Anda di halaman 1dari 16

Tugas Kelompok Dosen Pengampu

Ulumul Qur’an Ahmad Paishal Amin, S.Th., M.Ag

TAFSIR AL-QURAN DAN SYARAT-SYARAT MUFASSIR

Disusun Oleh:
Auliyah: :180104020125
Akmal Shaumi Adriono :1801040200031

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PRODI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
BANJARMASIN
2019

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat,
Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Ulumul
Qur’an dengan judul “Pengertian Mufassir dan Syarat-Syarat Mufassir” tepat pada
waktunya.
 Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata, kami memahami jika makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka
kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya-karya di waktu
mendatang.

Banjarmasin, 12-April-2019

Penyusun

DAFTAR ISI

2
Kata Pengantar………………………………………………………………….i

Daftar Isi………………………………………………………………………..ii

Bab I Pendahuluan……………………………………………………………...1

A. Latar Belakang………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah………...............................................................1
C. Tujuan………………………………………………………………......1

Bab II Pembahasan…………………………………………………………......2

A. Pengertian Tafsir………………………………………………………..2
B. Perbedaan Antara Tafsir dengan Ta’wil………………………………..2
C. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir………………………………..3
D. Metode-Metode Penafsiran Al-Qur’an………………………………...7
E. Syarat-Syarat dan Etika Mufassir……………………………………...9

Bab III Penutup………………………………………………………………..12

A. Kesimpulan…………………………………………………………....12

Daftar Pustaka………………………………………………………………

BAB I

3
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-qur’an merupakan sumber ilmu yang tidak habis untuk dikaji berbagai
kalangan. Semakin lama dikaji, semakin banyak ilmu yang terkuak. Sebagai contoh,
para ilmuwan mengembangkan maupun mencocokan penemuan mereka tentang
teknologi, ilmu perbintangan, penemuan pesawat terbang, matematika, fisika, dan
lain sebagainya, dengan pemaparan yang tersebut dalam Al-qur’an. Sebagian sumber-
sumber hukum juga berasal dari Al-qur’an. Sehingga, Pengetahuan mengenai makna
Al-qur’an pun menjadi sangat penting untuk dipahami. Adanya tafsir dan ta’wil Al-
qur’an tentu mempermudah setiap orang memahami hingga mengkaji isi Al-qur’an.
Perlu kiranya kita memperdalam pengetahuan mengenai tafsir, ta’wil Al-qur’an,
metodologi penafsiran hingga tokoh mufassir beserta karyanya. Sehingga kita dapat
mmperkokoh keimanan dan menambah pengetahuan dalam memahami Al-qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tafsir al-Qur’an?
2. Apa perbedaan dari tafsir dan ta’wil?
3. Bagaimana sejarah dan perkembangan dari ilmu tafsir?
4. Bagaimana metode dalam Penafsiran al-Qur’an?
5. Apa saja syarat-syarat dari seorang mufassir?

C. Tujuan

Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tafsir, perbedaan tafsir dan ta’wil,
metode apa saja yang dapat digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an, juga untuk
mengetahui syarat-syarat untuk menjadi seorang mufassir.

BAB II

4
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir

Secara etimologi kata tafsir berarti al-ibanah wa kasyfu al-mughattha (menjelaskan


dan menyingkap yang tertutup). Dalam kamus lisan al-‘Arab, tafsir berarti
menyingkap maksud kata yang samar. Hal ini didasarkan pada firman Allah Sûrah al-
Furqân: 33
‫ق َوأَحْ َسنَ تَ ْف ِسيرًا‬ َ ‫َواَل يَأْتُونَكَ بِ َمثَ ٍل ِإاَّل ِج ْئنَا‬
ِّ ‫ك بِ ْال َح‬
“Dan tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya”
Sedangkan secara terminologi, menurut Al-Zarqoni tafsir adalah ilmu untuk
memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menjelaskan
makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.
Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân, mendefinisikan
tafsir sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan lafadz al-Qur’an, petunjuk-
petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun tersusun, dan
makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal lain yang
melengkapinya.

D. Perbedaan Tafsir dan Ta’wil

Al-Ragib Al-Isfahani menganggap tafsir lebih umum daripada ta’wil dan biasanya
tafsir lebih banyak digunakan dalam lafal dan mufradatnya, sedang ta’wil lebih
dititikberatkan kepada makna dan kalimat. Ta’wil dipahami sebagai kaidah-kaidah
penafsiran berdasarkan akal terhadap ayat-ayat alegoris yang bertujuan menyingkap
sebanyak mungkin makna yang terkandung di dalam suatu teks serta memilih yang
paling tepat. Sedangkan tafsir dipahami sebagai penjelasan yang semata-mata
bersumber dari kabar benar yang diriwayatkan secara mutawatir oleh para perawi

5
yang adil dan dobit hingga kepada para sahabat Nabi Saw. Tafsir juga diartikan
sebagai kegiatan mengurai untuk mencari pesan yang terkandung dalam teks,
sedangkan ta’wil berarti menelusuri kepada orisinalitas atau ide awal yang
terbungkus dalam teks.
Ta’wil adalah penafsiran batin dan bersifat lebih mendalam seperti yang telah
dikemukakan oleh Abu Talib As-Sa’labi sebagaimana yang dikutip As-Suyuti, namun
syarat penafsiran batin adalah kesesuaiannya dengan penafsiran lahir yang lebih
nyata. Para ulama sejak dahulu menganggap ta’wil sebagai tafsir dalam bentuk yang
khusus, artinya tafsir lebih umum daripada ta’wil.
Diantara tafsir, dan ta’wil terdapat perbedaan dari segi sumbernya, tafsir
bersumber dari riwayat (atsar) dan riwayat (ijtihad), sedangkan ta’wil hanya
bersumber pada dirayat saja. Hal ini disebabkan arti tafsir itu menerangkan maksud
al-Qur’an baik dari penjelasan Nabi Saw maupun sahabat yang mengikuti
perkembangan turunnya wahyu (al-Qur’an) dan dapat pula dilakukan dengan ijtihad
berdasarkan pengetahuan yang harus dimiliki seorang mufassir yang terkandung dari
suatu lafadz atau susunan ayat, dimana hal ini hanya dapat dilakukan dengan ijtihad
yang berdasarkan ilmu pengetahuan, bahasa atau susunan kalimat dan lainnya.

B. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir


1. Tafsir pada Masa Nabi Muhammad Saw (tahun 1 dari kenabian hingga 11 H/ 610-
632 M)

‫س إِنَّ هَّللا َ ال ي ْه ِدى‬ ِ ‫يَأَي َها ال َّرسو ُل بَلِّ ْغ َما أُن ِز َل إِلَ ْيك ِمن َّربِّك َو إِن لَّ ْم تَ ْف َع ْل فَ َما بَلَّ ْغت ِرسالَتَهُ َو هَّللا ُ يَ ْع‬
ِ ‫ص ُمك ِمنَ النَّا‬
َ‫ا ْلقَ ْو َم ا ْل َكفِ ِرين‬
“Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan
jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah
menjagamu dari bahaya manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang kafir” (al-maidah ayat 67)

6
Nabi telah melaksanakan tugas-tugas Qur’aninya itu dengan prima. Baik sebagai
pembaca dan penghafal (qori dan hafizh), maupun sebagai penyampai risalah
(muballigh al-risalah) dan penjelas (mubayyin) al-Qur’an. Bahkan lebih dari itu,
beliau telah menyelesaikan tugas sucinya (sacred mission) mengamalkan dan
memperaktekkan ajaran-ajaran al-Qur’an selama kurang lebih 23 tahun (610-632 M).
Penafsiran al-Qur’an yang dibangun Rasulullah Saw ialah menafsirkan al-Qur’an
dengan al-Qur’an dan menafsirkan al-Qur’an dengan pemahaman beliau sendiri yang
kemudian populer dengan sebutan al-Sunnah atau al-Hadits. Dengan kalimat lain,
sumber tafsir al-Qur’an pada masa Rasulullah Saw adalah Qur’an itu sendiri dan
kemudian al-Hadits. Adapun mufassir pada masa Nabi Muhammad Saw pada
hakikatnya Nabi Muhammad Saw sendiri sebagai mufassir tunggal.

2. Periode Mutaqaddimin (Abad I-IV H)


Periode ini meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’at tabi’in. Dari kalangan para
sahabat, minimal tercatat 10 orang mufassir terkenal yaitu, Abu Bakar Ash-Shiddiq,
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Zaid bin
Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah
bin Abbas. Ada beberapa ciri khas tafsir pada masa sahabat, yang terpenting
daripadanya ialah:
a). Mereka tidak menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan, karena para sahabat
hanya menafsirkan sebagian ayat al-Qur’an yang benar-benar mereka dalami dan
kuasai. Namun, dengan berinteraksi antar sesama mereka, tafsir al-Qur’an pun pada
akhirnya berproses menuju ke arah yang lebih lengkap dan sempurna.
b). Pada periode sahabat, perbedaan penafsiran al-Qur’an di kalangan mereka relatif
amat sedikit, karena selain secara politis para sahabat masih tetap utuh dan padu, juga
terutama belum terlalu banyak permasalahan yang mereka hadapi.
c). Penafsiran yang dilakukan para sahabat pada umumnya lebih menekankan
pendekatan pada al-ma’na al-ijmali (pengertian kosa kata secara global), dan tidak
melakukannya dengan cara panjang lebar dan mendetail. Mereka telah menganggap

7
cukup menafsirkan al-Qur’an secara umum sekadar untuk membantu mereka
memahami makna asli dari ayat-ayat al-Qur’an.
d). Membatasi diri pada penjelasan makna-makna lughat (etimologis) dalam
ungkapan sederhana dan singkat, tanpa menggunakan metodologi penafsiran yang
rumit seperti yang berkembang kemudian.
e). Jarang mengistinbatkan hukum-hukum fiqhiyah dari ayat-ayat al-Qur’an, apalagi
jika istinbath hukum itu sendiri lebih mengedepankan semangat pembelaan kepada
mazhab-mazhab fikih yang dizaman generasi sahabat memang belum terjadi.
f). Tafsir al-Qur’an sama sekali belum dibukukan
g). Pada umumnya dilalukan dengan menguraikan al-hadits, bahkan tafsir itu
merupakana bagian (cabang) dari al-hadits.

Pada masa generasi sahabat kecil dan terutama pada zaman tabi’in dan sesudahnya,
tokoh-tokoh Islam termasuk para mufassirnya tersebar luas ke berbagai kota Islam,
seperti Madinah, Mekkah, Irak, dan lain-lain. Ahli tafsir di Mekkah pada umumnya
berguru kepada Abdullah bin Abbas, salah satu muridnya yaitu Mujahid bin Jabr.
Sedangkan di Kuffah kebanyakan merupakan murid dari Ibn Mas’ud. Salah satu
muridnya ialah al-Aswad bin Yazid. Lalu di ahli tafsir di Madinah pada umumnya
berguru kepada Zain bin Aslam al-Adwi al-Madani. Salah satu muridnya ialah Abu
al-‘Aliyah Rafi bin Mihran al-Rayyahi.
3. Periode Muta’akhirin (abad 4-12 H)
Pada zaman ini, Islam telah menguasai daerah-daerah lain yang memiliki
kebudayaan seperti Persia, Asia Tengah, India, Siria, Turki, Mesir, Etiopia, dan
Afrika Selatan bahkan Islam berkembang pula di Asia Tenggara.
Masa inilah kaum Muslimin mempelajari pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki
oleh penganut-penganut kebudayaan tersebut, seperti mempelajari ilmu logika, ilmu
filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu ketabiban dan sebagainya, sehingga dalam
beberapa waktu saja telah dimiliki ilmu- ilmu yang berhubungan dengan kebahasaan.

8
Para ahli tafsir dalam menafsirkan tidak lagi merasa cukup dengan hanya
mengutip atau tepatnya menghafal riwayat dari generasi sahabat, tabi’in dan tabi’at
tabi’in seperti yang diwarisinya selama ini, akan tetapi telah beroreantasi pada
penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu bahasa pada
khususnya dan penalaran-penalaran ilmiah yang lain pada umumnya.

4. Tafsir Periode Kontemporer

Periode ini dimulai pada abad ke-19 sampai sekarang. Terkenal modernisasi Islam
yang antara lain dilakukan di Mesir oleh tokoh-tokoh Islam semisal Jamal al-Din al-
Afghani (1254-1315 H/1838-1897 M), Syekh Muhammad Abduh (1265-1323 H/
1849-1905 M) dan Muhammad Rasyid Ridha (1282-1354 H/ 1865-1935 M). Dua
orang yang terakhir, yakni Abduh dan Rasyid Ridho, berhasil menafisirkan al-Qur’an
(tafsir al-Qur’an al-Hakim/ Tafsir al-Manar) meskipun tidak sampai tamat.
Kesungguhan tafsir ini diakui banyak orang dan memiliki pengaruh yang cukup besar
bagi perkembangan tafsir baik bagi kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang semasa
dengannya dan terutama kitab-kitab tafsir yang terbit pada masa-masa sesudahnya
hingga sekarang. Cikal bakal tafsir al-Qur’an yang lahir abad ke XX dan XXI banyak
mendapatkan inspirasi dari Tafsir al- Qasimi dan tafsir al-Jawahir karya Thanthawi
Jauhari.

Dalam pada itu berbarengan dengan upaya pembaharuan Islam dan gerakan
penafsiran al-Qur’an di Mesir dan negara-negara lainnya, para ilmuwan Muslim di
Indonesia juga melakukan gerakan penerjemahan dan penafsiran al-Qur’an ke dalam
bahasa Indonesia. Di antaranya yang tergolong ke dalam tafsir yang berkualitas dan
monumental ialah al-Qur’an dan Tafsirnya yang di terbitkan oleh Departemen Agama
Republik Indonesia dan Tafsir al-Azhar karya Prof. Dr. Buya Hamka (1908-1981)
C. Metode Penafsiran
1. Tafsir Tahlili (Analitis)

9
Metode tafsir tahliliy adalah metode yang menafsirkan ayat dari ayat secara berurutan
sesuai dengan tertib ayat yang ada dalam mushaf dengan analisis dari berbagai hal.
metode tafsir tahlili ini banyak digunakan oleh ulama terdahulu, sejak permulaan
masa tafsir di kodifikasikan. Menurut al-Farmawiy, tafsir tahlili adalah tafsir yang
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya dan mengungkapkan semua
maksud dan tujuannya. Mufassir menjelaskan semua ayat al-Qur’an ayat demi ayat
surah demi surah sesuai dengan yang ada dalam mushaf. Mulai dengan menjelaskan
kosa kata, menyebutkan kandungan makna dalam kalimat-kalimat, apa yang menjadi
sasaran kalimat-kalimat itu, menggali korelasi antar ayat, mengunakan asbab an-
nuzul dan riwayat-riwayat dari Rasul, sahabat, dan tabi’in yang menyangkut
penjelasan ayat, dan kadang-kadang juga menggunakan bahasan-bahasan kebahasaan
dalam rangka memahami ayat-ayat kajiannya.
2. Tafsir Ijmaly (Global)
Dr. ‘Abd al-Hayy al-Farmawiy mendefinisikan tafsir Ijmaly adalah tafsir yang
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan mengemukakan makna-maknanya secara
ringkas, padat, dan jelas. Maksud utama metode ini adalah memperjelas makna dan
bentuk kata yang digunakan. Pada zaman sahabat tafsir dengan metode ini sangat
berkembang. Hal itu dikarenakan kebanyakan masyarakat waktu itu memahami
sebagian besar ayat-ayat al-Qur’an, sehingga hanya sebagian kecil jumlah ayat yang
perlu ditafsirkan.
Di antara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode tafsir ijmaly adalah tafsir
Jalalain, tafsir al-Wajiz karangan al-Wahidi al- Naisaburi, al-Muhalla wa al-Suyuti,
dan tafsir Shofwah al-Bayan Li-Ma’ani al-Qur’an karangan Husei Makhluf.
3. Tafsir Muqarin (Perbandingan)
Tafsir muqarin adalah tafsir yang membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang
memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau
kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus
yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam objek bahasan metode ini,
membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi Muhammd saw. yang

10
tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat ulama tafsir menyangkut
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.
Ada tiga hal yang dapat diperbandingkan dengan metode muqarin, yaitu sebagai
berikut:
a. Membandingkan ayat dengan ayat, dalam hal ini terbagi lagi kepada dua kategori,
kategori pertama yaitu membandingkan satu ayat dengan ayat yang lainnya yang
membahas kasus yang semua, tetapi menggunakan redaksi yang berbeda, kategori
kedua yaitu membandingkan satu ayat dengan ayat yang lainnya yang membahas
kasus yang berbeda, tetapi menggunakan redaksi yang mirip.
b. Membandingkan ayat dengan hadits yang membahas kasus yang sama, tetapi
dengan pengertian yang tampak berbeda atau bahkan bertentangan. Dalam hal ini,
dipersyaratkan bahwa hadits yang diperbandingkan harus berkualitas minimal shahih.
c. Membandingkan penafsiran seorang penafsir dengan penafsiran penafsir yang lain
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang sama.

4.Tafsir Mawadhu’i
Tafsir mawadhu’i adalah menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai satu
sasaran yang tergabung dalam tema apa saja dan menyusunnya berdasarakan tertib
turunnya selama memungkinkan dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya,
kemudian menjelaskan, memberi komentar dan mengambil koklusi, dipelajari secara
tematis dengan melihat segala aspeknya, menimbangnya dengan timbangan ilmu
yang benar.
Dari definisi di atas, ada empat kriteria utama al-Tafsir al-Mawdhu’i sebagai
berikut:
a. Himpunan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai satu sasaran,
b. Ayat-ayat tersebut tergabung dalam satu tema khusus,
c. Ayat-ayat dimaksud disusun berdasarkan tertib turunnya selama
memungkinkan, dan

11
d. Memberi penjelasan, komentar dan mengambil konklusi dengan
memperhatikan sebab-sebab turun ayat, korelasi ayat dengan ayat yang
sebelum dan sesudahnya dalam mushaf dan semua itu di pelajari berdasarkan
tema dengan melihat segala aspeknya.

E. Syarat-Syarat dan Etika Mufassir


Secara bahasa mufassir adalah bentuk isim fa’il dari kata Fassara yang artinya
menafsirkan atau menjelaskan. Kemudian diikutkan wazan isim fa’il Mufa’ilun
menjadi Mufassirun yang artinya orang yang menafsirkan, mengomentari,
interpretasi.
Adanya suatu persyaratan dan etika seorang mufassir sebenarnya adalah sudah
menjadi otoritas dari setiap disiplin ilmu, dalam bidang kedokteran saja seseorang
tidak dperbolehkan menangani pasien jika tidak paham benar ilmu tentang
kedokteran. Bagaimana jika sebuah penafsiran Al-qur’an dilakukan oleh orang yang
sama sekali tidak kompeten menafsirinya, maka akan terjadi sebuah kesalahan yang
terus menerus diajarkan dari masa ke masa dan terus menerus menyesatkan orang
yang mempelajarinya. 
Adapun persyaratan bagi seorang mufassir adalah sebagaimana dijelaskan oleh
beberapa ulama sebagai berikut:

1. Syekh Muhammad Hussein Adz-Dazhabi: Syarat bagi seorang mufassir


adalah menguasai ilmu Nahwu, Ilmu sharaf, Ilmu Lughah, Ilmu Isytiqaq, Ilmu
ma’ani, Ilmu Bayaan, Ilmu Badi’ Ilmu Qira’at, Ilmu Kalam, Ilmu Ushul Fiqih,
Ilmu Qashas, Ilmu Nasikh mansukh, Ilmu Hadits dan Ilmu Mauhibah (Ilmu
karunia dari Allah). 
2. Syekh Manna’ al-Qaththan: Syarat seorang mufassir dan tata cara menafsirkan
adalah bebas dari hawa nafsu, memulai menafsirkan Al-qur’an dengan Al-qur’an,
mencari tafsir dari al-Sunnah, pendapat dari tabi’in, mengetahui bahasa Arab

12
dengan semua cabangnya, mengetahui pokok-pokok ilmu yang berhubungan
dengan ilmu Al-qur’an, dan memiliki ketajaman berpikir. 
3. Imam as-Suyuti: Dalam kitabnya“al-Itqan” menyebutkan beberapa jenis ilmu
yang diperlukan dalam menafsirkan Al-qur’an, yaitu:

 Ilmu Lughat, ilmu bahasa sangat penting dalam menafsirkan Al-qur’an, guna
untuk menngetahui kosakata penjelasan mufradat-mufradat (perbendaharaan kata).
Jadi tidak cukup dalam menafsirkan Al-qur’an kalau hanya sekedar mengetahui
ilmu bahasa secara mudah. Ada kalanya suatu lafadz mengandung makna
musytarak (makna ganda) sekiranya hanya mengetahui salah satu dari pengertian
kata sedangkan yang lain tidak diketahui, padahal makna yang lain itu dimaksud.
 Ilmu Nahwu, ilmu ini sangat penting sekali, karena menyingkap tentang perubahan
makna dan mempunyai pengertian yang lain karena perubahan I’rab nya. Semua
bentuk I’rab benar-benar dikuasai agar dapat ditentukan makna yang dimaksud
dalam susunan kalimat yang berbentuk berdasarkan I’rab nya.
 Ilmu Sharaf, seorang mufassir yang mengetahui tentang ilmu sharaf, berarti ia
dapat mengerti tentang pembentukan kalimat, timbangan kata, sighat kata dan sifat
kata-kata. Bila diketahui kata-kata yang sulit dapat segera dikembalikan pada akar
katanya serta pengertiannya. Seorang yang tidak mengetahui Ilmu Sharaf dalam
menafsirkan Al-qur’an niscaya akan terdapat kesalahan, kekeliruan dalam
menafsirkan Al-qur’an.
 Ilmu Isytiqaq, disebut juga dengan ilmu etimologi yaitu ilmu tentang asal usul
kata. Ilmu ini digunakan untuk mengetahui dasar pembentukan akar kata yang
melahirkan akar kata yang serumpun dengan pengertian yang berlainan.
Umpamanya setiap kata benda yang berasal dari kata yang berbeda tentu
mengandung makna yang berbeda juga.
 Ilmu Balaghah (retorika, metafora), ilmu balaghah terdiri dari tiga macam yaitu
Ilmu ma’ani, ilmu bayan, dan ilmu badi’. Dengan mempergunakan ilmu ma’ani
seorang mufassir dapat mengetahui keistimewaan susunan kalimat, sehingga dapat

13
mengambil faedah dari satu segi makna yang tepat. Dan dengan ilmu bayan dapat
mengetahui susunan kalimat yang khusus terutama dari segi perbedaan susunan
kalimat yang menjelaskan tentang maksud suatu kalimat baik kalimat itu jelas
maupun tidak jelas. Dengan menggunakan ilmu badi’dapat diketahui tentang segi-
segi keindahan dari suatu kalimat.
 Ilmu Qira’at (cara-cara membaca Al-qur’an), dengan ilmu Qira’at dapat diketahui
pembacaan yang benar dari beberapa kandungan penafsiran dalam Al-qur’an.
 Ilmu Ushuluddin, dengan Ilmu ini dapat diketahui kaidah-kaidah yang berhungan
dengan sifat Allah dan pembahasan tentang iman.
 Ilmu Ushul Fiqh, dengan mengetahui ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui
dan menganalisa teantang istidhlal (pembuktian) hukum-hukum yang terkandung
dalam Al-qur’an.
 Ilmu Asbabu an-Nuzul, dengan ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui sebab
dan latar belakang turunnya masing-masing ayat Al-qur’an.
 Ilmu Nasikh dan Mansukh, dengan ilmu ini mufassir dapat mengetahui ayat-ayat
dari Al-qur’an yang di nasikh kan dan di mansukh kan.
 Ilmu Hadits, seorang mufassir yang mengetahui ilmu Hadits maka akan dibantu
untuk mengidentifikasikan ayat-ayat yang mujmal dan mubham.
 Ilmu Mubhamah, Imam as-suyuti mengatakan ilmu mubhamah sangat penting bagi
seorang mufaasir karena ilmu ini merupakan aplikasi dari ilmu yang telah dikaji
oleh mufassir untuk mengamalkannya.
 Ilmu sains dan teknologi, ilmu ini sangat diperlukan untuk menafsirkan Al-qur’an,
terutama dalam upaya menemukan teori-teori dibidang kedokteran, ilmu fisika,
dan matematika. Karena di dalam Al-qur’an banyak ayat menyebutkan tentang
alam semesta.

BAB III

14
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara etimologi kata tafsir berarti al-ibanah wa kasyfu al-mughatta
(menjelaskan dan menyingkap yang tertutup). Dalam kamus lisan al-‘Arab, tafsir
berarti menyingkap maksud kata yang samar
Ayat-ayat al-Qur’an merupakan petunjuk yang harus dipahami kemudian
diamalkan oleh umat Islam, karena itu perlu ditafsirkan agar dapat memahami dan
mengamalkannya. Rasulullah Saw setiap menerima ayat al-Qur’an dari Allah SWT
langsung disampaikannya kepada sahabat-sahabatnya dan ditafsirkannya yang di
anggap perlu saja dan yang ditanyakan oleh sahabat-sahabat, sehingga tafsir ayat-ayat
al-Qur’an dari Rasulullah Saw sedikit jumlahnya.
Metode yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an ada tiga, yang pertama
dengan metode tahlili (analisis), kedua metode tafsir Ijmaly (global), ketiga metode
tafsir muqarin (perbandingan) dan yang keempat metode tafsir mawadhu’i.

DAFTAR PUSTAKA

15
Suma, Muhammad Amin. 2001. Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus

Karim, Abdullah. 2019. Tafsir ayat-ayat Akidah. Banjarmasin: Kafusari Press

ejournal.iainkendari.ac.id/shautut-tarbiyah/article/view/32/22

https://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/alt/article/download/194/192

16

Anda mungkin juga menyukai