenal) dan III (prepyloric) ulkus lambung karena
hipergastrinemia yang disebabkan oleh obstruksi gastic outlet dan antrum statis.

Vagotomi dan Drainage


Truncal vagotomi dan pyloroplasti, dan truncal vagotomi dan
gastrojejunostomi adalah prosedur dari vagotomi dan drainage (V+D).
Bagaimanapun, vagotomi selektif dan drainage, dan HSV dan gastrojejunostomi
dapat digunakan untuk operasi ulkus pada pasien tertentu. Keuntungan dari V+D
karena aman dan dapat dilakukan dengan cepat oleh dokter bedah
berpengalaman. Kerugiannya karena efek sampingnya (10% pasien mengalami
dumping atau diare), dan 10% dengan rata-rata ulkus rekuren. Selama vagotomi
truncal, perawatan harus dilakukan agar tidak terjadi perforasi esofagus, yang
berpotensi menyebabkan kematian. Tidak seperti HSV, V+D secara luas diakui
berhasil untuk operasi terhadap penyakit ulkus peptikum dengan komplikasi. Ini
telah dikatakan sebagai operasi yang berguna untuk mengobati perdarahan
duodenum dan ulkus lambung, perforasi duodenum dan ulkus lambung, dan
obstruksi duodenum dan ulkus lambung (tipe II dan III).

21
Gastrojejunostomi adalah pilihan terbaik pada pasien dengan obstruksi
gastic outlet atau penyakit berat pada duodenum proximal. Anastomosis
dilakukan antara proksimal jejenum dan bagian dari curvatura mayor lambung,
salah satunya antecolic atau retrocolic. Di sisi lain, pyloroplasti berguna pada
beberapa pasien yang membutuhkan pyloroduodenotomi untuk menangani
komplikasi ulkus (perdarahan ulkus duodenal posterior), pada scar fokal atau
terbatas pada daerah pyloric, atau ketikan gastrojejunostomi sulit dilakukan.
Pyloroplasti yang umum terjadi adalah tipe Hieneke-Mikulicz, yang menutup
insisi transpyloric longitudinal secara transversal. Teknik lainnya yang digunakan
termasuk Finney dan Jaboulay pyloroplasti.

Vagotomi dan Antrectomi


Keuntungan dari vagotomi dan antrectomi (V+A) adalah risiko rendah
terjadinya kekambuhan ulkus dan penerapan operasi pada pasien dengan ulkus
peptikum dengan komplikasi (perdarahan duodenum dan ulkus lambung,
obstruksi ulkus peptikum, ulkus lambung yang tidak sembuh, dan ulkus rekuren).
Kerugian dari V+A adalah operasi ini memilki mortalitas tinggi dibandingkan
dengan HSV atau V+D. Setelah antrectomi, gastrointestinal disambung kembali,
baik melalui Billroth I gastroduodenostomi atau Billroth II loop gastrojejunstomi.

Distal Gastrectomi
Gastrectomi distal tanpa vagotomi (biasanya sekitar 50% gastrectomi
termasuk dengan ulkus) secara tradisional menjadi prosedur pilihan untuk ulkus
lambung tipe I. Rekonstruksi dapat dilakukan Billroth I atau Billroth II. Vagotomi
trunkal ditambahkan untuk tipe II dan II ulkus lambung, atau jika pasien diyakini
berisiko untuk ulkus rekuren dan harus dipertimbangkan jika rekonstruksi
Billroth II dimaksud. Walaupun tidak secara rutin digunakan untuk pengobatan
bedah untuk ulkus peptikum, gastrectomi subtotal (75% gastrectomi distal) tanpa
vagotomi dapat menjadi pilihan untuk pasien ulkus peptikum. Diseksi
periesofagus dihindari (vagotomi tidak perlu jika 75% gastrectomi dilakukan),
dan diseksi periduodenal diminimalkan (Billroth II adalah rekonstruksi pilihan).
Akhirnya, ulkus lambung bersamaan (tipe II atau III) direseksi. Bagaimanapun,
gastrectomi subtotal jarang merupakan pilihan operasi pertama pada pasien
dengan ulkus duodenal, sejak vagotomi dan antrectomi memiliki tingkat rekurensi
rendah, kurang aman, dan memiliki banyak efek samping.

22
X. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul pada umumnya :
- Perdarahan : hematemesis/ melena dengan tanda syok apabila perdarahan masif
dan perdarahan tersembunyi
- Anemia : Anemia dapat terjadi apabila terjadi kekurangan darah berlebihan dan
anemia kronik
- Perforasi : nyeri perut menyeluruh sebagai tanda peritonitis
- Gastric Outlet Obstruction : keluhan pasien akibat komplikasi ini berupa cepat
kenyang, muntah berisi makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah makan/
post prandial, berat badan menurun. Obstruksi yang terjadi akibat peradangan
daerah peri pilorik timbul odema, spasme. Bisa obstruksi permanen akibat fibrosis
dari suatu tukak sehingga mekanisme pergerakan antro duodenal terganggu.

Komplikasi Pasca Operasi:


- Obstruksi loop aferent (Billroth II),
- Bile reflux gastritis,
- Dumping syndrome (pengosongan lambung menjadi cepat dengan abdominal
distress),
- Postvagotomy diare,
- Bezoar,
- Anemia (iron, B12, malabsorpsi folat),
- Malabsorption,
- Osteomalacia and osteoporosis (malabsorpsi vitamin D and Ca), dan
- Gastric remnant carcinoma.

XI. PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit dan komplikasi yang terjadi.
Kebanyakan pasien berhasil diobati dengan eradikasi infeksi H pylori, menghindari
NSAID, dan penggunaan yang tepat terapi anti sekresi. Eradikasi infeksi H pylori
menurunkan tingkat kekambuhan ulkus 60-90% menjadi sekitar 10-20%.
Tingkat mortalitas dari ulkus peptikum, yang telah menurun dalam beberapa
dekade terakhir, sekitar 1 kematian per 100,000 kasus. Jika suatu pertimbangan semua
pasien dengan ulkus duodenum, tingkat mortalitas karena perdarahan ulkus sekitar 5%.
Selama 20 tahun terakhir, tingkat mortalitas pada perdarahan ulkus tidak berubah
walaupun muncul histamin-2 reseptor antagonis (H2RAs) dan PPI. Bagaimanapun,
bukti dari meta- analisis dan studi lain telah menunjukkan penurunan tingkat mortalitas

23
dari perdarahan ulkus peptikum ketika PPI intravena digunakan setelah terapi
endoskopi berhasil.

24
BAB IV

RINGKASAN

Ulkus peptikum (tukak peptik) mengacu pada kecacatan mukosa gaster dan duodenal
yang disebabkan oleh pengaruh asam dan pepsin yang melebihi kemampuan mukosa
melawan pengaruh tersebut.

Infeksi H. pylori, obat ulserogenik seperti OAINS, dan asam adalah faktor yang
paling penting pada ulkus peptik. Asam diperlukan untuk perkembangan ulkus yang
disebabkan oleh H. pylori atau OAINS, tetapi asam sendiri secara umum tidak menimbulkan
ulkus kecuali dalam keadaan hipersekretori. Pengguanaan OAINS dan infeksi H. pylori
secara umum dianggap sebagai faktor risiko independen untuk ulkus peptik. Beberapa data
menunjukkan infeksi H. pylori meningkatkan risiko ulkus peptik selama terapi OAINS.

Gejala dispepsia dimana nyeri epigastrik sebagai gejala kardinal dari ulkus peptik.
Keluhan ini tidak sensitif atau spesifik sebagai kriteria diagnostik. Pada pemeriksaan fisik
biasanya ditemukan nyeri pada daerah epigastrium. Endoskopi saluran cerna bagian atas
direkomendasikan sebagai pemeriksaan yang menunjukkan kehadiran ulkus peptik pada
pasien dispepsia. Selama pemeriksaan endoskopi spesimen biopsi harus diambil dari
spesimen ulkus gaster untuk membedakan kelainan yang bersifat jinak atau ganas. Spesimen
biopsi tidak diambil secara rutin pada ulkus duodenum. Setelah pemeriksaan endoskopi,
roentgen kontras barium diperlukan untuk pasien tertentu dengan ulkus yang mengalami
komplikasi untuk melihat anatomi gastroduodenanum.

Penatalaksanaan dilakukan secara suportif, medikamentosa, endoskopi atau


pembedahan. Beberapa pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada penderita ini
antara lain pemeriksaan darah lengkap setiap 24 jam, BOF dengan kontras ganda,
pemeriksaan serologi H. pylori untuk mengetahui apakah terjadi infeksi H. pylori dan
pemeriksaan albumin post tranfusi.

Prognosis ditentukan oleh tipe ulkus yaitu ulkus yang besar, perdarahan yang
menetap walau telah diterapi endoskopi, dan perdarahan berulang. Selain itu keadaan
pasien juga menentukan seperti adanya syok, melena, banyaknya darah segar pada

25
muntahan atau aspirat lambung, sepsis, anemia, dan adanya penyakit lain seperti
jantung, liver dan ginjal.

26
DAFTAR PUSTAKA

Aro Pertti. Storstrubb Tom. Peptic ulcer disease in a general adult population. USA: America
Journal of Epidemiology; 2006. p. 3-8.
Burnicardi Charles. Schwartz’s principles of surgery eighty edition. United States: McGraw-
Hill companies; 2004. p. 38- 69.
Del John. Peptic ulcer disease and related disorders. In: Kasper DL, Braunwald E, et al (eds).
Harrison’s principles of internal medicine 16th editions. United States: McGraw-Hill
Companies; 2005. p. 1746- 56.
Keshav Satish. The gastrointestinal system at a glance 1st ed. British: Blackwell Science Ltd;
2004. p. 20-3; 72-3.
Price Sylvia, Wilson Lorraine. Gangguan lambung dan duodenum. Dalam: Glenda Lindseth.
Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Volume 6. Jakarta: EGC; 2002. hal.
423- 31.
Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC; 1996. Hal.
551- 2; 556-9.
Souba Wiley, Fink Mitchell, Jurkovich Gregory. ACS surgery: principles & practice, 2007
edition. UK: WebMD Inc; 2007. p. 5-8.
Tarigan Pengarapen, Akil HAM. Tukak gaster dan tukak duodenum. Dalam: Sudoyo Aru,
Alwi Idrus dkk editor. Buka ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi V. Jakarta:
InternaPublishing; 2009. hal. 513-27.
Townsend CM, David R, Mark B, Mattox Kenneth. Sabiston textbook of surgery 17th
edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004. p. 1279- 96.

27

Anda mungkin juga menyukai