Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

PRAKTIKUM FARMASI RUMAH SAKIT

“COAGULATION DISORDERS”

Disusun Oleh:
Kelompok A5 (Kasus 3)
Muhammad Abi Rohman (1820364037)
Muhammad Firdaus (1820364038)

Dosen pengampu:
Dr. Jason Merari P, M.M., M.Si., Apt

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Gangguan pada proses pembekuan darah, dapat berupa kelainan yang diturunkan
secara genetik atau kelainan akibat gangguan pembekuan darah yang didapat.
Gangguan pembekuan darah yang didapat biasanya lebih kompleks dan seringkali
disertai gangguan fungsi trombosit, abnormalitas inhibitor koagulasi dan pembuluh
darah. Gangguan pembekuan darah didapat bisa disebabkan oleh adanya gangguan
faktor koagulasi karena kekurangan faktor pembekuan yang tergantung vitamin K,
penyakit hati, percepatan penghancuran faktor koagulasi, dan inhibitor koagulasi.
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang paling
sering dijumpai, bermanifestasi sebagai episode perdarahan intermiten. Hemofilia
disebabkan oleh mutasi gen faktor VIII (FVIII) atau faktor IX (FIX),
dikelompokkan sebagai hemofolia A dan hemofiliaB. Kedua gen tersebut terletak pada
kromosom X, sehingga termasuk penyakit resesif terkait-X. Oleh karena itu, semua
anak perempuan dari laki-laki yang menderita hemofilia adalah karier penyakit, dan
anak laki-laki tidak terkena. Anak laki-laki dari perempuan yang karier memiliki
kemungkinan 50% untuk menderita penyakit hemofilia. Dapat terjadi wanita
homozigot dengan hemofilia (ayah hemofilia, ibu karier), tetapi keadaan ini sangat
jarang terjadi. Kira-kira 33% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dan mungkin
akibat mutasi spontan.
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan factor pembekuan darah
yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X (Xh).
Meskipun hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 20-30% pasien tidak
memiliki riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah, sehingga diduga
terjadimutasi spontan akibat lingkungan endogen maupun eksogen (Aru et al, 2009).
Gangguan koagulasi merupakan kasus terbanyak yang menjadi kasus rujukan di
departemen hematologi di hampir banyak negara. Dari penelitian yang dilakukan oleh
Burshan et all di India Institute of Medical Sciences, menunjukkan angka kejadian
kasus koagulasi sebanyak 1342 kasus, 1040 (77,5%) kasus diakibatkan oleh penyebab
khusus dan 302 (22,5%) kasus akibat penyakit keturunan. Faktor selain keturunan
yang dapat menyebabkan kelainan koagulasai antara lain intavascular coagulation
sebanyak 297 (28.6%) kasus, hepatic coagulation 218 (20.9%) kasus, intracarnial
bleeds 154 (14.8%) kasus, akibat malignance 89 (8.6%) kasus, dan akibat over drug
sebanyak 282 (27.1%) kasus. Dengan adanya data tersebut menunjukkan bahwa
banyak faktor diluar keturunan yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit
koagulasi.

B. ETIOLOGI.
1. Faktor kongenital
Bersifat resesif autosomal herediter. Kelainan timbul akibat sintesis faktor
pembekuan darah menurun. Gejalanya berupa mudahnya timbul kebiruan pada
kulit atau perdarahan spontan atau perdarahan yang berlebihan setelah suatu
trauma.
2. Faktor didapat
 Biasanya disebabkan oleh defisiensi faktor II (protrombin) yang terdapat pada
keadaan berikut:
 Neonatus, karena fungsi hati belum sempurna sehingga pembekuan faktor darah
khususnya faktor II mengalami gangguan.
 Defisiensi vitamin K, hal ini dapat terjadi pada penderita ikterus obstruktif,
fistula biliaris, absorbsi vitamin K dari usus yang tidak sempurna atau karena
gangguan pertumbuhan bakteri usus.
 Beberapa penyakit seperti sirosis hati, uremia, sindrom nefrotik dan lain-lain
 Terdapatnya zat antikoagulansia (dikumarol, heparin) yang bersifat antagonistik
terhadap protrombin.
 Disseminated intravascular coagulation (DIC).

C. PATOFISIOLOGI
Proses hemostasis tergantung pada faktor koagulasi, trombosit dan pembuluh
darah. Mekanisme hemostasis terdiri dari respons pembuluh darah, adesi trombosit,
agregasi trombosit, pembentukan bekuan darah, stabilisasi bekuan darah, pembatasan
bekuan darah pada tempat cedera oleh regulasi antikoagulan, dan pemulihan aliran
darah melalui proses fibrinolisis dan penyembuhan pembuluh darah. Cedera pada
pembuluh darah akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan terpaparnya
darah terhadap matriks subendotelial.
Faktor von Willebrand (VWF) akan teraktifasi dan diikuti adesi trombosit.
Setelah proses ini, adenosine diphosphatase, tromboxane A2 dan protein lain trombosit
dilepaskan granul yang berada di dalam trombosit dan menyebabkan agregasi
trombosit dan perekrutan trombosit lebih lanjut. Cedera pada pembuluh darah juga
melepaskan tissue factor dan mengubah permukaan pembuluh darah, sehingga
memulai kaskade pembekuan darah dan menghasilkan fibrin. Selanjutnya bekuan
fibrin dan trombosit ini akan distabilkan oleh faktor XIII.
Pada penderita hemofilia dimana terjadi defisit F VIII atau F IX maka
pembentukan bekuan darah terlambat dan tidak stabil. Oleh karena itu penderita
hemofilia tidak berdarah lebih cepat, hanya perdarahan sulit berhenti. Pada perdarahan
dalam ruang tertutup seperti dalam sendi, proses perdarahan terhenti akibat efek
tamponade. Namun pada luka yang terbuka dimana efek tamponade tidak ada,
perdarahan masif dapat terjadi. Bekuan darah yang terbentuk tidak kuat dan
perdarahan ulang dapat terjadi akibat proses fibrinolisis alami atau trauma ringan.
Defisit F VIII dan F IX ini disebabkan oleh mutasi pada gen F8 dan F9. Gen F8
terletak di bagian lengan panjang kromosom X di regio Xq28, sedangkan gen F9
terletak di regio Xq27. Terdapat lebih dari 2500 jenis mutasi yang dapat terjadi, namun
inversi 22 dari gen F8 merupakan mutasi yang paling banyak ditemukan yaitu sekitar
50% penderita hemofilia A yang berat. Mutasi gen F8 dan F9 ini diturunkan secara x-
linked resesif sehingga anak laki-laki atau kaum pria dari pihak ibu yang menderita
kelainan ini. Pada sepertiga kasus mutasi spontan dapat terjadi sehingga tidak dijumpai
adanya riwayat keluarga penderita hemofilia pada kasus demikian.
Wanita pembawa sifat hemofilia dapat juga menderita gejala perdarahan
walaupun biasanya ringan. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa 5 di
antara 55 orang penderita hemofilia ringan adalah wanita.

D. MANIFESTASI KLINIK
 Perdarahan ke dalam otot dapat terjadi ditandai dengan pembentukan hematoma
(compartment syndrome).
 Pendarahan dari mulut atau mimisan mungkin terjadi. Perdarahan setelah
prosedur dental adalah umum, dan mengeluarkan darah dari gusi dapat terjadi
pada anak-anak ketika gigi baru tumbuh.
 Perdarahan dalam saluran pencernaan dapat menimbulkan darah dalam tinja.
 Perdarahan dalam saluran kemih dapat mengakibatkan darah dalam
urin(hematuria).
 Perdarahan intrakranial (perdarahan ke dalam otak atau tengkorak) dapat
menyebabkan gejala seperti mual, muntah, dan / atau kelesuan.
 Peningkatan perdarahan setelah operasi atau trauma adalah karakteristik dari
hemophilia.
E. KLASIFIKASI
1. Hemofilia A
a. Hemofilia Klasik; karena jenis hemofilia ini adalah yang paling banyak
kekurangan faktor pembekuan pada darah.
b. Hemofilia kekurangan Factor VIII; terjadi karena kekurangan faktor 8 (Factor
VIII) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan
darah.
2. Hemofilia B
a. Christmas Disease; karena di temukan untuk pertama kalinya pada seorang
bernama Steven Christmas asal Kanada.
b. Hemofilia kekurangan Factor IX; terjadi karena kekurangan faktor 9 (Factor
IX) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan
darah.
Derajat penyakit pada hemofilia :
1.Berat : Kurang dari 1 % dari jumlah normal. Penderita hemofilia berat dapat
mengalami beberapa kali perdarahan dalam sebulan. Kadang-kadang
perdarahan terjadi begitu saja tanpa sebab yang jelas.
2.Sedang: 1% – 5% dari jumlah normalnya. Penderita hemofilia sedang lebih
jarang mengalami perdarahan dibandingkan hemofilia berat. Perdarahan kadang
terjadi akibat aktivitas tubuh yang terlalu berat, seperti olahraga yang
berlebihan.
3.Ringan : 6 % – 50 % dari jumlah normalnya. Penderita hemofilia ringan
mengalami perdarahan hanya dalam situasi tertentu, seperti operasi, cabut gigi,
atau mengalami luka yang serius (Betz, Cecily Lynn. 2002).

F. GEJALA KLINIS
Hemofilia A dan hemofilia B secara klinis tidak dapat dibedakan.
Gejala :
 Hemathrosis * (terutama lutut, siku dan pergelangan kaki)
 Nyeri sendi bengkak dan eritema
 Kehangatan kulit
 Turunnya rentang gerak
 Perdarahan otot
 Bengkak
 Nyeri dengan gerakan otot yang terkena
 Tanda-tanda kompresi saraf
 Potensi kehilangan darah yang mengancam jiwa, terutama dengan
 Paha berdarah
 Mulut berdarah dengan ekstraksi gigi atau trauma
 Pendarahan Genitourinari
 Hematuria
 Intracranial hemorrhage (spontan atau mengikuti Trauma), dengan sakit
kepala, muntah, perubahan mental
 Status, dan tanda neurologis fokal
 Perdarahan yang berlebihan dengan operasi.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan PT (Partial Tromboplstin) dan APPT (Activated Partial
Tromboplastin Time). Bila masa protombin memberi hasil normal dan APPT
memanjang, memberi kesan adanya defisiensi (kurang dari 25%) dari aktivitas
satu atau lebih factor koagulasi plasma (F XII, F XI, F IX, F VIII).
2. Pemeriksaan kadar faktor VIII dan IX. Bila APPT pada pasien dengan
perdarahan yang berulang lebih dari 34 detik perlu dilakukan pemeriksaan
assay kuantitatif terhadap F VIII dan F IX untuk memastikan diagnosa.
3. Uji skrining koagulasi darah
a. Jumlah trombosit
b. Masa protombin
c. Masa tromboplastin parsial
d. Masa pembekuan thrombin
e. Assay fungsional faktor VIII dan IX
H. KOMPLIKASI
Menurut Handayani (2008), komplikasi yang dapat terjadi pada pasien hemofilia
adalah perdarahan intrakranium, infeksi oleh virus imunodefisiensi manusia sebelum
diciptakannya F VIII artificial, kekakuan sendi, hematuria spontan dan perdarahan
gastrointestinal, serta resiko tinggi terkena AIDS akibat transfusi darah.
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita hemophilia :
a. Arthritis
b. Sindrom kompartemen
c. Atrofi otot
d. Kontraktur otot
e. Perdarahan intracranial
f. Kerusakan saraf
g. Hipertensi
h. Kerusakan ginjal
i. Splenomegali
I. PENATALAKSANAAN
1.Terapi Suportif
a. Melakukan pencegahan baik menghindari luka atau benturan
b. Merencanakan suatu tindakan operasi serta mempertahankan kadar
aktivitas faktor pembekuan sekitar 30-50%
c. Lakukan Rest, Ice, Compressio, Elevation (RICE) pada lokasi perdarahan
untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi.

d. Kortikosteroid, untuk menghilangkan proses inflamasi pada sinovitis akut


yang terjadi setelah serangan akut hemartrosis
e. Analgetik, diindikasikan pada pasien hemartrosis dengan nyeri hebat,
hindari analgetik yang mengganggu agregasi trombosit
f. Rehabilitasi medik, sebaiknya dilakukan sedini mungkin secara
komprehensif dan holistic dalam sebuah tim karena keterlambatan
pengelolaan akan menyebabkan kecacatan dan ketidakmampuan baik fisik,
okupasi maupun psikososial dan edukasi. Rehabilitasi medic atritis
hemofilia meliputi : latihan pasif/aktif, terapi dingin dan panas, penggunaan
ortosis, terapi psikososial dan terapi rekreasi serta edukasi.
2.Terapi Pengganti Faktor Pembekuan
Dilakukan dengan memberikan F VIII atau F IX baik rekombinan,
kosentrat maupun komponen darah yang mengandung cukup banyak factor
pembekuan tersebut. Hal ini berfungsi untuk profilaktif/untuk mengatasi episode
perdarahan. Jumlah yang diberikan bergantung pada factor yang kurang.
Terapi non farmakologi
 Mencegah perdarahan dengan menghindari trauma
 Tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan perdarahan (seperti
mencabut gigi atau sirkumsisi tanpa persiapan)
 Menjauhi obat-obatan terutama aspirin dan NSAID (kecuali inhibitor COX2)
 Mengistirahatkan bagian yang cedera, untuk meminimalkan cedera ataupun
penambahan cedera
 Apabila kaki yang mengalami perdarahan, gunakan alat bantu seperti tongkat.
 Kompres bagian tubuh yang terluka dan daerah sekitarnya dengan es atau
bahan lain yang lembut dan dingin. Tekan dan ikat, sehingga bagian tubuh
yang mengalami perdarahan tidak dapat bergerak (immobilisasi).
 Gunakan perban elastis dan letakkan bagian tubuh tersebut dalam posisi lebih
tinggi dari posisi dada dan letakkan diatas benda yang lembut seperti
bantal (Rotty, 2009).
Terapi Farmakologi
a. Desmopressin
Desmopressin (Deamino-D-arginine vasopressin (DDAVP) Pada orang
dengan hemofilia A ringan dan pembawa dengan tingkat FVIII rendah, yang
tingkat faktor dasar tidak terlalu rendah, mungkin untuk mengelola minor
operasi atau prosedur gigi dengan menggunakan desmopressin (DDAVP).
Sebuah pra- dosis uji operasi desmopresin (DDAVP) dengan penilaian
tingkat FVIII mungkin dipertimbangkan. Dosis intravena atau subkutan
0,3μg/kg biasanya meningkatkan kadar FVIII faktor dengan 3-5 kali tingkat
dasar. Dosis berulang mungkin diberikan, namun respon dapat menurun dan
faktor koagulasi penggantian mungkin diperlukan. Tingkat faktor koagulasi
yang diinginkan (tingkat puncak) untuk pasien dengan hemofilia A ringan
atau pembawa adalah sama dengan pasien dengan penyakit berat.
Desmopressin (DDAVP) harus dihindari pada anak di bawah 2 tahun tahun
dan wanita selama masa nifas, dan keseimbangan cairan dan elektrolit
dipantau pada semua pasien lain karena risiko hiponatremia. Cairan
pembatasan selama terapi desmopressin (DDAVP) harus dipertimbangkan.
Harus digunakan dengan hati-hati pada orang tua karena risiko arteri koroner
penyakit dan spasme.
b. Asam traneksamat
Asam traneksamat adalah agen antifibrinolitik yang secara kompetitif
menghambat aktivasi plasminogen ke plasmin. Sebagai stabilitas bekuan dan
berguna sebagai ajuvan terapi di hemofilia dan beberapa lainnya gangguan
perdarahan. Perawatan teratur dengan asam traneksamat saja tidak ada
gunanya dalam pencegahan hemarthroses di hemofilia. Namun, sangat
berharga dalam mengendalikan perdarahan dari permukaan kulit dan mukosa
(misalnya oral pendarahan, epistaksis, menorrhagia). Asam traneksamat
sangat berharga dalam pengaturan operasi gigi dan dapat digunakan untuk
mengontrol pendarahan oral yang terkait dengan erupsi atau penumpahan
gigi.
 Dosis / administrasi
1.Asam traneksamat biasanya diberikan sebagai tablet oral tiga hingga empat
kali sehari. Itu juga bisa diberikan oleh infus intravena dua hingga tiga kali
sehari, dan juga tersedia sebagai obat kumur.
2.Gangguan gastrointestinal (mual, muntah, atau diare) mungkin jarang
terjadi sebagai efek samping, tetapi ini gejala biasanya sembuh jika dosis
dikurangi. Ketika diberikan intravena, itu harus diinfus perlahan-lahan
karena injeksi cepat dapat mengakibatkan pusing dan hipotensi.
3.Formulasi sirup juga tersedia untuk anak menggunakan. Jika ini tidak
tersedia, tablet bisa dilumatkan dan dilarutkan dalam air bersih untuk
topikal digunakan pada lesi mukosa berdarah.
4.Asam traneksamat umumnya diresepkan untuk tujuh hari setelah
pencabutan gigi untuk mencegah perdarahan pasca operasi.
5.Asam traneksamat diekskresikan oleh ginjal dan Dosis harus dikurangi jika
ada kerusakan ginjal untuk menghindari akumulasi beracun.
6.Penggunaan asam traneksamat merupakan kontraindikasi untuk
pengobatan hematuria karena penggunaannya dapat mencegah
pembubaran gumpalan di ureter, mengarah ke uropati obstruktif yang
serius dan potensial permanen hilangnya fungsi ginjal.
7.Demikian pula, obat ini kontraindikasi dalam pengaturan bedah toraks, di
mana mungkin terjadi dalam pengembangan hematoma yang tidak larut.
8. Asam traneksamat dapat diberikan sendiri atau bersama dengan dosis
standar faktor koagulasi konsentrat.
9.Asam traneksamat tidak boleh diberikan kepada pasien dengan defisiensi
FIX yang menerima prothrombin konsentrat kompleks, karena ini akan
memperburuk risiko tromboemboli.
c. Epsilon aminocaproic acid
Epsilon aminocaproic acid (EACA) mirip dengan asam traneksamat
tetapi kurang banyak digunakan seperti yang dimilikinya waktu paruh
plasma yang lebih pendek, kurang kuat, dan lebih beracun
 Dosis / administrasi
1. EACA biasanya diberikan kepada orang dewasa secara lisan atau secara
intravena setiap empat hingga enam jam hingga maksimum 24 g / hari
pada orang dewasa.
2. Formulasi sirup 250 mg / ml juga tersedia.
3. Gangguan gastrointestinal merupakan komplikasi umum; mengurangi
dosis sering membantu.
4. Miopati adalah reaksi merugikan yang jarang secara spesifik dilaporkan
dalam hubungan dengan asam aminocaproic terapi (tetapi bukan asam
traneksamat), biasanya terjadi setelah pemberian dosis tinggi untuk
beberapa minggu.
5. Miopati sering menyakitkan dan berhubungan dengan peningkatan kadar
creatine kinase dan bahkan mioglobinuria.
6. Resolusi penuh mungkin diharapkan setelah perawatan obat dihentikan.
d. Penanganan nyeri pasca operasi
 Injeksi intrakuskular analgesia harus dihindari.
 Post-operasi nyeri harus dikelola dalam koordinasi dengan ahli anestesi.
 Awalnya, morfin intravena atau analgesik narkotika lainnya dapat
diberikan, diikuti oleh opioid oral seperti tramadol, kodein, hidrokodon,
dan lainnya.
 Bila nyeri berkurang, parasetamol / asetaminofen dapat digunakan.

J. GUIDLINE TERAPI
BAB II
PEMBAHASAN KASUS

KASUS 3. COAGULATION DISORDERS

A. Identitas Pasien
Nama : An. A
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : Tanah Grogot
No. Rekam Medis : 14 00 63 70
Masuk Rumah Sakit : Sabtu, 11 Januari 2014.
B. Keluhan Utama
Rujukan dari RSUD Panglima Sebaya Tanah Grogot. Pasien dirujuk dengan
diagnosa post evakuasi hematom genu kiri + riw. Hemofilia. Saat ini keluhan bengkak
pada lutut kiri terasa hangat dan nyeri.
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien sudah 3 kali jatuh dan mengalami trauma pada lutut kiri, pada trauma yang
pertama dan kedua lutut bengkak namun pasien masih bisa berjalan. Pada trauma yang
ketiga tanggal 5 januari 2014 lutut kiri bertambah bengkak hingga tidak bisa berjalan.
Pasien dibawa berobat oleh orang tuanya dan di RS panglima sebaya dilakukan operasi
evakuasi hematom pada lutut kiri tanggal 8 januari 2014. Pasien memiliki riwayat
penyakit hemofilia sejak 2010. Tanggal 11 Januari pasien dirujuk ke RSUD AWS
untuk pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Sejak usia 3 tahun pasien sering mengeluhkan gusi siring berdarah. Terkadang
pasien juga mengeluhkan lebam pada kulit dan mimisan. Pada tahun 2010 pasien
MRS diperiksa darah dan dinyatakan menderita hemofilia. Pasien juga memiliki
riwayat sirkumsisi dengan pemberian koate (antihemofilia faktor VIII).
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa.
F. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di ruang Melati RSUD.A.W.Sjahranie pada hari senin
18 Januari 2014.
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, E4V5M6
Tanda-tanda Vital : Tekanan Darah : mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi Napas : 20 x/menit, teratur
Temperatur : 37.2oC
Status Gizi : Usia 9 tahun
BB = 25 Kg
TB = 130 cm
IMT = 14.79
IMT : Berat badan (kg)
Tinggi badan2 (meter)
25 kg/1,32 m = 25/ 1.69= 14.79
Kesimpulan : Status gizi berdasarkan BB/U adalah baik.
G. Pemeriksaan Penunjang
H. Diagnosis
Hemofilia A
I. Penatalaksanaan

J. Follow Up Pasien
K. Prognosis
Dubia ad bonam
L. Pertanyaan
Lakukan Analisis Problem Pengobatan dan saran pengatasannya menggunakan
metode SOAP

PENYELESAIAN KASUS

FORM DATA BASE PASIEN


UNTUK ANALISIS PENGGUNAAN OBAT

Identitas Pasien

Nama : An. A No Rek medik : 14 00 63 70


Tempat/tgl lahir : - Dokter yg merawat : dr. Sp.A
Alamat : Tanah Grogot
Ras :-
Pekerjaan :-
Sosial :-
Riwayat masuk RS :
Rujukan dari RSUD Panglima Sebaya Tanah Grogot. Pasien dirujuk dengan
diagnosa post evakuasi hematom genu kiri + riw. Hemofilia. Saat ini keluhan bengkak
pada lutut kiri terasa hangat dan nyeri.
Riwayat Penyakit Terdahulu
Sejak usia 3 tahun pasien sering mengeluhkan gusi siring berdarah. Terkadang
pasien juga mengeluhkan lebam pada kulit dan mimisan. Pada tahun 2010 pasien MRS
diperiksa darah dan dinyatakan menderita hemofilia. Pasien juga memiliki riwayat
sirkumsisi dengan pemberian koate (antihemofilia faktor VIII).
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien sudah 3 kali jatuh dan mengalami trauma pada lutut kiri, pada trauma yang
pertama dan kedua lutut bengkak namun pasien masih bisa berjalan. Pada trauma yang
ketiga tanggal 5 januari 2014 lutut kiri bertambah bengkak hingga tidak bisa berjalan.
Pasien dibawa berobat oleh orang tuanya dan di RS panglima sebaya dilakukan operasi
evakuasi hematom pada lutut kiri tanggal 8 januari 2014. Pasien memiliki riwayat
penyakit hemofilia sejak 2010. Tanggal 11 Januari pasien dirujuk ke RSUD AWS untuk
pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa.
Riwayat Sosial :
Kegiatan Keterangan
Pola makan -
Vegetarian Ya/tidak
Merokok Ya/tidak - batang/hari
Meminum alkohol Ya/tidak
Meminum obat herbal Ya/tidak

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di ruang Melati RSUD.A.W.Sjahranie pada hari senin 18
Januari 2014.
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, E4V5M6 (arti : kesadaran normal dengan cedera kepala
ringan atau tidak ada)
Tanda-tanda Vital : Tekanan Darah : mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi Napas : 20 x/menit, teratur
Temperatur : 37.2oC
Status Gizi : Usia 9 tahun
BB = 25 Kg
TB = 130 cm
IMT = 14.79

IMT: Berat badan (kg)


Tinggi badan2 (meter)
25 kg/1,32 m = 25/1,69 = 14.79
Kesimpulan :Status gizi berdasarkan BB/U adalah baik.

Riwayat Alergi : -

Keluhan/Tanda
Tanggal Subyektif Obyektif
11 januari Bengkak pada lutut Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
2014 kiri dan nyeri Darah Lengkap
Leukosit 7.200 4.000-10.000
Hemoglobin 9,0 11-16
Hematokrit 28,1 37-54
Trombosit 200.000 150.000-
450.000
Elektrolit
Natrium 135 135-155
Kalium 4,4 3,6-5,5
Chloride 107 95-108
Kimia darah
ureum 20,1 10-40
kretinium 0,6 0,5-1,5
GDS 98 60-150
Akral : hangat
12 januari Bengkak pada lutut
2014 kiri dan nyeri
Akral : hangat

13 januari Bengkak pada lutut T : 36,8O C,


2014 kiri dan nyeri RR : 20 x/1
N : 80x/1
Akral : hangat
Pemeriksaan Hasil Nilai
Normal
Darah Lengkap
Leukosit 4.650 4.000-
10.000
Hemoglobin 10,2 11-16
Hematokrit 29,5 37-54
Trombosit 167.000 150.000-
450.000
Bleeding time 3’ 1-6
Clotting time 10’ 1-15
APTT 48,3 detik 28-34 detik
PT 14,1 detik Kontrol 13,5
detik
14 januari Bengkak pada lutut T : 37O C,
2014 kiri dan nyeri RR : 18 x/1
N : 78x/1
Akral hangat
15 januari Bengkak pada lutut T : 36,9O C,
2014 kiri dan nyeri RR : 22 x/1
N : 84x/1
Akral : hangat
16 januari Bengkak pada lutut T : 37,2O C,
2014 kiri, dan nyeri tidak RR : 20 x/1
BAB selama 5 hari N : 82x/1
Akral hangat
17 januari Bengkak pada lutut T : 37O C,
2014 kiri dan nyeri tidak RR : 18 x/1
BAB selama 5 hari N : 80x/1
Akral hangat
18 januari Bengkak pada lutut T : 37,2O C,
2014 kiri, tidak BAB RR : 20 x/1
selama 5 hari N : 82x/1
Akral hangat

Hasil Laboratorium tanggal 5 Agustus 2010


Parameter Hasil Nilai normal Keterangan

APTT 76 detik Kontrol 33 detik ↑

Faktor VIII 3 Kontrol 109 ↓

Faktor IX 65 Kontrol 73 ↓

Kesan Hemofilia A

Hasil Laboratorium tanggal 11 januari 2014


Parameter Hasil Nilai normal Keterangan

Darah Lengkap

Leukosit 7.200 4000-10.000 N

Hb 9,0 11-16 ↓

Hct 28,1 37-54 ↓

Trombosit 200.000 150.000-450.000 N

Elektrolit
Na 135 135-155 N

Kalium 4,4 3,6-5,5 N

Chloride 107 95-108 N

Kimia Darah

Ureum 20,1 10-40 N

Kreatinin 0,6 0,5-1,5 N

GDS 98 60-150 N

Hasil Laboratorium tanggal 13 Januari 2014


Parameter Hasil Nilai normal Keterangan

Darah Lengkap

Leukosit 4.650 4000-10.000 N

Hb 10,2 11-16 ↓

Hct 29,5 37-54 ↓

Trombosit 167.000 150.000-450.000 N

Bleeding Time 3’ 1-6 N

Clotting Time 10’ 1-15 N

APTT 48,3 detik 28-34 detik ↑

PT 14,1 detik Kontrol 13,5 detik ↑

Riwayat Penyakit Dan Pengobatan :

Nama Penyakit Tanggal/tahun Nama obat


Hamarthrosis et causa 11 Januari 2014 Koate 25 U/kgbb selama 2 hari
Hemofilia Transfusi PRC 1 x 250 cc
Hamarthrosis et causa 12 Januari 2014 Koate 25 U/kgbb selama 2 hari
Hemofilia Inj. Ketorolac 5 mg extra
Indometasin 3 x 50 mg
Hamarthrosis et causa 13 Januari 2014 Koate 25 U/kgbb selama 2 hari
Hemofilia Inj. Ketorolac 5 mg extra
Indometasin 3 x 50 mg
Inj. Ranitidin 20 mg IV extra
Hamarthrosis et causa 14 Januari 2014 Koate 1250 IU H1 (3 ampul 500 IU)
Hemofilia Inj. Ketorolac 5 mg extra
Indometasin 3 x 50 mg
Transamin 3 x 250 cc
Hamarthrosis et causa 15 Januari 2014 Koate 1250 IU H2 (3 ampul 500 IU)
Hemofilia Inj. Ketorolac 5 mg extra
Indometasin 3 x 50 mg
Transamin 3 x 250 cc
Hamarthrosis et causa 16 Januari 2014 Koate 1250 IU H3 (3 ampul 500 IU)
Hemofilia Inj. Ketorolac 5 mg extra
Indometasin 3 x 50 mg
Transamin 3 x 250 cc
Hamarthrosis et causa 17 Januari 2014 Koate 1250 IU H4 (3 ampul 500 IU)
Hemofilia Inj. Antrain 250 mg PRN
Indometasin 3 x 50 mg
Transamin 3 x 250 cc
Hamarthrosis et causa 18 Januari 2014 Koate 1250 IUH5 (3 ampul 500 IU)
Hemofilia Inj. Ketorolac 5 mg extra
Indometasin 3 x 50 mg
Transamin 3 x 250 cc
Obat Yang Digunakan Saat Ini

Rute
No Nama Obat Indikasi Dosis pemberian Interaksi ESO Outcome
obat
demam, panas Untuk
dingin, mual, mengatasi
Intravena
Koate 25 U/kgbb Carfilzomib bernafas tidak penyakit
1. hemofilia A
teratur hemofilia pasien
Untuk
memenuhi sel
penggantian sel darah Intravena kelebihan zat darah merah
2. Transfusi PRC 1 x 250 cc
merah - besi (dalam batas
normal)
ulkus,
obat ains Untuk
perdarahan
Ketorolac Intravena lainnya mengurangi
3. saluran cerna,
Analgetik 5 mg IV
dan probenecid nyeri pasien
dan perforasi
Methotrexae, Vertigo, mual
haloperidol, muntah,
Untuk
warfarin, beta depresi, lelah
Indometasin Peroral mengurangi
4.
NSAID 3 x 50 mg blokers, konstipasi/diare
nyeri pasien
ramipril, dan tukak
ciclosporin lambung
sakit kepala, memperparah
tukak lambung dan pusing, lebam dan
Ranitidin Intravena
5.
deodenum, tukak pasca 20 mg IV Warfarin hipersensitif, pendarahan pada
operasi ruam kulit pasien
gastrointestinal,
Untuk
kontrasepsi oral sakit kepala,
Transamin Intravena menghentikan
6. (estrogen) pusing dan
zat antifibrinolitik 3 x 250 cc
mimisan pasien
hipotensi

klorpromazin, Untuk
hipotensi dan
Antrain 250 mg prn Intravena simetidin, mengatasi nyeri
7.
analgetik & atipiretik mengantuk
alkohol pasien
Assasment

Problem Medik Subyektif Objektif Terapi DRP


Hemofilia A  Nyeri pada lutut  Akral hangat  inj. koate -
kiri  Leukosit : 4.650  transfusi prc -
 Bengkak (normal)  inj. transamin -
 Riwayat: gusi  Hemoglobin : 10.2  inj. antrain  terapi tidak tepat
berdarah, lebam, (penurunan)  indometasin  terapi tidak tepat
mimisan  Hematrokrit : 29.5  inj. Keterolac  terapi tidak tepat
(penurunan)  inj. ranitidin  ADR
 Trombosit : 167.000
(normal)
 Bleeding time : 3’
(normal)
 Clotting time : 10’
(normal)
 APTT : 48.3 detik
(peningkatan)
 PT : 14.1 detik
(peningkatan)
CARE PLAN :
a. Pemberian obat Koate (faktor VIII), sudah tepat sebagai pengobatan utama pada
hemofilia A dengan dosis sudah sesuai, sehingga terapi dilanjutkan.
b. Pemberian tranfusi PRC direkomendasikan dihentikan karena kadar hemoglobin
sudah > 7. Jika <7 maka perlu dilakukan monitoring kadar MCH, MCHC dan
MCV.
c. Pemberian injeksi. Transamin (Asam Tranexamat) dilanjutkan karena obat ini
diindikasikan sebagai zat antifibrinolitik untuk menghentikan perdarahan pada
mucus/gusi/sendi tapi penggunaannya harus dipantau secara ketat.
d. Pemberian injeksi ketorolac, injeksi antrain, dan indometasin dapat dihentikan
karena efek samping obatnya menyebabkan perdarahan pada saluran
gastroentestinal sehingga tidak disarankan oleh pasien yang mengalami hemofilia.
Rekomendasi terapi anti nyeri dapat menggunakan celecoxib (Inhibitor COX-2)
yang memiliki resiko pendarahan lebih rendah dibanding NSAID dengan dosis
100 mg 2 kali sehari.
e. Pemberian injeksi Ranitidin yang awalnya ditujukan untuk mengatasi efek
samping dari penggunaan injeksi ketorlac, indometasin dan injeksi antrain yaitu
dapat terjadi pendarahan saluran cerna, nyeri gastrointestinal sehingga bisa
dihentikan juga karena ranitidin memiliki efek yang tidak diinginkan yaitu
memperparah lebam dan pendarahan pada pasien.
f. Merekomendasikan terapi adjuvan Desmopresin 0,3 µg/kg untuk meningkatkan
kadar F VIII dengan cara melepaskan faktor VIII dari poolnya.

g. Merekomendasikan untuk mengatasi bengkak yang dialami pasien diberikan


Advantan Cream (Metilprednisolon aceponate 0,1%), karena golongan
kortikosteroid merupakan terapi utama untuk pasien yang mengalami bengkak.

Terapi Non Farmakologi :


- Mencegah terjadinya perdarahan dengan menghindari trauma.
- Jika terjadi pendarahan maka dapat dilakukan kompres pada bagian tubuh yang
terluka dan daerah sekitarnya dengan es atau bahan lain yang lembut dan dingin.
Tekan dan ikat, sehingga bagian tubuh yang mengalami perdarahan tidak dapat
bergerak (immobilisasi).
- Menjauhi obat-obatan yang bekerja dalam mengencerkan darah seperti NSAID
terutama aspirin (kecuali inhibitor COX2).
- Mengistirahatkan bagian yang cedera, untuk meminimalkan cedera ataupun
penambahan cedera.
- Gunakan perban elastis dan letakkan bagian tubuh tersebut dalam posisi lebih
tinggi dari posisi dada dan letakkan diatas benda yang lembut seperti
bantal (Rotty, 2009).
- Meninggikan posisi atau mengubah posisi ke yang lebih tinggi dari posisi jantung
sehingga terjadi aliran kebawah yang akan memfasilitasi pembuluh darah balik
dalam bekerja.
Monitoring
a. Pemantauan tanda vital (suhu tubuh, kecepatan nadi, frekuensi napas).
b. Pemantauan keluhan-keluhan yang masih dirasakan pasien (nyeri,
bengkak).
c. Kepatuhan pasien minum obat.
d. Monitoring efek samping obat yang digunakan pasien.
e. Pemantauan kondisi pasien hingga tercapai outcome terapi.
f. Monitoring kadar hemoglobin (MCV, MCH, MCHC, APTT, PT, dan
Faktor VIII)
g. Monitoring kadar CT, dan BT.

KIE
a. Apabila terjadi perdarahan akut terutama daerah sendi, maka tindakan RICE (rest,
ice, compression, elevation) segera dilakukan. Sendi yang mengalami perdarahan
diistirahatkan dan diimobilisasi. Kompres dengan es atau handuk basah yang
dingin, kemudian dilakukan penekanan atau pembebatan dan meninggikan daerah
perdarahan.
a. Pasien harus banyak-banyak istirahat.
b. Mengurangi aktivitas yang dapat menyebabkan trauma, benturan.
c. Menjaga kebersihan mulut (riwayat gusi berdarah).
d. Menjaga pola hidup sehat seperti makan yang bergizi dengan memperbanyak
konsumsi makanan tinggi vitamin K yang berfungsi untuk mempercepat
pembekuan darah seperti sayur bayam, kol, buah alpukat.
e. Menjaga berat badan agar tidak berlebih, karena jika BB berlebih dapat
mengakibatkan pendarahan pada sendi-sendi dibagian kaki
f. Pemberian edukasi dan informasi kepada keluarga pasien untuk dapat mengawasi
waktu penggunaan obat sehingga pasien dapat minum obat secara teratur.
g. Olah raga (yang tidak beresiko kontak fisik seperti sepak bola, dianjurkan olah
raga berenang) teratur guna membentuk kondisi otot yang kuat sehingga otot tidak
mudah terluka dan pendarahan dapat dihindari.
h. Pemberian edukasi dan informasi kepada keluarga pasien untuk dapat mengawasi
kegiatan fisik pasien supaya tidak berlebihan.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Coagulation Disorder merupakan gangguan dalam kemampuan tubuh untuk


mengontrol pembekuan darah. Salah satu jenis penyakit gangguan koagulasi adalah
hemofilia yaitu berbagai kelainan perdarahan bawaan yang melibatkan kekurangan
satu atau lebih faktor koagulasi yang terbagi menjadi 2 jenis yaitu hemofilia A dan
hemofilia B yang terjadi akibat dari defisiensi faktor koagulasi VIII dan IX.
Gejala-gejala hemofilia antara lain Hemathrosis, Nyeri sendi bengkak dan
eritema, Kehangatan kulit, Turunnya rentang gerak, Perdarahan otot, Bengkak, Nyeri
dengan gerakan otot yang terkena, Tanda-tanda kompresi saraf, Potensi kehilangan
darah yang mengancam jiwa, terutama dengan , Paha berdarah, Mulut berdarah dengan
ekstraksi gigi atau trauma.
Pertolongan pertama pada hemofilia adalah R(Rest) Istirahatkan, I(Ice) Kompres
dengan es untuk mengurangi rasa nyeri, C(Compression) Tekan kemudian bebat untuk
mengurangi perdarahan, E(Evaluation) Posisikan lebih tinggi daripada dada.
Terapi Hemofilia dapat dilakukan berdasarkan jenis defisiansi koagulasi yang
terjadi. Pada umumnya menggunakan terapi DDAVP dan antitrombolitik (asam
traneksamat dan EACA).
Pada kasus ini penggunaan terapi sudah tepat hanya saja ada beberapa obat yang
perlu direkomendasikan untuk diganti karena memiliki DRP dan perlu dilakukan
monitoring.
Daftar Pustaka

Farrugia, Albert. 2017. Guide for the Assessment of Clotting Factor Concentrates.
Journal. World Federation of Hemophilia. Edition 3

Srivastava, A et al. 2012. Guidelines for The Management of Hemophilia. Journal. World
Federation of Hemophilia. Edition 2

Kasper, C.K. Silva, M.C.E. 2004. Registry of Clotting Factor Concentrates. Journal.
World Federation of Hemophilia. Edition 5

E-book by Herfindale (Coagulation Disorders)

Betz, Cecily L.. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik E/3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Aru et al. 2009. Ilmu Penyakit dalam Jilid II: Edisi V. Jakarta: Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai