Anda di halaman 1dari 3

Patofisiologi seluler

Kelainan dasar dari semua tipe thalassemia adalah ketidakseimbangan sintesis rantai globin.
Namun, konsekuensi akumulasi dari produksi rantai globin yang berlebihan berbeda-beda
pada tiap tipe thalassemia. Pada thalassemia-β, rantai α yang berlebihan, tidak mampu
membentuk Hb tetramer, terpresipitasi di dalam prekursor sel darah merah dan, dengan
berbagai cara, menimbulkan hampir semua gejala yang bermanifestasi pada sindroma
thalassemia-β; situasi ini tidak terjadi pada thalassemia-α. Rantai globin yang berlebihan pada
thalassemia-α adalah rantai γ pada tahun-tahun pertama kehidupan, dan rantai β pada usia
yang lebih dewasa. Rantai-rantai tipe ini relatif bersifat larut sehingga mampu membentuk
homotetramer yang, meskipun relatif tidak stabil, mampu tetap bertahan (viable) dan dapat
memproduksi molekul Hb seperti Hb Bart (γ4) dan Hb H (β4). Perbedaan dasar pada dua tipe
utama ini mempengaruhi perbedaan besar pada manifestasi klinis dan tingkat keparahan dari
penyakit ini.

Rantai α yang terakumulasi di dalam prekursor sel darah merah bersifat tidak larut
(insoluble), terpresipitasi di dalam sel, berinteraksi dengan membran sel (mengakibatkan
kerusakan yang signifikan), dan mengganggu divisi sel. Kondisi ini menyebabkan terjadinya
destruksi intramedular dari prekursor sel darah merah. Sebagai tambahan, sel-sel yang
bertahan yang sampai ke sirkulasi darah perifer dengan intracellular inclusion bodies (rantai
yang berlebih) akan mengalami hemolisis; hal ini berarti bahwa baik hemolisis maupun
eritropoesis inefektif menyebabkan anemia pada penderita dengan thalassemia-β.

Kemampuan sebagian sel darah merah untuk mempertahankan produksi dari rantai γ, yang
mampu untuk berpasangan dengan sebagian rantai α yang berlebihan untuk membentuk Hb
F, adalah suatu hal yang menguntungkan. Ikatan dengan sebagian rantai berlebih tidak
diragukan lagi dapat mengurangi gejala dari penyakit dan menghasilkan Hb tambahan yang
memiliki kemampuan untuk membawa oksigen. Selanjutnya, peningkatan produksi Hb F
sebagai respon terhadap anemia berat, menimbulkan mekanisme lain untuk melindungi sel
darah merah pada penderita dengan thalassemia-β. Peningkatan level Hb F akan
meningkatkan afinitas oksigen, menyebabkan terjadinya hipoksia, dimana, bersama-sama
dengan anemia berat akan menstimulasi produksi dari eritropoetin. Akibatnya, ekspansi luas
dari massa eritroid yang inefektif akan menyebabkan ekspansi tulang berat dan deformitas.
Baik penyerapan besi dan laju metabolisme akan meningkat, berkontribusi untuk menambah
gejala klinis dan manifestasi laboratorium dari penyakit ini. Sel darah merah abnormal dalam
jumlah besar akan diproses di limpa, yang bersama-sama dengan adanya hematopoesis
sebagai respon dari anemia yang tidak diterapi, akan menyebabkan splenomegali masif yang
akhirnya akan menimbulkan terjadinya hipersplenisme.

Apabila anemia kronik pada penderita dikoreksi dengan transfusi darah secara teratur, maka
ekspansi luas dari sumsum tulang akibat eritropoesis inefektif dapat dicegah atau
dikembalikan seperti semula. Memberikan sumber besi tambahan secara teori hanya akan
lebih merugikan pasien. Namun, hal ini bukanlah masalah yang sebenarnya, karena
penyerapan besi diregulasi oleh dua faktor utama : eritropoesis inefektif dan jumlah besi pada
penderita yang bersangkutan. Eritropoesis yang inefektif akan menyebabkan peningkatan
absorpsi besi karena adanya downregulation dari gen HAMP, yang memproduksi hormon
hepar yang dinamakan hepcidin, regulator utama pada absorpsi besi di usus dan resirkulasi
besi oleh makrofag. Hal ini terjadi pada penderita dengan thalassemia intermedia.

Dengan pemberian transfusi darah, eritropoesis yang inefektif dapat diperbaiki, dan terjadi
peningkatan jumlah hormon hepcidin; sehingga penyerapan besi akan berkurang dan
makrofag akan mempertahankan kadar besi. Pada pasien dengan iron overload (misalnya
hemokromatosis), absorpsi besi menurun akibat meningkatnya jumlah hepsidin. Namun, hal
ini tidak terjadi pada penderita thalassemia-β berat karena diduga faktor plasma
menggantikan mekanisme tersebut dan mencegah terjadinya produksi hepsidin sehingga
absorpsi besi terus berlangsung meskipun penderita dalam keadaan iron overload. Efek
hepsidin terhadap siklus besi dilakukan melalui kerja hormon lain bernama ferroportin, yang
mentransportasikan besi dari enterosit dan makrofag menuju plasma dan menghantarkan besi
dari plasenta menuju fetus. Ferroportin diregulasi oleh jumlah penyimpanan besi dan jumlah
hepsidin.

Hubungan ini juga menjelaskan mengapa penderita dengan thalassemia-β yang memiliki
jumlah besi yang sama memiliki jumlah ferritin yang berbeda sesuai dengan apakah mereka
mendapat transfusi darah teratur atau tidak. Sebagai contoh, penderita thalassemia-β
intermedia yang tidak mendapatkan transfusi darah memiliki jumlah ferritin yang lebih
rendah dibandngkan dengan penderita yang mendapatkan transfusi darah secara teratur,
meskipun keduanya memiliki jumlah besi yang sama. Kebanyakan besi non-heme pada
individu yang sehat berikatan kuat dengan protein pembawanya, transferrin. Pada keadaan
iron overload, seperti pada thalassemia berat, transferrin tersaturasi, dan besi bebas
ditemukan di plasma. Besi ini cukup berbahaya karena memiliki material untuk memproduksi
hidroksil radikal dan akhirnya akan terakumulasi pada organ-organ, seperti jantung, kelenjar
endokrin, dan hati, mengakibatkan terjadinya kerusakan pada organ-organ tersebut (organ
damage).

Hipotesa Malaria
Pada tahun 1949, Haldane menyatakan adanya suatu keuntungan selektif untuk bertahan
hidup pada individu dengan trait thalassemia pada daerah endemik malaria. Hardane
berpendapat bahwa penyakit sel darah merah letal seperti pada thalassemia, anemia sel sabit,
dan defisiensi G6PD terdapat hampir secara eksklusif pada daerah tropis dan subtropis.
Insidens dari mutasi genetik ini pada populas tertentu merefleksikan adanya keseimbangan
antara kematian dini pada penderita homozigot dengan peningkatan kesehatan pada penderita
heterozigot. Mekanisme proteksi terhadap malaria pada penderita trait thalassemia belum
jelas. Sel Hb F telah didemonstrasikan dapat menghambat pertumbuhan parasit malaria, dan,
berdasarkan tingginya level Hb F tersebut pada bayi dengan trait thalassemia-β, malaria
serebral fatal yang diketahui dapat menyebabkan kematian pada bayi tersebut dapat dicegah.
Sel darah merah pada penderita Penyakit Hb H juga memiliki semacam efek supresif
terhadap pertumbuhan parasit. Namun efek ini tidak ditemukan pada penderita dengan trait
thalassemia-α.

Anda mungkin juga menyukai