Anda di halaman 1dari 74

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 9

Tahun 2017 tentang apotek, defenisi apotek adalah sarana

pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian

oleh Apoteker. Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah mengalami

pengembangan dan perubahan fokus pelayanan, yang semula hanya berfokus pada

pengelolaan obat (drug oriented) menjadi pelayanan yang lebih berfokus pada

pasien (patient oriented) yang mengacu kepada Pharmaceutical Care (PC).

Kegiatan pelayanan kefarmasian menjadi sebuah bentuk pelayanan yang

komperhensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik. Dengan

adanya perubahan tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan,

keterampilan, dan kemampuan berkomunikasi dengan pasien agar dapat

memberikan pelayanan yang baik (Menkes RI, 2017).

Konsekuensi dari perubahan orientasi di atas, maka diperlukan kurikulum

yang dapat memberikan gambaran implementasi ilmu kefarmasian di era

globalisasi. Salah satunya adalah dengan melaksanakan Praktek Kerja Profesi

Apoteker (PKPA) bagi calon Apoteker agar dapat meningkatkan pemahaman

tentang peran, fungsi, posisi, dan tanggung jawab Apoteker dalam praktik

kefarmasian serta dapat mempersiapkan calon Apoteker dalam memasuki dunia

kerja sebagai tenaga farmasi yang profesional.

Apotek merupakan wadah tempat belajar mahasiswa calon Apoteker

sebagai peserta PKPA untuk menerapkan ilmu atau teori yang diterima dalam

1
perkuliahan dan membandingkan dengan praktek yang ada di lapangan. Proses

PKPA di apotek bertujuan agar mahasiswa apoteker dapat mengetahui dan

memahami secara langsung peran apoteker dalam pengelolaan suatu apotek serta

pelayanan kefarmasian secara professional sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, sehingga memberikan pengalaman dan menumbuhkan

motivasi kepada calon apoteker dalam mendirikan dan mengelola apotek.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Program Studi Profesi Apoteker

(PSPA) Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara bekerja sama dengan

berbagai apotek di kota Medan dalam menyelenggarakan kegiatan PKPA salah

satunya adalah Apotek Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara (Apotek RS

USU) yang merupakan apotek pendidikan milik Fakultas Farmasi USU. Laporan

ini disusun berdasarkan hasil pengamatan dan kegiatan pelayanan yang dilakukan

selama melaksanakan PKPA di Apotek RS USU.

1.2 Tujuan

Tujuan dilaksanakannya PKPA di apotek adalah:

1. Untuk memahami peran, fungsi dan tanggung jawab apoteker terkait

pekerjaan kefarmasian di apotek secara profesional sesuai dengan

peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi kefarmasian.

2. Melatih calon Apoteker agar dapat memberikan pelayanan yang bertujuan

untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

2
BAB II

TINJAUAN UMUM APOTEK

2.1 Definisi Apotek

Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan

praktek kefarmasian oleh apoteker. Pelayanan kefarmasian adalah suatu

pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan

dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk

meningkatkan mutu kehidupan pasien (Menkes RI, 2016).

Praktik kefarmasian menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah yang meliputi pembuatan termasuk

pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan

pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat

serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh

tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Sediaan farmasi yang dimaksud adalah

obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika (Presiden RIb, 2009).

2.2 Persyaratan Pendirian, Perizinan dan Penyelenggaraan Apotek

2.2.1 Persyaratan pendirian apotek

Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal

dari pemilik modal, baik perorangan maupun perusahaan. Apoteker yang

mendirikan apotek bekerjasama dengan pemilik modal maka pekerjaan

3
kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh apoteker yang bersangkutan

(Menkes RI, 2017).

Ketentuan mengenai persyaratan pendirian apotek yang harus dipenuhi di

dalam Permenkes RI No. 9 Tahun 2017 diantaranya:

1. Lokasi

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran Apotek di

wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan

pelayanan kefarmasian.

2. Bangunan

Bangunan Apotek harus memiliki fungsi keamanan, kenyamanan, dan

kemudahan dalam pemberian pelayanan kepada pasien serta perlindungan

dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak,

dan orang lanjut usia. Bangunan Apotek harus bersifat permanen dan dapat

merupakan bagian dan/atau terpisah dari pusat perbelanjaan, apartemen,

rumah toko, rumah kantor, rumah susun, dan bangunan yang sejenis.

3. Sarana, Prasarana dan Peralatan

Bangunan apotek paling sedikit memiliki sarana ruang yang berfungsi:

a. Ruang penerimaan resep

b. Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas)

c. Ruang penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan

d. Ruang konseling

e. Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis

pakai

f. Ruang arsip

4
Prasarana Apotek paling sedikit terdiri atas instalasi air bersih, instalasi

listrik, sistem tata udara, dan sistem proteksi kebakaran. Peralatan apotek

meliputi rak obat, alat peracikan, bahan pengemas obat, lemari pendingin,

meja, kursi, komputer, sistem pencatatan mutasi obat, formulir catatan

pengobatan pasien yaitu catatan mengenai riwayat penggunaan sediaan

farmasi dan/atau alat kesehatan atas permintaan tenaga medis dan catatan

pelayanan apoteker yang diberikan kepada pasien dan peralatan lain sesuai

dengan kebutuhan.

4. Ketenagaan

Apoteker pemegang SIA dalam menyelenggarakan apotek dapat dibantu oleh

apoteker lain, tenaga teknis kefarmasian dan/atau tenaga administrasi.

Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian wajib memiliki surat izin praktik

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Menkes RI, 2017).

2.2.2 Perizinan apotek

Izin mendirikan apotek diberikan oleh Menteri Kesehatan Republik

Indonesia, kemudian Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin apotek

kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dimana izin yang dimaksud adalah

Surat Izin Apotek (SIA). SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama

memenuhi persyaratan (Menkes RI, 2017).

Apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apotek (SIA).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9 Tahun 2017

tentang Apotek, Surat Izin Apotek (SIA) adalah bukti tertulis yang diberikan oleh

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kepada Apoteker sebagai izin untuk

menyelenggarakan Apotek.

5
Untuk mendapat Surat Izin Apotek (SIA), Sesuai dengan Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Pasal 13 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yaitu:

1. Permohonan izin apotek diajukan kepada Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota.

2. Permohonan harus ditandatangani oleh Apoteker disertai dengan kelengkapan

dokumen administratif meliputi:

a. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dengan

menunjukan STRA asli;

b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);

c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker (NPWP);

d. fotokopi peta lokasi dan denah bangunan; dan

e. daftar prasarana, sarana, dan peralatan.

3. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 hari setelah

menerima permohonan dapat menugaskan tim pemeriksa untuk melakukan

pemeriksaan setempat terhadap kesiapan Apotek.

4. Tim pemeriksa yang melibatkan unsur Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

yang meliputi tenaga kefarmasian dan tenaga lainnya yang menangani bidang

sarana dan prasarana selambat-lambatnya 6 hari kerja sejak ditugaskan harus

melaporkan hasil pemeriksaan setempat yang dilengkapi Berita Acara

Pemeriksaan (BAP) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

5. Dalam jangka 12 hari kerja setelah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

menerima laporan pemeriksaan dan dinyatakan memenuhi persyaratan, maka

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan SIA dengan tembusan

6
kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi,

Kepala Balai POM, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,

dan Organisasi Profesi.

6. Dalam hasil pemerikasaan tim pemeriksa bila dinyatakan masih belum

memenuhi syarat, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam waktu 12 hari

kerja mengeluarkan surat penundaan.

7. Terhadap surat penundaan, apoteker diberikan kesempatan untuk melengkapi

persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam waktu satu

bulan sejak tanggal surat penundaan.

8. Terhadap permohonan izin apotek bila tidak memenuhi persyaratan, maka

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota wajib mengeluarkan surat penolakan

disertai dengan alasan-alasannya.

9. Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan SIA

melebihi jangka waktu, Apoteker pemohon dapat menyelenggarakan apotek

dengan menggunakan BAP sebagai pengganti SIA.

10. Dalam hal pemerintah daerah menerbitkan SIA, maka penerbitannya bersama

dengan penerbitan SIPA untuk Apoteker pemegang SIA. Masa berlaku SIA

mengikuti masa berlaku SIPA (Menkes RI, 2017).

Untuk memperoleh Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) sesuai dengan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian, seorang Apoteker harus memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker

(STRA) (Presiden RIc, 2009). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No.889/Menkes/Per/V/2011 bahwa untuk memperoleh STRA Apoteker

harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

7
a. Memiliki Ijazah Apoteker;

b. Memiliki sertifikat kompetensi profesi;

c. Memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah atau janji apoteker;

d. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki

surat izin praktek; dan

e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi

(Menkes RI, 2011).

2.2.3 Penyelenggaraan apotek

Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di apotek harus menjamin

ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang

aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau. Apotek hanya dapat menyerahkan

sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai kepada apotek

lainnya, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik, dokter,

bidan praktik mandiri, pasien, dan masyarakat (Menkes RI, 2017).

Apotek wajib memasang papan nama yang terdiri atas: papan nama

apotek, yang memuat paling sedikit informasi mengenai nama apotek, nomor SIA,

dan alamat; dan papan nama praktik apoteker, yang memuat paling sedikit

informasi mengenai nama apoteker, nomor SIPA, dan jadwal praktik apoteker.

Papan nama harus dipasang di dinding bagian depan bangunan atau dipancangkan

di tepi jalan secara jelas dan mudah terbaca (Menkes RI, 2017).

Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan

keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat. Bila obat yang

diresepkan terdapat obat merek dagang, maka apoteker dapat mengganti obat

merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat

8
merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien. Bila obat yang

diresepkan tidak tersedia di apotek atau pasien tidak mampu menebus obat yang

tertulis di dalam resep, apoteker dapat mengganti obat setelah berkonsultasi

dengan dokter penulis resep untuk pemilihan obat lain (Menkes RI, 2017).

Apabila apoteker menganggap penulisan resep terdapat kekeliruan atau

tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila

dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, maka apoteker tetap memberikan

pelayanan sesuai dengan resep dengan memberikan catatan dalam resep bahwa

dokter sesuai dengan pendiriannya (Menkes RI, 2017).

Resep bersifat rahasia dan harus disimpan di apotek dengan baik paling

singkat lima tahun. Resep atau salinan resep hanya dapat diperlihatkan kepada

dokter penulis resep, pasien yang bersangkutan atau yang merawat pasien, petugas

kesehatan atau petugas lain yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan (Menkes RI, 2017).

2.3 Pencabutan Izin Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1332/ MENKES/SK/X/2002 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata

Cara Pemberian Izin Apotek, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat

mencabut surat izin apotek apabila:

a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi ketentuan persyaratan Apoteker

Pengelola Apotek, dan atau

b. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam hal menyediakan, menyimpan dan

9
menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya

terjamin dan Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang

ditulis di dalam resep dengan obat paten, dan atau,

c. Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugas nya lebih dari 2

(dua) tahun secara terus menerus, dan atau

d. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, dan atau

e. Surat Izin Kerja Apoteker (SIPA) Pengelola Apotik dicabut dan atau

f. Pemilik sarana apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-

undangan dibidang obat, dan atau

g. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan mengenai tempat, perlengkapan

termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik

sendiri atau milik pihak lain, sarana dan kegiatan pelayanan apotek.

Kepala Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten sebelum melakukan

pencabutan, berkoordinasi dengan Kepala Balai POM setempat. Pelaksanaan

pencabutan izin apotek karena apotek tidak lagi memenuhi persyaratan mengenai

tempat, perlengkapan, sarana, dan kegiatan pelayanan apotek, dilakukan setelah

dikeluarkan:

a. Peringatan secara tertulis kepada Apoteker Pengelola Apotek sebanyak 3 (tiga)

kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan

(Form APT-12).

b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan

sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan apotek (Form APT-13).

Pembekuan izin apotek dapat dicairkan kembali apabila apotek

10
telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan

dalam peraturan (Form APT-14) dan pencairan izin apotek dilakukan setelah

menerima laporan pemeriksaan dari Tim Pemeriksaan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota setempat (Menkes RI, 2002).

Keputusan pencabutan Surat Izin Apotek oleh Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota disampaikan langsung kepada yang bersangkutan (Form APT-

15), dan tembusan disampaikan kepada Menteri dan Kepala Dinas Kesehatan

Provinsi setempat serta Kepala Balai POM setempat. Apabila surat izin apotek

dicabut, Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping wajib

mengamankan perbekalan farmasi sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Pengamanan wajib mengikuti tata cara sebagai berikut:

a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, psikotropika,

obat keras tertentu dan obat lainnya serta seluruh resep yang tersedia di

apotek.

b. Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang

tertutup dan terkunci.

c. Apoteker Pengelola Apotik wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, tentang penghentian kegiatan disertai

laporan inventarisasi (Menkes RI, 2002).

2.4 Peran, Fungsi, dan Tugas Apoteker di Apotek

2.4.1 Peran apoteker

Peran Apoteker di apotek sebagai berikut:

a. Apoteker sebagai Profesional

11
Apoteker harus memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap masalah

kesehatan yang sedang dihadapi oleh pasien (caring), kompeten di bidang

kefarmasian (competent) dan memiliki komitmen (commitment). Selain itu,

Apoteker berkewajiban untuk menyediakan, menyimpan dan menyerahkan

perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin kepada

masyarakat (Hartono, 1998).

b. Apoteker sebagai Manager

Sebagai manager harus mampu mengelola apotek dengan baik sehingga

semua kegiatan di apotek berlangsung secara efektif dan efisien. Apoteker harus

mempunyai kemampuan manajerial yang baik, yaitu keahlian dalam

menjalankan prinsip-prinsip ilmu manajemen, yang meliputi:

1. Kepemimpinan (Leadership)

Merupakan kemampuan untuk mengarahkan atau menggerakkan orang lain

(anggota atau bawahan) untuk bekerja dengan rela sesuai dengan apa yang

diinginkannya, dalam mencapai tujuan tertentu. Kualitas kepemimpinan

seseorang pemimpin ditentukan dengan adanya sasaran dan program yang

jelas, bekerja sistematis dan efektif, mempunyai kepekaan terhadap hubungan

antar manusia, dapat membentuk tim dengan kinerja tinggi dan dapat

mengerjakan tugas-tugas dengan efektif dan efisien. Untuk dapat memimpin

apotek dengan baik maka seorang Apoteker harus mempunyai pengetahuan

tentang pembukuan, administrasi dan personalia (Hartono, 1998).

2. Perencanaan (Planing)

Dalam mengelola sebuah apotek, berlaku cara mengelola fungsi-fungsi

manajemen dalam menyusun rencana kerja untuk mencapai suatu tujuan

12
dimana rencana tersebut meliputi rencana jangka pendek maupun rencana

jangka panjang (Umar, 2011). Perencanaan merupakan dasar dari

pengorganisasian, pengarahan, koordinasi dan pengawasan. Tanpa perencanan,

tidak akan dapat menyelenggarakan sesuatu dengan baik. Perencanaan yang

baik harus berdasarkan atas fakta bukan atas emosi maupun harapan yang

hampa. Oleh karena itu, perencanaan yang baik harus dilengkapi dengan

menyusun jadwal waktu dan pembiayaan (Anief, 1995).

3. Pengorganisasian (Organizing)

Pengorganisasian adalah fungsi yang mempersatukan semua sumber daya yang

ada dengan sistem yang teratur dan mengatur orang-orang dalam suatu pola

yang harmonis sehingga mereka dapat melaksanakan aktivitas sesuai dengan

tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan mengorganisir meliputi pembagian

tugas masing-masing karyawan, penentuan tugas tiap-tiap kelompok,

pemilihan orang-orang sesuai dengan tingkat pendidikan, tanggung jawab dan

lain-lain (Anief, 2008).

4. Pengarahan (Actuating)

Fungsi pengarahan adalah kegiatan yang khususnya ditujukan untuk mengatasi

dan mengarahkan bawahan sehingga seorang pemimpin secara manusiawi bisa

mengikat bawahan untuk bekerja sama secara sukarela menyumbangkan tenaga

seefisien dan seefektif mungkin untuk mencapai tujuan organisasi (Anief,

2008).

5. Pengawasan (Controling)

Fungsi Pengawasan (Controling) merupakan fungsi terakhir yang akan

dilakukan manajer guna melengkapi fungsi yang sudah dilakukan lebih dahulu.

13
Pengawasan merupakan fungsi yang bertujuan untuk melakukan perbaikan-

perbaikan yang perlu dilakukan jika terjadi penyimpangan pelaksanaan

perencanaan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan fungsi ini biasanya dilakukan

dengan cara membandingkan segala sesuatu yang dijalankan dengan standar

yang telah ditetapkan sebelumnya (Anief, 2008).

c. Apoteker sebagai Retailer

Seorang apoteker harus mempunyai kemampuan dalam menyusun suatu

rencana mengenai pemasaran obat, sehingga obat yang diterima atau pun

dikeluarkan ke pasaran berada dalam jumlah yang tepat. Kunci sukses seorang

apoteker sebagai retailer adalah sebagai berikut:

1. Identifying

Identifying adalah menganalisis dan mengumpulkan informasi-informasi

mengenai konsumen (Hartono, 1998).

2. Stimulating-Satisfying Demands

Stimulating yaitu memberi isyarat atau dorongan sosial dan komersial dengan

diikuti pemberian informasi-informasi yang dibutuhkan konsumen mengenai

produk yang akan dibeli. Hal ini perlu dilakukan karena sepandai-pandainya

menganalisis perilaku membeli, tetap keputusan akhir terletak pada konsumen.

Berikan pelayan yang terbaik, jujur serta penuh kesabaran, dan yang

terpenting adalah produk yang dijual harus tepat kualitas, tepat jumlah, tepat

waktu. Inilah yang dimaksud satisfying demands (Hartono, 1998).

2.4.2 Fungsi dan tugas apoteker di apotek

Fungsi dan tugas Apoteker menurut WHO yang semula dikenal dengan

"Seven Stars of Pharmacist" selanjutnya ditambahkan dua fungsi yaitu

14
researcher dan entrepreneur yang kemudian mengubahnya menjadi "Nine Stars

of Pharmacist", yaitu:

a. Care Giver (memberikan pelayanan yang baik)

Apoteker sebagai pengelola apotek dalam memberikan pelayanan kefarmasian

yang profesional harus dapat menerapkan pelayanannya dalam sistem

pelayanan kesehatan dan profesi lainnya secara keseluruhan sehingga

dihasilkan sistem pelayanan kesehatan yang berkesinambungan (Mashuda,

2011).

b. Decision Maker (mengambil keputusan secara profesional)

Pada tingkat lokal dan nasional Apoteker memainkan peran dalam

penyusunan kebijaksanaan obat-obatan. Dalam hal ini Apoteker dituntut

sebagai penentu keputusan harus mampu mengambil keputusan yang tepat,

berdasarkan pada efikasi, efektifitas dan efisiensi terhadap penggunaan

sumber daya yang tepat, bermanfaat, aman dan tepat guna seperti SDM, obat-

obatan, bahan kimia, alat kesehatan, prosedur dan pelayanan (Mashuda, 2011).

c. Communicator (berkomunikasi dengan baik)

Apoteker merupakan posisi ideal untuk mendukung hubungan antara dokter

dan pasien dan untuk memberikan informasi kesehatan dan obat-obatan pada

masyarakat. Apoteker harus memiliki ilmu pengetahuan dan rasa percaya diri

serta memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan pasien dan

profesi kesehatan lainnya (Mashuda, 2011).

d. Leader (pemimpin)

Sebagai leader mampu menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi

15
multi disiplin, apoteker harus mampu menjadi pemimpin, yaitu mampu

mengambil keputusan yang tepat dan efektif, serta mampu mengelola hasil

keputusan tersebut dan bertanggung jawab (Mashuda, 2011).

e. Manager (kemampuan dalam mengelola sumber daya)

Apoteker harus mempunyai kemampuan mengelola sumber daya

(manusia,fisik dan anggaran) dan informasi secara efektif, juga harus dapat

dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan (Mashuda, 2011).

f. Long Life Learner (selalu belajar sepanjang hidup)

Apoteker harus selalu belajar, baik pada jalur formal maupun informal

sepanjang kariernya dan menggali informasi terbaru sehingga ilmu dan

keterampilan yang dimiliki selalu baru (uptodate)(Mashuda, 2011).

g. Teacher (membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk

meningkatkan pengetahuan)

Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih sumber

daya yang ada, membagi ilmu pengetahuan pada yang lainnya, tapi juga

memberi peluang pada praktisi lainnya untuk memperoleh pengetahuan dan

menyesuaikan keterampilan yang telah dimilikinya (Mashuda, 2011).

h. Researcher (kemampuan untuk meneliti/ilmuan)

Apoteker harus dapat menggunakan sesuatu yang berdasarkan bukti (ilmiah,

praktek farmasi, sistem kesehatan) yang efektif dalam memberikan nasehat

pada pengguna obat secara rasional dalam tim pelayanan kesehatan. Dengan

berbagi pengalaman Apoteker dapat juga berkontribusi pada bukti dasar

dengan tujuan mengoptimalkan dampak dan perawatan pasien. Sebagai

16
peneliti, apoteker dapat meningkatkan akses dan informasi yang berhubungan

dengan obat pada masyarakat dan tenaga profesi kesehatan (Mashuda, 2011).

i. Entrepreneur (kemampuan sebagai pengusaha)

Seorang Entrepreneur adalah seorang yang mengorganisasi dan

mengoperasikan bisnis, dipandang sebagai individu yang berani mengambil

resiko besar untuk memulai usaha baru. Bisnis kefarmasian memiliki

kesempatan yang tak terbatas, terlebih untuk lulusan farmasi. Konsep

pharmapreneur dapat menginovasi solusi bisnis farmasi baru yang menambah

pengalaman dalam hal melayani pasien dan memperkuat bisnis farmasi

komunitas (Sam, 2015).

2.5 Pengelolaan Apotek

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 73

Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, pengelolaan

sepenuhnya berada ditangan apoteker, oleh karena itu apoteker harus mengelola

secara efektif sehingga obat yang disalurkan kepada masyarakat akan lebih dapat

dipertanggung jawabkan kualitas dan keamanannya.

2.5.1 Sumber daya manusia (SDM)

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 73

Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, bahwa Pelayanan

Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker, dapat dibantu oleh

Apoteker Pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki Surat

17
Tanda Registrasi, Surat Izin Praktik atau Surat Izin Kerja. Dalam melakukan

Pelayanan Kefarmasian Apoteker harus memenuhi kriteria:

1. Persyaratan administrasi

a. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi.

b. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA).

c. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku.

d. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA).

2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal.

3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan dan mampu memberikan pelatihan

yang berkesinambungan.

4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan diri,

baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan atau

mandiri.

5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan

perundang undangan, sumpah Apoteker, standar profesi (standar pendidikan,

standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang berlaku (Menkes

RI, 2016).

2.5.2 Sarana dan prasarana

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 73

Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, bahwa apotek

harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana apotek dapat

menjamin mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta

kelancaran praktik pelayanan kefarmasian.

18
Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang Pelayanan

Kefarmasian di apotek meliputi sarana yang memiliki fungsi:

1. Ruang penerimaan resep

Ruang penerimaan resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat penerimaan

resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer. Ruang

penerimaan Resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat

oleh pasien.

2. Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas)

Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas

meliputi rak-rak obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang

peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan

obat, air minum (air mineral) untuk pengenceran, sendok obat, bahan

pengemas obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan resep,

etiket dan label obat. Ruang ini diatur sedemikian agar mendapatkan cahaya

dan sirkulasi udara yang baik atau cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin

ruangan (air conditioner).

3. Ruang penyerahan obat

Ruang penyerahan obat berupa konter penyerahan obat yang dapat

digabungkan dengan ruang penerimaan resep.

4. Ruang konseling

Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi

konseling, lemari buku, buku-buku referensi, poster, alat bantu konseling,

buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien.

19
5. Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis

pakai

Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,

kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan

keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi lemari obat,

pendingin ruangan, lemari pendingin, lemari penyimpanan khusus narkotika

dan psikotropika, lemari penyimpanan obat khusus, pengukur suhu.

6. Ruang arsip

Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan

pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai

serta pelayanan kefarmasian dengan jangka waktu tertentu (Menkes RI,

2016).

2.5.3 Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis

pakai

Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis

Pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku,

meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,

pengendalian, pencatatan dan pelaporan (Menkes RI, 2016).

2.5.3.1Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat

Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola

konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

2.5.3.2 Pengadaan

20
Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan

Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang

undangan.

2.5.3.3 Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis

spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat

pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

2.5.3.4 Penyimpanan

a. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal

pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus

dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada

wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan

tanggal kadaluwarsa.

b. Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga

terjamin keamanan dan stabilitasnya.

c. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan

kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.

d. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan FIFO

(First In First Out).

2.5.3.5 Pemusnahan

21
a. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan

bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung

narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat selain narkotika dan

psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian

lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan

dibuktikan dengan berita acara pemusnahan.

b. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat

dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh

sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar atau cara

pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep, dan

selanjutnya dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

2.5.3.6 Pengendalian

Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah

persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau

pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari

terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluarsa, kehilangan

serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan

kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-

kurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah

pengeluaran dan sisa persediaan.

2.5.3.7 Pencatatan dan pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi,

Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi penggandaan (surat

22
pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk

penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.

Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal

merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek,

meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan

pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan

pelaporan lainnya (Menkes RI, 2016).

2.5.4 Pelayanan farmasi klinik di apotek

Pelayanan farmasi klinik di apotek merupakan bagian dari Pelayanan

Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan

dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dengan

maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

2.5.4.1 Pengkajian resep

Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik

dan pertimbangan klinis.

a. Kajian administratif meliputi:

1. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan.

2. Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan

paraf.

3. Tanggal penulisan resep.

b. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:

1. Bentuk dan kekuatan sediaan

2. Stabilitas

23
3. Kompatibilitas (ketercampuran obat)

c. Pertimbangan klinis meliputi:

1. Ketepatan indikasi dan dosis obat

2. Aturan, cara dan lama penggunaan obat

3. Duplikasi dan/atau polifarmasi

4. Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi

klinis lain)

5. Kontra indikasi

6. Interaksi

Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka

Apoteker harus menghubungi dokter penulis resep (Menkes RI, 2016).

2.5.4.2 Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi

obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut:

a. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep

b. Melakukan peracikan obat bila diperlukan

c. Memberikan etiket

d. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang

berbeda.

Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut:

a. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali

mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan

jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep).

b. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.

24
c. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.

d. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.

e. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait dengan

obat.

f. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik.

g. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya.

h. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh Apoteker

(apabila diperlukan).

i. Menyimpan resep pada tempatnya.

j. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien (Menkes RI, 2016).

2.5.4.3 Pelayanan informasi obat (PIO)

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh

apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,

dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan

obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai

obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal (Menkes RI, 2016).

2.5.4.4 Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan

pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan

kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan

menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien (Menkes RI, 2016).

2.5.4.5 Pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care)

25
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan

pelayan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok

lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya (Menkes RI, 2016).

2.5.4.6 Pemantauan terapi obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan

terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan

meminimalkan efek samping (Menkes RI, 2016).

2.5.4.7 Monitoring efek samping obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang

merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan

pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi

fungsi fisiologis (Menkes RI, 2016).

2.6 Penggolongan Obat Menurut Undang-Undang

Untuk menjaga keamanan penggunaan obat oleh masyarakat, maka

pemerintah menggolongkan obat menjadi beberapa bagian, yaitu:

2.6.1 Obat bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa

resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran

hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: Parasetamol (Depkes RI, 2006).

Gambar 2.1 Penandaan Obat Bebas

2.6.2 Obat bebas terbatas

26
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras

tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan

tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas

adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: CTM (Depkes

RI, 2006).

Gambar 2.2 Penandaan Obat Bebas Terbatas

Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas,

berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima)

centimeter, lebar 2 (dua) centimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih

sebagai berikut (Depkes RI, 2006).

Gambar 2.3 Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas

2.6.3 Obat keras dan obat psikotropika

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep

dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran

merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Asam Mefenamat.

27
Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun

sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif

pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas

mental dan perilaku (Menkes RI, 2015). Contoh: Diazepam, Phenobarbital

(Depkes RI, 2006).

Gambar 2.4 Penandaan Obat Keras

2.6.4 Obat narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam

golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang tentang

narkotika (Menkes RI, 2015). Contoh: Kokain, Kodein (Depkes, 2006).

Gambar 2.5 Penandaan Obat Narkotika

2.7 Daftar Obat Wajib Apotek

Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapatdiserahkan oleh apoteker

kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Tujuan dari obat wajib apotek adalah

untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna

mengatasi masalah kesehatan dirasa perlu ditunjang dengan sarana yang dapat

28
meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional (Menkes RI,

1993).

Obat keras yang dapat diberikan tanpa resep dokter merupakan obat-obat

yang termasuk kedalam Daftar Obat Wajib Apotek. Ketentuan mengenai Daftar

ObatWajib Apotek diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 919/MENKES/PER/X/1993 yang menyebutkan bahwa kriteria

obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter adalah:

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di

bawah usia 2 tahun dan orangtua diatas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksudkan tidak memberikan resiko

pada kelanjutan penyakit.

c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan/ atau alat khusus yang harus

dilakukan oleh tenaga kesehatan.

d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di

Indonesia.

Obat yang dimaksudkan memiliki rasio khasiat/manfaat dan keamanan

yang dapat dipertanggung jawabkan untuk pengobatan sendiri.

2.8 Pengelolaan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor

Golongan-golongan narkotika menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang narkotika adalah sebagai berikut:

a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak dapat digunakan dalam

29
terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Contoh: kokain, opium, heroin, desomorfina (Presiden RIa, 2009).

b. Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan

sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan. Contoh: alfasetilmetadol, betametadol,

diampromida (Presiden RIa, 2009).

c. Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak

digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Contoh: kodein, asetildihidrokodeina, polkadina, propiram (Presiden RIa, 2009).

Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat,baik alamiah maupun

sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif

pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas

mental dan perilaku (Menkes RI, 2015), yang dibedakan kedalam 4

golongan,yaitu:

a. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan

untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta

mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Contoh: Ekstasi (metilendioksi metilamfetamin), LSD (Lysergic Acid

Diethylamide) (Presiden RI, 1997).

b. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan

dapat digunakan dalam terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh:

30
amfetamin, deksamfetamin, metamfetamin dan fensiklidin (Presiden RI, 1997).

c. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan

dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan dapat

digunakan untuk pengobatan tetapi harus dengan resep dokter. Contoh:

amorbarbital, brupronorfina dan mogadon (sering disalahgunakan) (Presiden

RI, 1997).

d. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan

dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan

serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan,

dapat digunakan untuk pengobatan tetapi harus dengan resep dokter. Contoh:

diazepam, nitrazepam, lexotan (sering disalahgunakan), pil koplo (sering

disalahgunakan), obat penenang (sedativa) dan obat tidur (hipnotika) (Presiden

RI, 1997).

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2017 dinyatakan

bahwa psikotropika hanya digolongkan kedalam 2 golongan yaitu Golongan II

dan Golongan IV.

Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang

dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi

industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang

mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine,

ergotamine, ergometrine, atau kalium permanganat (Menkes RI, 2015).

2.8.1 Peredaran

Peredaran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor terdiri dari penyaluran

31
dan penyerahan. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor yang diedarkan harus

memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan mutu. Narkotika, Psikotropika dan

Prekursor dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin

edar dari Menteri. Untuk mendapatkan izin edar tersebut dalam bentuk obat jadi

sebagaimana dimaksud harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan

Makanan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Peredaran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor dalam bentuk obat

jadi yang digunakan dalam program terapi dan rehabilitasi medis dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Menkes RI, 2015).

a. Penyaluran

Penyaluran adalah setiap kegiatan distribusi Narkotika, Psikotropika dan

Prekursor Farmasi dalam rangka pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu

pengetahuan (Menkes RI, 2015). Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan

Prekursor wajib memenuhi Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

i. Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor hanya dapat dilakukan

berdasarkan:

a) Surat pesanan; atau

b) Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk pesanan dari

puskesmas.

ii. Surat pesanan sebagaimana dimaksud poin a (i) hanya dapat berlaku untuk

masing-masing narkotika, psikotropika dan prekusor farmasi.

iii. Surat pesanan narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis narkotika.

32
iv. Surat pesanan psikotropika atau prekursor hanya dapat digunakan untuk 1

atau beberapa jenis psikotropika atau prekursor farmasi.

v. Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada poin a harus terpisah dari pesanan

barang lain.

b. Penyerahan

Penyerahan narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi hanya dapat

dilakukan dalam bentuk obat jadi. Penyerahan dilakukan kepada pasien, harus

dilaksanakan oleh apoteker secara langsung sesuai dengan standar pelayanan

kefarmasian di fasilitas pelayanan kefarmasian (Menkes RI, 2015).

2.8.2 Pemesanan

Pemesanan narkotika dilakukan dengan pesanan tertulis melalui Surat

Pesanan narkotika kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT. Kimia Farma

(Persero) Tbk. Surat Pesanan Narkotika harus ditandatangani oleh Apoteker

Penanggungjawab dengan mencantumkan nama jelas, nomor SIK, SIA, dan

stempel apotek. Satu Surat Pesanan terdiri dari rangkap empat dan hanya dapat

memesan satu jenis obat narkotika (Bogenta, 2012).

Pengiriman narkotika yang dilakukan oleh Industri Farmasi, PBF atau

Instalasi Farmasi Pemerintah harus dilengkapi dengan:

a. Surat pesanan.

b. Faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat:

i. Nama Narkotika.

ii. Bentuk Sediaan.

iii. Kekuatan.

33
iv. Kemasan.

v. Jumlah.

vi. Tanggal Kadaluarsa.

vii. Nomor Batch.

Pengiriman narkotika sebagaimana dimaksud yang dilakukan melalui jasa

pengangkutan hanya dapat membawa narkotika sesuai dengan jumlah yang

tecantum dalam surat pesanan, faktur, dan/atau surat pengantar barang yang

dibawa pada saat pengiriman (Menkes RI, 2015).

Pemesanan psikotropika dapat dipesan dari PBF resmi, dengan

menggunakan Surat Pesanan Psikotropika model khusus dan ditandatangani oleh

Apoteker Penanggungjawab dengan mencantumkan nomor SIK. Surat

pemesanan psikotropika dibuat rangkap dua dan dapat digunakan untuk

memesanan beberapa jenis psikotropika (Bogenta, 2012).

2.8.3 Penyimpanan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan

Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi pada Bab III, dinyatakan tempat

khusus untuk penyimpanan narkotika. Tempat penyimpanan Narkotika,

Psikotropika dan Prekursor Farmasi di fasilitas produksi, fasilitas distribusi dan

fasilitas pelayanan kefarmasian harus mampu menjaga keamanan, khasiat dan

mutu narkotika dinyatakan bahwa:

a. Tempat penyimpanan narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi dapat

berupa gudang, ruangan, dan lemari khusus.

b. Tempat penyimpanan narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi dilarang

34
digunakan untuk menyimpan barang selain narkotika, psikotropika dan

prekursor Farmasi.

Gudang khusus sebagaimana dimaksud harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut:

a. Dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi

dengan pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda.

b. Langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi.

c. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi.

d. Gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker

Penanggungjawab.

e. Kunci gudang dikuasai oleh Apoteker Penanggungjawab dan pegawai lain

yang dikuasakan.

Ruang khusus sebagaimana dimaksud harus memenuhi syarat sebagai

berikut:

a. Dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat.

b. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi.

c. Mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda.

d. Kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker Penanggungjawab/Apoteker yang

ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.

e. Tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker

Penanggungjawab/Apoteker yang ditunjuk

Lemari khusus sebagaimana dimaksud harus memenuhi syarat sebagai

berikut:

a. Terbuat dari bahan yang kuat.

35
b. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang berbeda.

c. Harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk Instalasi Farmasi

Pemerintah.

d. Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk apotek,

Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi Klinik dan

Lembaga Ilmu Pengetahuan.

e. Kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker Penanggungjawab/Apoteker yang

ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.

Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi

Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan harus memiliki tempat penyimpanan

narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi berupa lemari khusus. Lemari

khusus sebagaimana dimaksud berada dalam penguasaan Apoteker

Penanggungjawab (Menkes RI, 2015).

2.8.4 Penyerahan

Penyerahan adalah setiap kegiatan memberikan narkotika, psikotropika

dan prekursor farmasi, baik antar penyerah maupun kepada pasien dalam rangka

pelayanan kesehatan (Menkes RI, 2015).

Penyerahan narkotika, psikotropika dan prekusor menurut Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 adalah sebagai

berikut:

a. Penyerahan hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi.

b. Penyerahan dilakukan kepada pasien, harus dilaksanakan oleh apoteker di

fasilitas pelayanan kefarmasian.

c. Penyerahandilakukan secara langsung sesuai dengan standar pelayanan

36
kefarmasian.

Penyerahan narkotika, psikotropika dan prekusor hanya dapat dilakukan

oleh:

a. Apotek.

b. Puskesmas.

c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

d. Instalasi Farmasi Klinik.

e. Dokter.

Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika, psikotropika dan prekusor

kepada:

a. Apotek lainnya.

b. Puskesmas.

c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

d. Instalasi Farmasi Klinik.

e. Dokter.

f. Pasien.

Penyerahan narkotika, psikotropika dan prekusor pada poin a sampai

dengan d hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan jumlah narkotika

berdasarkan resep yang telah diterima berdasarkan surat permintaan tertulis yang

ditandatangani oleh Apoteker Penanggungjawab. Apotek, Puskesmas, Instalasi

Farmasi Rumah Sakit dan Instalasi Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan

narkotika, psikotropika dan prekusor kepada pasien berdasarkan resep dokter.

37
Penyerahan narkotika, psikotropika dan prekusor oleh apotek kepada

dokter hanya dapat dilakukan dalam hal:

a. Dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan narkotika,

psikotropika dan prekusor melalui suntikan; dan/atau

b. Dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang tidak ada

apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyerahan sebagaimana dimaksud harus berdasarkan surat permintaan

tertulis yang ditandatangani oleh dokter yang menangani pasien.

2.8.5 Pencatatan dan pelaporan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun

2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika,

Psikotropika dan Prekursor Farmasi, dinyatakan bahwa:

a. Pencatatan

Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas,

Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu

Pengetahuan, atau dokter praktik perorangan yang melakukan produksi,

Penyaluran, atau Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi

wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika,

psikotropika dan prekusor. Pencatatan terdiri atas:

i. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan

Prekursor Farmasi.

ii. jumlah persediaan.

38
iii. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan.

iv. jumlah yang diterima.

v. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan.

vi. jumlah yang disalurkan/diserahkan.

vii. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau

penyaluran/penyerahan.

viii. paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.

b. Pelaporan

i. Industri Farmasi yang memproduksi narkotika, psikotropika dan

prekusor wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan

produksi dan penyaluran produk jadi narkotika, psikotropika dan

prekusor setiap bulan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan

Kepala Badan.

ii. PBF yang melakukan penyaluran narkotika, psikotropika dan prekusor

dalam bentuk obat jadi wajib membuat, menyimpan dan menyampaikan

laporan pemasukan dan penyaluran narkotika, psikotropika dan

prekusor dalam bentuk obat jadi setiap bulan kepada Kepala Dinas

Kesehatan Provinsi dengan tembusan Kepala Badan/Kepala Balai.

iii. Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat wajib membuat, menyimpan, dan

menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran narkotika,

psikotropika dan prekusor dalam bentuk obat jadi kepada Direktur

Jenderal dengan tembusan Kepala Badan.

iv. Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah wajib membuat, menyimpan dan

menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran narkotika,

39
psikotropika dan prekusor dalam bentuk obat jadi kepada Kepala Dinas

Kesehatan Provinsi atau Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan

kepada Kepala Balai setempat.

v. Pelaporan sebagaimana dimaksud (i sampai iv) paling sedikit terdiri

atas:

a) nama, bentuk sediaan, dan kekuatan narkotika, psikotropika dan

prekusor.

b) jumlah persediaan awal dan akhir bulan.

c) tanggal, nomor dokumen dan sumber penerimaan.

d) jumlah yang diterima.

e) tanggal, nomor dokumen dan tujuan penyaluran.

f) jumlah yang disalurkan.

g) nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran dan

persediaan awal dan akhir.

vi. Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,

Lembaga Ilmu Pengetahuan dan dokter praktik perorangan wajib

membuat, menyimpan dan menyampaikan laporan pemasukan dan

penyerahan/penggunaan narkotika, psikotropika dan prekusor setiap

bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan

tembusan Kepala Balai setempat.

vii. Pelaporan sebagaimana dimaksud paling sedikit terdiri atas:

a) nama, bentuk sediaan, dan kekuatan narkotika, psikotropika dan

prekusor.

b) jumlah persediaan awal dan akhir bulan.

40
c) jumlah yang diterima.

d) jumlah yang diserahkan.

viii. Puskesmas wajib membuat, menyimpan dan menyampaikan laporan

pemasukan dan penyerahan/penggunaan Psikotropika sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Laporan sebagaimana dimaksud pada poin (i) sampai dengan (iv) dan (vi)

dapat menggunakan sistem pelaporan narkotika, psikotropika dan prekusor secara

elektronik dan disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Psikotropika diatur oleh

Direktur Jenderal.

2.8.6 Pemusnahan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun

2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika,

Psikotropika dan Prekursor Farmasi, dinyatakan bahwa pemusnahan narkotika,

psikotropika dan prekusor hanya dilakukan dalam hal:

a. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau

tidak dapat diolah kembali.

b. Telah kadaluarsa.

c. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau

untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan.

d. Dibatalkan izin edarnya.

e. Berhubungan dengan tindak pidana.

Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada poin a sampai dengan d

dilaksanakan oleh Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek,

41
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu

Pengetahuan, Dokter atau Toko Obat. Psikotropika yang memenuhi kriteria

pemusnahan tersebut yang berada di Puskesmas harus dikembalikan kepada

Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah setempat. Instalasi Farmasi Pemerintah yang

melaksanakan pemusnahan harus melakukan penghapusan sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan Barang Milik

Negara/Daerah. Pemusnahan psikotropika yang berhubungan dengan tindak

pidana dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang berwenang sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemusnahan narkotika, psikotropika dan prekusor harus dilakukan dengan:

a. Tidak mencemari lingkungan.

b. Tidak membahayakan kesehatan masyarakat.

Pemusnahan narkotika, psikotropika dan prekusor dilakukan dengan

tahapan sebagai berikut:

a. Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan

kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan menyampaikan surat

pemberitahuan dan permohonan saksi kepada:

i. Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, bagi

Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat.

ii. Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan

Makanan setempat, bagi Importir, Industri Farmasi, PBF, Lembaga Ilmu

Pengetahuan atau Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi.

iii. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas

Obat dan Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit,

42
Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah Kabupaten/Kota,

Dokter atau Toko Obat.

b. Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas

Kesehatan Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat,

dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan petugas di lingkungannya

menjadi saksi pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.

c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan sebagaimana

dimaksud poin b.

d. Narkotika, psikotropika dan prekusor dalam bentuk bahan baku, produk antara

dan produk ruahan harus dilakukan sampling untuk kepentingan pengujian oleh

petugas yang berwenang sebelum dilakukan pemusnahan.

e. Narkotika, psikotropika dan prekusor dalam bentuk obat jadi harus dilakukan

pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan

pemusnahan.

Dalam hal pemusnahan narkotika, psikotropika dan prekusor dilakukan

oleh pihak ketiga, wajib disaksikan oleh pemilik psikotropika dan saksi.

Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan

kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan yang melaksanakan

pemusnahan narkotika, psikotropika dan prekusor harus membuat Berita Acara

Pemusnahan.

Berita Acara Pemusnahan paling sedikit memuat:

a. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan.

b. tempat pemusnahan.

43
c. nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas

pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan.

d. nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan/sarana

tersebut.

e. nama dan jumlah narkotika, psikotropika dan prekusor yang dimusnahkan.

f. cara pemusnahan.

g. tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas

pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan dan saksi.

Berita Acara Pemusnahan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya

disampaikan kepada Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai (Menkes

RI, 2015).

2.9 Aspek Bisnis

2.9.1 Studi kelayakan

Studi kelayakan adalah suatu metode pengkajian gagasan atau ide suatu

usaha mengenai kemungkinan layak atau tidaknya untuk dilaksanakan, yang

berfungsi sebagai pedoman atau landasan pelaksanaan pekerjaan dan dibuat

berdasarkan data-data dari berbagai sumber yang dianalisis dari berbagai aspek.

Pemahaman dan pelaksanaan studi kelayakan ini dapat menghindarkan kita dari

hal-hal yang dapat menyebabkan kegagalan dalam membuka apotek (Umar,

2004).

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kegagalan pada proses pendirian

suatu apotek antara lain:

a. Apoteker Pengelola Apotek tidak memahami tentang bidang usaha

perapotekan

44
b. Modal yang dibutuhkan ternyata lebih tinggi dari dana yang diperkirakan

c. Terlalu sedikit konsumen yang datang ke apotek, sehingga kapasitas kerja

jauh melebihi pekerjaan yang ada akibatnya kegiataan berlangsung tidak

efisien

d. Kesulitan dalam pengadaan modal kerja akibat sediaan farmasi yang harus

disediakan bertambah jumlahnya

2.9.2 Survei dan pemilihan lokasi

Banyak faktor yang menjadi pertimbangan untuk menentukan lokasi suatu

usaha. Dasar pertimbangan yang paling utama ialah pasar. Pasar merupakan hal

yang tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, dalam pemilihan lokasi suatu apotek

harus diperhitungkan (Umar, 2004):

a. Jumlah penduduk

b. Ada tidaknya apotek lain

c. Jarak lokasi apotek dengan domisili konsumen, sebaiknya mudah dicapai

dengan berbagai macam jenis alat transportasi

d. Jarak lokasi apotek dengan supplier, sebaiknya relatif dekat dan mudah

dicapai

e. Ada tidaknya fasilitas kesehatan lain di sekitar apotek, seperti praktik

dokter, klinik, dan rumah sakit

f. Lokasi aman dan nyaman: daerahnya tidak kotor, tidak macet dan sempit

dan tingkat kriminalnya rendah (bukan daerah premanisme).

g. Keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.

2.9.3 Analisis keuangan

45
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam membuat analisis

keuangan yaitu modal minimal, sumber modal, analisis impas dan target.

A. Modal minimal

Modal minimal adalah modal yang diperlukan untuk pengadaan sarana dan

prasarana sebagai syarat untuk diperolehnya izin apotek.

Modal digunakan untuk:

a. Pengadaan aktiva atau harta tetap yaitu aktiva atau harta relatif yang didapat

segera diuangkan dalam jangka waktu kurang dari satu tahun, termasuk

didalamnya, tanah atau bangunan dan barang-barang inventaris.

b. Pengadaan aktiva atau harta lancar yaitu harta yang relatif mudah segera

diuangkan dalam jangka waktu kurang dari setahun. Dalam hal ini adalah

sediaan farmasi dan perbekalan farmasi lainnya yang diperbolehkan untuk

dijual di apotek.

c. Biaya awal yaitu pengeluaran yang dapat digolongkan sebagai biaya yang

dikeluarkan pada awal pendirian apotek, termasuk didalamnya sewa gedung

(bagi yang sewa), renovasi gedung untuk mengubah penampilan sebagai

apotek dan lain-lain.

d. Kas yaitu uang kontan, baik di tangan atau di Bank dalam bentuk rekening

koran yang sewaktu-waktu dapat digunakan, misalnya untuk pembayaran gaji,

berbagai retribusi, dan lain-lain.

B. Sumber modal

Sumber-sumber modal yang dibutuhkan dapat diperoleh dari:

a. Modal sendiri yaitu modal yang tidak mempunyai jangka waktu

pengembalian, misalnya modal milik apoteker sendiri atau keluarga.

46
b. Modal kredit yaitu modal yang diperoleh dari pembeli kredit (kreditur)

kepada penerima kreditur (debitur). Dalam hal ini ada hubungan kepercayaan

antara kedua pihak bahwa dimasa mendatang debitur akan sanggup memenuhi

segala sesuatu sesuai perjanjian. Sumber-sumber modal kredit ini antara lain

adalah bank, teman sejawat, PBF yang umumnya berupa sediaan farmasi

bersifat fast moving.

C. Analisis impas

Analisis impas adalah suatu cara yang digunakan untuk mempelajari

hubungan antara pendapatan, biaya dan laba atau keuntungan. Dengan kata lain

Analisa Break Event Point (analisa impas) yaitu analisa yang dilakukan untuk

menetapkan titik dimana hasil penjualan akan menutupi biaya, baik biaya tetap

maupun biaya variabel.

BT BT
= =
BV HPP
1− 1−
Titik impas Penjualan atau Titik impas Omzet

Keterangan:

BT = Biaya tetap yang besarnya tidak tergantung pada jumlah barang

yang terjual

Penjualan = Nilai penjualan dari barang yang terjual. Nilai penjualan adalah

nilai pembelian + margin keuntungan.

HPP = Harga pokok penjualan yaitu nilai pembelian dari barang yang

terjual pada kurun waktu tertentu, merupakan hasil perhitungan

harga pokok dari persediaan awal + pembelian barang pada kurun

waktu tertentu – persediaan barang akhir.

47
Omset = Jumlah hasil penjualan pada kurun waktu tertentu.

D. Target

Berdasarkan titik impas Break Event Point diketahui kira-kira sampai

dimana posisi suatu usaha sehingga target akan tercapai. Faktor yang

mempengaruhi perhitungan titik impas yaitu:

a. Biaya tetap

b. Margin keuntungan

Studi kelayakan pendirian apotek berfungsi sebagai pedoman atau

landasan pelaksanaan pekerjaan, karena dibuat berdasarkan data dari berbagai

sumber yang dianalisis dari banyak aspek. Keberhasilan studi kelayakan

dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu:

a. Kemampuan sumber daya internal atau kecakapan manajemen, kualitas

pelayanan, produk yang dijual, dan kualitas karyawan

b. Lingkungan eksternal yang tidak dapat dipastikan seperti pertumbuhan pasar,

pesaing, pemasok, dan perubahan peraturan (Umar, 2004).

2.9.4 Perpajakan

Apotek sebagai tempat usaha, sudah pasti harus membayar pajak. Pajak adalah

suatu kewajiban setiap warga negara untuk menyerahkan sebagian dari kekayaannya

atau penghasilannya (hasil pendapatan) kepada negara menurut peraturan perundang-

undangan yang ditetapkan oleh pemerintah dan dipergunakan untuk kepentingan

masyarakat.

Jenis-jenis pajak yang dibebankan pada apotek antara lain:

a. Pajak yang dipungut oleh daerah yaitu:

i. Pajak Reklame/Iklan (papan nama apotek)

48
ii. SITU (Surat Izin Tempat Usaha)

b. Pajak yang dipungut oleh negara (pemerintah pusat) yaitu:

i. Pajak Penghasilan (PPh)

ii. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak penghasilan (PPh pasal 21) adalah pajak yang dipungut atas

gaji/upah/honorarium, imbalan jasa yang dibayarkan kepada orang pribadi,

terhutang kepada pemberi kerja (majikan, bendaharawan pemerintah dan

perusahaan) sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, dan hubungan kerja lainnya

yang dilakukan di Indonesia.

Pajak penghasilan (PPh pasal 25) adalah pajak yang dipungut atas laba

yang diperoleh. Penentuan besar pajak ini didasarkan pada penghasilan bersih.

Pajak pertambahan nilai (PPN) menurut Undang-Undang PPN Tahun 1984 bahwa

tarif pajak secara umum adalah 10% untuk semua Barang Kena Pajak (BKP)

(Umar, 2004).

49
BAB III

TINJAUAN KHUSUS APOTEK RUMAH SAKIT USU

3.1 Letak dan Luas Bangunan

Apotek Rumah Sakit USU berlokasi di Rumah Sakit Pendidikan USU,

Jalan Dr. Mansyur No.66 Kampus USU Medan. Apotek Rumah Sakit USU

didirikan melalui pembiayaan hibah multi tahun Program Iptek bagi Inovasi dan

Kreativitas Kampus (IbIKK). Visi Apotek Rumah Sakit USU adalah menjadi

apotek pilihan bagi masyarakat sekitar, dan menjadi apotek pendidikan yang

mampu melahirkan tenaga farmasi profesional, serta menjadi apotek rujukan bagi

proses pembinaan apotek di kota Medan khususnya dan di provinsi Sumatera

Utara pada umumnya. Adapun misi IbIKK Apotek Pendidikan adalah:

a. Menyediakan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lain secara lengkap,

bermutu, dan terjangkau, dengan pelayanan berorientasi pasien.

b. Melakukan evaluasi dan perbaikan kinerja secara berkesinambungan untuk

mewujudkan praktik farmasi sesuai standar, yang dapat menjadi rujukan bagi

pembinaan dan perkembangan apotek pada umumnya.

c. Mewujudkan kesejahteraan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga kerja lain

sesuai ketentuan.

d. Menghasilkan keuntungan untuk pengembangan dan pendirian apotek-apotek

pendidikan di kota Medan dan sekitarnya.

3.2 Sarana dan Prasarana

Sejak Rumah Sakit Pendidikan USU dibuka penuh pada tanggal 28 Maret

2016, letak apotek yang semula berada di ruang instalasi farmasi Rumah Sakit,

50
dipindah menempatisalah satu toko di antara pertokoan di depan Rumah Sakit

USU, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.1.

apotek

Gambar 3.1 Ruangan Apotek (ditunjuk anak panah berwarna merah)

3.3 Struktur Organisasi Apotek Rumah Sakit USU

Apotek Rumah Sakit USU didirikan pada tahun 2014 dengan nomor SIA

saat ini 442/16027/IX/2014 yang dikelola oleh Zahniar, S.Farm., Apt., sebagai

Apoteker Pengelola Apotek, Hari Ronaldo Tanjung, S.Si, M.Sc., Apt., sebagai

manajer pemasaran, Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., PhD., Apt., sebagai manajer

administrasi dan keuangan serta Prof. Dr. Wiryanto, M.S., Apt., sebagai manajer

utama.

Apotek Rumah Sakit USU memiliki SDM sebanyak 2 orang yang terdiri

dari 1 orang Apoteker dan1 orang Asisten Tenaga Kesehatan (asisten apoteker).

51
Kegiatan apotek dilakukan setiap hari Senin sampai Sabtu mulai pukul 08.00 WIB

sampai dengan pukul 20.00 WIB.

Struktur organisasi Apotek Rumah Sakit USU dapat dilihat pada Gambar

3.2. di bawah ini.

Rektor USU

Dekan Fakultas Farmasi

Dewan Pengawas
WD 1, WD 2, WD 3

Manajer Utama
Prof. Dr. Wiryanto, M.S., Apt.

Manajer Pemasaran Manajer Pelayanan Manajer Administrasi


Hari Ronaldo Apoteker Pengelola dan Keuangan
Tanjung, S.Si, M.Sc., Apotek Khairunnisa, S.Si.,
Apt., Zahniar, S.Farm., Apt. M.Pharm., PhD., Apt.

Gambar 3.2 Struktur Organisasi Apotek Rumah Sakit USU

3.4 Pengelolaan Perbekalan Farmasi

Pengelolaan perbekalan farmasi di Apotek Rumah Sakit USU meliputi

perencanaan, pengadaan, penerimaan dan pemeriksaan hasil pembelian serta

penyimpanan dan penataan.

3.4.1 Perencanaan pembelian

Petugas apotek di ruang penjualan obat bebas (OTC) dan ruang peracikan

52
membuat daftar kebutuhan barang yang tinggal sedikit dan telah habis melalui

dokumen daftar permintaan barang apotek (order list).

Petugas apotek berdasarkan order list memeriksa jumlah persediaan

barang di gudang dan mencatat di buku defecta (buku pesanan) barang, kemudian

daftar defecta barang diberikan kepada Apoteker Pengelola Apotek untuk

diperiksa.

3.4.2 Pengadaan barang

Pemesanan sediaan farmasi di Apotek Rumah Sakit USU dilakukan setiap

pagi hari pukul 09.30 sampai dengan pukul 11.00 menggunakan surat pesanan

(SP) (lihat Lampiran 1 halaman 69). tahap pengadaan dilakukan sebagai berikut:

a. Buku defecta barang yang diberikan ke Apoteker Pengelola Apotek akan di-

cross check kembali ke bagian petugas apotek.

b. Menetapkan item dan jumlah barang yang akan dibeli berdasarkan kriteria

sediaan farmasi tersebut apakah merupakan fast moving atau slow moving.

c. Barang yang akan dipesan selanjutnya akan ditulis dalam surat pesanan (SP)

yang sudah diperiksa dan disetujui APA untuk diberikan ke salesman

supplier.

d. Apoteker Pengelola Apotek memesan barang kepada salesman dari beberapa

Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang datang ke apotek dan untuk barang yang

tidak dapat dipasok oleh salesman maka apoteker akan menghubungi

pemasok lain melalui telepon.

Khusus untuk pengadaan Narkotika/ Psikotropika, pemesanan dilakukan

langsung ke PBF Kimia Farma Medan menggunakan Surat Pesanan Narkotika

rangkap 5 atau Surat Pesanan khusus Psikotropika rangkap 3 yang ditandatangani

53
oleh Apoteker Pengelola Apotek. Berdasarkan surat pesanan tersebut, PBF akan

mengirimkan barang beserta faktur ke apotek. Contoh Formulir Surat Pesanan

Biasa dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 69. Formulir Surat Pesanan

psikotropika dapat dilihat pada Lampiran 2 halaman 70. Formulir Surat Pesanan

prekursor dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 71. Formulir Surat Pesanan

Narkotika dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 72.

3.4.3 Pemeriksaan dan penerimaan barang pembelian

Prosedur penerimaan barang sebelum disimpan adalah sebagai berikut:

a. Petugas menerima barang dari supplier disertai dengan Surat Pengantar

Barang/Faktur.

b. Pemeriksaan kondisi fisik barang, jumlah, jenis, kebenaran harga obat

No.Batch dan expired date apakah sesuai dengan surat pesanan dan faktur

barang. Meminta penjelasan dari supplier apabila barang yang diterima tidak

sesuai dengan pesanan, maka harus dikonfirmasi dengan pemasok yang

bersangkutan. Bila sesuai, petugas penerima barang harus menandatangani

faktur dan membubuhkan stempel apotek. Faktur asli diserahkan kepada

petugas pengantar barang sedangkan copy faktur sebagai pertinggal.

c. Barang yang telah diterima dan diperiksa kemudian dikirim ke bagian gudang

untuk dimasukkan ke dalam stok barang.

3.4.4 Penyimpanan dan penataan barang

Apotek Rumah Sakit USU mempunyai gudang khusus untuk penyimpanan

perbekalan farmasi sebelum disalurkan ke ruang peracikan dan ke ruang OTC

yang disusun dalam rak lemari dan ditata berdasarkan golongan obat, bentuk

sediaan dan abjad yang menggunakan sistem FIFO (First In First Out), yaitu obat

54
yang pertama masuk lebih awal dikeluarkan terlebih dahulu dan FEFO (First

Expired First Out), yaitu obat dengan kadaluarsa yang lebih dekat dikeluarkan

terlebih dahulu. Begitu pula dengan penataan di ruang penjualan OTC dan ruang

peracikan. Apabila persediaan barang di ruang penjualan OTC dan ruang

peracikan sudah habis maka akan dibuat order list ke gudang untuk dipenuhi

kebutuhan stoknya.

Obat yang dapat dijual bebas tanpa resep dokter, obat tradisional, sediaan

kosmetik dan alat-alat kesehatan disusun dalam etalase ruang penjualan bagian

depan, sedangkan untuk obat golongan keras disusun dalam ruang peracikan

bagian dalam, yang keduanya disusun berdasarkan bentuk sediaan kemudian

diurutkan menurut abjad. Pada ruang peracikan, obat-obat ditempatkan pada kotak

obat dimana tertulis nama obat. Untuk obat generik dan obat golongan narkotika

dan psikotropika disimpan berdasarkan bentuk sediaan dan abjad di lemari

khusus. Obat-obat tertentu yang penyimpanannya harus di bawah suhu kamar

disimpan dalam lemari pendingin. Bahan baku obat disimpan dalam wadah

tertutup rapat, diberi label dan etiket yang jelas.

3.5 Pelayanan Farmasi Klinis

3.5.1 Pengkajian resep

Pengkajian resep meliputi kelengkapan dan keabsahan administrasi,

kesesuaian farmasetis, pengkajian aspek klinis.

3.5.2 Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan, dan pemberian informasi

obat. Tahapan dispensing meliputi:

55
a. Pengecekan ketersediaan obat.

b. Penetapan harga obat dalam resep, diperiksa kembali oleh apoteker atau tenaga

teknis kefarmasian yang lain dan diberitahukan kepada pasien.

c. Tanyakan kepada pasien apakah setuju untuk membeli semua obat atau tidak.

Jika setuju maka disiapkan obatnya, diracik untuk obat yang perlu diracik, lalu

diberi etiket, diperiksa kembali oleh apoteker atau tenaga teknis kefarmasian

yang lain, lalu dikemas.

d. Penyerahan obat kepada pasien disertai dengan penjelasan atau pelayanan

informasi tentang obat yang tercantum pada resep.

e. Pasien membayarkan harga resep. Jika dibutuhkan, kuitansi dan salinan resep

dapat diberikan pada pasien, sedangkan resep asli disimpan sebagai arsip.

3.5.3 Pelayanan informasi obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat (PIO) dilakukan langsung oleh Apoteker kepada

pasien atau keluarga pasien. Informasi meliputi indikasi, efikasi, dosis, bentuk

sediaan, rute dan cara pemakaian obat, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan

menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, harga, sifat fisika dan kimia dari

obat.

3.5.4 Konseling

Konseling dilakukan langsung oleh apoteker kepada pasien atau keluarga

pasien dengan kriteria pasien:

a. Pasien dengan penyakit kronis;

b. Pasien yang mendapatkan obat poli farmasi;

c. Pasien geriatrik, pediatrik, ibu hamil, dan menyusui;

d. Pasien dengan kondisi khusus (gangguan ginjal dan hati);

56
e. Pasien yang mendapatkan obat dengan instruksi khusus.

Hal-hal yang dikonselingkan adalah penggunaan obat, kepatuhan, dan

permasalahan yang dihadapi pasien dalam menjalani terapi.

3.6 Pelayanan resep

Pelayanan di Apotek Rumah Sakit USU dapat berupa pelayanan resep

tunai, pelayanan penjualan bebas (OTC) dan pelayanan swamedikasi.

3.6.1 Pelayanan resep tunai

Pada pelayanan resep tunai, pasien membayar langsung resep yang ingin

ditebus. Prosedur pelayanan resep tunai dilakukan sebagai berikut.

a. Apoteker menerima resep dari pasien dan memeriksa kelengkapan resep dan

ketersediaan obat di apotek.

b. Menetapkan harga obat dan menginformasikan kepada pasien.

c. Bila pembeli setuju dengan harga obat yang diinformasikan maka resep

diteruskan ke ruang peracikan untuk disiapkan/diracik, diberi etiket, diperiksa

apakah obat dan etiket yang diberikan telah sesuai dengan resep dan dikemas.

Bila obat yang diambil hanya setengah resep, maka dibuat salinan resep.

Contoh salinan resep terdapat pada Lampiran 5 halaman 73.

d. Obat yang diserahkan dari bagian peracikan, di-cross check kembali oleh

apoteker, lalu diserahkan kepada pembeli dan disertai dengan pemberian

informasi mengenai cara pemberian obat dan kegunaan dari masing-masing

obat tersebut.

e. Pembeli membayar harga resep ke kasir.

57
f. Resep asli disimpan sebagai arsip, untuk resep yang mengandung narkotika,

diarsipkan tersendiri dan diberi tanda garis merah untuk memudahkan

pembuatan laporan pemakaian narkotika setiap bulannya.

3.6.2 Pelayanan penjualan bebas

Selain pelayanan resep, ada juga pelayanan penjualan bebas atau tanpa

resep. Pelayanan penjualan bebas di Apotek Rumah Sakit USU dilakukan dengan

cara sebagai berikut:

a. Apoteker menerima permintaan barang dari pasien dan menginformasikan

harga.

b. Bila harga sesuai, maka apoteker akan menyerahkan barang sekaligus

memberikan informasi yang dibutuhkan.

c. Pasien membayar harga barang yang dibeli ke kasir.

d. Petugas bagian penjualan maupun asisten apoteker mencatat barang yang

dijual pada buku faktur penjualan bebas.

3.6.3 Pelayanan swamedikasi

Proses pelayanan swamedikasi di Apotek Rumah Sakit USU dilakukan

sebagai berikut:

a. Pasien datang langsung menemui Apoteker dan menyampaikan kebutuhan

atau keluhan terkait kesehatannya.

b. Apoteker memilihkan obat/suplemen yang sesuai dengan keluhan pasien dan

apabila pasien setuju dengan obat yang disarankan, maka obat disiapkan

untuk pasien dan diserahkan kepada pasien disertai informasi yang

dibutuhkan pasien.

58
3.7 Administrasi

Pembuatan dan pencatatan administrasi di Apotek Rumah Sakit USU

meliputi:

a. Laporan pembelian dalam buku pembelian, yaitu buku yang mencatat semua

barang yang diterima dari distributor dengan faktur sebagai hasil pembelian.

b. Laporan penjualan dalam buku penjualan, yaitu buku yang mencatat semua

penjualan barang setiap hari baik dengan resep ataupun penjualan bebas

sehingga dapat diketahui jumlah totalnya setiap hari.

c. Laporan pemesanan barang dalam buku defecta, yaitu buku yang mencatat

daftar barang yang akan dipesan atau barang yang sudah habis persediaannya.

d. Laporan pemesanan barang (order list) dalam bentuk kertas daftar pesanan

barang dari ruang penjualan OTC dan ruang peracikan ke gudang.

e. Buku stok obat, yaitu buku yang mencatat pemasukan dan pengeluaran obat

dari gudang sehingga dapat diketahui berapa sisa obat dan berapa obat yang

harus dipesan.

f. Laporan hutang dagang dalam buku hutang dagang, yaitu buku yang mencatat

pembelian barang secara kredit.

g. Pengarsipan resep per hari, yaitu berdasarkan nomor urut resep yang masuk

ke apotek.

h. Buku pencatatan narkotika dan psikotropika, yaitu buku yang mencatat

pemasukan dan pengeluaran obat-obat golongan narkotika dan golongan

psikotropika (OKT). Pelaporan obat golongan narkotika dilakukan setiap

bulan sekali, paling lambat tanggal 10 setiap bulannya, sedangkan untuk

pelaporan obat golongan psikotropika tidak dilakukan, hanya berupa arsip

59
dokumen pelaporan yang sewaktu-waktu dapat diperiksa dan ditinjau oleh

Dinas Kesehatan Kota Medan.

3.8 Kewajiban Apotek Rumah Sakit USU

Apotek RS USU mempunyai kewajiban membayar pajak. Kewajiban

(pajak) yang harus dipenuhi oleh Apotek RS USU ke pemerintah pusat dan daerah

meliputi:

a. Kewajiban membayar Pajak Penghasilan (PPh) sesuai pasal 21 yaitu pajak

atas gaji atau upah honorium, imbalan jasa dan kenikmatan lain yang

dibayarkan kepada orang pribadi, terhutang oleh pemberi pajak sehubungan

dengan pekerjaan, jabatan dan hubungan kerja lainnya yang dilakukan di

Indonesia.

b. Kewajiban membayar Pajak Penghasilan Badan (PPh) sesuai pasal 25 yang

dipungut dari perusahaan atas laba yang diperoleh oleh perusahaan tersebut.

Penentuan besar pajak didasarkan pada penghasilan bersih.

c. Kewajiban membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu merupakan

selisih dari pajak keluaran yang disetor ke negara selambat-lambatnya tanggal

10 setiap bulannya dan dilaporkan ke kantor pelayanan pajak setempat.

d. Kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) setiap tahun.

e. Kewajiban terhadap karyawan, yaitu meliputi: membayar upah, memberi cuti,

dan lain-lain sesuai kesepakatan kerja dan perundang-undangan tenaga kerja.

60
BAB IV

PEMBAHASAN

Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Komunitas/Apotek

merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan untuk membekali mahasiswa

calon apoteker dalam hal keahlian di bidang perapotekan. Praktek Kerja Profesi

Apoteker ini dilaksanakan di Apotek Rumah Sakit USU, Jalan Dr. Mansyur No.66

Medan.

4.1 Lokasi

Apotek Rumah Sakit USU merupakan salah satu apotek swasta yang

berlokasi di dalam lingkungan Rumah Sakit USU, di pinggir jalan besar, berada di

daerah pemukiman padat penduduk sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat.

Hal ini akan sangat menunjang fungsi apotek, baik fungsi ekonomi maupun fungsi

sosial. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dalam hal sarana

dan prasarana, salah satu poinnya menyatakan bahwa suatu apotek itu seharusnya

berlokasi pada daerah yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Oleh karena itu,

Apotek Rumah Sakit USU dapat dikatakan telah memenuhi ketentuan ini.

Di sekitar Apotek Rumah Sakit USU jumlah apotek relatif sedikit

sehingga persaingan usaha tidak terlalu ketat, diharapkan Apoteker Pengelola

Apotek (APA) lebih meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian. Keberadaan

apoteker sangatlah penting di apotek karena apoteker yang seharusnya

memberikan segala informasi yang dibutuhkan pasien mengenai obat yang

digunakannya sehingga bisa menjadi nilai lebih untuk apotek tersebut.

61
4.2 Pengelolaan Perbekalan Farmasi

Apotek Rumah Sakit USU, melayani penjualan obat bebas maupun resep

dengan cukup baik dengan harga obat yang bersaing, karyawan/asisten apoteker

yang ramah, dan kondisi apotek yang bersih serta susunan obat yang teratur.

Dalam hal ini asisten apoteker di Apotek Rumah Sakit USU selain membantu

Apoteker Pengelola Apotek dalam melayani resep dan obat-obat over the counter

(OTC) juga merangkap sebagai kasir dan petugas administrasi.

Pengelolaan perbekalan farmasi di Apotek Rumah Sakit USU dilakukan

menurut prosedur yang terdiri dari: perencanaan, pengadaan, penerimaan,

penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan. Penanganan

perbekalan farmasi di Apotek Rumah Sakit USU dilakukan oleh seorang Apoteker

Pengelola Apotek dan dibantu oleh seorang asisten apoteker.

Perencanaan perbekalan farmasi di Apotek Rumah Sakit USU

dilaksanakan dengan melihat buku pesanan sementara yang berisi daftar

perbekalan famasi yang akan habis yang ditulis setiap harinya, kemudian pemasok

dipilih adalah pemasok obat yang resmi dan memberikan diskon harga terbesar.

Pengadaan perbekalan Farmasi di Apotek Rumah Sakit USU sudah cukup

baik karena dalam pengadaannya telah mengutamakan obat-obat fast moving serta

dengan memperhatikan obat-obat apa saja yang sering dibutuhkan oleh pasien.

Oleh karena itu, dapat mencegah penumpukan obat yang slow moving dan

meminimalkan adanya obat yang kadaluarsa. Sedangkan untuk pembeliannya

dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek dan Asisten Apoteker melalui

salesman yang datang setiap pagi hari secara sistem tender skala kecil. Pengadaan

obat biasanya dengan pertimbangan harga yang ditawarkan dan discount dari

62
PBF. Apabila ada obat yang tidak tersedia pada salesman, maka pemesanan

dilakukan via telepon langsung ke PBF (Pedagang Besar Farmasi) lain. Kemudian

surat pesanan yang telah diisi sesuai dengan pesanan obat dan ditandatangani oleh

Apoteker Pengelola Apotek diberikan dan diserahkan ke salesman. Khusus untuk

pembelian narkotika, pemesanan langsung dilakukan ke PBF Kimia Farma Medan

dengan menggunakan surat pemesanan narkotika yang ditandatangani oleh

Apoteker Pengelola Apotek. Pembelian psikotropika dilakukan dengan

menggunakan surat pemesanan psikotropika yang di tanda tangani oleh Apoteker

Pengelola Apotek.

Penerimaan perbekalan farmasi di Apotek Rumah Sakit USU dilakukan

oleh Apoteker Pengelola Apotek dan Asisten Apoteker dengan memeriksa

kembali kesesuaian jenis dan jumlah perbekalan farmasi yang diterima dengan

surat pemesanan. Selain itu juga diperiksa mutu, tanggal kadaluarsa dan harga dari

perbekalan farmasi yang diterima.

Penyimpanan obat bebas dan bebas terbatas di Apotek Rumah Sakit USU

dilaksanakan berdasarkan efek farmakologi, bentuk sediaan dan abjad. Obat keras

disimpan berdasarkan bentuk sediaan dan abjad. Obat-obat seperti suppositoria

dan obat-obatan yang harus disimpan pada suhu rendah disimpan dalam lemari

pendingin.Pelaksanaan penyimpanan dan penyaluran sediaan farmasi dilakukan

dengan menggunakan system FIFO (First In First Out) yaitu penyimpanan obat

berdasarkan obat yang datang lebih dulu dan dikeluarkan lebih dulu dan FEFO

(First Exprired First Out) yaitu penyimpanan obat berdasarkan obat yang

memiliki tanggal kadaluarsa lebih cepat maka dikeluarkan lebih dulu. Obat-obatan

golongan narkotika dan psikotropika disimpan terpisah dengan obat lainnya dalam

63
suatu lemari khusus. Tempat penyimpanan obat narkotika dan psikotropika belum

memenuhi persyaratan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan

Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi pada Bab III.

Pemusnahan perbekalan farmasi di Apotek Rumah Sakit USU yang telah

dilaksanakan adalah pengembalian obat-obat yang telah mendekati tanggal

kadaluarsa ke distributor tempat pemesanan obat-obat tersebut, lalu distributor

tersebut akan mengganti dengan obat-obat baru yang tanggal kadaluarsanya masih

jauh.

Pengendalian perbekalan farmasi di Apotek Rumah Sakit USU dilakukan

dengan pencatatan nama perbekalan farmasi, jenis sediaan obat, jumlah

pemasukan perbekalan farmasi, jumlah pengeluaran perbekalan farmasi, dan sisa

persediaan perbekalan farmasi secara elektronik. Pencatatan dan pelaporan

perbekalan farmasi di Apotek Rumah Sakit USU telah dilaksanakan dengan baik.

Pencatatan dilakukan Apoteker Pengelola Apotek dibantu Asisten Apoteker

dengan mencatat persediaan farmasi yang akan dipesan di buku pemesanan,

pencatatan stock perbekalan farmasi di apotek, pencatatan penjualan barang di

apotek, pencatatan hutang apotek untuk dilunasi dan pencatatan piutang untuk

penagihan.Pelaporan dilaksanakan oleh Apoteker Pengelola Apotek berupa

pelaporan internal yaitu pelaporan keuangan apotek, serta pelaporan eksternal

yaitu pelaporan obat narkotika dan psikotropika setiap bulan ke Menteri

Kesehatansecara online melalui aplikasi SIPNAP (Sistem Informasi Pelaporan

Narkotika dan Psikotropika),

64
4.3 Pelayanan Farmasi Klinik di Apotek Rumah Sakit USU

Pelayanan farmasi klinik di Apotek Rumah Sakit USU yang sudah

dilakukan saat ini meliputi pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat

(PIO) dan konseling. Pelayanan farmasi klinik lain seperti pelayanan kefarmasian

di rumah (home pharmacy care), Pemantauan Terapi Obat (PTO) dan Monitoring

Efek Samping Obat (MESO) belum dapat dilaksanakan karena terkendala waktu,

jarak, lokasi tempat tinggal pasien dan tenaga.

Kendala yang ditemui dalam hal pelayanan resep adalah tidak semua item

obat tersedia. Hal ini terjadi disebabkan oleh pola peresepan di Rumah Sakit yang

belum menentu, karena Rumah Sakit yang baru aktif berjalan tahun ini. Oleh

karena itu, Apoteker Pengelola Apotek dapat lebih memperhatikan lagi pada

pengelolaan perbekalan farmasi. Salah satunya dengan menganalisa aspek pola

peresepan pada pasien di Rumah Sakit USU, sehingga jika ada permintaan resep,

apotek dapat menyediakannya. Kendala lain yang ditemui adalah masih sedikitnya

pasien yang datang membeli obat ke Apotek ini disebabkan masih sedikitnya

pasien yang berobat ke Rumah Sakit USU. Diharapkan dengan semakin

bertambahnya jumlah pasien di Rumah Sakit USU, maka semakin bertambahnya

pasien yang datang membeli obat di Apotek Rumah Sakit USU.

4.4 Peran dan Pelayanan Apoteker Pengelola Apotek

Peran Apoteker Pengelola Apotek dan manajemen Apotek Rumah Sakit

USU sudah berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari pengkajian resep dan

pelayanan farmasi klinis terhadap pasien, Apoteker terlibat langsung memberikan

pelayanan resep maupun swamedikasi.

65
Dengan terlaksananya peran Apoteker dalam apotek maka masyarakat

menyadari peran penting dan manfaat seorang apoteker dalam meningkatkan

kesehatan dan kemajuan apotek. Apoteker bertanggung jawab terhadap pelayanan

kefarmasian di apotek, sehingga pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi

mengenai obat kepada masyarakat dapat berjalan dengan baik, serta senantiasa

membenahi diri agar dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, guna

mengangkat derajat profesi apoteker menjadi suatu profesi yang diakui oleh

masyarakat.

4.5 Fasilitas dan Apotek

Fasilitas yang terdapat diapotek meliputi lemari obat, lemari pendingin

tempat penyimpanan obat bersuhu <8°C, tempat tunggu pasien, komputer dan

AC. Sistem informasi manajemen apotek sudah menggunakan sistem

komputerisasi. Sistem informasi manajemen apotek sangat diperlukan dalam

pengelolaan apotek karena sistem komputerisasi dapat menyediakan dukungan

informasi yang aktual dan cepat yang mencakup informasi obat, jumlah item obat

yang tersedia, harga obat, retur pembelian dan penerimaan obat.

Beberapa kekurangan fasilitas yang ada di apotek RS USU meliputi ruang

peracikan obat, ruang KIE, lemari penyimpanan obat psikotropika, lemari

penyimpanan obat narkotika, spanduk identitas pada apotek, jaringan internet

(misal: wifi) sehingga lebih memudahkan dalam pelaporan obat narkotika juga

menjadi lebih terbuka dalam masuknya informasi seputar peraturan atau kebijakan

baru pemerintah terkait praktek perapotekan.

66
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Peran, fungsi, dan tanggung

jawab apoteker sangat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat

diantaranya adalah:

a. Pelayanan terkait dengan perbekalan farmasi

b. Pelayanan informasi obat.

c. Pelayanan swamedikasi ke pasien, dan

d. Manajemen pengelolaan apotek.

2. Perbekalan yang telah didapat oleh calon apoteker dari praktik kerja

profesi di apotek yaitu keterampilan dan pengetahuan tentang bagaimana

praktik kefarmasian yang dilakukan oleh seorang apoteker dalam

menjalani peran, fungsi dan tanggung jawabnya.

5.2 Saran

1. Disarankan agar dilakukan publikasi seperti pembuatan spanduk apotek

Rumah Sakit USU serta pemanfaatan sosial media.

2. Disarankan sebaiknya disekat antara ruang pelayanan pasien dengan ruang

peracikan obat agar proses dispensing dapat dilakukan dengan nyaman.

67
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1995). Manajemen Farmasi. Cetakan I. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press. Halaman 7-12, 91-95, 113-114.

Anief, M. (2008). Manajemen Farmasi. Edisi V. Yogyakarta: Gadjah


MadaUniversity Press. Halaman 3-4.

Bogenta, A. (2012). Manajemen Pengelolaan Apotek. Cetakan I. Yogyakarta:


Penerbit D Medika. Halaman 21, 32-34, 99, 108.

Depkes RI. (2006). Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 3-4.

Hartono, H. (1998). Manajemen Apotek. Jakarta: Depot Informasi Obat. Halaman


12-16.

Mashuda, A. (2011). Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB).


Jakarta: Kerja Sama Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dengan Pengurus
Pusat Ikatan Apoteker Indonesia. Halaman 12-13.

Menkes RI. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 919/Menkes/Per/X/1993


tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep Dokter.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Menkes RI. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.


1332/MenKes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 922/MenKes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pemberian Izin Apotek. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.

Menkes RI. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 889/Menkes/Per/V/2011


tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tentang Kefarmasian.
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Menkes RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35


Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Menkes RI. (2015). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 3


Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan
Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

68
Menkes RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 31
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja
Tentang Kefarmasian. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia No. 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia

Menkes RI. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.3


Tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Psikotropika. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Menkes RI. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9


Tahun 2017 tentang Apotek. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.

Presiden RI. (1997). Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1997


tentang Psikotropika. Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 No. 10.

Presiden RIa. (2009). Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009


tentang Narkotika. Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009.

Presiden RIb. (2009). Undang-undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009


tentang Kesehatan. Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 No. 144.

Presiden RIc. (2009). Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang


Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009.

Sam, A. T. dan Subramani P. (2015). The Nine Stars of Pharmacist: An


Overview. Journal of Young Pharmacist. 7(4):281-284.

Umar, M. (2004). Manajemen Apotek Praktis. Cetakan III. Solo: Penerbit CV.Ar-
Rahman. Halaman 1-19, 114, 183.

69
Lampiran 1. Formulir Surat Pesanan Biasa

70
Lampiran 2. Formulir Surat Pesanan Psikotropika

71
Lampiran 3. Formulir Surat Pesanan Prekursor

72
Lampiran 4. Formulir Surat Pesanan Narkotika

73
Lampiran 5. Salinan Resep

74

Anda mungkin juga menyukai