Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian kanker kolon

Kanker kolon adalah kanker yang terjadi di kolon yang berasal dari lapisan

mukosa. Kebanyakan kanker kolon berkembang dari polip, sebagian besar kanker

kolon secara histopatologis adalah adenokarsinoma (terdiri atas epitel kelenjar) dan

memiliki kemampuan mensekresi mukus yang jumlahnya berbeda-beda (Kelompok

Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia, 2004; Syamsuhidayat R., 2006;

Abdullah M., 2012).

Adenokarsinoma adalah neoplasma ganas epitelial dengan sel-sel penyusunnya

identik secara struktural serta fungsional, dengan sel-sel epitel kelenjar normal

pasangannya apokrin, ekrin, endokrin dan kelenjar parenkim. Tumor ini dapat

menyebar melalui infiltrasi langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam

kandung kemih, melalui pembuluh limfe perikolon dan mesokolon, dan melalui aliran

darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirkan darah ke sistim portal (Schwartz

SI., 2003; Andreas M.K., 2007; Kresno SB., 2014).

2.2 Epidemiologi

Kanker kolon merupakan keganansan yang sering ditemukan, terutama

ditemukan pada orang yang lebih tua meskipun dapat terjadi pada semua umur.

5
6

Kurang dari 5% pasien dibawah umur 40 tahun dan lebih dari 50% diatas

umur 60 tahun, dengan puncak insiden pada orang yang berumur 70-80 tahun

(Andreas M.K., 2007; Ahmad B. et al, 2015). Di Amerika Serikat frekuensi kanker

kolorektal merupakan yang terbanyak dari seluruh kanker (17,4%). Insiden kanker

kolon 32,9% untuk laki-laki dan 29,4% untuk perempuan dan kanker rektum 17,5%

dan 10,5% masing-masing pada laki-laki dan perempuan. Insiden pada kulit berwarna

sedikit lebih rendah dibanding dengan kulit putih (AJCC., 2010). Di Australia dan

Eropa, kanker kolorektal merupakan penyebab kematian terbanyak sesudah kanker

paru-paru pada laki-laki dan kanker payudara pada perempuan

(Boonpipattanapong,T. et al. 2006; Ather, 2011).

Di Amerika Serikat data tahun 2001 melaporkan bahwa sekitar 50,8/100.000

penduduk ditemukan kasus kanker baru yaitu kanker kolorektal (15% dari seluruh

kasus kanker baru) dan penyebab kematian sekitar 58.000 orang per tahunnya.

Sedangkan di Inggris pada tahun 1990 dilaporkan kematian oleh kanker kolorektal

sebanyak 17.233 orang. Insiden tinggi 40-50 per 100.000 populasi terdapat di Eropa

Barat dan Amerika Utara, insiden 20-40 per 100.000 populasi terdapat di Eropa

Timur, sedangkan insiden yang lebih kecil dari 20 per 100.000 populasi terdapat di

Asia, Afrika dan Amerika Latin (Su BB. et al, 2012). Sementara insiden kanker

kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Insiden pada

laki-laki sebanding dengan perempuan dan lebih banyak pada orang muda, sekitar

75% ditemukan pada daerah rektosigmoid (Abdullah M., 2012). Data dari Badan

Registrasi Kanker Indonesia tahun 1989 yang didapat dari laboratorium patologi
anatomi, bahwa kanker kolorektal menempaati urutan kelima (9,95%), Di Amerika

serikat seks rasio laki-laki dan perempuan adalah 8,7 untuk kanker kolon dan 9.5

untuk kanker rektum. (Syamsuhidayat R., 2006; Chen CC., 2005)

2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kanker kolon

Berikut adalah faktor yang mempengaruhi kejadian kanker kolon, yaitu :

a. Umur

Lebih sering terjadi pada usia tua, lebih dari 90% penyakit ini diderita pasien

diatas usia 40 tahun dengan insidensi puncak pada usia 60-70 tahun (lansia).

Kanker kolon ditemukan dibawah usia 40 tahun yaitu pada orang yang memiliki

colitis ulserativa atau familial poliposis. (Schwartz S.I., 2003; Cheng J.M.,

2006; Compton C., 2008).

b. Faktor genetik

Kelainan genetik yang dikaitkan dengan keganasan kanker kolon diantaranya

sindrom poliposis. Namun demikian sindrom poliposis hanya terhitung 1% dari

semua kanker kolon. Selain itu terdapat Hereditary Non-Polyposis Kolorektal

Cancer (HNPCC) atau Syndroma Lynch terhitung 2-3% dari kanker kolorektal

(de Rezende H.C.J.,et al, 2013).

c. Faktor Lingkungan

Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik

dan faktor lingkungan. Risiko mendapat kanker kolorektal meningkat pada

masyarakat yang bermigrasi dari wilayah dengan insiden kanker kolorektal

yang rendah ke wilayah dengan risiko tinggi. Hal ini menambah bukti bahwa
lingkungan dengan perbedaan pola makanan berpengaruh pada karsinogenesis

kanker kolorektal (Debas H.T., 2004).

d. Polyposis Familial (PF)

PF diwariskan sebagai sifat dominan autosom. Poliposis Familial ini dilaporkan

pertama kali oleh Lockhart Mummeny pada tahun 1925. Insiden pada populasi

umum adalah satu per 10.000. Jumlah total polip bervariasi 100-10.000 dalam

setiap usus yang terserang. Penyakit ini penting mengingat gejala-gejala yang

diberikan adalah berat dan biasanya mengalami degenerasi maligna. Menurut

catatan dari Morgan (1955) kurang lebih 70% dari polposis akan mengalami

degenerasi maligna. Bila telah berubah menjadi maligna maka tumor menjadi

lebih besar dan mungkin mengalami ulserasi (Duffy M.J., 2001).

Bentuk polip ini biasanya mirip dengan polip adenomatosum bertangkai

atau berupa polip sesil, akan tetapi multipel dan tersebar pada mukosa kolon.

Dalam jangka waktu 10-20 tahun dapat mengalami degenerasi menjadi kanker

kolon. Adanya kanker kolon pada umur muda kemungkinan berasal dari

pertumbuhan poliposis. Polip cenderung muncul pada masa remaja dan awal

dewasa dan risiko karsinoma berkembang di pasien yang tidak diobati adalah

sekitar 90% pada usia 40 tahun. Sebagian dari poliposis ini asimtomatik dan

sebagian disertai keluhan sakit di abdomen, diare, sekresi lendir yang meningkat

dan perdarahan yang menganggu penderita (Gordon P.H., et al 2006; Compton

C., 2008; Fleming M., et al, 2012).


e. Polip Adenomatosum

Polip Adenoma sering dijumpai pada usus besar. Biasanya berukuran kecil,

kurang dari 1 cm terdiri dari 3 bagian yaitu puncak, badan dan tangkai. Insiden

terbanyak pada umur sesudah dekade ketiga, namun dapat juga dijumpai pada

semua umur dan laki-laki lebih banyak dibanding dengan perempuan. Polip

adenomatosum lebih banyak pada kolon sigmoid (60%), ukuran bervariasi

antara 1-3 cm, namun terbanyak berukuran 1 cm Masing-masing bagian

dibentuk dari sedikit kelenjar sel goblet dilapisi epitel silinder dan jaringan ikat

stroma. Pada kondisi polip demikian jarang ditemukan kanker. Akan tetapi

semakin bertambah ukuran polip, risiko perubahan sel epitel mulai dari derajat

atipik sampai anaplasia semakin tinggi. Pada polip dengan ukuran 1,2 cm atau

lebih dapat dicurigai adanya kanker. Semakin besar diameter polip semakin

besar kecurigaan keganasan. Perubahan dimulai dibagian puncak polip, baik

pada epitel pelapis mukosa maupun pada epitel kelenjar, meluas ke bagian

badan dan basis tangkai polip (Gordon P.H., et al, 2006).

f. Adenoma vilosum

Adenoma vilosum jarang terjadi, berjumlah kurang dari 10% adenoma kolon.

Terbanyak dijumpai di daerah rektosigmoid dan biasanya berupa massa papiler,

soliter, tidak bertangkai dan diameter puncak tidak jauh berbeda dengan ukuran

basis polip. Pada kelainan ini risiko terhadap terjadinya kanker lebih sering

dibanding dengan ukuran basis polip adenomatosum. Adenoma vilosum

mempunyai insiden kanker sebesar 30-70%. Adenoma dengan diameter lebih


dari 2 cm, risiko menjadi kanker adalah 45%. Semakin besar diameter semakin

tinggi pula insiden kanker, seperti juga pada polip adenomatosum perubahan di

mulai didaerah permukaan, meluas pada daerah basis dan invasi pada

submukosa kolon ataupun rektum. Biasanya adenoma vilosum memproduksi

lendir yang mengandung banyak elektrolit terutama kalium, mengakibatkan

kemungkinan terjadi hipokalemi. Neoplasma ini ditemukan biasanya karena

banyak mengeluarkan lendir dengan atau tanpa darah (Haggar F.A., et al, 2009).

g. Kolitis Ulserativa

Perkiraan kejadian kumulatif dari kanker kolorektal yang berhubungan dengan

kolitis ulserativa adalah 2,5% pada 10 tahun, 7,6% pada 30 tahun, dan 10,8%

pada 50 tahun. Kolitis ulserativa sering juga menyebabkan terjadinya kanker

kolon dan paling banyak terdapat di bagian proksimal dari kolon. Dimulai

dengan mikroabses pada kripta mukosa kolon dan beberapa abses bersatu

membentuk ulkus (Haggar FA., et al, 2009). Pada stadium lanjut timbul

pseudopolip yaitu penonjolan mukosa kolon yang ada diantara ulkus. Perjalanan

penyakit yang sudah lama, berulang-ulang dan lesi luas disertai adanya

pseudopolip merupakan risiko tinggi terjadinya kanker. Pada kasus demikian

harus dipertimbangkan tindakan kolektomi. Tujuannya adalah mencegah

terjadinya karsinoma dan menghindari penyakit yang sering berulang-ulang.

Karsinoma yang timbul sebagai komplikasi kolitis ulserativa sifatnya lebih

ganas, cepat tumbuh dan metastasis (Hyman N., et al, 2000; Haggar F.A., et al,

2009 ; Hotta T., et al, 2014).


h. Kebiasaan makan tinggi lemak dan rendah serat

Makanan mempunyai peranan penting pada kejadian kanker kolorektal.

Mengkonsumsi serat sebanyak 30 gr/hari terbukti dapat menurunkan risiko

timbulnya kanker kolorektal sebesar 40% dibandingkan orang yang hanya

mengkonsumsi serat 12 gr/hari. Orang yang banyak mengkonsumsi daging

merah (misal daging sapi, kambing) atau daging olahan lebih dari 160 gr/hari (2

porsi atau lebih) akan mengalami peningkatan risiko kanker kolorektal sebesar

35% dibandingkan orang yang mengkonsumsi kurang dari 1 porsi per minggu

(Hyman N., et al, 2000; Haggar FA., et al, 2009; Lou Z., et al., 2013). Ada

variasi yang bermakna di dunia dalam insiden kanker kolorektal, dimana pada

negara yang sudah berkembang, sejauh ini terdapat angka yang tinggi di

Inggris, Amerika Serikat dan Eropa Barat, tetapi di Afrika dan Asia insidennya

rendah (Tan E., 2009; Manuaba, T.W., 2010; Lou Z., et al., 2013).

Variasi geografi telah banyak digambarkan perbedaan makanan. Awalnya

diet serat rendah diduga sebagai faktor penyebab dan kemudian kelebihan

lemak hewani atau protein. Tetapi bukti epidemiologi masih kontradiksi.

Masalahnya adalah karena banyaknya perbedaan makanan antara kelompok

etnik yang berbeda sehingga sulit diketahui komponen-komponen mana yang

dianggap sebagai penyebab (Yeatman T.J., 2001; Schwartz SI., 2003).

Serat makanan terutama yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin

sebagian besar tidak dapat dihancurkan oleh enzim-enzim dan bakteri di dalam
saluran cerna. Serat makanan ini akan menyerap air di dalam kolon, sehingga

volume feses menjadi lebih besar dan akan merangsang saraf pada rektum,

sehingga menimbulkan keinginan untuk defekasi (Wang, WS. et al, 2000;

William TC., 2011).

Dengan demikian tinja yang mengandung serat akan lebih mudah dieliminir

atau dengan kata lain transit time (lamanya makanan di usus sampai

dikeluarkan) yaitu kurun waktu antara masuknya makanan dan dikeluarkannya

sebagai sisa makanan yang tidak dibutuhkan tubuh menjadi lebih singkat.

Waktu transit yang pendek, menyebabkan kontak antara zat-zat iritatif dengan

mukosa kolorektal menjadi singkat, sehingga dapat mencegah terjadinya

penyakit di kolon dan rektum. Di samping menyerap air, serat makanan

(Schwartz SI., 2003; Compton, C., 2008; Thirunavukarasu, P. et al, 2010.).

Bakteri tertentu diketahui dapat memecahkan garam empedu untuk

membentuk karsinogen. Makanan dengan tinggi lemak menyebabkan sintesis

kolesterol dan asam bilirubin oleh hati dan kemudian menjadi karsinogen oleh

bakteri usus (Wang JY., 2006; Compton, C., 2008; Tsikitis, VL. et al, 2014.).

2.4. Gambaran Klinis

Tidak ada gambaran yang khas dari kanker kolorektal. Karsinoma kolon dan

rektum dapat menyebabkan ulserasi, atau perdarahan, menimbulkan obstruksi bila

membesar, atau menembus (invasi) keseluruh dinding usus dan kelenjar-kelenjar

regional. Kadang-kadang bisa terjadi perforasi dan menimbulkan abses di peritonium.


Keluhan dan gejala tergantung juga dari lokasi dan besarnya tumor (Gordon P.H., et

al, 2006; Strambu V. et al, 2011. ; Świderska M., Choromańska B., 2014).

a. Kanker di sekum

Biasanya tanpa keluhan untuk waktu yang lama, mungkin ada keluhan rasa tak

enak di perut kanan bawah untuk waktu yang lama. Tiba-tiba penderita jatuh

dalam keadaan anemia, berat badan menurun. Pada 50-60% pasien terdapat

massa yang teraba di sisi kanan perut (Gordon PH., Nivatvongs S., 2006;

Sternberg D. et al, 2006; Sturgeon CM. et al, 2008).

b. Kanker di kolon asendens

Biasanya mempunyai keluhan, misalnya mengeluh karena rasa nyeri. Mula-

mula timbul sindroma dispepsi (gangguan pencernaan), rasa tak enak pada perut

kanan atas timbul, yang kemudian disertai rasa penuh diperut, anoreksia,

nausea. Kadang-kadang badan menjadi lemas. Tumor makin nyata. Berat badan

mulai menurun dan makin anemis yang mungkin karena adanya perdarahan.

Darah biasanya bercampur dengan isi kolon (Schwartz SI., 2003 ; Siegel RL. et

al, 2012; Sisik A. et al, 2013.).

c. Kanker di kolon transversum

Jarang memberi keluhan, demikian pula fungsi kolon tak terganggu, walaupun

adanya melena yang periodik. Kalau ada keluhan biasanya telah mengalami

metastase, misalnya metastase ke paru-paru dan hepar (Sturgeon CM. et al,

2008; Sireger GA., 2008).


d. Kanker di kolon desendens

Keluhan nyeri di perut sering mendahului dan sering diajukan, Selain dari itu

ada perubahan kebiasaan defekasi, dengan konstipasi atau diare atau keduanya.

Biasanya feses disertai darah. Obstruksi komplet agak sering terjadi atau adanya

penyempitan (O’Connell JB., 2004; Nozoe T., Rikimaru T., 2006; Strambu V.

et al, 2011).

e. Kanker di kolon sigmoid

Gejala-gejala yang sering yaitu timbulnya perubahan kebiasaan defekasi,

dengan konstipasi atau diare atau keduanya, dimana bentuk feses berlendir dan

berdarah. Rasa nyeri timbul, sering dengan kolik (mulas mendadak) terutama di

abdomen kiri bawah. Sering terjadi obstruksi (Schwartz, SI., 2003; Nozoe T.,

Rikimaru T., 2006; Strambu V. et al, 2011).

f. Kanker di rektum

Sering terjadi ganggguan defekasi, misalnya konstipasi atau diare. Sering terjadi

perdarahan yang segar dan sering bercampur dengan lendir. Berat badan

menurun. Perlu diketahui bahwa rasa nyeri tidak biasa pada kanker rektum.

Kadang-kadang timbul tenesmus (keinginan defekasi disertai rasa sakit) dan

bahkan sering merupakan gejala utama (Schwartz, S.I., 2003; Nozoe T.,

Rikimaru T., 2006; Strambu V. et al, 2011).

2.5 Stadium

Prognosis dari pasien KKR berhubungan dengan dalamnya penetrasi tumor ke

dinding kolon, keterlibatan kelenjar getah bening regional atau metastasis jauh.
Semua variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan sistem staging yang awalnya

diperhatikan oleh Dukes (Merchant NB. et al, 2007; Edwards et al., 2010).

TNM-Staging

Gambar 2.1
Skema TNM-staging (dikutip dari AJCC Cancer Staging Manual
7th Ed, 2010).

Tabel 2.1
Perbandingan klasifikasi AJCC / UICC Cancer staging Dukes dan MAC (modified
Astler-Coller) dan angka kelangsungan hidup 5 tahun (%). (Dikutip dari Compton.
C. et al 2008 in Abelof’s Clinical Oncology: Kolon Cancer. 4th Ed. Churchill
Livingstone Elsevier. Ch 81).
AJCC/UICC CANCER STAGING Comparison
Region to Dukes and 5-Year
AJCC/UIC al Distant MAC Surviva
C Cancer Tumo Lymph Metastase Classificatio Astler, Compariso l Rates
Stage r Nodes s ns Coller n to SEER (%)
Stage 0 Tis N0 M0 — Limited In situ
to
mucosa
AJCC/UICC CANCER STAGING Comparison
Region to Dukes and 5-Year
AJCC/UIC al Distant MAC Surviva
C Cancer Tumo Lymph Metastase Classificatio Astler, Compariso l Rates
Stage r Nodes s ns Coller n to SEER (%)
Stage I T1 N0 M0 Dukes A, Extending Lokalized
MAC A into
submucos
a
T2 N0 M0 Dukes A, Extending Lokalized 93.2
MAC B1 into
musculari
s propria
Stage IIA T3 N0 M0 Dukes B, Extending Regional 84.7
MAC B2 through
musculari
s propria
Stage IIB T4 N0 M0 Dukes B, 72.2
MAC B3
Stage IIIA T1– N1 M0 Dukes C, Limited Regional 83.4
T2 MAC C1 to bowel
wall with
involved
nodes
Stage IIIB T3– N1 M0 Dukes C, Extension Regional 64.1
T4 MAC C2-C3 through
bowel
wall with
involved
nodes
Stage IIIC Any N2 M0 Dukes C, Regional 44.3
T MACC1-C2-
C3
Stage IV Any Any N M1 —, MAC D Distant Distant 8.1
T metastase
s
Secara internasional klasifikasi histopatologi kanker kolorektal telah diberikan

oleh World Health Organization dan direkomendasikan oleh College of American

Pathologists (CAP). Berdasarkan klasifikasi ini, mayoritas kanker kolorektal adalah

adenocarcinoma no special type (Libutti, S.K., Saltz, L.B., Tepper, J.E. 2008;

Compton et al., 2008; Lou Z., et al, 2013).

Tabel 2.2
Klasifikasi karsinoma kolorektal oleh World Health Organization:
Adenocarcinoma

Mucinous (colloid) adenocarcinoma (>50% mucinous)

Signet-ring cell carcinoma (>50% signet-ring cells)

Squamous cell (epidermoid) carcinoma

Adenosquamous carcinoma

Small cell (oat cell) carcinoma

Medullary carcinoma

Undifferentiated carcinoma

Other (e.g., papillary carcinoma)

NOS not otherwise specified) bukan bagian klasifikasi WHO

Grading karsinoma kolorektal, secara keseluruhan dinilai bedasarkan arsitektur

dan sitologi (contoh pleomerfism, hiperkromatisme dan produksi musin) tetapi

derajat bentuk kelenjar secara luas adalah paling penting dalam grading, sebagian
besar sistem stratifikasi tumor dibagi 4 (Hyman, N., Krag, D.N. 2000; Locker G.Y.,

2006):

Grade 1: Well differentiated


Grade 2: Moderately differentiated
Grade 3: Poorly differentiated
Grade 4: Undifferentiated

Hampir semua penelitian mendokumentasikan kekuatan prognosis tingkat tumor, 4

skema grading diberikan untuk analisis data antara lain:

Low-grade = grades 1 and 2

High-grade = grades 3 and 4 (Compton et al., 2008).

Skrining diperkirakan dapat mengurangi kejadian mortalitas akibat Karsinoma

kolorektal (Hörig H. et al, 2000; Edwards et al., 2010; Hotta, T., Takifuji, K. 2014).

Sebagian besar KKR berasal dari perkembangan adenoma-karsinoma, sebuah proses

yang dapat berlangsung lebih dari 10 tahun. Perkembangan dari polip adenomatosa

kecil menuju polip yang besar akibat adanya displasia yang kemudian berkembang

menjadi kanker memberikan kesempatan untuk mencegah kanker dengan

mengembalikan polip ke onset kanker sebelumnya (Gordon P.H., Nivatvongs S.,

2006; Geiger T. M., Ricciardi R., 2009; Filiz AI. et al, 2009). Panjang waktu

perkembangan dari polip ke kanker memberikan waktu untuk melakukan skrining

seperti kolonoskopi yang tidak perlu diulang tiap tahun dan tes yang kurang sensitif

seperti darah samar, dilakukan tiap tahun dapat mengidentifikasi lesi yang terlewat
pada awal skrining (Greene F.L., 2006; Haggar, F.A., Boushey, R.P. 2009).

Kolonoskopi telah menjadi standar emas untuk mendeteksi polip kolon dan kanker

kolorektal. Telah terlihat bahwa skrining awal kolonoskopi dan prosedur polipektomi

mengurangi insiden KKR pada penderita dengan polip adenomatosa (Geiger T. M.,

Ricciardi R., 2009; Fleming M. et al, 2012). Penilaian saat ini tentang metoda

skrining mengindikasikan bahwa tingginya angka ketaatan setiap metoda, dari

keuntungan tersebut didapatkan beberapa metoda screening: kolonoskopi tiap 10

tahun, tes darah samar tiap tahun dan sigmoidoskopi setiap 5 tahun dengan hemocult

SENSA tiap 2-3 tahun (Merchant et al., 2007; Edwards et al., 2010).

2.6 Carcinoembryonic Antigen (CEA)

CEA merupakan protein karsinoembrionik yang terdapat dalam jumlah banyak

selama perkembangan kolon janin, tetapi kemudian tidak terdeteksi (atau terdapat

dalam kadar yang sangat rendah) pada orang dewasa sehat. CEA adalah

glikoprotein 180 kDa, diisolasi pertama kali oleh Gold dan Freeman pada tahun 1965

dengan melakukan ekstraksi karsinoma kolon manusia (Gershon, YL. 2006; Haggar

FA. et al, 2009; Kresno SB., 2014). Penelitian-penelitian tentang CEA

mengungkapkan bahwa CEA terdiri atas keluarga besar glikoprotein permukaan sel

dengan sedikitnya 30 anggota keluarga, disandi sekitar 10 gen yang terletak pada

kromosom 19 (Debas HT., 2004; de Rezende HCJ. Et al, 2013). Struktur protein

CEA serupa dengan rantai berat immunoglobulin G (IgG), sehingga CEA diangggap

sebagai salah satu anggota immunoglobulin superfamily. Penemuan ini

mengindikasikan bahwa CEA terlibat dalam mekanisme pengenalan interseluler atau


pengenalan sel matriks (Hörig H., et al, 2000 ;Haggar FA. et al, 2009; Kresno S.B.,

2014). CEA dijumpai kembali pada pasien kanker kolon dengan kadar tinggi,

sehingga diduga dapat digunakan sebagai penanda kanker kolon. Namun, kemudian

pada studi berikutnya terbukti bahwa kadar CEA juga meningkat pada kanker jenis

lain, diantaranya kanker paru, pankreas, hati, lambung, prostat, tiroid, ovarium dan

buli-buli, sehingga dianggap sebagai biomarker non-spesifik. Bahkan kadar CEA

juga lebih tinggi pada perokok dibadingkan bukan perokok (Hörig H., et al, 2000;

Federiko V., 2011; Kresno SB., 2014).


Gambar 2.2
Tampilan skematik dari CEA gen dan protein manusia.
(a). Gen CEA dikode oleh segmen DNA yang terdiri dari 3100 pasangan basa
yang berasal dari 8 ekson (N domain, A1-A3, B1-B3, dan M domain). (b). CEA
protein mengandung ujung rangkaian dan tiga pengulangan domain(1-3),
masing-masing mengandung 178 asam amino. Masing-masing dari tiga
pengulangan domain akan dibagi menjadi 2 subdomain (A dan B), yang
signifikan membawa kelanjutan homolog (dikutip dari Horig H., et al, 2000).

Sekalipun tidak spesifik, berbagai penelitian membuktikan bahwa setelah tindakan

bedah kuratif, pasien yang mengalami surveilen pasca bedah intensif dengan

menyertakan pengukuran kadar CEA serum rendah menunjukkan outcome yang lebih

baik (Chen CC., 2005; Fearon E.R., Bommer G.T., 2008; Duffy MJ., 2013). Karena

itu, beberapa panel ekspert di Eropa dan Amerika merekomendasikan pengukuran

kadar CEA serial setelah pembedahan. Menurut kelompok European Group on

Tumour Marker (EGTM), peningkatan kadar CEA pasca-bedah dianggap bermakna

apabila kadarnya meningkat sedikitnya 30% dari kadar sebelumnya. Bila sampel
kedua juga meningkat, pasien perlu menjalani pemeriksaan lanjutan, misalnya

pencitraan (Gershon Y.L., 2006; Forones N.M. et al, 2007; Duffy M.J., 2013).

CEA sudah lama digunakan sebagi biomarker keganasan, fungsi dalam

tumorigenesis belum jelas diketahui. CEA adalam salah satu anggota superfamily

immunoglobulin, yang pada manusia terdiri dari 29 gen semua anggota keluarga CEA

berfungsi sebagai molekul adhesi homotipik interseluler (Andreas M.K., 2007; Filiz

AI. et al, 2009; Fleming M. et al, 2012). Banyak penelitian mengungkapkan bahwa

CEA memegang peranan penting pada berbagi aspek biologis neoplasma seperti

adhesi sel, metastasis, supresi sistem imun dan menghambat apoptosis, diferensiasi

sel (Chen CC., 2005; Cheng JM., 2006).

Mekanisme molekuler CEA dalam peningkatan proses metastasis belum

banyak diketahui. Diketahui bahwa jalur pensinyalan TGF-β mengatur supresi tumor

dan metastasis dan berkontribusi menstimulasi transkripsi dan seksresi CEA. Dalam

sebuah penelitian, dikemukakan bahwa CEA berinteraksi langsung dengan reseptor

TGF-β , sehingga memungkinkan terjadinya negative feedback loop dalam

meningkatkan perkembangan kanker kearah fenotip yang lebih invasif (Li Y.et al,

2010; Federiko V., 2011; Abdullah M., 2012).


Gambar 2.3.
Mekanisme target dan kehancuran sel tumor mengikuti proses pengikatan CEA
monoclonal antibody pada sel tumor yang mengekspresikan CEA.
(a). Anti CEA monoclonal antibody berikatan pada permukaan sel tumor yang
mengekspresikan CEA, memicu terjadinya akumulasi protein komplemen, yang
bersirkulasi dalam ruang interseluler. System komplemen terdiri dari enzim
proteolitik, protein dan peptide pengatur dan inflamator, reseptor permukaan sel, dan
protein lainnya, yang kesemuanya berinteraksi dalam kaskade dan mengakibatkan
lisis dari sel tumor. (b). Pengikatan natural killer cells melalui Fc receptor pada Fc
portion meloncati antibodi anti-CEA dapat pula mengaktifkan natural killer cells
untuk melisiskan sel tumor melalui proses yang di sebut antibody-directed cellular
cytotoxicity (ADCC) (dikutip dari Horig H., et al, 2000).

Beberapa studi menunjukkan bahwa CEA juga terdapat pada jaringan sehat

namun kadar CEA pada tumor rata-rata 60 kali lipat lebih tinggi dari jaringan tidak

ganas dengan nilai ambang CEA normal < 5 ng/ml . Menurut laporan pertama

mengenai CEA dalam serum oleh Thomson dkk. menemukan peningkatan kadar

CEA 35 dari 36 penderita dengan KKR (Michael JD, 2001; Fearon, E.R.&Bommer,

G.T., 2008). Lebih jelasnya kadar CEA yang tinggi tidak dijumpai pada subjek

normal, wanita hamil, pasien yang bukan keganasan pada saluran cerna atau pasien
dengan penyakit saluran cerna lainnya yang jinak (Michael JD, 2001; Duffy MJ,

2013).

Beberapa faktor yang mempengaruhi konsentrasi CEA pada penderita KKR:

a. Derajat histopatologi tumor

Beberapa studi memperlihatkan bahwa KKR dengan diferensiasi yang baik (”well

differentiated colorectal cancers”) menghasilkan lebih tinggi kadar CEA serum in

dibandingkan KKR yang berdiferensiasi buruk (”poorly diffrentiated colorectal

cancer”). Sebagai contoh dalam satu laporan kadar rata-rata CEA pada KKR

diferensiasi baik, diferensiasi sedang dan diferensiasi buruk adalah 18,0-5,5 dan

2,2 µg/L secara berurutan (Michael JD, 2001; Geiger T M.& Ricciardi R., 2009;

Fleming, M., et al 2012).

b. Fungsi hati

Hati merupakan tempat utama metabolisme CEA, pada awalnya pengambilan

CEA terjadi di sel Kupffer yang memodifikasi CEA dengan membuang sisa asam

sialat kemudian oleh parenkim hati didegradasi sehingga kadar CEA tetap

meningkat. Beberapa penyakit hati jinak dapat megurangi fungsi hati dengan

cucian CEA yang juga ikut menurun sehingga kadar CEA tetap tinggi (Michael

JD, 2001; Fleming, M., et al 2012).

c. Letak tumor

Pasien dengan tumor kolon asenden umumnya mengalami peningkatan CEA

dibandingkan dengan tumor kolon desenden. Menurut sebuah penelitian, dari

pasien KKR dengan nilai normal CEA < 5 ng/ml dan abnormal > 5 ng/ml
didapatkan hasil bahwa kadar CEA abnormal pra operatif secara bermakna

berhubungan dengan letak tumor di kolon, kedalaman invasi tumor dan status

KGB yang terlibat (Wang JY.,2007; Fleming, M., et al 2012).

d. Obstruksi usus

Beberapa studi menunjukkan bahwa obstruksi usus memberikan kadar CEA lebih

tinggi pada kasus KKR dibandingkan dengan kasus non obstruksi usus (Michael

JD, 2001; Fleming, M., et al 2012).

e. Riwayat merokok

Melalui suatu studi dengan sampel >700 sukarelawan sehat didapati kadar CEA

meningkat 2 kali lipat pada penderita yang merokok dibanding penderita yang

tidak merokok baik laki-laki maupun perempuan. Kadar rata-rata CEA wanita

perokok dan yang tidak merokok adalah 4,9 dan 2,2 µg/L sedangkan pada pria 6,2

dan 3,4 µg/L (Michael JD, 2001; Fleming, M., et al 2012; Kanellos I., 2006).

f. Status ploidi dari tumor

Penderita dengan aneuploid KKR menghasilkan kadar CEA lebih tinggi

dibandingkan penderita dengan pola tumor diploid (Michael JD, 2001; Kanellos

I.,2006).

Anda mungkin juga menyukai