Anda di halaman 1dari 9

Hemofilia B

1. SUBJECT

Nama Muhammad Rizki Nugraha / 27 Juni 2022

Sex / usia Laki-laki / 21 tahun

Anamnesis
Riwayat penyakit:
Pasien datang dengan rencana sirkumsisi dengan dokter spesialis bedah umum. Keluhan
demam disangkal. Keluhan batuk disangkal. Keluhan pada BAB dan BAK disangkal.
Pasien tidak mengeluhkan lebam. Keluhan perdarahan spontan disangkal. Mual dan
muntah disangkal.
Riwayat pengobatan : Octanine Hemofilia B

RPD :
Hemofilia B
Acute appendicitis post appendectomy (2012)
Riwayat Asma (-)
Riwayat DM (-)

RPK :
Penyakit serupa (+) Ibu
HT (+)

Vital Sign
KU: Baik
GCS: E4V5M6

TD : 130/80 mmHg

HR : 80x/menit
RR : 16x/menit
T : 36,2 C
SpO2 : 98% Room air

Status Generalis
Kepala : normocephal, distribusi rambut merata, hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, reflex cahaya +/+
Telinga : normotia, membran timpani utuh, sekret (-), serumen (-)
Hidung : normosepta, darah (-), sekret (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak. Palpasi : ictus cordis teraba.
Perkusi :
batas atas kiri ICS II LPS sinistra,
batas atas kanan ICS II LPS dekstra,
batas bawah kiri ICS V LMC sinistra,
batas bawah kanan ICS IV LPS dextra.
Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Paru
Inspeksi : bentuk normal, pergerakan simetris saat statis dan dinamis.
Palpasi : vokal fremitus kanan sama dengan kiri. Perkusi : Sonor.
Auskultasi: rhonkhi (-), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar ,ikut gerak nafas.
Auskultasi : peristaltik kesan normal.
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba,
Perkusi : timpani (+),Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani (+).
Extremitas :
akral hangat, udema (-/-), capillary refill <2 detik

Hasil Pemeriksaan Lab:

Hb 17,3 gr/100ml

Hematokrit 52 vol%

Leukosit 7.100/mm3

Trombosit 252.000/mm3

HbsAg : Negative

PT : 13.1

APTT : 54.9

INR : 0.92
Hasil Pemeriksaan Radiologi OS Femur Dextra

Kesan :

Cor tidak membesar


Gambaran Bronchitis
Diagnosis

Fimosis dengan Hemofilia derajat berat

Planning

Pro Sirkumsisi Elektif

Rawat Inap raber Penyakit dalam

Inf. RL 20 tpm

Morphine Sulphate 10 mg/12 jam per oral

Paracetamol 500mg/8 jam

FFP 4 unit

Pro Sirkumsisi Elektif dengan protokol hemofilia B

2. OBJECT

Pendahuluan:

Hemofilia merupakan suatu penyakit dengan kelainan faal koagulasi yang bersifat herediter
dan diturunkan secara X - linked recessive pada hemofilia A dan B ataupun secara autosomal
resesif pada hemofilia C. Hemofilia terjadi oleh karena adanya defisiensi atau gangguan
fungsi salah satu faktor pembekuan yaitu faktor VIII pada hemofilia A serta kelainan faktor
IX pada hemofilia B dan faktor XI pada hemofilia C.

Secara umum, insiden hemofilia pada populasi cukup rendah yaitu sekitar 0,091% dan 85 %
nya adalah hemofilia A. Disebutkan pada sumber lain insiden pada hemofilia A 4-8 kali lebih
sering dari hemofilia B. Angka kejadian hemofilia A sekitar 1:10.000 dari penduduk laki-laki
yang lahir hidup, tersebar di seluruh dunia tidak tergantung ras, budaya, sosial ekonomi
maupun letak geografi. Insiden hemofilia A di Indonesia belum banyak dilaporkan, sampai
pertengahan 2001 disebutkan sebanyak 314 kasus hemofilia A. Sedangkan insiden hemofilia
B diperkirakan 1:25.000 laki-laki lahir hidup. Hemofilia C yang diturunkan secara autosomal
resesif dapat terjadi pada laki-laki maupun pada perempuan. Manifestasi perdarahan yang
timbul bervariasi dari ringan , sedang dan berat. Dapat berupa perdarahan spontan yang berat,
kelainan pada sendi, nyeri menahun, perdarahan pasca trauma atau tindakan medis ekstraksi
gigi atau operasi.

Pada kaskade koagulasi, faktor VIII akan mengaktifkan faktor X sehingga menjadi faktor X
aktif. Faktor X aktif ini merupakan faktor utama dari rangkaian proses hemostasis dan
merupakan jalur bersama antara jalur intrinsik dan jalur extrinsik Kekurangan salah satu dari
faktor VIII aktif atau faktor IX aktif menyebabkan penurunan aktifitas platelet Xase, pada
keadaan ini maka pembentukan format klot akan melambat oleh karena pembentukan
trombin sangat menurun, sumbat trombosit yang terjadi akan rapuh yang menyebabkan
mudah terjadi perdarahan.

Diagnosis hemofilia B ditegakkan berdasar keluhan perdarahan yang khas, adanya riwayat
keluarga, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan APTT yang
memanjang dan adanya penurunan faktor VIIIC.

Epidemiologi :

Penyakit ini bermanifestasi klinik pada laki-laki. Angka kejadian hemofili B sekitar 1 :
25.000-30.000 orang. Belum ada data mengenai angka kekerapan di Indonesia, namun
diperkirakan 20.000 kasus dari 200 juta jiwa penduduk Indonesia. Kasus hemofilia A lebih
sering dijumpai dibandingkan hemofilia B yaitu mencapai 80-85% dan 10-15% tanpa
memandang ras, geografi dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen secara spontan mencapai
20-30% yang terjadi pada pasien tanpa riwayat keluarga.

Etiopatogenesis:

Hemofilia adalah penyakit keturunan yang menyebabkan gangguan pembekuan darah pada
faktor VIII (Anti Hemophilic) yang disebut Hemofilia A, faktor IX (Christmas Factor) yang
disebut Hemofilia B dan faktor XI yang disebut Hemofilia C. Kelainan ini disebabkan oleh
mutasi gen kromosom X (X- linked recessive) sama seperti penyakit keturunan lainnya. Ini
berarti penyakit inimenyebabkanperempuansebagaicarrrier(pembawasifat) kepadaanaklaki-
laki sebagai penderita walaupun 30% dari penderita hemofilia tidak memiliki keluarga
sebagai penderita hemofilia. Hal ini dikarenakan sebagian besar kasus hemofilia disebabkan
oleh mutasi gen secara spontan.
Ketika terjadi defisit faktor XIII, IX, dan XI maka pembentukan bekuan darah akan terlambat
dan tidak stabil, oleh karena itu penderita hemofilia biasanya akan sulit mengalami
pendarahan tetapi jika sudah terjadi pendarahan maka darah akan sulit berhenti. Pada saat ada
pendarahan pada ruang yang tertutup maka akan berhenti akibat efek tamponade tetap jika
terjadi pendarahan pada ruang yang terbuka maka efek tamponade tidak ada dan akan terjadi
pendarahan masif

Gejala Klinis:

Gambaran klinis yang sering terjadi pada pasien dengan hemofilia adalah adanya perdarahan
berlebihan secara spontan setelah luka ringan, pembengkakan, nyeri, dan kelainan-kelainan
degeneratif pada sendi, serta keterbatasan gerak. Hematuria spontan dan perdarahan
gastrointestinal juga kecacatan terjadi akibat kerusakan sendi.

Pada penderita hemofilia ringan perdarahan spontan jarang terjadi dan perdarahan terjadi
setelah trauma berat atau operasi. Pada hemofilia sedang, perdarahan spontan dapat terjadi atau
dengan trauma ringan. Sedangkan pada hemofilia berat perdarahan spontan sering terjadi
dengan perdarahan ke dalam sendi, otot dan organ dalam. Perdarahan dapat mulai terjadi
semasa janin atau pada proses persalinan. Umumnya penderita hemofilia berat perdarahan
sudah mulai terjadi pada usia di bawah 1 tahun. Pendarahan dapat terjadi di mukosa mulut,
gusi, hidung, saluran kemih, sendi lutut, pergelangan kaki dan siku tangan, otot iliospoas, betis
dan lengan bawah. Pendarahan di dalam otak, leher atau tenggorokan dan saluran cerna yang
masif dapat mengancam jiwa.

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006) dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam menyatakan bahwa Hemartrosis paling sering ditemukan (85%) dengan
lokasi berturut-turut sebagai berikut, sendi lutut, siku, pergelangan kaki, bahu, pergelangan
tangan dan lainnya. Sendi engsel lebih sering mengalami hemartrosis dibandingkan dengan
sendi peluru karena ketidakmampuannya menahan gerakan berputar dan menyudut pada saat
gerakan volunter maupun involunter, sedangkan sendi peluru lebih mampu menahan beban
tersebut karena fungsinya.

Hematoma intramaskuler terjadi pada otot – otot fleksor besar, khususnya pada otot betis, otot-
otot region iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan bawah. Hematoma ini sering
menyebabkan kehilangan darah yang nyata. Pendarahan intracranial bisa terjadi secara spontan
atau trauma yang menyebabkan kematian. Retriperitoneal dan retrofaringeal yang
membahayakan jalan nafas dan mengancam kehidupan. Kulit mudah memar, pendarahan
memanjang akibat luka, hematuria spontan, epiktasis, hemartrosis (perdarahan pada persendian
menyebabkan nyeri, pembengkakan, dan keterbatasan gerak, serta pendarahan jaringan lunak.
Pembengkakan, keterbatasan gerak, nyeri dan kelainan degenerative pada persendian yang lama
kelamaan dapat mengakibatkan kecacatan

Diagnosis :
1. Anamnesis :
Pada pasien dengan hemofilia anamnesis difokuskan pada riwayat yang dialami pasien
seperti : riwayat mudah memar, perdarahan spontan, pertanyaan mengenai lokasi memar
tau perdarahan spontan, riwayat trauma atau operasi dan riwayat perdarahan pada
keluarga.
2. Pemeriksaan Fisik
- Identifikasi tanda perdarahan seperti pada mukosa, echimosis/purpura, perdarahan
jaringan lunak, saluran cerna, epistaksis dan hemoptysis.
- Lokasi perdarahan berdasarkan prevalensi kasus terbanyak adalah hemartrosis (70-
80%), jaringan otot dan fascia (10-20%), sistem saraf pusat (<5%)
3. Pemeriksaan laboratorium:
1. Faal Hemostatis : untuk skrining gangguan diatesis hemorhagik
2. Bleeding time : untuk skrining gangguan diatesis hemorhagik
3. Laboratorium : darah perifer lengkap dan diff count, test fungsi hati test fungsi ginjal.
4. Kadar factor IX : untuk diagnostik definitive
5. Inhibitor factor IX : untuk pasien yang tidak respon setelah mendapatkan infus FIX
yang adekuat saat perdarahan atau jika kadar FIX lebih rendah dari prediksi dan tidak
ditemukan kenaikan FIX setelah infus
4. Derajat keparahan
Derajat Ringan Kadar faktor pembekuan 5-40 IU/dL, manifestasi
perdarahan spontan sangat jarang
Derajat Sedang Kadar faktor pembekuan 1-5 IU/dL, manifestasi perdarahan
spontan sangat jarang
Derajat Berat Kadar faktor pembekuan < 1 IU/dL, manifestasi perdarahan
spontan sangat jarang
Komplikasi:
Komplikasi yang sering ditemukan adalah penimbunan darah intra articular menetap yang
disebabkan oleh degenerasi kartilago, tulang dan sendi secara progresif (artropati). Dapat
menyebabkan penurunan hingga rusaknya fungsi sendi. Hemartrosis jika tidak dikelola dengan
baik akan menimbulkan synovitis kronis akibat dari peradangan synovial yang tidak berhenti.
Sendi yang mengalami komplikasi pada umumnya adalah sendi lutut, pergelangan kaki, dan
siku.
Perdarahan berkepanjangan akibat Tindakan medis akan ditemukan apabila tidak dilakukan
terapi pencegahan dengan memberikan factor pembekuan darah. Perdarahan intracranial
jarang terjadi, namun apabila terjadi akan berakibat fatal.

Tatalaksana
1. Terapi suportif
Terapi seperti menghindari luka/benturan, analgetika, rehabilitasi medik, pemberian
antifibrinolitik, pemberian kortikosteroid.
2. Terapi pengganti factor pembekuan
Recombinant atau plasma derived factor IX. Dosis pemeliharaan ½ dosis awal dan
diberikan bolus pelan intravena. Pemeriksaan kadar factor IX dilakukan setelah 24 jam
pemberian secara intravena. Rumus yang digunakan untuk menggantikan factor IX
adalah : Dosis = (target kadar factor – baseline) x BB (kg).
Terapi antifibrinolis : Asam traneksamat bermanfaat pada perdarahan ringan-sedang
dengan dosis oral 4 x 1 gram/hari.
3. Terapi perdarahan
Dosis factor IX tergantung lokasi perdarahan dan diberikan secara bolus pelan atau infus
kontinyu dengan dosis 3 unit/Kg/jam
a. Hemarthrosis : 30-40 Unit/KgBB bolus pelan IV selama 1-2 hari
b. Hematoma intramuscular : 30-40 Unit.KgBB bolus pelan IV selama 1-2 hari
c. Gastrointestinal : 80-100 unit/KgBB bolus pelan IV kemudian 70-80 unit/KgBB
secara infus kontinyu hingga klinis membaik
d. Mukosa oral : 50 Unit/KgBB bolus pelan IV sampai klinis membaik.
e. Hematuria : 80-100 Unit/KgBB secara infus kontinyu sampai klinis membaik
f. Saraf pusat : 100 Unit/KgBB bolus pelan kemudian 50 Unit/KgBB/hari infus
kontinyu sampai klinis membaik

Prognosis :

Ad vitam (hidup) : Dubia ad bonam


Ad Sanationam (Sembuh) : Dubia ad malam
Ad Fungsionam (Fungsi) : Dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai