Anda di halaman 1dari 4

2.

2 Epidemiologi

Secara epidemiologi dikatakan bahwa angka kejadian hemofilia A berkisar yang


paling rendah 1 per 20.000 populasi dan yang tertinggi 1 per 10.000 populasi, hemofilia A
jauh lebih banyak dibandingkan dengan penderita hemofilia B, angka kejadian hemofilia B
biasanya kurang dari seperlima hemofilia A, hemofilia dapat terjadi pada semua suku bangsa
dan semua data laporan dari World Federation of Haemofilia (WFH) 2002 tercatat jumlah
penderita hemofilia yang terdaftar hanya 150 penderita, namun sejak tahun 2005 setelah
terbentuk organisasi Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) di Jakarta
pendataan penderita sudah mulai terorganisir. Berdasarkan data terakhir dari Yayasan
Hemofilia Indonesia/HMHI Pusat jumlah penderita hemofilia yang sudah teregistrasi sampai
Juli 2005 sebanyak 895 penderita yang tersebar di 21 provinsi dari 30 provinsi, berarti ada 9
provinsi yang belum membuat data registrasi kemungkinan adanya penderita hemofilia di
daerahnya, dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 217.854.000 populasi (BPS
Indonesia, 2004), secara nasional prevalensi hemofilia hanya mencapai ± 4,1/1 juta populasi,
angka ini sangat kecil dibandingkan prediksi secara epidemiologi seharusnya di Indonesia
penderita hemofilia ± 21.000 orang.

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan jumlah penderita terbanyak yang
terdata di HMHI yaitu dengan jumlah penderita 257 orang dengan jumlah penduduk 8,7 juta
jiwa (BPS, 2004), prevalensinya 29,5/1 juta populasi (0,29/10.000 populasi), diikuti Sumatera
Utara 154 penderita dengan jumlah penduduk 12,1 juta jiwa (BPS, 2004), prevalensinya
12,8/1 juta populasi (0,128/10.000 populasi), Jawa Tengah 122 penderita dengan jumlah
penduduk 32,5 juta jiwa (BPS, 2004) prevalensinya 3,7/1 juta populasi atau 0,037/10.000
populasi, Jawa Barat 106 penderita, jumlah penduduk 38,6 juta jiwa (BPS, 2004),
prevalensinya 2,75/1 juta populasi atau 0,027/10.000 populasi, Jawa Timur 92 penderita
dengan jumlah penduduk 26,4 juta jiwa (BPS, 2004), prevalensinya 2,52/1 juta populasi atau
0,052/10.000 populasi), beberapa provinsi berikut ini mempunyai data penderita hemofilia di
bawah 50 orang di antaranya yaitu Sumatera Selatan 42 penderita dengan jumlah penduduk
tahun 2004 sebanyak 6,6 juta, prevalensinya 6,36/1 juta populasi (0,063/10.000 populasi),
Banten 33 penderita dengan jumlah penduduk tahun 2004 sebanyak 9,1 juta, prevalensinya
3,63/1 juta populasi (0,036/10.000 populasi), dan Yogyakarta 25 penderita dengan jumlah
penduduk tahun 2004 sebanyak 3,2 juta populasi, prevalensinya 7,8/1 juta populasi
(0,078/10.000 populasi), ada 6 provinsi yaitu Provinsi Bali, Nanggroe Aceh Darussalam,
Sumatera Barat, Bangka Belitung, Lampung, Sulawesi Selatan dengan jumlah penderita yang
terdata di bawah 10 orang, kemudian 5 provinsi yaitu Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawasi Utara dengan jumlah penderita yang terdata hanya
di bawah 5 orang serta ada 2 provinsi yaitu Provinsi Bengkulu dan Provinsi Papua jumlah
pasien yang terdata masing-masing hanya 1 orang.

Daerah Sumatera Utara dengan jumlah penduduk 12,1 juta jiwa secara epidemiologi
diperkirakan jumlah penderita hemofilia di Sumut ± 1200 orang namun kenyataannya jumlah
penderita hanya ± 154 orang, berarti prevalensi hemofilia 12,8/1 juta populasi (0,128/10.000
populasi), menunjukkan angka yang masih sangat rendah namun berada di atas angka
prevalensi secara nasional, berarti di Sumatera Utara penderita undiagnosed hemofilia
mencapai ± 1046. Ternyata dari 154 penderita di Sumatera Utara ada 70 penderita yang
berdomisili di Kotamadya Medan, saat ini jumlah penduduk Kotamadya Medan 2.010.676
populasi, prevalensi hemofilia khususnya di Medan adalah ± 34,8/1.000.000 populasi, angka
ini jauh lebih tinggi dari prevalensi di Sumatera Utara namun bila berdasarkan prediksi
epidemiologi seharusnya jumlah penderita hemofilia di Medan berkisar ± 200 orang, berarti
penderita hemofilia yang tidak terdiagnosa (undiagnosed hemofilia) di Medan mencapai ±
130 orang.
Laporan dari World Federation of Hemophilia (WFH) tahun 2003 di beberapa negara
berkembang seperti di India, Banglades, Pakistan, dan Indonesia masih mempunyai
prevalensi yang sangat kecil berkisar antara 0,7/1 juta populasi seperti di Indonesia sampai
3,3/1 juta populasi di India, sedang di negara-negara maju seperti di USA, Inggris, Jerman,
dan Australia mempunyai angka prevalensi berkisar antara 76/1 juta populasi di Australia
sampai 104/1 juta di Inggris, di sini jelas terlihat bahwa penderita hemofilia yang tidak
terdiagnosa jauh lebih kecil terutama di negara Inggris dengan prevalensi 1,04/10.000
populasi. Hasil survei dari World Federation of Hemophilia (WFH) 2003 saat ini diperkirakan
hanya ada sekitar 320.000 orang penderita hemofilia di seluruh dunia tersebar di 86 negara
yang mewakili hampir 4/5 penduduk dunia, prediksi secara epidemiologi seharusnya jumlah
penderita hemofilia bisa mencapai ± 500.000 penderita dari lebih 5 milyar penduduk dunia.

2.3 Klasifikasi
Hemofilia terbagi atas dua jenis, yaitu :

 Hemofilia A, yang dikenal juga dengan nama Hemofilia Klasik karena jenis hemofilia
ini adalah yang paling banyak kekurangan faktor pembekuan pada darah. Hemofilia
kekurangan Factor VIII terjadi karena kekurangan atau tidak adanya faktor 8 (Factor
VIII) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.
Sekitar 90% kasus hemofilia menderita hemofilia tipe ini.
 Hemofilia B yang dikenal juga dengan nama Christmas Disease karena di temukan
untuk pertama kalinya pada seorang bernama Steven Christmas asal Kanada.
Hemofilia kekurangan Factor IX terjadi karena kekurangan atau tidak adanya faktor 9
(Factor IX) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan
darah.
2.4 Kriteria Diagnosis
2.4.1 Tanda dan Gejala
Manifestasi hemofilia adalah perdarahan yang sulit berhenti atau berlangsung lebih
lama (delayed bleeding) yang dapat terjadi dengan atau tanpa penyebab yang jelas atau
perdarahan dan memar tanpa sebab yang jelas. Jumlah perdarahan tergantung pada tipe dan
derajat keparahan hemofilia. Tanda umum lainnya adalah :
 Perdarahan pada sendi (hemartrosis) yang tampak sebagai pembengkakan,
nyeri, atau rasa kencang pada sendi. Biasanya mengenai sendi lutut, siku, dan
pergelangan kaki. Biasanya tampak pada anak saat mulai merangkak.
 Perdarahan dibawah kulit (memar) atau otot atau jaringan lunak yang
menyebabkan timbunan darah pada area tersebut (hematoma).
 Perdarahan pada mulut dan gusi dan perdarahan yang sulit berhenti setelah
menyikat gigi.
 Perdarahan berkepanjangan setelah sirkumsisi atau ekstraksi gigi.
 Perdarahan intrakranial pada neonatus setelah persalinan yang sulit.
 Epistaksis yang sering dan sulit dihentikan.
2.4.4 Diagnosis
Diagnosis mencakup tes penyaring dan tes faktor pembekuan. Tes penyaring adalah
pemeriksaan darah yang menunjukkan apakah darah membeku dengan baik. Tes penyaring
terdiri atas :
a. Pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL). Pemeriksaan DPL umumnya normal pada
penderita hemofilia tanpa perdarahan. Apabila penderita sedang mengalami
perdarahan berat atau jangka waktu lama, hemoglobin dan eritrosit akan menurun.
b. Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) test, pemeriksaan ini mengukur
berapa waktu yang dibutuhkan darah untuk membeku. Tes ini mengukur kemampuan
pembekuan faktor VIII, IX, XI, dan XII. Pemeriksaan akan menunjukkan
pemanjangan waktu pembekuan, baik pada hemofilia A atau B. Pada hemofilia berat,
nilai APTT akan meningkat 2-3 kali.
c. Prothrombin Time (PT) test. Pemeriksaan ini mengukur kemampuan pembekuan
faktor I, II, VII, dan X. Apabila ada salah satu faktor yang kadarnya rendah, akan
dibutuhkan waktu lebih panjang untuk pembekuan darah. Biasanya tes ini
menunjukkan hasil yang normal pada penderita hemofilia.
d. Pemeriksaan kadar fibrinogen. Pemeriksaan ini juga membantu menilai kemampuan
pembekuan darah. Biasanya pemeriksaan ini dilakukan apabila pasien memiliki nilai
PT atau aPTT atau keduanya yang abnormal. Fibrinogen adalah nama lain dari faktor
I.
e. Tes faktor pembekuan (factor assay) dibutuhkan untuk diagnosis gangguan
perdarahan dan menunjukkan tipe hemofilia serta derajat keparahannya. Faktor yang
diperiksa adalah faktor VIII, faktor IX, dan faktor von Willebrand (vWF Ag). Pada
hemofilia A, aktivitas faktor VIII rendah. Namun, perlu diingat bahwa kadar faktor
VIII meningkat pada kondisi inflamasi, infeksi, serta kerusakan jaringan.
Tabel 2.1 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Faktor Pemekuan (CDC, 2013)
Derajat Kadar Faktor VIII atau IX Dalam Darah
Normal 50-100%
Hemofilia Ringan >5% dan < 50%
Hemofilia Sedang 1% - 5%
Hemofilia Berat < 1%

Daftar Pustaka :
Badan Biro Pusat Statistik Sumatera Utara, Buku Laporan tahun 2004.
Moeslichan Mz. S. (2005), Masalah Hemofilia di Indonesia, Makalah Plenary Kongres
Nasional Hemofilia I, Jakarta, 10 – 11 September.

World Federation of Hemophilia. Guidlines for the management of hemophilia. Edisi ke-2.
Montreal: World Federation of Hemophilia; 2012.

Franchini M, Mannucci PM. Acquired haemophilia A: a 2013 update. Thromb Haemost. 2013
Dec;110(6) : 1114-20.

Dunn AL. Malignumncy in patients with haemophilia: a review literature. Haemophilia. 2010
May; 16 (3) : 427-36.

Anda mungkin juga menyukai