Anda di halaman 1dari 17

Warisan Budaya Kota Bukittinggi

Disusun Oleh :
Kelompok 6
Muhammad Fachrulrozi 1710711004
Sony Eka Putra 1710711014
Ahmad Ariadi Solihin 1710712026

Jurusan Ilmu Sejarah


Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas
2020

Kata Pengantar
Syukur Alhamdulillah kita haturkan kehadirat Allah SWT, karena sampai
saat ini masih memberikan rahmat nikmat serta hidayah-Nya sehingga makalah
yang berjudul “Warisan Budaya Kota Bukittingi” dapat terselasaikan.
Selawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW yang berhasil merubah corak hidup jahiliyah pada tatanan
kehidupan bernafaskan islam yang risalahnya sebagai suri tauladan bagi umat
manusia.
Dalam penulisan makalah ini, penulis sangat menyadari bahwa karya tulis
ini masih banyak kekurangan baik isi maupun teknik penulisan. Oleh karena itu
kritik, saran dan pendapat dari pembaca kami sangat harapkan.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah wawasan serta memperluas pengetahuan bagi penulis dan para
pembaca umumnya.

1 Maret 2020
Penulis
,

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Budaya atau kebudayaan secara entimologi berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi
atau akal) yang kemudian diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi
dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang
berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan atau dapat
pula diartikan sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya yang ditinggalkan oleh pendahulu ini kemudian disebut sebagai
warisan budaya. Warisan budaya dibagi menjadi dua yaitu warisan budaya
benda (tangible) dan warisan budaya tak benda (intangible). Warisan budaya
benda (tangible) adalah warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa benda
cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar
budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses
penetapan.
Sedangkan warisan budaya tak benda (intangible) adalah hasil
perbuatan dan pemikiran yang terwujud dalam identitas, ideologi, mitologi,
ungkapan konkrit dalam bentuk suara, gerak, maupun gagasan yang termuat
dalam benda, sistem perilaku, sistem kepercayaan, dan adat istiadat. Warisan
budaya takbenda atau intangible cultural heritage bersifat tak dapat dipegang
(intangible/ abstrak), seperti konsep dan teknologi; dan sifatnya dapat berlalu
dan hilang dalam waktu seiring perkembangan zaman seperti misalnya bahasa,
musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku terstruktur lain.
Warisan Budaya Takbenda berdasarkan UNESCO Convention For The
Safeguarding Of The Intangible Cultural Heritage 2003: Warisan Budaya
Takbenda adalah berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan,
keterampilan – serta instrumen, obyek, artefak dan ruang-ruang budaya terkait
dengannya- bahwa masyarakat, kelompok dan, dalam beberapa kasus,
perorangan merupakan bagian dari warisan budaya tersebut. Warisan budaya
takbenda ini diwariskan dari generasi ke generasi, yang secara terus menerus
diciptakan kembali oleh masyarakat dan kelompok dalam menanggapi
lingkungan sekitarnya, interaksi mereka dengan alam dan sejarah mereka, dan
memberikan rasa identitas yang berkelanjutan, untuk menghargai perbedaan
budaya dan kreativitas manusia.

2. Rumusan Masalah
 Dalam bentuk apa warisan budaya di Bukittinggi ?
 Apa saja warisan budaya yang ada di Bukittingi ?

3. Tujuan Penulisan
 Untuk mengetahui bentuk warisan budaya yang ada di Bukittinggi
 Untuk mengetahui apa saja warisan budaya yang ada di Bukittinggi
BAB II
PEMBAHASAN
WARISAN BUDAYA KOTA BUKITTINGGI

Sumatera Barat yang memiliki luas 42.297,30 km2, sebagai salah satu
bagian provinsi yang ada di Indonesia, memiliki banyak benda warisan budaya.
Di wilayah ini untuk warisan budaya benda terdapat 587 buah warisan budaya
benda yang sudah termasuk ke dalam Cagar Budaya yang terinventaris (sumber :
BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) sekarang BPCB (Balai Pelestarian
Cagar Budaya), Batusangkar, Tanah Datar, Sumatera Barat.
Cagar Budaya adalah salah satu faktor Budaya yang bersifat nyata,
merupakan bukti-bukti adanya masyarakat dimasalalu dari masing-masing etnis
yang telah menghasilkan bentuk Karya, Cipta, Rasa dan dapat ditemui dalam
bentuk rill sebagai buktinya, Cagar Budaya bermanfaat dalam pembentukan
kharakter dan Jati Diri Bangsa Indonesia, untuk lebih jelas berikut adalah
penjelasan terkait dengan apa yang dimaksud dengan Cagar Budaya :
Definisi Berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya:
Adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar
Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui
proses penetapan.
Dari arti yang tertulis diatas maka dapat dipahami bahwa Benda Cagar
Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun
tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-
sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah
perkembangan manusia.
Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda
alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding
dan/atau tidak berdinding, dan beratap. Struktur Cagar Budaya adalah susunan
binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk
memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan
prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.
Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang
mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur
Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs
Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri
tata ruang yang khas.
Di Kota Bukittingi terdapat banyak warisan budaya benda dalam bentuk
cagar budaya. Terdapat 44 cagar budaya yang terdapat di Bukittinggi diantaranya
yaitu :
1. Jam Gadang
Nomor inventaris : 06/BCB-TB/A/02/2007
Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang terletak di pusat Kota
Bukittinggi, Sumatra Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan
ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan
bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".
Ukuran dasar bangunan Jam Gadang yaitu 6,5 x 6,5 meter, ditambah
dengan ukuran dasar tangga selebar 4 meter, sehingga ukuran dasar bangunan
keseluruhan 6,5 x 10,5 meter. Bagian dalam menara jam setinggi 36 meter ini
terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat
penyimpanan bandul.
Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang.
Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui
pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang
hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di
London, Inggris. Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di
bawah tingkat paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam
yaitu Vortmann Relinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam,
Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman
yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892. Jam
Gadang selesai dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda
kepada Rookmaker. Rookmaker merupakan sekretaris atau controleur Fort de
Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Jazid Radjo Mangkuto, sedangkan
peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rookmaker yang pada
saat itu masih berusia 6 tahun.
Selain sebagai pusat penanda kota Bukittinggi, Jam Gadang juga telah
dijadikan sebagai objek wisata dengan diperluasnya taman di sekitar menara
jam ini. Taman tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik pada hari
kerja maupun pada hari libur. Acara-acara yang sifatnya umum biasanya
diselenggarakan di sekitar taman dekat menara jam ini. Sejak didirikan,
menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya.
Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atap pada Jam
Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur
di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk
pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah
menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah
Gadang.

2. Benteng (Fort) de Kock


Nomor inventaris : 01/BCB-TB/A/02/2007
Fort de Kock adalah benteng peninggalan Belanda yang berdiri di Kota
Bukittinggi, Sumatra Barat, Indonesia. Benteng ini didirikan oleh Kapten
Bouer pada tahun 1825 pada masa Hendrik Merkus de Kock sewaktu menjadi
komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda, karena
itulah benteng ini terkenal dengan nama Benteng Fort De Kock. Benteng
yang terletak di atas Bukit Jirek ini digunakan oleh Tentara Belanda sebagai
kubu pertahanan dari gempuran rakyat Minangkabau terutama sejak
meletusnya Perang Paderi pada tahun 1821-1837. Di sekitar benteng masih
terdapat meriam-meriam kuno periode abad ke 19.
Pada tahun-tahun selanjutnya, di sekitar benteng ini tumbuh sebuah kota
yang juga bernama Fort de Kock, kini Bukittinggi. Benteng Fort de Kock
digunakan oleh Tentara Belanda sebagai kubu pertahanan dari gempuran
rakyat Minangkabau terutama sejak meletusnya Perang Paderi pada tahun
1821-1837. Semasa pemerintahan Belanda, Bukittinggi dijadikan sebagai
salah satu pusat pemerintahan, kota ini disebut sebagai Gemetelyk Resort
pada tahun 1828. Sejak tahun 1825 pemerintah Kolonial Belanda telah
mendirikan sebuah benteng di kota ini sebagai tempat pertahanan, yang
hingga kini para wisatawan dapat melihat langsung benteng tersebut yaitu
Fort de Kock. Selain itu, kota ini tak hanya dijadikan sebagai pusat
pemerintahan dan tempat pertahanan bagi pemerintah kolonial Belanda,
namun juga dijadikan sebagai tempat peristirahatan para opsir Belanda yang
berada di wilayah jajahannya.
Fort de Kock juga dibangun sebagai lambang bahwa Kolonial Belanda
telah berhasil menduduki daerah di Sumatra Barat. Benteng tersebut
merupakan tanda penjajahan dan perluasan kekuasaan Belanda terhadap
wilayah Bukittinggi, Agam, dan Pasaman. Belanda memanfaatkan konflik
intern saat itu, yaitu konflik yang terjadi antara kelompok adat dan kelompok
agama. Belanda yang membantu kaum adat melahirkan sebuah kesepakatan
bahwa Belanda diperbolehkan membangun basis pertahan militer yang
dibangun Kaptain Bauer di puncak Bukit Jirek Hill, yang kemudian diberi
nama Fort de Kock.
Sejak direnovasi pada tahun 2002 lalu oleh pemerintah daerah, Fort de
Kock, kawasan benteng Fort de Kock kini berubah menjadi Taman Kota
Bukittinggi (Bukittinggi City Park) dan Taman Burung Tropis (Tropical Bird
Park). Hingga saat ini, Benteng Fort de Kock masih ada sebagai bangunan
bercat putih-hijau setinggi 20 m.
3. Lubang Jepang
Nomor inventaris: 02/BCB-TB/A/02/2007
Lubang Jepang merupakan sebuah terowongan (bunker) perlindungan
yang dibangun tentara pendudukan Jepang sekitar tahun 1942 untuk
kepentingan pertahanan. Lubang Jepang dibangun sebagai tempat
penyimpanan perbekalan dan peralatan perang tentara Jepang, dengan
panjang terowongan yang mencapai 1400 m dan berkelok-kelok serta
memiliki lebar sekitar 2 meter. Sejumlah ruangan khusus terdapat di
terowongan ini, di antaranya adalah ruang pengintaian, ruang penyergapan,
penjara, dan gudang senjata.
Diperkirakan puluhan sampai ratusan ribu tenaga kerja paksa atau romusha
dikerahkan dari pulau Jawa, Sulawesi dan Kalimantan untuk menggali
terowongan ini. Pemilihan tenaga kerja dari luar daerah ini merupakan
strategi kolonial Jepang untuk menjaga kerahasiaan megaproyek ini.
Lubang Jepang mulai dikelola menjadi objek wisata sejarah pada tahun
1984, oleh pemerintah kota Bukittinggi .Beberapa pintu masuk ke Lubang
Jepang ini diantaranya terletak pada kawasan Ngarai Sianok, Taman
Panorama, di samping Istana Bung Hatta dan di Kebun Binatang Bukittinggi.

4. SMA 2 Bukittinggi (Sekolah Rajo)


Nomor inventaris : 04/BCB-TB/A/02/2007
Sekolah Radja di Bukittinggi didirikan tahun 1856 atas nasehat seorang
penasehat pendidikan kolonial Belanda: pendeta S.A. Buddingh. Sekolah itu
dikepalai oleh asisten-resident J. A. W. van Ophuijsen, dibantu oleh seorang
guru pribumi bernama Abdoellatif, anak Toeankoe Imam di Kota Gedang.
Sekolah Raja disebut juga dengan nama lainnya Kweekschool. Sekolah
adalah suatu tempat wadah pendidikan untuk peserta didik menimba ilmu,
Sekolah Raja merupakan alat alternatif yang bisa dimanfaatkan bagi
masyarakat dalam meraih ilmu pengetahuan. Sekolah ini didirikan di
Kota Bukittinggi pada tahun 1857, dengan tujuan pendirian sekolah ini yaitu
untuk memenuhi permintaan tenaga kerja guru bagi Sekolah Dasar yang
banyak bermunculan sejak adanya Taman Paksa Kopi. Tahun 1873
Kweekschool atau Sekolah Raja berada dalam tahap permulaan, mutu lulusan
sekolah ini tidak ada bedanya dengan tamatan Sekolah Dasar lainnya. Namun
setelah dilakukan perbaikan dari segi fasilitas, kurikulum dan pola
penerimaan murid, keberadaan Sekolah Raja mulai ada perbedaan yang
dirasakan oleh masyarakat. Sekarang bangunan Sekolah Raja digunakan
menjadi bangunan untuk SMA 2 Bukittingi.

5. Istana Bung Hatta


Nomor Inventaris : 15/BCB-TB/A/02/2007
Istana Bung Hatta adalah gedung bekas kediaman Wakil Presiden
Indonesia Mohammad Hatta yang terletak di pusat Kota Bukittinggi, Sumatra
Barat. Bangunan yang berdiri saat ini adalah hasil renovasi pada tahun 1960-
an setelah bangunan asli dibumi hanguskan sewaktu Agresi II Militer
Belanda. Nama gedung mengambil simbol pemandangan sekelilingnya yang
dikelilingi tiga gunung: Gunung Singgalang, Gunung Marapi, dan Gunung
Sago.
Sebelum kemerdekaan, gedung ini silih berganti menjadi tempat
kedudukan Residen Padangse Bovenlanden dan Asisten Residen Agam.
Selama delapan bulan antara bulan Juni 1947 hingga Februari 1948, gedung
beralih fungsi menjadi tempat kedudukan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Menjelang Agresi II Militer Belanda pada 1948, Istana Bung Hatta
dibumihanguskan bersama sejumlah bangunan di Bukittinggi. Saat
pendudukan ibu kota Yogyakarta oleh Belanda, Bukittinggi yang memang
peranan sebagai ibu kota Pemerintah Darurat Republik Indonesia menjadikan
gedung ini sebagai salah satu basis PDRI. Setelah pemecahan Sumatra
Tengah menjadi tiga provinsi pada 1958, Gubernur Sumatra Barat pertama
Kaharudin Datuk Rangkayo Basa menggagas renovasi gedung dan
menyematkan nama Gedung Negara Tri Arga.
6. Rumah Kelahiran Bung Hatta
Nomor inventaris : 40/BCB-TB/A/02/2007
Rumah Kelahiran Bung Hatta terletak di Jalan Soekarno-Hatta No.37,
Bukittinggi, Sumatera Barat. Rumah ini adalah tempat Bung Hatta dilahirkan
dan menghabiskan masa kecilnya sampi berusia 11 tahun. Bung Hatta
melanjutkan pendidikan menengahnya di Meer Uitgebred Lager Onderwijs
(MULO) atau sekolah menengah di kota Padang.
Rumah yang didirikan sekitar tahun 1860-an dan menggunakan struktur
kayu ini terdiri dari bangunan utama, pavilion, lumbung padi, dapur dan
kandang kuda serta kolam ikan. Bangunan utama berfungsi untuk menerima
tamu, ruang makan keluarga, dan kamar ibu, paman, dan kakek Bung Hatta
sedangkan pavilion berfungsi sebagai kamar tidur Bung Hatta.
Rumah asli tempat Bung Hatta dilahirkan sudah runtuh di tahun 1960-an,
tetapi atas gagasan Ketua Yayasan Pendidikan Bung Hatta, maka rumah
tersebut dibangun ulang sebagai upaya mengenang dan memperoleh
gambaran masa kecil sang proklamator di kota Bukittinggi. Penelitian
pembangunan ulang dimulai dari bulan November 1994 dan dimulai pada
tanggal 15 Januari 1995. Rumah ini diresmikan pada tanggal 12 Agustus
1995, bertepatan dengan hari lahir Bung Hatta sekaligus dalam rangka
merayakan 50 tahun Indonesia Merdeka.
Rumah ini dibangun mengikuti bentuk aslinya yang dapat dilihat di
memoir Bung Hatta dan berbagai foto/dokumentasi milik keluarga Bung
Hatta. Sebagian besar perabotan di dalam rumah masih asli dari peninggalan
masa kecil Bung Hatta yang diperoleh dari keluarga dan kerabat beliau,
begitupun tata letak perabotan tersebut masih dipertahankan di tempat
asalnya.
BAB III
PENUTUP
Terdapat berbagai macam warisan kebudayaan yang ada di Kota
Bukittinggi. Warisan budaya yang ada kebanyakan berupa warisan budaya benda
(tangible). Warisan budaya ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh BPCB.
Warisan budaya ini harus dijaga oleh kita semua untuk pelestariaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen ISBD. 2012. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Universitas Negeri
Jakarta
Soekmono, R. 1989. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta:
Penerbit Kanisus
Lampiran

1. Jam Gadang

2. Fort de Kock
3. Lubang Jepang

4. SMA 2 Bukittingi
5. Istana Bung Hatta
6. Rumah Kelahiran Bung Hatta

Anda mungkin juga menyukai