Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan panas berkepanjangan yang diikuti dengan
bakteremia dan invasi bakteri Salmonella typhi sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit
mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s patch (Soedarmo, et al., 2015).
Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah.
Demam tifoid mulai dikenali sebagai penyakit menular yang disebabkan oleh bacillus
(salmonella) pada tahun 1880 di Amerika serikat. Wabah penyakit demam typhoid pertama
kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1907 yang disebabkan oleh Mary Mallon yang
dikenal sebagai karier tifoid yang sehat, dan dijuluki sebagai “typhoid mary” (filio, et al.,
2013).
Demam tifoid menginfeksi setiap tahunnya 21.6 juta orang (3.6/1.000 populasi) dengan
angka kematian 200.000/tahun. Insidensi demam tifoid tinggi (>100 kasus per 10.000 populasi
per tahun) dicatat di Asia tengah, Asia selatan, Asia tenggara, Afrika, Amerika Latin, dan
Oceania (kecuali Australia dan Selandia baru) serta yang termasuk rendah (<10 kasus per
10.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.
Di Indonesia insidensi kasus demam typhoid masih termasuk tinggi di Asia, yakni 81 kasus
per 100.000 populasi per tahun. Prevalensi tifoid banyak ditemukan pada kelompok usia
Sekolah (5 – 14 tahun) yaitu 1.9% dan terendah pada bayi (0.8%). Kelompok yang berisiko
terkena demam typhoid adalah anak – anak yang berusia dibawah usia 15 tahun (Ochiai, et al.,
2008; Depkes RI, 2008).

1
BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1. Identitas Pasien

Nama : An. SJS


No Rekam Medik : 00242832
Jenis kelamin : perempuan
Tanggal lahir : 20 Januari 2016
Usia : 3 tahun 05 bulan 22 hari
Alamat : Cengklik 006/-; Jono Tanon
Status : belum menikah
Agama : Islam
Masuk dari : IGD
Tanggal masuk perawatan : 10 Juli 2019 17.15

2.2. Anamnesis
Cara anamnesis : Aloanamnesa (Ibu kandung pasien) tanggal 10 Juli 2019 20.00

2.2.1. Keluhan Utama

Demam

2.2.2. Riwayat Perjalanan Penyakit

Anak perempuan, 3 tahun, dibawa oleh orangtuanya ke IGD RS Panti Waluyo dengan
keluhan demam sejak Sabtu, 6 Juli 2019 jam 18.00. demam muncul perlahan-lahan dan
menjadi tinggi, terjadi sepanjang hari, namun lebih tinggi saat malam hari. Ibu pasien mengaku
tidak mengukur suhu tubuh anaknya karena tidak memiliki thermometer. Demam tidak disertai
dengan kejang, batuk, pilek atau nyeri menelan.
Keluhan disertai dengan mual, tidak nafsu makan sejak Minggu, 7 Juli 2019. Anak hanya
mau makan setengah porsi bubur + daging cincang +kuah. Namun, masih mau minum air atau
susu. Keluhan muntah dan nyeri perut disangkal. Kencing dalam batas normal, tidak berwarna
kuning pekat. Nyeri saat kencing, rasa terbakar/gatal/perih, anyang-anyangan, bolak balik ke
kamar mandi disangkal oleh ibu pasien. Buang air besar kemarin 1 kali, konsistensi agak
lembek, warna coklat, tidak ada darah atau lendir.
Keluhan seperti mimisan, timbul memar, ruam kemerahan di tubuh, nyeri menelan, bintik2
merah, muntah darah atau BAB hitam disangkal oleh ibu pasien.

2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat : riwayat tifoid (-) demam berdarah (-) kejang(-) tbc (-) pneumonia (-) campak (-)

2
2.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat : tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa

2.2.5. Riwayat Kebiasaan

Pasien diasuh oleh ibu kandung sendiri. Anak makan 3x sehari dengan menu keluarga (nasi-
daging-sayur-buah). Menurut ibunya, An.S tidak suka pilih-pilih makanan. Ibu pasien
mengaku jarang membiasakan cuci tangan dengan sabun sebelum makan. An.S mulai
disekolahkan di PAUD. Di rumah tidak memelihara binatang kucing, burung, atau reptile.

2.2.6. Riwayat Alergi

Tidak ada alergi obat maupun makanan.

2.2.7 Riwayat Berobat

Senin 8 Juli 2019 ke puskesmas : PCT 4 x cth 1; Domperidone syr 3x cth1/2  belum membaik

2.2.8. Riwayat Imunisasi :


Lengkap sesuai umur
2.2.9. Riwayat Persalinan :
Pasien lahir dengan usia kehamilan cukup bulan, lahir spontan, BBL : 2800 gram PBL : 49 cm
2.2.10. Riwayat Tumbuh kembang : sesuai usia
2.2.11. Riwayat Makan dan Minum Anak :
Ibu mengaku anak diberi ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. MPASI bubur susu mulai umur 6
bulan. Susu formula mulai umur 1 tahun.

2.3. Pemeriksaan Fisik (ruang Bakung, 10 Juni 2019; pukul 20.00)

BB/TB : 13 Kg/ 98 cm (Status gizi 92.8% : Normal)


Tanda Vital
Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5), sakit ringan-sedang
Tekanan Darah : 110/80mmHg
Nadi : 104x/menit, regular, kuat, ekual
Suhu : 37,8oC
Pernafasan : 20x/menit, regular, torakoabdominal
Saturasi Oksigen : 99%

Kulit : Kulit tidak ikterik, turgor baik, tidak ada purpura, rose spot - petekie
-, purpura -, ekimosis -, ruam makulopapular -, vesikel -
Kepala : Normosefal, tidak ada deformitas, wajah simetris
Rambut : Warna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut

3
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, mukosa mata tidak
cekung, refleks cahaya langsung ada/ada, refleks cahaya tidak
langsung ada/ada
Telinga : Normotia, tidak hiperemis, tidak ada nyeri tekan tragus, liang telinga
lapang, tampak ada serumen, refleks membran timpani sulit dinilai
Hidung : Pernafasan cuping hidung -/- tidak ada deformitas ataupun deviasi
septum, tidak ada sekret, konka tidak edema dan tidak hiperemis
Mulut : Tidak ada stomatitis angularis, oral hygiene baik, tidak ada atrofi
papil lidah, tidak ada karies gigi
Tenggorok : Uvula di tengah, arkus faring simetris, faring tidak hiperemis, tonsil
tidak membesar T1/T1, tidak ada detritus, tidak ada krusta
Leher : JVP 5+2cmH2O, tidak tampak penggunaan otot bantu napas, tidak
terdapat retraksi muskulus sternokleidomatoid, tiroid tidak
membesar, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening servikal,
supraklavikula, maupun aksila
Paru :
Inspeksi : Pasien tidak sianosis, tidak ada venektasi dada, pergerakan dada
tampak simetris, pergerakan hemithoraks sinistra dan dekstra
simetris, tidak tampak pelebaran atau penyempitan sela iga,
Palpasi : Ekspansi dada simetris, fremitus kanan dan kiri sama, tidak ada nyeri
tekan, tidak ada emfisema subkutis, trakea tidak deviasi

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru


Batas paru – lambung sulit dinilai
Batas paru – hepar sulit dinilai

Auskultasi : Vesikular breath sound merata pada seluruh lapang paru kanan
maupun kiri, Ronkhi (-); wheezing (-)
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis terlihat di linea midklavikula sinistra, sela iga 4
Palpasi : Iktus kordis teraba di linea midklavikula sinistra sela iga 4, tidak ada
heaving, lifthing, thrilling, tapping

Perkusi : Batas jantung kanan di linea sternalis kanan sela iga 4


Batas jantung kiri di linea midklavikula kiri sela iga 4
Batas pinggang jantung di linea sternalis kiri di sela iga 2

Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, tidak ada murmur maupun gallop pada
katup aorta, pulmonal, trikuspid, dan mitral.

Abdomen :

4
Inspeksi : Abdomen cembung, tidak ada spider nevi, tidak ada bendungan vena

Auskultasi : Bising usus positif 4-5x/ menit

Palpasi : Supel, Ada nyeri tekan epigastrium, mc burney (-), rovsing (-),
blumberg(-), iliopsoas (-) nyeri tekan suprapubik (-) ; hepar teraba
1 cm bac, lien tidak teraba, ballotement negatif
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), ketok CVA -/-
Ekstremitas : Akral hangat, edem -/-, CRT kurang dari 2 detik, reflek fisiologis
KPR +/+

2.4. Pemeriksaan Penunjang

2.4.1. Hematologi
Lab tanggal 10 Juni 2019 pk 12.00 Prodia
Darah Rutin
Hb 12,4 gr/dl
Ht 35,9 %
Eritrosit 4,49 jt/mm3
Leukosit 6800/mm3
Trombosit 340000 u/L
Hitung Jenis
Basophil 0.1%
Eosinophil 0.3%
Neutrophil 32,3%
Limfosit 55.5%
Monosit 10.8%
Indeks Eritrosit
MCV 80 fl
MCH 27.6 pg
MCHC 34.5%

LED 47 mg/dl

Anti Salmonella typhii IgM Positif skala 6

5
Lab hematologi (Bakung 10 Juli 2019 pk 20.00)

Darah Rutin
Hb 13,4 gr/dl
Ht 40,6 %
Eritrosit 4,47 jt/mm3
Leukosit 12.500/mm3
Trombosit 351000 u/L
Hitung Jenis
Basophil 0.6%
Eosinophil 1.2%
Neutrophil 45.1%
Limfosit 44.1%
Monosit 9.0%
Indeks Eritrosit
MCV 85 fl
MCH 28 pg
MCHC 33%

LED 43 mm/jam

LED 2 jam 49 mm/jam

Hasil urinalisis (Bakung, 11 Juli 2019 pk 12.00)


Urine lengkap
Makroskopis urine
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Berat jenis 1.015
Ph 6.5
Protein Negative
Reduksi Negative
Keton Negative
Darah Negative
Bilirubin Negative
Urobillinogen Negative
Nitrit Negative
Mikroskopis urine
Eritrosit 0-1/ lpb
Leukosit 0-1/lpb
Sel epitel 1-2/lpb
Silinder Negative

6
Kristal Negative
Bakteri Negative
Lain-lain Negative

Hasil feses
Feses lengkap
Makroskopis feses
Warna Coklat
Konsistensi Lembek (+)
Lendir Positif (+)
Darah Negative
Nanah Negative
Bau Biasa
Mikroskopis feses
Eritrosit 0-1/ lpb
Leukosit 0-2/lpb
Amoeba Negative
Telur cacing Negative
Jamur Negative
Lemak Negative
Lain-lain Negative

2.5. Daftar Masalah

1. Typhoid fever

2.6. Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding

Diagnosis kerja:
Typhoid fever

2.7. Tata Laksana


Advice dr Sp, A (10/7/2019 18.00):
 Infus D1/2S 40 cc per jam
 Farmakologi :
o Per oral : praxion syrup 1-3x 1¼ cth, puyer antibiotic (sporetik 60 mg + avil
10 mg) 2x1 bungkus (per 12 jam)
 Advice : periksa urine rutin dan feses lengkap

7
2.8. Prognosis

Ad vitam : Ad bonam
Ad sanactionam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Demam Tifoid yaitu penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi A, B, atau C pada ileum dengan gejala demam > 7 hari , gangguan
saluran pencemaan, dengan/tanpa gangguan kesadaran.

3.2. Epidemiologi
 Insidensi demam typhoid meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk
dunia, mobilitas penduduk, mudahnya akses transportasi, dan interaksi sosial.
 Selain itu faktor-faktor lain seperti rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat, fasilitas
kesehatan yang kurang memadai, masalah higiene sanitasi perorangan dan lingkungan
juga menyebabkan masalah cukup kompleks dalam pengobatan dan pencegahan
penyakit ini.
 Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia yang dapat ditemukan
sepanjang tahun, timbul secara sporadik tetapi jarang menimbulkan epidemi
 Demam tifoid dapat menjangkiti semua usia, tetapi lebih sering mengenai kelompok
anak usia 8-13 tahun dan dewasa muda.
 Lebih sering pada laki-laki karena berhubungan dengan kebiasaan tidak mencuci
tangan sebelum makan dan kebiasaan jajan di luar.
 Prevalensi demam tifoid di negara yang sudah berkembang menunjukkan penurunan
secara bermakna seiring dengan telah tersedia sumber air minum bersih yang cukup,
pembuangan sampah adekuat, dan bila ada kasus demam tifoid umumnya berasal dari
daerah endemik tifoid.

3.3. Etiologi
Disebabkan oleh bakteri batang gram negatif genus Salmonella. Penularan terjadi secara
fecal-oral. Masa inkubasi adalah 7-14 hari dengan dosis infektif yang dapat menimbulkan
demam tifoid yaitu lebih besar sama dengan 105. Sumber penularan S. typhi yaitu penderita
demam tifoid dan karier S. typhi. Transmisi S. typhi di negara-negara berkembang yang
endemik demam tifoid selain melalui water-borne, juga melalui food-borne akibat kontaminasi
makanan oleh feses seorang karier kronik, sedangkan penularan demam tifoid di daerah non-
endemik melalui food-borne.

Mikrobiologi Salmonella
Bakteri batang gram negatif golongan Enterobacteriaceae , genus Salmonella yang terdiri
lebih dari 1700 serotipe dari ±100 serotipe di antaranya patogen terhadap manusia. Bersifat
anaerob fakultatif, motil karena memiliki flagel peritrich, non –lactose fermenter, pada TSIA :
alkaline slant dan acid butt serta menghasilkan H2S.
Penyebab utama demam tifoid adalah Salmonella typhi sedangkan penyebab lainnya adalah
Salmonella paratyphi A, B dan C. Salmonella paratyphi A, B dari C sangat patogen terhadap
manusia, kecuali S. paratyphi C juga bisa menjangkiti hewan.

9
Pengelompokan menurut WHO :
o Salmonella enterica/typhoidal yaitu S.typhi penyebab typhoid fever dan S.paratyphi A,
B, C penyebab paratyphoid fever.
o Non Typhoidal Salmonella yaitu S.enteritidis dan S.typhimurium.
o Salmonella yang terutama menjangkiti sapi atau babi tetapi dapat ditularkan kepada
manusia dan menginvasi enterosit menimbulkan enteritis.
Struktur antigen S.typhi :
 Antigen O : lipopolisakarida dinding sel bakteri yang berperan dalam attachment.
 Antigen H : antigen flagela bakteri , membantu menentukan tipe antigen Salmonella.
 Antigen Vi : antigen kapsul polisakarida , berperan dalam fagositosis.

3.4. Patofisiologi
Faktor Resiko
 Perilaku hidup bersih dan sehat yang rendah
 Urbanisasi, kepadatan penduduk yang tinggi
 Sumber air dan sanitasi yang buruk
 Higiene pengolahan makanan yang rendah
 Berkurangnya asam lambung karena konsumsi antasida atau gastrektomi

 Inokulum atau dosis infektif yang dapat menimbulkan demam tifoid dari S.typhi adalah
sebesar 105 – 109 CFU dengan masa inkubasi 4 – 14 hari.

10
 Setelah tertelan bersama makanan atau minuman , kuman sebagian akan musnah karena
asam lambung, sebagian lolos dan mencapai usus halus lalu segera masuk ke dalam
epitel mukosa ileum melalui sel M.
 Kuman mencapai jaringan limfoid usus halus yaitu plaque peyeri (Peyer's Patch) di
lamina propria.
 Kuman akan difagositosis dan dihancurkan oleh Makrofag tetapi tidak seluruhnya mati
dan beberapa S. typhi berada dalam keadaan semidorman dalam makrofag akan
bermultiplikasi , masuk ke sirkulasi darah dan terjadi bakteremia primer yang
asimptomatik.
 Kuman menuju ductus torasikus dan menuju ke organ RES seperti hepar, lien, sumsum
tulang dan nodus limfatikus, melanjutkan multiplikasi dan menginduksi apoptosis
makrofag , kemudian masuk kembali ke sirkulasi darah dan terjadi bakteremia
sekunder yang menimbulkan gejala infeksi yang sistemik.
 S.typhi akan dieksresikan secara sporadik dalam jumlah besar ke saluran empedu dan
mencapai usus sehingga terjadi reinfeksi usus, proses yang sama terulang kembali.
Kuman juga diekskresikan bersamaan dengan feses.
 Makrofag yang telah teraktivasi dan hiperaktif saat proses fagositosis akan melepaskan
mediator inflamasi yang menimbulkan gejala sistemik seperti febris, malaise,
cephalgia, mialgia, nyeri perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental dan koagulasi.
 Makrofag yang hiperaktif pada plaque peyeri akan menimbulkan hiperplasia jaringan
dan dapat terjadi perdarahan serta perforasi usus.
 Endotoksin dari kuman dapat menempel pada endotel kapiler dan menyebabkan
komplikasi ke berbagai organ.
 Transmisi S.typhi melalui ingesti akan mencapai RES dalam waktu 24 jam terutama
hepar dan lien dan menetap selama masa inkubasi.
 Gejala klinis timbul bila bakteriemia sekunder mencapai jumlah kuman tertentu yaitu
antara ~1-10 bakteri/ml darah.
 Respon imun dalam tubuh penderita S. typhi terdiri dari beberapa tahap yaitu :
o sekresi antibodi intestinal untuk mencegah invasi mukosa (IgA)
o antibodi sirkuler untuk menetralisir bakteremia
o mekanisme Cell-Mediated Immune (CMI) untuk mengatasi dan membunuh
bakteri yang berada Intaselular.

3.5. Tampilan Klinis dan Diagnosis


 Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari.
 Banyak faktor yang mempengaruhi derajat keparahan dan manifestasi klinik infeksi S.
typhi antara lain lama periode penyakit sebelum diberikan terapi yang sesuai, pemilihan
antibiotic, umur penderita, riwayat vaksinasi atau pernah/tidak menderita penyakit
tersebut, virulensi strain kuman, jumlah inokulum yang tertelan, faktor pejamu (tipe
HLA, AIDS atau imunosupresan lain), apakah penderita pernah menerima terapi lain
seperti H2-blocker atau antasida, penderita HIV, infeksi H. pylori.
 Manifestasi klinik pada minggu pertama serupa dengan penyakit infeksi akut
umumnya yaitu :

11
o Demam,nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi
atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, atau epistaksis.
o Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan meningkat.
o Sifat demam pada demam tifoid yaitu meningkat perlahan-lahan terutama pada
sore hari dan tinggi pada malam hari.
 Manifestasi klinik pada bakteremia sekunder yaitu :
o Demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan
denyut nadi 8 kali per menit), lidah berselaput (kotor di bagian tengah dengan
pinggiran hiperemis dan disertai tremor halus), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, dapat ditemukan gangguan mental berupa delirium, somnolen,
stupor, koma, atau psikosis.
o Dapat ditemukan roseolae atau rose spot pada kulit.
o Derajat beratnya manifestasi klinik demam tifoid dapat dibedakan menjadi
infeksi akut non komplikasi, infeksi akut dengan komplikasi, dan karier S.typhi.

 Dasar diagnosis pasti demam tifoid menurut WHO yaitu:


o Berdasarkan anamnesis didapatkan manifestasi utama adanya demam
(stepladder) yang meningkat secara periahan-lahan pada sore dan tinggi pada
malam hari (38,8-40,5°C) yang terjadi secara berulang selama 1 minggu.
Demam biasanya meningkat hingga hari ke 7 dan mengalami fase plateau
disertai berbagai manifestasi klinis lainnya.
o Pada pemeriksaan fisik penderita demam tifoid ditemukan tanda-tanda sebagai
berikut :
 Vital sign : Peningkatan suhu (38.8 - 40.5), Bradikardia relatif
 Kepala : typhoid tongue (lidah berselaput yang kotor di
bagian tengah, tepi dan ujung hiperemis + tremor)
 Abdomen : peregangan dan nyeri, hepatosplenomegali (tidak
spesifik)

12
 Kulit : ruam "rose spots" 4 berukuran 2-5 mm, maculopapular
lesions, salmon colored, pucat yang terdapat pada daerah abdomen atas
dan dada (akhir minggu pertama2-5 hari kemudian menghilang)
Pemeriksaan Penunjang
 Hematologi
o Sering ditemukan anemia normokrom normositer, leukopenia tetapi jarang
<2500/mm3 akibat supresi sumsum tulang, trombositopenia yang cukup berat
pada akhir minggu pertama, limfositosis relatif dan aneosinofilia.
o Jika jumlah leukosit >10.000/mm3, kemungkinan menunjukkan adanya
komplikasi perforasi atau proses supuratif.
o Didapatkan anemia pada komplikasi perdarahan.
 Mikrobiologi
o Kultur S.typhi dari bahan pemeriksaan darah yang dilakukan dalam minggu
pertama hingga 10 hari pertama demam.
o Bahan pemeriksaan untuk minggu pertama adalah darah, minggu kedua adalah
urine, minggu ketiga dan keempat adalah feses.
 Immunoserologi
o Uji Widal
 Menentukan titer aglutinin penderita terhadap antigen O dan H S. typhi
atau S.paratyphi
 Positif jika :
 Pada hasil pemeriksaan kedua menunjukkan kenaikan titer 4x
dari bahan pemeriksaan pertama (bahan pemeriksaan diambil
dengan interval waktu 1 minggu).
 Pada pemeriksaan pertama baik titer terhadap antigen O dan/atau
H ≥ 160 (1/160).
 Antigen yang digunakan pada pemeriksaan Widal adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
 Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman
ini.
 Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama,
kemudian meningkat secara cepat mencapai puncak pada minggu ke-4
dan tetap tinggi selama beberapa minggu.
 Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan
aglutinin H.
 pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah
4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
 Pemeriksaan widal tidak dapat digunakan untuk menentukan
kesembuhan penyakit.
 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan Widal,
yaitu:
 Pengobatan dini dengan antibiotic

13
 Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian terapi
kortikosteroid
 Waktu pengambilan darah
 Daerah endemik / non-endemik
 Riwayat vaksinasi
 Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin akibat
infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
 Aglutinasi silang strain Salmonella yang digunakan dalam
suspensi antigen reagen.
o Kultur Darah Salmonella positif memastikan diagnosis demam tifoid, tetapi
hasil kultur negatlf tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi demam tifoid,
karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagal berikut:
 Penderita telah mendapat terapi antibiotik, sehingga pertumbuhan
bakteri terhambat dan hasil mungkin negatlf
 Volume bahan pemeriksaan (BP) darah yang kurang (perlu ± 5 cc
darah). BIla darah yang dibiak terlalu sedikit hasil kultur bisa negatif.
BP darah sebaiknya diambil secara bedside langsung dimasukkan ke
dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.
 Riwayat vaksinasi, vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi
dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia
hingga biakan darah dapat negatif
 Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin
semakin meningkat.
o Pemeriksaan Tubex
 Pemeriksaan yang sensitif untuk deteksi dini infeksi akut Salmonella
typhi, yaitu untuk pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM yang timbul
paling awal hari ke 3-4 setelah onset demam
 mempunyai tingkat sensitivitas > 95% dan spesifisitas > 93%.
 Prinsip Pemeriksaan Tubex: mendeteksi antibodi IgM spesifik
Salmonella typhi yang terdapat dalam serum penderita dengan metode
Inhibition Magnetic Binding Immunoassay (IMBI) in vitro
menggunakan V-shape Reaction Well yang diinterpretasi secara
semikuantitatif.

 Kimia Klinik
o Peningkatan SGPT dan SGOT, kadang didapatkan adanya peningkatan CK
pada beberapa penderita.
o Hasil pemeriksaan darah samar feses dapat menunjukkan hasil positif pada 20%
penderita dan adanya darah dalam feses secara gross ditemukan pada 10%
penderita. Perdarahan umumnya terjadi pada minggu ke 2 atau 3.
o Hasil pemeriksaan kimia urinalisis dapat ditemukan proteinuria ringan yaitu positif
satu ( + ) atau positif dua (++) sebab adanya negative balance nitrogen akibat
katabolisme protein karena febris.

14
o Pada urinalisis juga dapat ditemukan adanya bakteri, leukosit, dan atau eritrosit.

3.6. Tata Laksana


Non Farmakologi
 Istirahat dan perawatan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.
o Tirah baring degan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil dan buang air besar. Menjaga kebersihan tempat tidur,
pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien diawasi untuk mencegah
dekubitus dan pneumonia ortostatik.
 Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) untuk mengembalikan rasa
nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
o Diet dengan bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan
akhirnya diberikan nasi dan juga menghindari sementara makanan berserat.
o Pola diet yang dianut saat ini adalah pemberian nasi dengan lauk pauk rendah
selulosa (pantang sayuran berserat).
 Hidrasi (secara oral atau IV) untuk terapi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
 Pasien dengan muntah yang persisten, diare berat, dan distensi abdomen memerlukan
hospitalisasi dan juga pemberian antibiotik secara perenteral.
 Pasien dengan perdarahan intestinal memerlukan intensive care, monitoring dan
transfusi darah.
 Operasi :
o Indikasi untuk perforasi usus ; operasi sebaiknya tidak ditunda > 6 jam jika
sudah dikonfirmasi terjadi perforasi usus.
o Antibiotik seperti metronidazole, gentamisin atau ceftriazone dapat diberikan
sebelum dan sesudah operasi.
o Reseksi usus halus jika terjadi perforasi multiple.
o Jika eradikasi dengan antibiotik gagal terhadap karier typhoid, dapat dilakukan
reseksi pada kandung empedu.
Farmakologi
 Antipiretik :
o Parasetamol : 10-15 mg/kgBB/kali PO setiap 4-6 jam
 Antibiotik :
o Terapi dengan kloramfenikol dan amoxicilin berhubungan dengan kejadian
relapse sebesar 5-15% dan 4-8%.
o Terapi dengan golongan fluorokuinolon dan sefalosporin generasi tiga
memberikan angka penyembuhan yang lebih tinggi, namun penggunaan
golongan fluorokuinolon masih merupakan kontraindikasi untuk anak-anak
dibawah 18 tahun. Walaupun jarang, penggunaan kuinolon mungkin cocok
pada anak – anak dengan kuman yang resisten terhadap antibiotik first line.
o Lama pemberian antibiotik pada anak dengan bakteremia adalah 10-14 hari.
o Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasi hanya untuk keadaan tertentu
seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, syok septik yang pernah terbukti
ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella.

15
o Obat antibiotik yang sering digunakan untuk demam tifoid :
 Kloramfenikol 4x500 mg/hari, PO atau IV selama hingga 7 hari
penderita bebas demam.
 Tiamfenikol 4x500 mg/hari
 Kotrimoksazole ; dosis untuk dewasa 2x2 tablet selama 2 minggu.
 Ampisilin dan amoxicilin 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.
 Sefalosporin generasi tiga , seperti seftriakson , dianjurkan 3-4 gram
dalam dextrosa 100 cc diberikan selama ½ jam per infus sekali sehari,
diberikan selama 3 hingga 5 hari.
 Golongan Fluorokuinolon
 Kortikosteroid :
o Diindikasikan untuk toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok
septik.
o Dexametason dengan dosis inisial 3 mg/kgBB IV dilanjutkan dengan 1
mg/kgBB setiap 6 jam selama 48 jam.
o Penggunaan kortikosteroid memerlukan pengawasan yang ketat karena dapat
menimbulkan masking effect terhadap komplikasi abdominal.

TREATMENT OF TYPHOID FEVER IN CHILDREN (Nelson Textbook of pediatrics)


OPTIMAL THERAPY ALTERNATIVE EFFECTIVE DRUGS
SUSCEPTIBILITY
Daily Dose Daily Dose
Antibiotic Days Antibiotic Days
(mg/kg/day) (mg/kg/day)

UNCOMPLICATED TYPHOID FEVER

Fluoroquinolone, e.g., ofloxacin or


Chloramphenicol 50-75 14-21 15 5-7*
ciprofloxacin
Fully sensitive
Amoxicillin 75-100 14

Fluoroquinolone 15 5-7 Azithromycin 20 7

Multidrug-resistant or

Cefixime 15-20 7-14 Cefixime 15-20 7-14

Azithromycin 8-10 7 Cefixime 20 7-14

Quinolone-
or
resistant[†]

Ceftriaxone 75 10-14

SEVERE TYPHOID FEVER

Fluoroquinolone, e.g., ofloxacin or


Ampicillin 100 14 15 10-14
ciprofloxacin

Fully sensitive
or

Ceftriaxone 60-75 10-14

Ceftriaxone 60 10-14
Multidrug-resistant Fluoroquinolone 15 10-14
or

16
Cefotaxime 80 10-14

Ceftriaxone 60-75 10-14 Azithromycin 20 7


Quinolone-resistant
Gatifloxacin 10 7

Pengobatan demam tifoid pada wanita hamil


 Trimester 3 : tidak dianjurkan kloramfenikol karena dapat terjadi partus prematur,
kematian fetus intrauterin, grey baby syndrome.
 Trimester 1 : tiamfenikol tidak dianjurkan , namun pada kehamilan lebih lanjut dapat
digunakan.
 Obat yang dianjurkan adalah amoxicilin, ampisilin, dan seftriakson.

3.7. Komplikasi
Komplikasi intestinal yaitu :
 Perdarahan Intestinal
o Plaque peyeri usus yang terinfeksi di ileum terminalis dapat mengalami tukak/luka
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus.
o Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi
perdarahan.
o Bila tukak menembus dinding usus ke arah rongga abdomen maka dapat terjadi
perforasi.
o Perdarahan pada demam tifoid juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah
(KID) atau gabungan kedua faktor tersebut.
o Secara klinis, diagnosis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila ada
perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas normal.
 Perforasi usus
o Demam tifoid dengan perforasi mengeluh adanya nyeri perut hebat terutama di
daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan
disertai dengan tanda-tanda ileus.
o Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO 3 posisi) ditemukan udara pada
rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang
cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada penderita demam tifoid.
o Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan
ampisilin intravena.
o Terapi untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol.
o Terapi cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipasang
nasogastric tube.
o Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah banyak akibat
perdarahan intestinal.

Komplikasi Demam Tifoid Ekstra-intestinal:


 Komplikasi Hematologik

17
o Komplikasi hematologlik : trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan
prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin
degradation products sampai koagulasi intra vaskular diseminata (KID).
o Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya
produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya
destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial.
o Bila terjadi DIC dekompensata dapat diberikan transfusi darah, substitusi trombosit
dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin.
 Hepatitis Tifosa
o Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau
amoeba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila
perlu histopatologik hati.
o Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan
serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus).
o Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang
kurang.
 Pankreatitis Tifosa
o Pankreatitis tifosa merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid.
o Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri,
cacing, atau zat-zat farmakologik.
o Pemeriksaan enzim amylase dan lipase dan ultrasonografi/CT-Scan dapat
membantu menegakkan diagnosis komplikasi ini secara akurat.
o Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pankreatitis pada
umumnya, antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena seperti seftriakson
atau kuinolon.
 Miokarditis
o Penderita miokarditis biasanya tidak menunjukkan gejala kardiovaskular atau dapat
ditemukan keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok
kardiogenik.

 Manifestasi Neuropsikiatrik / Tifoid Toksik


o Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan/tanpa kejang, semi-koma
atau koma. Parkinson rigidity (transient parkinsonism), sindrom otak akut,
mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut,
hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-
Barre, dan psikosis.
o Demam tifoid kadang disertai suatu sindrom klinis berupa gangguan atau
penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor,
atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologik lainnya dan hasil
pemeriksaan calran otak masih dalam batas normal.
o Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik,
sedangkan penulis lainnya menyebutnya dengan demam tifoid berat, demam tifoid
enselopati, atau demam tifoid dengan toksemia.

18
o Terapi tifoid toksik diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4x500 mg/hari
dengan ampisilin 4x1 gram/hari dan deksametason 3x5 mg/hari

Pencegahan
 Penyuluhan tentang sumber dan cara penularan demam tifoid supaya masyarakat dapat
melakukan antisipasinya.
 Menerapkan pola hidup sehat dan higienis.
 Penyediaan sumber air bersih yang cukup.
 Menjaga sanitasi dan higiene lingkungan, serta sarana MCK yang memadai.
 Vaksinasi untuk pencegahan infeksi Salmonella sp.
o Indikasi vaksinasi :
 Hendak mengunjungi daerah endemik
 Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid
 Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan
o Pemilihan vaksin:
 Vaksin oral : Ty21a , diberikan 3 kali
 Vaksin perenteral : ViCPS ; vaksin kapsul polisakarida.
o Kontraindikasi vaksin : Alergi, Imunosupresi,Kehamilan.

19
BAB IV
DISKUSI

Dari alloanamnesis didapatkan bahwa an.S, perempuan, 3 tahun demam hari ke-4 saat
dibawa ke IGD RS Panti Waluyo. Demam dirasakan makin tinggi dari hari ke hari. Demam
terjadi sepanjang hari, meningkat terutama saat malam hari. Ini adalah ciri khas dari demam
tifoid “step ladder”. Demam disertai dengan keluhan anoreksia (tidak nafsu makan), nausea,
BAB yang lembek : ini adalah gejala khas tifoid (disertai dengan gangguan gastrointestinal).
Demam tidak disertai dengan mimisan, bab hitam, bintik merah di kulit, ruam atau memar,
hal ini sedikit menyingkirkan kemungkinan infeksi dengue. Demam juga tidak disertai batuk,
pilek, nyeri telan, keemunkginan menyingkirkan infeksi saluran nafas atas. Nyeri saat buang
air kecil, perasaan terbakar/perih saat miksi, frequency, urgency juga disangkal,
menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih. Kebiasaan tidak cuci tangan dengan sabun
sebelum makan dapat menjadi factor risiko an.S terkena infeksi typhoid. Apalagi di usia 3
tahun ini, an.S mulai bermain di PAUD.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan status gizi anak S baik, tanda vital didapatkan febris dan
takhikardi. Dari pemeriksaan tidak terlihat adanya rose spot karena warna kulit anak kuning-
sawo matang. Rose spot lebih terlihat pada kulit orang putih/kaukasian. Didapatkan adanya
hepatomegaly (hepar teraba 1 cm bac) dan adanya nyeri tekan ulu hati kuman bermultiplikasi
di hepar dan mengaktifkan makrofag +sitokin pro inflamasi sehingga meregangkan kapsula
glissoni.
Dari pemeriksaan lab didapatkan IgM Salmonella typhii +6 menunjukkan positif kuat
terinfeksi typhoid. IgM Salmonella dapat terdeteksi di dalam darah pada hari ke3-4 setelah
onset demam. LED juga meningkat (49 mm/jam) menandakan ada peradangan. Tidak
didapatkan trombositopenia maupun hemokonsentrasi  menyingkirkan infeksi dengue. Pada
feses rutin ditemukan 0-1 eritrosit/lpb dan lendir (+) akibat enterotoksin S. Typhii merusak
mukosa ussu dan mengganggu reabsorbsi di colon.Pada pasien ini tidak dilakukan kultur darah
karena memakan waktu yang cukup lama dan bisa memperburuk keadaaan pasien.
Pasien ini mendapat terapi antibiotic Cefixime (Sporetik) Bb 13 Kg117 mg dibagi 2 dosis
= 60 mg; diracik dalam bentuk puyer selama 5 hari. Kloramfenikol sebenernya first line drug
dari typhoid, namun banyak penelitian melaporkan adanya kasus resistensi dan penggunaan
kloramfenikol 14 hari dibandingkan penggunaan cefixime selama 5 hari memberikan hasil
kesembuhan yang sama. Sehingga untuk memperpendek masa perawatan di rumah sakit dan
mengurangi trauma psikologis pada anak dipilihlah cefixim. Untuk pilihan kuinolon kurang
disarankan karena menghambat pertumbuhan efisial plate.
Prognosis pada kasus ini ad bonam. Penyakit tifoid dapat dicegah dengan menjaga
kebersihan diri dan lingkungan.

20
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
 Prognosis penderita demam tifoid bila cepat didiagnosis serta mendapat
penatalaksanaan secara dini dan benar umumnya akan baik, kecuali bila ada komplikasi
yang tidak dapat ditangani bisa berakhir dengan kematian.
 Mortalitas akibat perdarahan karena perforasi cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan
hingga mencapai 80%.

5.2 Saran
Dibutuhkan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga hygiene diri dan
lingkungan sejak dini agar terhindar dari penyakit infeksi
Kualitas tenaga medis yang baik, pelayanan, dan pemeriksaan penunjang yang
memadai dan lengkap di rumah sakit sangat dibutuhkan untuk penanganan kasus tifoid
dengan komplikasinya

21
DAFTAR PUSTAKA

Musnelina, L., Afdhal, A.F., Gani, A., Andayani, P., 2004, Pola Pemberian Antibiotik
Pengobatan Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001-2002.

Makara Kesehatan, 8 (2), 59-64. Nasronudin, 2007, Penyakit Infeksi Di Indonesia, Hal 121-
125, Airlangga University Press, Surabaya.

Soedarmo, S.S.P., Garna, H. & Hadinegoro, S.R., 2012, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak :
Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi II, Hal 338-345, IDAI, Jakarta.

Pengobatan Cefixime pada Demam Tifoid Anak. Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S Hadinegoro,
Sp.A(K). Sari Pediatri, Vol. 2, No. 4, Maret 2001: 182 – 187. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM, Jl. Salemba no. 6 Jakarta 10430.

Profil Klinis Anak dengan Demam Tifoid di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito
Yogyakarta.https://www.researchgate.net/publication/322502473_Profil_Klinis_Anak_denga
n_Demam_Tifoid_di_Rumah_Sakit_Umum_Pusat_Dr_Sardjito_Yogyakarta. Sari Pediatri
Vol 19 No.3., Oktober 2017.

Punjabi NH. Cost evaluation of typhoid fever in Indonesia. Medical Journal of


Indonesia 1998; 7(S): 90-3TR.

WHO, 2003, Background Document : The Diagnosis,Treatment and Prevention of Typhoid


Fever. World Health Organization, 9-24.

Widodo, D., 2007, Demam Tifoid, Dalam Sudoyo, A.W., Setyohadi, B. Alwi, I., Simadibrata,
M. & Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edt.), Edisi Keempat, Jilid 3, Hal 1752-1754,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

22
LEMBAR FOLLOW UP PASIEN

Tanggal S O A P
10/7/2019 Pukul 20.00 di Bakung Kesadaran : CM Typhoid fever DPJP Anak :
Perawatan hari ke 1 S : mulai demam tgl 6/07/2019 pk 12.00; GCS :E4M6V5  Infus D1/2S 40 cc/jam
demam hari ke-4, mual, nafsu makan turun, KU : tampak sakit ringan sedang  Per oral : praxion 1-3x 1¼cth
masih mau minum air/susu. Bab lembek. Bak BB/TB : 13 kg/ 98 cm (Status gizi 92.8% : Normal) pc; antibiotic puyer (Sporetic
dbn TD : 110/80 mmHg 60 mg +avil 10 mg) per 12 jam
HR : 104x/menit, regular,equal  dilaporkan hasil lab hematologi
Bawa hasil lab Prodia 10/07/19 (12.00) Suhu : 37,8C terbaru ( pk 20.00)
RR : 20x/menit Hb 13,4 g/dl
Hb 12,4 g/dl Sp02 : 99% Ht 40,6%
Ht 35,9% Status Generalis; Eritrosit 4,47 jt/mm3
Eritrosit 4,49 jt/mm3 Kepala : Normocephal Leukosit 12,500/mm3
Leukosit 6800/mm3 Mata : mukosa mata tidak cekung, pupil isokor diameter Trombosit 351000/mm3
Trombosit 340000/mm3 3 mm/3 mm; rangsang cahaya langsung +/+; KA -/- SI -/- Hitung jenis :
Hidung : pernafasan cuping hidung (-) Basofil : 0.6%
Hitung jenis : Leher : Pembesaran KGB(-), tonsil T1/T1, faring tidak Eosinofil : 1.2%
Basofil : 0.1% hiperemis Neutrofil : 45.1%
Eosinofil : 0.3% Thorax : pergerakan dada simetris, retraksi -/- Limfosit : 44.1%
Neutrofil : 32.3% Jantung : BJ I & II normal regular. Murmur (-) Gallop (-) Monosit : 9.0%
Limfosit : 55.5% Pulmo : Vesikular merata pada lapang paru kanan kiri Indeks eritrosit
Monosit : 10.8% Ronkhi (-); wheezing (-) MCV/MCH/MCHC : 85/28/33
Abdomen : cembung, bising usus (+) 4-5x per menit, LED : 43 mm/jam
Indeks eritrosit timpani. Nyeri tekan epigastrium, hepar teraba 1 cm LED 2 jam : 49 mm/jam
MCV/MCH/MCHC : 80/27.6/34.5 bac, mc burney(-), rovsing (-), Blumberg (-), nyeri tekan  Periksa Urine rutin dan fese
suprapubik (-) ketok cva -/- lengkap
LED : 47 mm/jam Ekstremitas : Akral Hangat (+) Edema (-) CRT <2’’

Anti salmonella typhii-IgM Positif skala 6

23
Tanggal S O A P
11/7/2019 Pukul 14.00 di Bakung Kesadaran : CM  Typhoid fever DPJP Anak :
Perawatan hari ke 2 S : anak sudah tidak demam, mual sedikit GCS :E4M6V5  Infus D1/2S 40 cc/jam
berkurang. KU : tampak sakit ringan-sedang  Per oral : praxion 1-3x 1¼cth
BB/TB : 13 kg/ 98 cm (Status gizi 92.8% : Normal) pc; antibiotic puyer (Sporetic
Pk 12.00 TD : 110/80 mmHg 60 mg +avil 10 mg) per 12 jam
Hasil lab urine rutin : HR : 90x/menit, regular,equal
Makroskopis urin : dbn Suhu : 36,8C
Mikroskopis urin : dbn RR : 20x/menit
Sp02 : 99%
Hasil lab feses rutin : Status Generalis;
Warna coklat Kepala : Normocephal
Konsistensi lembek Mata : mukosa mata tidak cekung, pupil isokor diameter
Lendir positif (+) 3 mm/3 mm; rangsang cahaya langsung +/+; KA -/- SI -/-
Darah negative Hidung : pernafasan cuping hidung (-)
Nanah negative Leher : Pembesaran KGB(-), tonsil T1/T1, faring tidak
Eritrosit 0-1/lpb hiperemis
Amoeba negative Thorax : pergerakan dada simetris, retraksi -/-
Telur cacing negative Jantung : BJ I & II normal regular. Murmur (-) Gallop (-)
Jamur negative Pulmo : Vesikular merata pada lapang paru kanan kiri
Lemak negative Ronkhi (-); wheezing (-)
Abdomen : cembung, bising usus (+) 4-5x per menit,
timpani. Nyeri tekan epigastrium minimal, hepar
teraba 1 cm bac, mc burney(-), rovsing (-), Blumberg (-
), nyeri tekan suprapubik (-) ketok cva -/-
Ekstremitas : Akral Hangat (+) Edema (-) CRT <2’’
turgor baik

24
Tanggal S O A P
12/7/2019 Pukul 10.00 di Bakung Kesadaran : CM  Typhoid fever DPJP Anak :
Perawatan hari ke 3 S : anak sudah tidak demam, nafsu makan GCS :E4M6V5  Infus D1/2S 40 cc/jam
membaik, mual (-) KU : tampak sakit ringan  Per oral : praxion 1-3x 1¼cth
BB/TB : 13 kg/ 98 cm (Status gizi 92.8% : Normal) pc; antibiotic puyer (Sporetic
TD : 110/80 mmHg 60 mg +avil 10 mg) per 12 jam
HR : 90x/menit, regular,equal
Suhu : 37C
RR : 20x/menit
Sp02 : 99%
Status Generalis;
Kepala : Normocephal
Mata : mukosa mata tidak cekung, pupil isokor diameter
3 mm/3 mm; rangsang cahaya langsung +/+; KA -/- SI -
/-
Hidung : pernafasan cuping hidung (-)
Leher : Pembesaran KGB(-), tonsil T1/T1, faring tidak
hiperemis
Thorax : pergerakan dada simetris, retraksi -/-
Jantung : BJ I & II normal regular. Murmur (-) Gallop (-)
Pulmo : Vesikular merata pada lapang paru kanan kiri
Ronkhi (-); wheezing (-)
Abdomen : cembung, bising usus (+) 4-5x per menit,
timpani. Nyeri tekan epigastrium minimal, mc
burney(-), rovsing (-), Blumberg (-), nyeri tekan
suprapubik (-) ketok cva -/-
Ekstremitas : Akral Hangat (+) Edema (-) CRT <2’’
turgor baik

25
Tanggal S O A P
13/7/2019 Pukul 15.00 di Bakung Kesadaran : CM Typhoid fever DPJP Anak :
Perawatan hari ke 4 S : anak sudah tidak demam, nafsu makan GCS :E4M6V5  Infus D1/2S 40 cc/jam
membaik, mual (-) KU : baik  Per oral : praxion 1-3x 1¼cth
BB/TB : 13 kg/ 98 cm (Status gizi 92.8% : Normal) pc prn; antibiotic puyer
TD : 100/70 mmHg (Sporetic 60 mg +avil 10 mg)
HR :88x/menit, regular,equal per 12 jam
Suhu : 36,5C
RR : 20x/menit
Sp02 : 99%
Status Generalis;
Kepala : Normocephal
Mata : mukosa mata tidak cekung, pupil isokor diameter
3 mm/3 mm; rangsang cahaya langsung +/+; KA -/- SI -/-
Hidung : pernafasan cuping hidung (-)
Leher : Pembesaran KGB(-), tonsil T1/T1, faring tidak
hiperemis
Thorax : pergerakan dada simetris, retraksi -/-
Jantung : BJ I & II normal regular. Murmur (-) Gallop (-)
Pulmo : Vesikular merata pada lapang paru kanan kiri
Ronkhi (-); wheezing (-)
Abdomen : cembung, bising usus (+) 4-5x per menit,
timpani. Nyeri tekan epigastrium- , mc burney(-), rovsing
(-), Blumberg (-), nyeri tekan suprapubik (-) ketok cva -/-
Ekstremitas : Akral Hangat (+) Edema (-) CRT <2’’
turgor baik

26
Tanggal S O A P
14/7/2019 Pukul 10.00 di Bakung Kesadaran : CM Typhoid fever DPJP Anak :
Perawatan hari ke 5 S : anak sudah tidak demam, nafsu makan GCS :E4M6V5  Infus habisaff
membaik, mual (-) KU : baik  Boleh pulang
BB/TB : 13 kg/ 98 cm (Status gizi 92.8% : Normal)  Antibiotic (sisa 2 bungkus)
TD : 100/70 mmHg dihabiskan
HR : 80x/menit, regular,equal
Suhu : 36,8C
RR : 20x/menit
Sp02 : 99%
Status Generalis;
Kepala : Normocephal
Mata : mukosa mata tidak cekung, pupil isokor diameter
3 mm/3 mm; rangsang cahaya langsung +/+; KA -/- SI -/-
Hidung : pernafasan cuping hidung (-)
Leher : Pembesaran KGB(-), tonsil T1/T1, faring tidak
hiperemis
Thorax : pergerakan dada simetris, retraksi -/-
Jantung : BJ I & II normal regular. Murmur (-) Gallop (-)
Pulmo : Vesikular merata pada lapang paru kanan kiri
Ronkhi (-); wheezing (-)
Abdomen : cembung, bising usus (+) 4-5x per menit,
timpani. Nyeri tekan epigastrium- , mc burney(-), rovsing
(-), Blumberg (-), nyeri tekan suprapubik (-) ketok cva -/-
Ekstremitas : Akral Hangat (+) Edema (-) CRT <2’’
turgor baik

27

Anda mungkin juga menyukai