Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

BLOK 5

SALAH SATU PENYAKIT HEMATOLOGI


“HEMOFILIA

DISUSUN OLEH
NAMA : ANITA MAGAN
NIM : N10117053

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO

JULI 2020
1. Pendahuluan
Hemofilia adalah suatu penyakit keturunan pula yang mengakibatkan darah
seseorang sukar membeku di waktu terjadi luka. Biasanya darah orang normal bila keluar
dari luka akan membeku dalam waktu 5-7 menit. Akan tetapi pada orang yang menderita
hemofilia tersebut, darah akan membeku antara 50 menit sampai 2 jam, sehingga mudah
menyebabkan orang meninggal dunia karena kehilangan banyak darah (Gulo, 2018).
Penyakit ini mula-mula dikenal di Negara Arab ketika beberapa anak dalam suatu
keluarga atau keluarga lain yang masih mempunyai hubungan keluarga yang dekat,
meninggal dunia akibat pendarahan pada waktu seda akibat yang dikhitankan. Namun
pada waktu itu kejadian semacam ini dianggap sebagai takdir, karena orang belum
mengetahui akibatakibatnya. Dengan meninggalnya putra mahkota Alfonso dari Spanyol
akibat suatu luka oleh pecahan kaca mobil pada waktu mobil yang dikendarainya
bertabrakan di dekat Miami, Florida, USA, maka terbukalah rahasia penyakit hemofilia.
Luka sebenarnya tidak seberapa, tetapi ia kehabisan darah. Semenjak itulah dilakukan
penelitian mendalam tentang sebab-sebabnya dan penyebarannya (Gulo, 2018).
Penyakit hemofilia terdiri dari dua jenis sebagai berikut:
 Hemofilia A Ditandai karena penderita tidak memiliki zat anti hemofili globulin
(faktor VIII). Kira-kira 80% dari kasus hemofilia adalah dari tipe ini. Seorang mampu
membentuk antihemofili globulin (AHG) dalam serum darahnya karena ia memiliki
zat tersebut. Oleh karena itu gennya terangkai-X, maka perempuan normal dapat
mempunyai genotip HH atau Hh. Laki-laki normal akan mempunyai genotip H-,
perempuan hemofilia mempunyai genotip hh, sedangkan laki-laki hemofilian h-.
 Hemofilia B Karena darahnya memerlukan waktu lama utuk membeku, dokter
mengambil kesimpulan bahwa menderita hemofilia, tetapi lain dari pada yang biasa
dijumpai. Penderita tidak memiliki komponen plasma tromboplastin (disingkat KPT:
faktor IX), kira-kira 20% dari hemofilia adalah tipe ini.
 hemofilia C merupakan penyakit perdarahan akibat kekurangan factor XI yang
diturunkan secara autosomal recessive pada kromosom 4q32q35. Tidak 1% dari kasus
hemofilia adalah tipe ini. Penderita itdak mampu membentuk zat plasma tromboplastin
anteseden (PTA) (Gulo, 2018).
2. Epidemiologi
Hemofilia A adalah penyakit X-linked resesif yang paling sering di dunia dan
penyakit perdarahan defisiensi faktor yang kedua tesering setelah penyakit von
Willebrand. Insiden dunia untuk hemofilia A adalah sekitar 1 per 5000 laki-laki dan 1/3
dari individu tidak memiliki sejarah penyakit pada keluarga. Prevalensi hemofilia B lebih
sedikit daripada hemofilia A yaitu kira-kira 1 per 25 000 – 30 000 laki-laki. Dari semua
kasus hemofilia, 80- 85% kasus adalah hemofilia A, 14% adalah hemofilia B, dan sisanya
adalah penyakit pembekuan darah lainnya. Hemofilia C dan didapatmengenai laki-laki
dan perempuan secara merata dan masing-masing memiliki prevalensi sebanyak sekitar 1
kasus per 100 000 penduduk dan 0.2-1 individu per 1 000 000 penduduk per tahun
terutama pada usia tua (Susanto,2017).

3. Etiologi
Hemofilia terjadi oleh karena adanya defisiensi atau gangguan fungsi salah satu
faktor pembekuan yaitu faktor VIII pada hemofilia A serta kelainan faktor IX pada
hemofilia B dan faktor XI pada hemofilia C (Yantie, 2018).

4. Patogenesis
Hemofilia A adalah sebuah penyakit heterogen dimana faktor VIII yang berfungsi
pada darah terdapat dengan jumlah yang menurun. Jumlah faktor VIII yang menurun ini
dapat disebabkan karena memang jumlah faktor VIII yang diproduksi menurun,
terdapatnya protein yang abnormal dan tidak fungsional, atau keduanya. Faktor VIIIa dan
faktor IXa berperan keduanya dalam mengaktifasi faktor X pada jalur campuran di proses
koagulasi. Oleh sebab itu, hemofilia A dan B memiliki gambaran klinis yang sangat
mirip. Thrombin yang dibentuk pada pasien hemofilia sangat berkurang. Bekuan darah
yang terbentuk menjadi lemah, mudah tergerak, dan sangat rentan terhadap fibrinolysis
(Susanto,2017).
Hemofilia C sangatlah jarang dan informasi mengenainya masih cukup sedikit.
Ditemukan bahwa walaupun terdapat defisiensi faktor XI yang besar, kecenderungan
untuk berdarah dapat masihlah cukup sedikit, kekurangan jumlah faktor tidaklah
berbanding lurus dengan derajat keparahan penyakit (Susanto,2017).
Hemofilia didapat adalah suatu penyakit autoimun. Antibodi terhadap faktor VIII
atau IX terbentuk pada pasien terutama pada saat usia tua. Pada 50% kasus individu
dengan hemofilia didapattidak memiliki penyakit lainnya atau suatu kejadian yang dapat
ditunjuk sebagai trigger penyakit (Susanto,2017).

5. Diagnosis
1) Gejala klinis
 Hemarthrosis (pendarahan hebat dalam sendi) adalah karakteristik dari
hemofilia. Lutut dan pergelangan kaki merupakan organ yang paling sering
terkena. Pendarahan menyebabkan penggelembungan pada ruang sendi, nyeri
yang signifikan dan terus menerus. Seiring waktu, kerusakan sendi terjadi, dan
onerasi penggantian sendi dapat menjadi diperlukan untuk mengatasinya.
 Pendarahan ke dalam otot dapat terjadi ditandai dengan pembentukan
hematoma (compartment syndrome).
 Pendarahan dari mulut atau mimisan mungkin terjadi. Perdarahan setelah
prosedur dental adalah umum dan mengeluarkan darah dari gusi dapat terjadi
pada anak-anak ketika gigi baru tumbuh.
 Pendarahan dalam saluran pencernaan dapat menimbulkan darah dalam tinja.
 Pendarahan dalam saluran kemih dapat mengakibatkan darah dalam urin
(hematuria).
 Pendarahan intrakranial (pendarahan ke dalam otak atau tengkorak) dapat
menyebabkan gejala seperti mual, muntah, dan kelesuan (Gulo, 2018).

(Susanto,2017).
(Wande, 2018).
2) Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan penyaring hemostasis:
1. Masa pembekuan (clotting time): melihat defisiensi FVIII dan FIX
2. Masa prothrombin plasma (prothrombin time/PT): Jalur ekstrinsik dan
jalur bersama (Faktor II,V, VII, X) memanjang jika 10% dibawah normal
3. Masa tromboplastin partial teraktivasi (activated partial thromboplastin
time/ APTT): defisiensi jalur intrinsik, terutama FVIII memanjang jika
FVIII < 25%
 Mixing Test
Dilakukan dengan mencampur plasma pasien dengan plasma normal
dengan perbandingan 1:1, kemudian diinkubasi.
Interpretasi :
 APTT memanjang: inhibitor faktor VIII
 Koreksi APTT : defisiensi atau tidak menyingkirkan inhibitor apabila
klinis sesuai (Wande, 2018).
 Differential APTT

(Wande, 2018).
 Pemeriksaan FVIII atau FIX

FVII <2
(Wande, 2018).

 Pengukuran kadar inhibitor FVIII atau FIX

(Wande, 2018).

3) Pemeriksaan Radiologi
Hemophilia Joint Health Score (HJHS), pemeriksaan radiologi dan ultrasound,
kualitas hidup terkait kesehatan. Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan MRI
untuk melihat adanya dan derajat kerusakan sendi, namun biayanya mahal.
Pemeriksaan ultrasound juga dapat dilakukan untuk konfirmasi hemartrosis,
memantau sinovial yang inflamasi, dan menilai kerusakan kartilago. Studi pada
pasien hemofilia berat yang diperiksa dengan MRI atau ultrasound menunjukkan
bahwa ultrasound bermanfaat mendeteksi perdarahan sendi, hiperplasia sinovial, dan
erosi sendi yang sebanding dengan MRI (Kalbemed. 2016).

6. Pengobatan
Dasar dari terapi hemofilia adalah pencegahan perdarahan dan pengobatan pada
perdarahan tersebut secara cepat dan tepat. Obat pilihan utama pada hemofilia A dan B
untuk mengatasi perdarahan adalah pemberian faktor VIII dan IX kepada pasien. Selain
pemberian faktor pembekuan, pasien juga dapat diberikan DDVAP (hanya dapat
diberikan pada hemofilia A), antifibrinolitik, dan fibrin glue. Pada pasien perlu dilakukan
penghindaran aspirin, NSAIDs dan obat-obatan lain yang dapat mengganggu agregasi
platelet. Acetaminofen atau inhibitor COX-2 seperti celecoxib dapat digunakan sebagai
anti-nyeri pengganti (Susanto,2017).
Terapi pengganti faktor Episode-episode perdarahan pada hemofilia A dapat
ditangani dengan pemberian faktor VIII. FFP dan cryoprecipitate keduanya mengandung
fakor VIII dan pada waktu yang lalu adalah produk satu-satunya yang dapat digunakan
sebagai terapi. Pada saat ini faktor VIII dapat dibentuk di laboratorium dengan cara
rekombinan DNA. Terdapat juga faktor VIII baru “generasi ketiga” yang dibentuk tanpa
menggunakan protein hewani maupun manusia (Susanto,2017).
Sebagai terapi, pasien-pasien hemofilia ini dapat diberikan faktor pembekuan
sintetik, dimana faktor pembekuan yang semakin murni “generasi ketiga” dapat
mencegah terjadinya hal ini. Pasien-pasien high responders dapat diberikan factor
inhibitor bypassing activity (FEIBA) dan jenis faktor konsentrat yang jenis rekombinan.
Pada pasien low responders dapat diberikan dosis faktor pembekuan rekombinan dengan
dosis yang lebih dari pada biasanya. Terdapat berbagai macam protokol yang dapat
dilakukan untuk mengatasi adanya faktor inhibitor. Pasien dapat diberikan faktor
pembekuan dalam dosis yang tinggi secara terus menerus dan juga dapat diberikan
obatobat imunosupresan seperti cyclophosphamide (Susanto,2017).
DDAVP (Desmopressin) Pada kasus-kasus hemofilia ringan dan sedang, DDAVP
dapat berguna dan digunakan selain produk darah dan faktor pembekuan. Mekanisme
cara kerja DDAVP terhadap menaikan faktor VIII masih belum diketahui secara jelas
(Susanto,2017).
7. Diagnosis Banding
Hemofilia A dan B perlu dibedakan dengan penyakit lain yang dapat
menunjukkan perpanjangan aPTT seperti defisiensi faktor von Willebrand, faktor XI dan
XII, prekallikrein, dan high molecular-weight kininogen. Hemofilia C dapat terjadi pada
lakilaki dan perempuan dan juga biasanya terjadi dengan klinis yang lebih ringan.
Hemofila A dan B adalah penyakit pembekuan darah menurun yang satu-satunya dapat
menyebabkan hemarthrosis hingga penghancuran sendi. Defisiensi faktor XII,
prekallikrein, dan HMW kininogen dapat dibedakan dengan hemofilia karena mereka
tidak berhubungan dengan perdarahan (Yoshua, 2018).
DAFTAR PUSTAKA
Gulo, A. A. H. S. 2018. Perancangan Aplikasi Sistem Pakar Mendiagnosa Penyakit
Hemofilia Pada Manusia Menerapkan Metode Case Based Reasoning. Jurnal Pelita
Informatika, Volume 17 Nomor 1. https://ejurnal.stmik-
budidarma.ac.id/index.php/pelita/article/view/547

Kalbemed. 2016. Outcome Klinis dan Ultrasound Pasien Hemofilia A Berat dengan
Profilaksis Faktor VIII. CDK-242. Volume 45 Nomor 7.
https://kalbemed.com/DesktopModules/EasyDNNNews/DocumentDownload.ashx?
portalid=0&moduleid=471&articleid=914&documentid=1332

Susanto, M. 2017. Hemofilia. Faculty of Medicine Universitas Pelita Harapan Volume 1 Nomor
1. https://www.sysmex.co.id/wp-
content/uploads/2019/11/IO_0095_14_2019.04_GEN_Infinity-
Online_COA_Hemofilia.pdf

Wande, I. M. 2018. Pemeriksaan Laboratorium Dalam Diagnosis Hemofilia. Denpasar: FK


UNUD/ RSUP Sanglah.

Yantie, V. K. 2018. Inhibitor Pada Hemofilia. Medicina Volume 43 Nomor 1.


https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/download/340/279

Yoshua. Y. 2018. Rehabilitasi Medik Pada Hemofilia. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 5
Nomor 2. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/download/2587/2130

Anda mungkin juga menyukai