Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

“MANIFESTASI KLINIS DAN TATA LAKSANA HERPES ZOSTER”

Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik BagianIlmu Kulit dan Kelamin

RSU PKU Muhammadyah Delanggu

Pembimbing : dr. Melok, M.Kes, SpKK

Disusun oleh :

Winda Wahyu Ikaputri Sulistyaningrum

H2A011049

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2015

1
BAB I

PENDAHULUAN

Herpes zoster merupakan salah satu penyakit kulit akibat infeksi virus,
yaitu reaktivasi varisela zoster virus (VZV). Insidennya meningkat seiring
bertambahnya usia, di mana lebih dari 2/3 kasus terjadi pada usia lebih dari 50
tahun dan kurang dari 10% di bawah 20 tahun. 1 Meingkatnya insidensi pada usia
lanjut ini berkaitan dengan menurunnya respon imun dimediasi sel yang dapat
pula terjadi pada pasien imunokompromais seperti pasien HIVAIDS, pasien
dengan keganasan, dan pasien yang mendapat obat imunosupresi. Namun,
insidensinya pada pasien imunokompeten pun besar.1

Herpes zoster sendiri meskipun bukan penyakit yang life-threatening,


namun dapat menggangu pasien sebab dapat timbul rasa nyeri. Lebih lanjut lagi
nyeri yang dialami saat timbul lesi kulit dapat bertahan lama, hingga berbulan-
bulan lamanya sehingga dapat menggangu kualitas hidup pasien – suatu keadaan
yang disebut dengan postherpetic neuralgia. Prevalensi herpes zoster di Indonesia
diprediksi kecil, yakni hanya mencakup 1%.

Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang diterbitkan


oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun 2012, tercantum bahwa
herpes zoster merupakan daftar masalah dermatologi yang perlu ditangani oleh
dokter. Kompetensi herpes zoster tanpa komplikasi bagi dokter umum adalah 4A,
yang berarti level kompetensi tertinggi yang perlu dicapai oleh dokter umum, di
mana dokter dapat mengenali tanda klinis, mendiagnosis, menatalaksana hingga
tuntas kecuali pada perjalanannya timbul komplikasi.2

Berdasarkaan uraian diatas, referat ini dimaksudkan untuk menjelaskan


lebih rinci tentang manifestasi klinis dan tatalaksana Herpes Zoster.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi Varisela-
zoster virus laten dari saraf pusat dorsal atau kranial. Varisela zoster virus
bertanggung jawab untuk dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu
varisela atau chickenpox (cacar air) dan Herpes zoster. Varisela merupakan
infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang berkontak dengan
varisela zoster virus. Varisela zoster virus dapat mengalami reaktivasi,
menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau
Shingles. Pada usia di bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari
1000, semakin meningkat pada usia lebih tua.3
II. Patogenesis
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi varisela zoster virus yang laten di
dalam ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi
ganglion spinal atau ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Varicella
zoster merupakan virus rantai ganda DNA, anggota famili virus herpes yang
tergolong virus neuropatik atau neurodermatotropik. Reaktivasi varisela
zoster virus dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan,
penyinaran, lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi,
seseorang yang sedang dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang,
atau menderita penyakit sistemik. Jika virus ini menyerang ganglion anterior,
maka menimbulkan gejala gangguan motorik.3,4

III. Manifestasi Klinis

3
Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran
mukosa. Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal
selama 2-4 hari, yaitu sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri
otot-tulang, gatal, pegal). Setelah itu akan timbul eritema yang berubah
menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang edema dan
eritematosa. Vesikel tersebut berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh,
dapat menjadi pustul dan krusta. Jika mengandung darah disebut sebagai
herpes zoster hemoragik. Jika disertai dengan ulkus dengan sikatriks,
menandakan infeksi sekunder.4 Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari,
masa aktif berupa lesi baru yang tetap timbul, berlangsung seminggu, dan
masa resolusi berlangsung 1-2 minggu. Selain gejala kulit, kelenjar getah
bening regional juga dapat membesar. Penyakit ini lokalisasinya unilateral
dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang paling sering terkena adalah
nervus trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2. Jika terkena saraf
tepi jarang timbul kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat sering dapat
timbul gangguan motorik akibat struktur anatomisnya. Gejala khas lainnya
adalah hipestesi pada daerah yang terkena.4,5

Gambaran vesikel- vesikel yang tersusun berkelompok sepanjang


persarafan sensori kulit sesuai dermatom

IV. Dermatom
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf
spinalis. Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk

4
menemukan tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Virus yang menginfeksi
saraf tulang belakang seperti infeksi herpes zoster (shingles), dapat
mengungkapkan sumbernya dengan muncul sebagai lesi pada dermatom
tertentu.6

V. Berdasarkan lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:


A. Herpes zoster oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang
ophthalmikus saraf trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral
pada kulit. Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan
wajah disertai gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan.

5
Herpes zoster oftalmikus
B. Herpes zoster fasialis
Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis
(N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Herpes zoster fasialis

C. Herpes zoster brakialis


Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada
kulit.

6
Herpes zoster brakialis sinistra.

D. Herpes zoster torakalis


Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada
kulit.

Herpes zoster torakalis dextra

E. Herpes zoster lumbalis


Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada
kulit.

7
Herpes zoster lumbalis dextra
F. Herpes zoster sakralis
Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada
kulit.

Herpes zoster sakralis sinistra

8
VI. Komplikasi herpes zoster
A. Ramsay-Hunt Syndrome (RHS)
Bila virus menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius terjadi sindrom
Ramsay-Hunt yaitu erupsi kulit timbul diliang telinga luar atau membrane
timpani disertai paresis fasialis, gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3
bagian depan lidah, tinnitus, vertigo dan tuli.
Gambaran Ramsay-hunt

B. Postherpetic
neuralgia (PHN)
Postherpetic neuralgia
merupakan suatu bentuk
nyeri neuropatik yang
muncul oleh karena
penyakit atau luka pada
sistem saraf pusat atau
tepi, nyeri menetap dialami lebih dari 3 bulan setelah penyembuhan herpes
zoster. Penyebab paling umum timbulnya peningkatan virus ialah penurunan
sel imunitas yang terkait dengan pertambahan umur. Berkurangnya imunitas
di kaitkan dengan beberapa penyakit berbahaya seperti limfoma, kemoterapi
atau radioterapi, infeksi HIV, dan penggunaan obat immunesuppressan
setelah operasi transplantasi organ atau untuk manajemen penyakit (seperti
kortikoteroid) juga menjadi faktor risiko.8,9
Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik
akut (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut
(30-120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), dan postherpetic neuralgia
(di defenisikan sebagai rasa sakit yang terjadi setidaknya 120 hari setelah
timbulnya ruam pada kulit).9
Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri
herpes zoster akut, dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster yang
disebabkan oleh replikasi jumlah varisela zoster virus yang besar dalam
ganglia yang ditemukan selama masa laten. Oleh karena itu, mengakibatkan
inflamasi atau kerusakan pada serabut syaraf sensoris yang berkelanjutan,
hilang dan rusaknya serabut-serabut syaraf atau impuls abnormal, serabut

9
saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor hilang atau rusak
dan mengalami kerusakan terparah. Akibatnya, impuls nyeri ke medulla
spinalis meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang hebat.5,8

Jaras sensori nyeri

C. Herpes Zoster Oftalmikus


Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus
trigeminus sehingga manifestasinya pada mata, selain itu juga memengaruhi
cabang kedua dan ketiga. Jika cabang nasosiliar bagian luar terlibat, dengan
vesikel pada ujung dan tepi hidung (Hutchinson’s sign), maka keterlibatan
mata dapat jelas terlihat. Vesikel pada margo palpebra juga harus
diperhatikan. Kelainan pada mata yang sering terjadi adalah uveitis dan
keratitis, akan tetapi dapat pula terjadi glaukoma, neuritis optik, ensefalitis,
hemiplegia, dan nekrosis retina akut.4,5

Herpes Zoster Oftalmika Dextra

10
VII. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses
penyembuhan, mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik, serta
mengurangi risiko komplikasi.9
A. Sistemik
1. Obat Antivirus
Menurunkan durasi lesi herpes zoster dan derajat keparahan nyeri
herpes zoster akut. Tiga antivirus oral yang disetujui oleh Food and
Drug Administration (FDA) untuk terapi herpes zoster adalah :
famsiklovir, falasiklovir hidroklorida dan asiklovir. Bioavailabilitas
asiklovir hanya 15-20%, lebih rendah dari pada falasiklovir (65%) dan
famsiklovir (77%). Antivirus famsiklovir 3x500mg atau valasiklovir
3x1000 mg atau asiklovir 5x800mg diberikan sebelum 72 jam awitan
lesi selama 7 hari.9
2. Kortikosteroid
Prednison yang digunakan bersama asiklovir dapat mengurangi nyeri
akut. Hal inni disebabkan penurunan derajat neuritis akibat infeksi virus
dan mungkin juga menurunkan derajat kerusakan saraf yang terlibat.
Namun mengingat resiko yang ditimbulkan lebih berat daripada
keuntungannya, maka pemberian kortikosteroid pada herpes zoster
dipertimbangkan kembali.9
3. Analgetik
Pada pasien nyeri akut ringan menunjukkan respon baik terhadap AINS
(asetosal, piroksikam ,ibuprofen ,diklofenak), atau analgetik non opioid
(paracetamol, tramadol, asam mefenamat). Pada pasien dengan nyeri
kronik hebat kadang dibutuhkan opioid (kodein, morfin atau
oksikodon).9
4. Antidepresan dan antikonvulsan
Pada penggunaan asiklovir dan antidepresan trisiklik atau gabapentin
sejak awal akan mengurangi prevalensi PHN.9
B. Topikal
1. Analgetik topikal
a. Kompres
Kompres terbuka dengan solusio Burowi dan solusio Calamin
(Caladryl) dapat digunakan pada lesi akut untuk mengurangi nyeri dan
pruritus. Kompres dengan solusio Burowi (alumunium asetat 5%)

11
dilakukan 4-6 kali/ hari selama 30-60 menit. Kompres dingin atau cold
pack juga sering digunakan.9
b. Antiinflamasi nonsteroid(AINS)
Berbagai AINS topikal seperti bubuk aspirin dalam kloroform atau etil
eter, krim indometasin dan diklofenak banyak dipakai. Asam asetil
salisilat topikal dalam pelembab lebih efektif disbanding aspirin oral
dalam memperbaiki nyeri akut. Aspirin dalam etil eter atau kloroform
lebih aman dan bermanfaat menghilangkan nyeri untuk beberapa jam.9
2. Anestetik lokal
Pemberian anestesik lokal pada berbagai lokasi sepanjang jaras saraf
yang terlibat dalam herpes zoster telah banyak di lakukan untuk
menghilangkan nyeri. Infiltrasi lokal subkutan, blok saraf perifer, ruang
paravertebral atau epidural, dan blok simpatis untuk nyeri yang
berkepanjangan sering digunakan dan pencegahan PHN.9

C. Pencegahan
Pemberian booster vaksin varisela strain Oka terhadap orangtua
harus dipikirkan untuk meningkatkan kekebalan spesifik terhadap VZV
sehingga dapat memodifikasi perjalanan penyakit herpes zoster.9

12
BAB IV
KESIMPULAN

Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi virus


Varisela-zoster laten dari saraf pusat dorsal atau kranial. Varisela zoster
virus bertanggung jawab untuk dua infeksi klinis utama pada manusia
yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan Herpes zoster. Varisela
merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang
berkontak dengan varisela zoster virus. Varisela zoster virus dapat
mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan
nama Herpes zoster atau Shingles.1
Herpes zoster diawali dengan gejala manifestasi klinis pada
prodromal yaitu sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-
tulang, gatal, pegal), dan pada wujud kelainan kulit berupa vesikel
multiform berkelompok dengan dasar kulit erimatosa disertai edema sesuai
dermatomal. Vesikel awalnya berisi cairan jernih, kemudian menjadi
keruh, dapat menjadi pustul dan krusta.4,5
Penyakit ini lokalisasinya unilateral dan dermatomal sesuai
persarafan. Saraf yang paling sering terkena adalah nervus trigeminal,
fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2. Menurut lokasi lesinya, herpes
zoster dibagi menjadi herpes zoster oftalmikus, herpes zoster fasialis,
herpes zoster brakhialis, herpes zoster thorakalis, herpes zoster lumbalis,
dan herpes zoster sakralis.4,5
Komplikasi herpes zoster yang sering dijumpi adalah Ramsay-
Hunt, Postherpetic neuralgia dan Herpes Zoster Oftalmikus.4,5
Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses
penyembuhan, mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik,
serta mengurangi risiko komplikasi. Pada penatalaksanaan medikamentosa
dapat dilakukan secara peroral maupun topikal.9

13
DAFTAR PUSTAKA
1. Gnann JW, Whitley RJ. Herpes Zoster. N. Engl. J. Med.
2002;347(5):340–6.
2. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia
(SKDI) 2012. Jakarta; 2012.
3. James WD, Berger T, Elston D. Andrew’s diseases of the skin.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
4. Handoko R. Penyakit virus. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
5. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster. In:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editors. Fitzpatricks Dermatol. Gen. Med. 7th ed.
6. Baehr M, Frotscher M. Duus’ topical diagnosis in neurology. 4th ed.
New York: Thieme; 2005.
7. Tunsuriyawong S, Puavilai S. Herpes zoster, clinical course and
associated diseases: A 5- year retrospective study at Tamathibodi
Hospital. J. Med. Assoc. hail. Chotmaihet Thangphaet. 2005
May;88(5):678–81.
8. Herr H. Prognostic factors of postherpetic neuralgia. J. Korean Med.
Sci. 2002 Oct;17(5):655–9. 9. Oakes SA. Postherpetic
9. Linuwih, S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed7. Jakarta: FKUI
2015.

14

Anda mungkin juga menyukai