ِ ْ فَ ْليَ ْم َسحْ هُ بِاْألَر، َولِيَ ْنظُرْ فِ ْي ِه َما فَإ ِ ْن َرأَى َخبَثًا، فَ ْليُقَلِّبْ نَ ْعلَ ْي ِه،َإِ َذا َجا َء أَ َح ُد ُك ُم ْال َم ْس ِجد.
َ ض ثُ َّم لِي
ُصلِّ فِ ْي ِه َما
“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah ia membalik
sandal dan melihatnya. Jika ia melihat najis, maka hendaklah ia menggosokkannya dengan
tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.”
Adapun dalil bagi disyaratkannya kesucian badan adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada ‘Ali. Dia menanyai beliau tentang madzi dan berkata:
َتَ َوضَّأْ َوا ْغ ِسلْ َذ َك َرك.
“Wudhu’ dan basuhlah kemaluanmu.”
Beliau berkata pada wanita yang istihadhah:
صلِّ ْي ِ اِ ْغ ِسلِ ْي َع ْن.
َ ك ال َّد َم َو
“Basuhlah darah itu darimu dan shalatlah.”
Adapun dalil bagi sucinya tempat adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada para Sahabatnya di saat seorang Badui kencing di dalam masjid:
أَ ِر ْيقُوْ ا عَلى بَوْ لِ ِه َسجْ الً ِم ْن َما ٍء.
“Siramlah air kencingnya dengan air satu ember.”
Catatan:
Barangsiapa telah shalat dan dia tidak tahu kalau dia terkena najis, maka shalatnya sah
dan tidak wajib mengulang. Jika dia mengetahuinya ketika shalat, maka jika
memungkinkan untuk menghilangkannya -seperti di sandal, atau pakaian yang lebih dari
untuk menutup aurat- maka dia harus melepaskannya dan menyempurnakan shalatnya. Jika
tidak memungkinkan untuk itu, maka dia tetap melanjutkan shalatnya dan tidak wajib
mengulang.
Berdasarkan hadits Abu Sa’id: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat lalu
melepaskan kedua sandalnya. Maka orang-orang pun turut melepas sandal-sandal mereka.
Ketika selesai, beliau membalikkan badan dan berkata, ‘Kenapa kalian melepas sandal
kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami melihat Anda melepasnya, maka kami pun melepasnya.’
Beliau berkata, ‘Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan mengatakan bahwa pada kedua
sandalku terdapat najis. Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka
hendaklah membalik sandalnya dan melihatnya. Jika dia melihat najis, hendaklah ia
gosokkan ke tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.’”
D. Menutup Aurat
Berdasarkan firman Allah:
ٍ ض إِالَّ بِ ِح َم
ار َ الَ يَ ْقبَ ُل هللا.
ٍ ِصالَةَ َحائ
“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan
mengenakan penutup kepala (jilbab).”
Aurat laki-laki antara pusar dan lutut. Sebagaimana dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib
Radhiyallahu anhum, dari ayahnya, dari kakeknya, secara marfu’:
ٌ َما بَ ْينَ ال ُّس َّر ِة َوالرُّ ْكبَ ِة عَوْ َرة.
ٍ ض إِالَّ بِ ِح َم
ار َ الَ يَ ْقبَ ُل هللا.
ٍ ِصالَةَ َحائ
“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah pernah haidh (baligh) kecuali dengan
mengenakan kain penutup.”
E. Menghadap ke Kiblat
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
ْ ْث َما ُكنتُ ْم فَ َولُّوا ُوجُوهَ ُك ْم َش
ُط َره ْ ك َش
ُ ط َر ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام ۚ َو َحي َ َفَ َو ِّل َوجْ ه
“… maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian)
berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya…” [Al-Baqarah: 150].
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk dalam shalatnya:
َصالَ ِة فَأ َ ْسبِ ِع ْال ُوضُوْ َء ثُ َّم ا ْستَ ْقبِ ِل ْالقِ ْبلَة
َّ إِ َذا قُ ْمتَ إِلَى ال.
“Jika engkau hendak shalat, maka berwudhu’lah dengan sempurna. Kemudian
menghadaplah ke Kiblat…”
Boleh (shalat) dengan tidak menghadap ke Kiblat ketika dalam keadaan takut yang sangat
dan ketika shalat sunnat di atas kendaraan sewaktu dalam perjalanan.
Allah berfirman:
فَإ ِ ْن ِخ ْفتُ ْم فَ ِر َجااًل أَوْ رُ ْكبَانًا
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan…” [Al-Baqarah: 239].
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Menghadap ke Kiblat atau tidak menghadap ke
sana.”
Nafi’ berkata, “Menurutku, tidaklah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma menyebutkan hal itu
melainkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam shalat di atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja dan shalat Witir di
atasnya. Namun, beliau tidak shalat wajib di atasnya.”
Catatan:
Barangsiapa berusaha mencari arah Kiblat lalu ia shalat menghadap ke arah yang disangka
olehnya sebagai arah Kiblat, namun ternyata salah, maka dia tidak wajib mengulang.
Dari ‘Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan di suatu malam yang gelap dan kami
tidak mengetahui arah Kiblat. Lalu tiap-tiap orang dari kami shalat menurut arahnya
masing-masing. Ketika tiba waktu pagi, kami ceritakan hal itu pada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat:
B. RUKUN SHOLAT
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa rukun adalah hal-hal yang harus dilakukan
dalam rangkaian suatu amalan ataupun ibadah. Sehingga jika salah satu rukun tidak
dikerjakan atau terlewatkan, maka ibadah tersebut menjadi tidak sah. Adapun rukun dalam
sholat adalah:
1. Berdiri bagi yang mampu. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu, maka ia bisa
mengerjakannya dengan duduk ataupun bebbaring. Jika ada orang yang mampu
untuk mengerjakan sholat dengan berdiri, namun ia mengerjakannya dengan
duduk,maka sholatnya tidak sah.
2. Niat mengerjakan sholat
3. Melakukan takbiratul ihram dengan mengucapkan “allahu akbar”
4. Membaca surat al fatihah
5. Ruku’
1
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis (Bandung:Penerbit Karisma,2008), hlm 110-121
6. Bangkit dari ruku’
7. Sujud
8. Bangkit dari sujud
9. Duduk diantara dua sujud
10. Thuma’ninah dalam ruku’,sujud, bangkit dan duduk (antara dua sujud). Maksud dari
thuma’ninah adalah hendaknya hendaknya orang yang ruku’, orang yang sujud,
orang yang duduk atau orang yang berdiri, berdiam sesaat setelah anggota-anggota
tubuhnya berada pada posisinya, sekedar lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
membaca “subhana rabbiyal azhimi” sekali saja, lebih dari itu hukumnya Sunnah.
11. Duduk tasyahhud akhir
12. Membaca doa tahiyyat pada duduk tasyahud akhir
13. Membaca sholawat kepada nabi SAW
14. Salam (yang pertama)
15. tertib2
2
Saiful Hadi El-sutha, Buku Panduan Sholat Lengkap (Jakarta: PT WahyuMedia,2012), hlm 43-44
"Melihat sesuatu tidak masalah di dalam shalat, akan tetapi yang lebih baik adalah
mengarahkan pandangan ke tempat sujud." Beliau melanjutkan bahwa, Telah diriwatkan
dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw pernah memandang ke kanan dan ke kiri saat
shalat.
4. Membaca doa iftitah
Sabdah Rasulullah saw:
"Setelah Rasulullah melakukan takbir dalam shalat, maka beliau berdiam sejenak
sebelum membaca (surat), aku bertanya: Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibumu, tidakkah
engkau tahu diamnya engkau antara takbiratul ihram dan membaca surat, apa yang engkau
ucapkan? Beliau menjawab, Aku mengucapkan: Allahumma ba`id baini wa baina
khadatayaya kamaba adta bainal masyriqi wal maghrib, Allahumma naqqini min
khathayaya kama yunaqqats tsaubul abyadhu minad dannas, Allahummaqhsilni bilma'i was
salji wal barad (Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana
Engkau menjauhkan ufuk timur dari ufuk barat. Ya Allah sucikanlah alu sebagaimana
disucikannya kain putih dari kotoran, sucikanlah aku dengan air salju dan air dingin)
5.Membaca ta'awudz
Selesai membaca doa astiftah dan sebelum membaca surat al-Fatihah, Rasulullah saw
senantiasa berta`wudz. Ibnu mundzir mengatakan riwayat yang bersumber dari Nabi saw,
bahwa sebelum membaca surat Al Fatihah pada rakaat pertama beliau mengucapkan
ta'awudz. dibaca perlahan pada rakaat pertama sesudah membaca doa istiftah sebelum
membaca surat al-Fatihah.
6. Membaca amin
Disunahkan membaca "amin" setelah membaca surat al-Fatihah, baik ketika sedang
shalat sendirian maupun berjamaah, baik sebagai imam maupun makmum dengan suara
yang keras, kecuali dalam shalat sirriyyah.
7. Membaca bacaan susudah al-Fatihah
Disunahkan untuk membaca surat-surat yana kita ketahui atau kita hafal setelah
membaca surat a-Fatihah pada dua rakaat pertama.
8. Menempelkan kening, hidung, dan beberapa anggota tubuh lainnya ketika sujud
Ketika sedang sujud, maka hendaknya kita bersujud di atas tujuh tulang, sebagaimana
dijelaskan dalam hadis Rasulullah saw yang artinya "Aku diperintahkan untuk bersujud di
atas tujuh tulang, yaitu: dahi, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua ujung
kaki"
9. Membaca doa doa shalat
Membaca doa doa yang diajarkan Rasulullah saw ketika sedang rukuk, i'tidal, sujud,
duduk diantara dua sujud dan setelah melaksanakan tasyahud akhir
10. Duduk istirahat,
sebelum bangkit menuju rakaat berikutnya adalah sunah dalam shalat.
11. Tasyahud awal
12. Membaca shalawat atas Nabi saw
Riwayat Rasulullah saw, pada Tasyahud kedua beliau membaca:
"Ya Allah sampaikan keselamatan kepada Muhammad dan kepada keluarga
Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi keselamatan kepada nabi Ibrahim dan
keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Berkatilah
Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan
keluarga Ibrahim, sesungghunya Engkau terpuji dan Mahaagung"
13. Berdoa sesudah membaca shalawat
Setelah bershalawat atas Nabi, disunahkan untuk membaca doa doa ma'tsur
sebagaimana yang beliau ajarkan.
14. Salam kedua
Salam pertama di dalam shalat termasuk rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan.
Jika seseorang buang angin, misalnya sebelum salam pertama sempurna selesai, maka
shalatnya batal. Hal ini berbeda dengan salam kedua. Sebab salam kedua masuk ke kategori
sunah-sunah shalat, bukan rukunnya. Jika tertinggal, maka shalatnya tidaklah batal.3
4
R. Maftuh Ahmad, Shalat yang Sempurna (Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi, 2013), hlm 95-96