Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

Suku Kamoro merupakan salah satu suku di Kabupaten Mimika yang cukup terkenal
dengan hasil kebudayaannya. Dalam hal seni ukir, mereka tidak kalah terkenalnya dengan
tetangga sukunya, yakni suku Asmat. Warisan yang telah dilestarikan sejak zaman nenek
moyang, kian memacu mereka untuk berpegang teguh pada harta yang sarat nilai tersebut.

Suku Kamoro adalah kelompok adat yang mendiami sepanjang 300 Km pesisir
selatan Papua, di kawasan ujung timur Indonesia. Jumlah penduduk Kamoro sekitar 18.000
jiwa  terbagi dalam kurang lebih 40 kampung. Sekitar 1.500 penduduk Kamoro tinggal di
berbagai lokasi transmigrasi sekitar Kota Timika [Blog Lembaga Pendidikan Papua, Suku
Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].

Tak mengherankan, jika para wartawan juga tersedot perhatiannya untuk meliput hal-
hal yang terkait kekayaan kebudayaan mereka. Selain hasil karya seni yang unik seperti
patung-patung, para wartawan pun memberitakan situasi kehidupan mereka[1]. Kebanyakan
dari suku Kamoro tinggal di rumah kayu non-permanen. Kondisi ini cukup menggambarkan,
bahwa kehidupan mereka jauh dari sejahtera. Namun, saat ini beberapa masyarakat suku
Kamoro bermukim di rumah permanen pemberian dari perusahaan tambang Internasional
(PT Freeport Indonesia) yang beroperasi di Timika. Walau terseret arus modernisasi, tetapi
dalam keberlangsungan kehidupannya, mereka masih menjalankan warisan tradisi seni
ukir[2]. Hasil karya berupa seni ukir inilah, yang sekiranya memberi bukti bahwa kebudayaan
mereka memiliki keunikan, dan berbeda dengan suku-suku lain yang tersebar di tanah
Papua.  

Terlatar belakangi oleh keunikan budaya suku Kamoro tersebut, maka kami akan
mengkaji secara lebih terperinci dalam bagian isi makalah kami ini.

II.                   BUDAYA SUKU KAMORO

Dalam bagian ini, kami akan membahas beberapa hal pokok mengenai kebudayaan
suku Kamoro. Sebelum mengenalnya lebih jauh, kami akan memperkenalkan lokasi,
lingkungan alam dan demografi dari Kabupaten Mimika, tempat suku Kamoro berdomisili.
Selanjutnya kami mengulas mengenai asal mula dan sejarah suku Kamoro, bahasa yang
digunakan dalam berkomunikasi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi
sosial informal dan formal yang berlaku, pandangan dunia yang berhubungan dengan alam
semesta dan sesama, sistem pengetahuan, sistem religi dan kesenian.

Terkait dengan situasi perkembangan dunia yang terjadi di zaman modern ini, kami
akan menyertakan juga hasil evaluasi kelompok, mengenai beberapa hal pokok misalnya
bahasa, sistem teknologi, organisasi, sosial, mata pencaharian, pandangan dunia, kesenian
dan agama
  Adat Istiadat Suku Kamoro
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Demikian halnya, dengan masyarakat suku Kamoro. Perkawinan mempunyai arti yang
sangat mendalam, tidak hanya bagi individu yang kawin, tetapi juga lebih dari itu
menyangkut harga diri, kehormatan, martabat keluarga atau kerabat. Karena itu, perkawinan
tidak lepas dari peranan keluarga atau kerabat.Ketentuan-ketentuan adat perkawinan yang
dimaksud mencakup hal-hal seperti :
>    Larangan Perkawinan            Larangan perkawinan secara adat terdapat perbedaan-
perbedaan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Larangan perkawinan pada orang
Kamoro adalah sebagai berikut :ü  Karena hubungan darahSeorang laki-laki dilarang
memilih pasangan atau kawin dengan                                                   perempuan yang
masih mempunyai hubungan darah.ü  Karena melangkahi saudara yang lebih tuaSeseorang
dilarang kawin (baik laki-laki maupun perempuan), apabila ada saudaranya yang lebih tua
dari pihak laki-laki maupun perempuan yang belum menikah.>    Mas kawin            Mas
kawin adalah sejumlah barang-barang perkawinan yang diminta oleh pihak keluarga
perempuan kepada pihak keluarga laki-laki guna kelangsungan suatu perkawinan. Pada
orang Kamoro mas kawin mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu
perkawinan, karena mas kawin merupakan suatu syarat mutlak yang harus ada nilai guna
kelangsungan perkawinan. Adapun benda-benda yang digunakan sebagai mas kawin
adalah sebagai berikut :-             Perahu-             Kampak, parang (alat-alat
kebun)-             Piring, kain-             Uang
    Syarat-syarat perkawinan

-             Kematangan jasmaniah dan rohaniah-             Kesiapan harta-             Izin


orang tua-             Memperhatikan larangan-larangan perkawinan
    Upacara Adat

-                Upacara Pendewasaan (inisiasi) atau Upacara Karapao-                Upacara


Penobatan Kepala Suku-                Upacara Pembuatan Mbitoro
    Seni Budaya Tradisional Suku Kamoro

  Adapun beberapa jenis seni budaya yang dimiliki oleh suku kamoro adalah sebagai
berikut :1.    Seni bangunan rumah
      Suku kamoro mempunyai beberapa bentuk rumah tradisional, yang diberi nama antara
lain :·         KAPIRI KAME             Kapiri adalah alat penutup rumah (atap) yang menjadi
rumah tradisional suku kamoro. Kapiri dibuat dari daun pandan hutan yang kuat, lebar dan
panjang. Meskipun begitu sekarang ini suku kamoro tidak lagi (jarang sekali) menempati
kapiri kame, mereka sudah membangun rumah yang permanen dengan memanfaatkan
gaba-gaba (pelepah sagu) sebagai dinding dan daun seng sebagai atapnya. Banyak bentuk
dari kapiri misalnya :a.        Karapauw Kameb.        Tauri Kamec.        Kaota
kamed.        Kapiri Kame, dan lain-lain
     Seni Ukir

Suku kamoro mempunyai seni ukir yang cukup tinggi nilainya.Motif-motif seni ukir suku
kamoro didasarkan pada pengalaman sejarah masa lalu.Pengalaman sejarah yang
dialaminya diekspresikan dalam bentuk seni ukir yang indah dan mempunyai makna ritual.
Jenis-jenis seni ukir suku Kamoro antara lain :a.    Mbitoro
Mbitoro adalah ukir-ukiran khas suku Kamoro yang menjadi dasar dari jenis ukir-ukiran.

·         Kerangka MbitoroØ  Uema ( ruas tulang


belakang)Ø  Uturu tani (awan putih berarak)Ø  Wake biki (ekor kuskus pohon)Ø  Oke mbare
(lidah biawak)Ø  Upau (kepala manusia)Ø  Apakou upau (kepala ular)Ø  Ereka kenemu
(insang ikan)Ø  Ema (tulang ikan)Ø  Utu wau (tempat api atau perapian)
b.    Ote Kapa (tongkat)
            Ote kapa adalah seni ukir yang berbentuk tongkat dan biasanya di gunakan oleh
orang yang sudah lanjut usia. Ada 5 motif ukiran ote kapa yaitu :·         Tako ema (tulang
sayap kelelawar)·         Ereka waititi (sirip ikan)·         Uema (ruas tulang
belakang)·         Upau (kepala manusia)c.    Pekaro (Piring Makan)
Pekaro dibuat dari jenis kayu yang ringan sehingga mudah dibawa pada saat
berkapiri.·         Kerangka Pekaro :Ø  Komai mbiriti (kepala burung enggang/paru burung
enggang)Ø  Tempat makanan yang berbentuk bulat telurØ  Mbiamu Upau (kepala kura-
kura)d.    Yamate (perisai)
Yamate adalah seni ukir yang dibuat dari beberapa tingkat sesuai dengan tingkat tinggi
orang yang memakainya. Biasanya dibuat empat tingkat yang semuanya bermotif bagian-
bagian tubuh buaya.a.    Kapiri (tikar)b.    Imi (jaring)c.    Etahema (noken)d.    Omotere (tikar
pandan)3.    Seni Suara dan Seni Tari Suku Kamoro
Menurut legenda lama adat kebudayaan suku Kamoro berasal dari dalam tanah dan air.
Konon ceritanya nenek moyang suku Kamoro hanya memberikan alat-alat kebudayaan dan
tidak mewariskan alat pertanian, sehingga suku kamoro lebih pandai bermain musik dari
pada mengolah tanah.Seni tari dan seni suara oleh suku Kamoro dijadikan sebagai bahan
media dalam berbagai pesta untuk segala kepentingan. Orang yang memiliki keahlian
menyusun syair dan mendendangkannya disebut “bakipiare”. Bakipiare sangat peka dalam
memperoleh ilham dari keadaan alam sekitarnya. Ilham yang diterimanya kemudian
diimajinasikan dan diekspresikan dalam bentuk syair lagu.Syair lagu itu kemudian dilagukan
dengan ditimpa oleh bunyi tifa yang lembut dan kadang-kadang menyentak iramanya. Jika
irama lagu menyentak, iramanya akan segera mendapat sambutan
dari dnikiarawe (pengiring lagu), maupun jagwari pikara (penegas atau penutup lagu). Alat-
alat musik yang digunakan adalah tifa (eme) dan kaiyaro (alat musik dari bambu). Kaiyaro ini
biasa dibunyikan dalam pesta adat karapao.Jenis tari suku Kamoro seperti :·         Tari
Seka·         Tari Ular·         Tari MbitoroJenis seni suara (lagu) suku Kamoro
seperti :·         Tapare Mimika Iwoto·         Korani·         Nikya Yesus4.    Pakaian
Pakaian adat atau tradisional suku kamoro dibuat dari kulit peura (sejenis pohon genemo)
yang disebut waura. Waura digunakan untuk laki-laki yang dipakai sebagai cawat
disebut tapena. Ada juga yang terbuat dari daun sagu yaitu tauri, mono dan piki. Tauri biasa
digunakan oleh ibu-ibu. Mono yaitu daun sagu yang dikupas, ditumbuk, dicuci yang
kemudian dipakai. Sedangkan piki biasa digunakan oleh bapak-bapak, ibu-ibu dan anak-
anak sebagai kain sarung.

A.       Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi Suku Kamoro

Luas kabupaten Mimika 19.592 Km², atau 4,77% dari luas wilayah Propinsi Papua.
Kabupaten ini terletak antara 4.030º LS-4.044º LS dan 136.036º BT-136.048ºBT. Keadaan
geografis Mimika sangat bervariasi, terdiri dari dataran rendah yang berawa-rawa yang
terletak di sebelah selatan dan pegunungan di sebelah utara. Di wilayah dataran, struktur
tanahnya berombak dengan kemiringan 3-80, sedangkan daerah pegunungan bertingkat
memiliki kemiringan 30-90. Di sekitar ibukota kabupaten Mimika curah hujan cukup tinggi
yang mencapai 5.339 mm/tahun, sehingga musim hujan mencapai waktu delapan bulan,
sementara sisanya musim kemarau

Jumlah penduduk kabupaten Mimika pada sensus 1999 adalah 90.518 orang.
Penduduk asli Mimika terdiri dari dua suku besar, yakni suku Amungme dan suku Kamoro.
Selain kedua suku tersebut, ada juga beberapa suku pendatang, seperti suku Dani, suku
Moni, suku Lani, suku Damal, suku Nduga, suku Ekari, suku Ndelem, suku Kupel dan suku
Ngamun. Masyarakat suku Kamoro menempati wilayah bagian selatan, yang terdiri dari
daerah dataran rendah. Suku-suku lain (pendatang) yang hidup bersama dengan suku
Kamoro adalah suku Moni, suku Lani, suku Damal, suku Nduga dan suku Ekari [Dirgantara
Wicaksono, 2010, Kondisi Geografis Mimika, Universitas Negeri Jakarta
Suku Kamoro adalah kelompok adat yang mendiami wilayah sepanjang 300 Km,
pesisir pantai selatan Papua, di kawasan ujung timur Indonesia. Jumlah penduduk suku
Kamoro sekitar 18.000 jiwa, terbagi dalam ±40 kampung. Sekitar 1.500 penduduk Kamoro
tinggal di berbagai lokasi transmigrasi sekitar kota Timika. Tanah Kamoro dimulai dari Teluk
Etna di sebelah barat, dan menyatu ke arah timur di kawasan Jita, sebuah kelompok etnis
yang masih bersaudara, yang juga berpartisipasi dalam acara tahunan festival Kamoro
sering disebut “Kamoro Kakuru”. Tanah Jita berbatasan dengan daerah Asmat. Ketiga
kelompok etnis tersebut membentuk keluarga bahasa Kamoro-Asmat, dan beberapa ciri
kebudayaan seperti patung Mbitoro suku Kamoro dan Bisj suku Asmat, keduanya
merupakan ukiran-ukiran besar yang melambangkan para leluhur yang baru saja meninggal
dunia [Blog Lembaga Pendidikan Papua, Suku Kamoro.http://www.lpmak.org/kamoro.php?
_p=1].

Karena masyarakat suku Kamoro pada umumnya berada di sekitar pinggir-pinggir


pantai, maka untuk melangsungkan kehidupannya, mereka bergantung penuh pada
penghasilan dari pantai dan sekitarnya. Mereka lebih banyak mengambil sumber daya alam
secara langsung, daripada mengusahakan dan mengolahnya terlebih dahulu.

B.       Asal Mula dan Sejarah Suku Kamoro

Setiap suku pasti memiliki asal-usulnya masing-masing. Biasanya, cerita tentang asal
usul mereka diturunkan secara turun-temurun. Cerita dari generasi ke generasi berikutnya,
akhirnya menjadi sebuah legenda atau mitos. Jika setiap suku yang kita jumpai memiliki
cerita tentang asal-usulnya, demikian halnya masyarakat Kamoro juga memiliki cerita mitos
asal-usul.

Nama Kamoro secara mitologis, berasal dari mitos Wua Nani (Kamoro). Dikisahkan


bahwa suatu hari, ditemukan sebutir telur yang kemudian menetas menjadi seekor Komodo.
Hewan ini melahap seluruh penduduk kampung, kecuali seorang ibu
bernamaMbirokoteya, yang sedang mengandung. Bayi yang lahir dari kandungan sang ibu
tersebut diberi nama Mbirokoteyau. Setelah anak itu bertumbuh besar, ia berhasil
membunuh komodo tersebut. Penggalan daging komodo itu kemudian dilemparkan ke
empat penjuru. Daging pertama dilemparkan ke arah timur sambil
berteriak, “Umurumel”. Bagian inilah yang kemudian menjadi orang Asmat dan Merauke.
Daging kedua dilemparkan ke arah barat sambil berteriak “Komorowe” , artinya “Jadilah
bagian ini sebagai orang Kamoro [Yoseph Ikikitaro, 2004, Ritus Inisiasi Karapao Suku
Komoro dan Relevansinya Bagi Ritus Sakramen Inisiasi Kristen (Suatu Tinjauan
Antropologis-Teologis). Jayaputa; STFT Fajar Timur. (Skripsi), hal. 9].

C.       Bahasa
Pada umumnya, bahasa yang dipakai oleh masyarakat Melanesia terdiri dari dua
macam, yaitu Austronesia dan Non-Austronesia. Bahasa Non-Austronesia merupakan
bahasa yang umumnya dipakai di daerah Papua.

Dari segi bahasa, suku Kamoro bersaudara dengan suku Asmat, yang tinggal di
sebelah timur dan terkenal karena kesenian mereka. Suku Asmat dan suku Kamoro,
sebelumnya dikenal sebagai orang Mimika-merupakan perbatasan barat laut pantai selatan
New Guinea, mereka menggunakan bahasa daerah non-Austronesia sebagai bahasa
budaya. Penduduk asli suku Kamoro sendiri, memiliki satu bahasa bersama dan terbagi
dalam banyak ciri kebudayaan].

D.       Sistem Teknologi

Pada umunya, masyarakat suku Kamoro menggunakan sistem teknologi yang


sederhana. Peralatan-peralatan yang mereka miliki berasal dari bambu, kayu-kayu keras,
kulit kerang, tulang binatang serta batu pasir. Namun anehnya, untuk membuat ukiran-
ukiran, mereka telah menggunakan pahat yang terbuat dari besi. Besi-besi tersebut
didatangkan dari Ternate dan Tidore, melalui jalur tukar-menukar barang. Meskipun jalur
tukar-menukar barang ini terus berjalan dalam kehidupan masyarakat suku Kamoro, tetapi
tetaplah mereka masih menggunakan teknologi yang amat sederhana. Peralatan-peralatan
sederhana lain yang menjadi andalan mereka ialah kapak, mata anak panah dan pisau.
Untuk membelah pohon bakau yang sudah lapuk, mereka menggunakan parang dan kapak
Perahu yang mereka gunakan untuk mencari Keraka di sungai berbentuk lesung, sehingga
disebut perahu lesung. Sungai tempat mereka mencari Karaka adalah sungai Wania yang
dipenuhi dengan hutan bakau. Pencarian Karaka secara tradisional, sangat bergantung
pada kondisi pasang surutnya air sungai, yang bermuara ke laut Arafuru. Kondisi yang
berair dan berlumpur merupakan habitat alamiah bagi Karaka [Dra. Ina C. Slamet,
1964, Kehidupan Suku-Suku Irian Barat, Djakarta: Bharatara, hal. 23].

E.       Sistem Mata Pencaharian

Masyarakat suku Kamoro mengenal tiga macam ekosistem, yaitu sungai, laut  dan
daratan. Di saat-saat tertentu, masyarakat suku Kamoro berpindah tempat tinggal, sesuai
kebutuhan mereka. Membuka ladang baru adalah salah satu pekerjaan yang dapat mereka
lakukan, untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan selain mencari ikan.Tanaman yang
ditanam pada umumnya, adalah kelapa, pisang, petatas dan jagung. Di waktu tertentu,
masyarakat Kamoro, khususnya Desa Pigapu, mencari tambelo atau kodalam bahasa
Pigapu.  Tambelo hidup di pohon bakau yang telah rubuh [Kal Muler Benediktus
Makanaipetu, 2005, In Between (Just an ordinary jurnal) Legenda
Mapurupuau  Kamoro, http://herwan.wordpress.com/2005/06/07/legenda-mapurupuau-
komoro/].
Sebagai sumber penghidupan, masyarakat suku Kamoro mengandalkan hasil
laut/sungai. Kaum laki-laki bertugas membuat perahu guna mencari ikan. Kaum laki-laki
suku Kamoro juga suka berburu. Jenis hewan (di darat) yang mereka buru adalah babi
hutan, kasuari dan kuskus serta beragam jenis burung, yang baik untuk dikonsumsi telur
dan dagingnya. Sedangkan jenis yang diburu di bagian perairan selain ikan, ialah buaya air
tawar, buaya laut dan kadal bakau .

Sementara kaum perempuan membuat sagu sebagai makanan mereka sehari-hari


Kaum perempuan suku Kamoro, sangat piawai untuk mengetahui jejak karakayang mereka
cari menggunakan perahu lesung. Mereka tidak merasa takut digigit capit kepiting besar
yang mereka tangkap dan memasukannya dalam noken yang dibawah serta. Selain
mencari karaka, mereka (kaum perempuan) gemar mengudap ulat pohon bakau, yang
disebut Tambelo Mereka akan mencari di pohon bakau yang sudah tumbang dan lapuk. 
Sagu yang menjadi bahan makanan utama bagi masyarakat Suku Kamoro dihasilkan
dari proses yang lumayan panjang dan tidak mudah. Sedari pagi, para wanita Suku Kamoro
dengan kampak di tangan dan noken di kepala akan mulai menjelajah ke dalam hutan
mencari dan memilih pohon sagu terbaik.

Sagu yang telah ditebang akan mulai dikuliti hingga menyisakan bagian dalam batang sagu
yang berwarna putih. Bagian ini nantinya akan di pangkur, atau ditumbuk dengan alat
pangkur yang terbuat dari batang kayu berbentuk cangkul tumpul, hingga berbentuk serat-
serat sagu.

Dalam aktivitas pangkur sagu, para perempuan Kamoro bekerja bergotong-royong.


Beberapa orang wanita akan mulai membuat lintasan drainase dari pelepah-pelepah pohon
sagu, sedangkan wanita yang lain akan mulai menguliti dan mulai memangkur batang sagu
hingga berbentuk serat. Di lintasan tadi mereka nantinya akan mencuci, meremas dan
menapis serat sagu. Dari air sisa perasan akan mengendap cikal bakal tepung sagu.

Saat hari berakhir, endapan yang berbentuk tepung ini akan mereka kumpulkan dan
bungkus dengan daun sagu. Mereka akan membawanya pulang dan diolah menjadi
santapan lezat bagi seluruh keluarga mereka.

F.        Sistem Organisasi Sosial

Salah satu wadah atau organisasi lokal (lembaga informal) yang terbentuk dan
menyatukan masyarakat suku Kamoro adalah Taparo. Istilah taparo adalah sebutan yang
dikenakan kepada kumpulan atau himpunan orang-orang dalam suku Kamoro, yang
terdapat hubungan darah secara langsung. Orang-orang yang berasal dari taparo lain, sulit
untuk mendengarkan atau mengikuti hasil keputusan dari taparo yang berbeda [Hasil
wawancara dengan Fr Agustinus Alua di Wisma Salib Suci, Sabtu 11 September 2010].

Menurut salah satu sumber, sistem organisasi sosial masyarakat suku Kamoro terdiri
atas empat macam[8], yaitu:

Pranata Sosial lembaga yang ada di lokasi pemukiman Timika dan sangat dominan
adalah lembaga-lembaga formal; pemerintah, keamanan dan perusahaan. Pemimpin
masyarakat dari pranata sosial tersebut sangat dominan, serta berpengaruh dalam
menggerakkan masyarakat guna melakukan berbagai kegiatan, terutama di sekitar lokasi
pemukimannya. Pemimpin informal atau pemimpin adat sama sekali tidak menunjukkan
perannya, sebab perannya tidak banyak berarti dalam mengayomi masyarakatnya,
khususnya dalam menghadapi perubahan yang sama sekali asing baginya. Kelembagaan
ekonomi yang dominan adalah pasar.

Sistem Kekerabatan; kekerabaan yang terjalin, mengikuti hubungan darah dan


hubungan perkawinan para migran etnik Irian hanya menampakkan jalinan sosial,
sedangkan perannya dalam mendukung perekonomian sudah memudar sama sekali.
Aktifitas gotong royong sebagai ciri masyarakat pedesaan pun, tidak dapat dipertahankan
lagi, karena pola hidup telah bergeser dari kolektif ke individual. Hal tersebut sangat
beralasan, karena untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya sudah berat, bagaimana
mungkin berpikir untuk kepentingan keluarga besar (marganya).

Relasi dan Interaksi Sosial  yang merupakan ciri khas masyarakat pedesaan pun
berlangsung antara tetangga terdekat, dan lebih berpusat pada keluarga inti. Aktifitas
bersama dalam wujud keluarga besar sudah mulai ditinggalkan. Berbagai aktifitas keluarga
besar kurang diperhatikan lagi, bila dibanding dengan tantangan yang dihadapi keluarga
sekarang, sebab dinilai sebagai suatu pemborosan. Dengan demikian tampak jelas bahwa
motif ekonomi uang mendasari seluruh aktifitas keluarga.

Perilaku Sosial Menyimpang proses akulturasi antara dua budaya, lokal dan asing,
dan termasuk budaya kosmopolitan (lokasi hiburan; bar, restoran, lokalisasi (WTS) Wanita
Tuna Susila) menjerumuskan pemuda-pemuda lokal menjadi: pemabuk dan pelacur.
Lokalisasi WTS, praktek prostitusi yang terorganisir maupun tidak terorganisir memporak-
porandakan perkembangan moral remaja setempat, menjerumuskan diri mereka tanpa
menyadari konsekuensi yang dihadapi.  

G.      Pandangan Dunia (Terhadap Alam Semesta dan Sesama)

Masyarakat suku Kamoro memandang tanah sebagai dusun tempat tanah tumpah
darah, yang memiliki sumber daya alam (tanah, laut, sungai, pantai) yang biasa digunakan
dan cukup untuk kehidupan mereka, sekaligus anak cucunya dalam klan mereka. Maka dari
itu, pengelolaan alam menjadi permasalahan penting bagi masyarakat suku Kamoro. Tanah
merupakan simbol kepemilikan, keterikatan dengan penghuninya, dan jika memutuskan
kepemilikan atas tanah, berarti dengan sendirinya memutuskan hubungan dengan para
leluhurnya 

Masyarakat suku Kamoro sangat menghargai satu sama lain, sebab mereka percaya
pada asal usul nenek moyang. Mereka merasa berasal dari sumber yang satu dan sama.
Hubungan dengan orang luar baik adanya, seperti pandangan mereka terhadap sesama
dalam suku Kamoro. Jika orang luar masuk dan mengambil sesuatu dari alam, mereka akan
memandangnya sebagai pencuri. [Hasil wawancara dengan Fr Agustinus Alua di Wisma
Salib Suci, Sabtu 11 September 2010]

H.       Sistem Pengetahuan

Bagi mereka, pekerjaan merupakan suatu kewajiban untuk menyalurkan kreativitas.


Jadi, mereka lebih melihat fungsi pekerjaan itu sendiri tanpa memperhitungkan apa yang
didapat dari pekerjaan yang mereka lakukan. Falsafah hidup masyarakat suku Kamoro
adalah bekerja tanpa menuntut balasan. Mereka lebih menunjukkan sikap keuletan dalam
melakukan suatu pekerjaan, bukanlah semata-mata untuk diberikan balas jasa/imbalan.
Kalau pun diberikan, mereka tetap menerima, tetapi jika tidak diberikan mereka tidak akan
menuntut. Sehingga balasan atas pekerjaan tidak dilihat sebagai suatu kewajiban tetapi
sebagai konsekuensi dari pekerjaan itu sendiri.

Pengetahuan lain yang sangat unik dari masyarakat suku Kamoro, tampak jelas
melalui ukiran-ukiran yang menarik perhatian. Kemampuan mengukir patung, bukan
merupakan manifestasi dari suatu pendidikan formal, namun berdasarkan pengalaman
penghayatan mereka baik terhadap alam, orang-orang yang sudah meninggal dan terutama
dengan yang adikodrati.

I.          Sistem Religi (Agama)

Masyarakat suku Kamoro mempunyai mitos-mitos yang dipercaya adanya kekuatan


adikodrati di atas manusia. Mitos-mitos itu diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk
lisan, sejak dari nenek moyang mereka. Salah satu mitos yang terkenal di suku Kamoro,
yaitu Uwao Nani (komodo). Selain itu, orang Kamoro meyakini bahwa alam sekitar pun
memiliki kekuatan gaib. Benda yang diyakini mempunyai kekuatan gaib, seperti
patungMbitoro yang terbuat dari kayu. Mbitoro adalah arwah yang diberi wujud dalam
bentuk patung. Mbitoro berukirkan gambar tokoh-tokoh masyarakat leluhur yang telah
meninggal dunia.

Salah satu upacara adat sesuai sumber “Proses Pelaksanaan Ritus InisiasiKarapao”.
Istilah karapao adalah nama sebuah ritus inisiasi bagi suku Kamoro.
Katakarapao menunjukkan pada nama keempat rumah dalam mitos Uwao Nani (komodo).
Ada beberapa jenis karapao yang dihidupi, yaitu pesta inisiasi (Tauri Karapao), pesta
pelubangan hidung (Mirimo Karapao), pesta perahu (Kaware Karapao), pesta babi (Oo
Karapao) dan pesta sagu (Ameta Karapao). Secara umum ritus inisiasi karapaomempunyai
tiga tahapan dasar, yaitu:

1.    Tapena (Pemisahan)

Pada tahap ini merupakan tahap pertama. Para inisian yang sebelumnya tidak
berstatus, kemudian dikukuhkan melalui tapena sebagai seorang anak dalam masyarakat
setempat (Airu). Tapena sendiri mempunyai tiga tahapan, yaitu tahap pendataan
calontapena; tahap penancapan tongkat komando; tahap pengumuman masal tentang calon
inisiasi; tahap pelaksanaan tapena, dan tahap akhir/penutup tapena yang ditandai dengan
acara menabur tifa dalam rumah (Baurake).

2.    Tauroko (Masa tibanya pemakaian cawat)

Melalui tahapan ini, seseorang mengalami pergeseran identitas diri, yakni identitas
sebagai anak (Airu) kepada remaja (Butapoka). Kata tauroko terdiri dari dua suku kata, yaitu
“taur”, artinya cawat yang terbuat dari bahan janur pohon sagu untuk menutupi alat
kemaluan dan “Oko”, artinya asli. Jadi, tauroko adalah pengenaan tauri (cawat) kepada
para anggota inisian yang mulai beranjak pada masa remaja.

3.    Karapao (Pembangunan rumah adat)

Karapao adalah tahap akhir. Di sini identitas seseorang bergeser lagi dari identitasnya
seabgai remaja (butapoka) kepada kedewasaan (koapoka).
Upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Kamoro, memiliki makna atau nilai
tertentu. Melalui ritus inisiasi karapao dalam kehidupan orang Kamoro, dipandang sebagai
cara pengelompokan sosial tradisional, setiap individu mulai mengenal identitas dirinya,
yakni masuk ke dalam generasi dan sebagai anggota masyarakat setempat. Melalui ritus
inisiasi karapao setiap anak laki-laki diantar masuk ke dalam kelompok sosial dan
didewasakan dalam sejumlah bidang kehidupan, yakni religi, sosial ekonomi, seksualitas
kesehatan dan politik, sekaligus sebagai pengenangan dengan menghadirkan kembali para
leluhur dan tokoh-tokoh mistis yang pernah hidup pada masa lampau [Yoseph Ikikitaro,
2004, Ritus Inisiasi Karapao Suku Komoro dan Relevansinya Bagi Ritus Sakramen Inisiasi
Kristen (Suatu Tinjauan Antropologis-Teologis). Jayaputa; STFT Fajar Timur. (Skripsi), hal
17-19].

J.         Kesenian

Masyarakat suku Kamoro, memiliki beberapa jenis kesenian, yaitu:

a)    Seni ukir/Pahat-memahat

Konon, dari tradisi seni ukir ini, mereka dapat mengenal perjalanan hidup nenek
moyang Suku Kamoro, hingga akhirnya berada di Pesisir Selatan Kota Timika. Dari kisah
tersebut, mereka juga dapat mengetahui asal kata Kamoro yang memiliki arti manusia yang
hidup. Cerita kehidupan di pesisir pantai pun terus bergulir hingga sekarang.

Desa Miyoko, di wilayah Kamoro, dikenal dengan ukiran-ukiran kayunya. Kaum laki-


laki sebagian besar menjadi pengukir. Berbagai bentuk ukiran, lahir dari tangan-tangan
terampil para pengukir. Demikian pula, tema dan karakter ukiran. Tema ukiran yang sering
menjadi inspirasi para pengukir adalah binatang. Buaya, ular, burung dan ikan adalah jenis
binatang yang sering dijelmakan dalam patung maupun ukiran [Herwan, 07/06/2005, Kal
Muler  Benediktus Makanaipetu, In Between, Just an ordinary jurnal: Legenda  Mapurupuau
Kamoro;

http://herwan.wordpress.com/2005/06/07/legenda-mapurupuau-komoro/].

Seni ukir yang dihasilkan oleh masyarakat suku Kamoro terdapat dua macam,
yaknitiang totem dan mbitoro.  Tiang totem sebagaimana halnya sebuah pahatan yang
melambangkan satu atau dua orang tua berkuasa, yang baru meninggal dunia dan yang
patut diperingati/dihormati oleh seluruh warga desa. Hanya beberapa jenis pohon tertentu
yang boleh dipergunakan untuk pahatan tersebut, termasuk Myristica
fetua dan Horsfeidairja. Mbitoro merupakan sebuah pahatan besar, yang memainkan
peranan penting dalam tiap upacara adat penduduk Kamoro. Patung tersebut
melambangkan seorang tua yang baru saja meninggal dunia, yang dibutuhkan bantuan dan
perlindungannya. Jenis pohon yang digunakan untuk membuat patung mbitoro sama
dengan pohon yang digunakan untuk membuat tiang totem. 
b) Seni tari

Tari- tari sambutan telah manjadi tradisi di hampir semua suku di tanah papua. Tari-
tarian di tanah papua mempunyai gerakan yang khas, repetitif dan sederhana, tetapi
atraktif. Salah satu bentuk sambutan khas adalah menerima makanan khas desa setempat.
Makanan khas tersebut adalah ulat sagu yang dibakar. Dengan memakan ulat sagu yang
ditawarkan warga, dapat dimaknai bahwa kehadiran kita diterima. Makanan khas tersebut
secara tidak langsung menjadi media pengikat persahabatan dan persaudaraan antara tamu
dan masyarakat lokal.

Menjelang ritus tari ular masyarakat Pigapu mulai mempersiapkan diri. Yohanes
Mapareyau, kepala suku masyarakat Pigapu berangkat ke Mapurujaya (tempat sejarah atau
tempat hilangnya Mapurupuau[9]) Di sinilah, Yohanes datang menghadap leluhurnya. Ia
meminta izin dan memohon keselamatan kepada leluhur agar Tari Ular yang digelar tiga hari
lagi berlangsung lancar tanpa aral melintang.). Tari ular yang sakral adalah representasi
sejarah terjadinya desa Pigapu dan desa lain sepanjang sungai Wania. Legenda
Mapurupuau yang sangat diyakini masyarakat Pigapu berlatar sejarah ketika keberadaan
sihir, roh dan ikatan anismisme yang masih tinggi. Di hutan yang tidak jauh dari desa
Pigapu, beberapa orang dipimpin oleh Pak Liborius[10] mencari kayu untuk membuat
patung ular. Setelah memilih kayu, Pak Liborius meminta ijin kepada penunggu pohon.
Komunikasi ini wajib dilakukan, agar proses pembuatan patung berjalan lancar dan tidak
berpengaruh buruk pada warga. Dalam ritual ini, Pak Liborius meletakkan sesaji berupa
tembakau yang dibungkus dengan daun sirih. Dalam ritus tari ular, hanya Pak Liborius yang
boleh membuat kepala patung ular.

Sejak proses pencarian kayu hingga pembuatan kepala ular, hanya keturunan
Mapurupuau saja yang diperkenankan melakukannya. Beberapa orang lainnya hanya
membantunya. Di bangunan yang disebut rumah besar, pembuatan patung ular mulai
dikerjakan. Pak Liborius terfokus pada pembuatan kepala patung ular. Beberapa orang yang
lain membuat badan ular. Pembuatan kepala patung ular hanya bisa dilakukan di tempat
tertutup. Tidak bisa dikerjakan dihadapan orang lain, kecuali keluarga kandung Pak Liborius.
Anak-anak pak Liborius pun, diajak untuk ikut dalam pembuatan kepala patung ular itu,
sebab mereka adalah generasi penerus pembuatan patung kepala ular selanjutnya. Menurut
keyakinan masyarakat Kamoro, pembuatan akhir sebagai momen yang sangat sakral. Mata
dianggap sebagai sumber kehidupan. Ketika mata telah dipasang ke patung kepala ular,
maka ular tersebut telah mempunyai roh. Patung ular yang telah mempunyai roh, bisa
melihat orang-orang yang ada di sekitarnya. Karena itu, mata patung ular ditutup selama tari
ular belum dilakukan. Sesaat menjelang ritus tari ular dilaksanakan, barulah mata patung
ular dibuka. Masyarakat Pigapu tidak berani melanggar keyakinan tarian tersebut, karena
mereka percaya bahwa akan mendatangkan sakit bagi pembuat patung dan keluarganya.
Menjelang sore, masyarakat Pigapu mempersiapkan diri untuk memulai ritus tari ular.
Dandanan khas suku Kamoro mulai dikenakan. Hiasan kepala dari bulu Cendrawasih dan
Kasuari serta daun kelapa. Rok dibuat dari pucuk rumbia dan hiasan dari pucuk daun pohon
sagu. Ritus tari ular dimulai. Masyarakat menari diiringi bunyi pukulan tifa. Pak Liborius
keluar bersama beberapa orang dengan membawa patung ular. Tarian ular melambangkan
keberadaan ular sebagai bagian utama dari sejarah Mapurupuau. Beberapa perempuan
menangis karena larut dalam sakralnya tarian ini. Gambaran kehidupan tete atau leluhur
mereka dahulu, tergambar dan menjelma dalam tarian ular ini. Tarian ular diakhiri dengan
memasukkan patung ular kembali ke dalam rumah besar. Mata patung ular kembali ditutup
untuk kemudian dikubur agar tidak mendatangkan bencana [Herwan, 07/06/2005, Kal
Muler  Benediktus Makanaipetu, In Between, Just an ordinary
jurnal: Legenda    Mapurupuau   Kamoro;

http://herwan.wordpress.com/2005/06/07/legenda-mapurupuau-komoro/].

b)   Seni suara

Pada tahap akhir tapena (acara pembukaan pemisahan status lama kepada status


sosial kelompok yang baru), biasanya ditandai dengan acara tifa duduk (Bake Iri), sambil
menari dan menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa daerah [Yeremias Tsenawatme,
2002,Tradisi Budaya Menganyam Noken Suku Amungme-Kamoro, Waena; SMU YPPK
Teruna Bakti, (Karya Tulis) hal. 5].

K.      Situasi Terkini Suku Kamoro (Evaluasi Kelompok Terhadap Adaptasinya Dalam Dunia
Modern)

Dalam hubungan dengan kemajuan dunia modern, kelompok satu akan memberikan
evaluasi dalam beberapa poin dari suku Kamoro. Alasan yang cukup mendasarinya adalah
semakin majunya segala aspek di dunia ini, maka konsekuensinya segala segi terkait
dengan kehidupan keseharian mereka pun memberikan signal keterbukaan untuk
mengikutinya. Kami akan  membahasnya lebih lanjut di bawah ini:

1.    Bahasa

Ditinjau dari segi bahasa, masyarakat suku Kamoro telah mengalami kemajuan terkait
dengan kemajuan teknologi yang terus merembesi seluruh pelosok termasuk Papua. Berkat
masuknya misi Katolik dan kemajuan di bidang pendidikan, yang ditandai dengan berdirinya
sekolah-sekolah telah membantu mereka untuk bisa berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa Indonesia.
2.    Sistem Teknologi

Kontak pertama antara penduduk Kamoro dan dunia luar kemungkinan terjadi dengan
para pedagang dari Indonesia bagian barat yang mencari kulit kayu massoy (banyak
digunakan untuk obat tradisional Jawa), bulu burung cenderawasih, getah damar untuk
bahan penerangan dan mencari budak. Sebagai alat tukar, digunakan perkakas logam,
gong dan kain-kain [Blog Lembaga Pendidikan Papua, Suku
Kamoro.http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].

Kemajuan teknologi yang dialami oleh suku Kamoro, dapat terlihat dalam hal
pemakaian alat ukir, seperti pahat besi dan gergaji. Dalam tukar menukar, sebelumnya
masyarakat suku Kamoro perkakas, gong dan kain, tetapi kini mereka sudah bisa
menggunakan uang. Dahulu, para penari perempuan menari tanpa mengenakan bra, kini
mereka sudah bisa memakainya [Radar Timika, Minggu, 11 Maret 2007, Perempuan Suku
Kamoro.  http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=DwtTBA8HUlQC].

3.    Organisasi Sosial

Menurut hasil evaluasi kelompok I, kami berpendapat bahwa kepemimpinan


dalamtaparo sebagai orang berpengaruh dalam satu kelompok masyarakat, perlahan-lahan
mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan oleh proses interaksi sosial dengan masyarakat
migran. Meski tidak sepenuhnya hilang, namun sistem keterbukaan mereka telah membuka
peluang bagi hilangnya sistem kepemimpinan mereka.

Dengan adanya tatanan atau lembaga sosial yang berpusatkan pada pemerintahan
dan keamanan, yang memang dikendalikan secara penuh oleh pemerintah merupakan
salah satu contoh konkritnya. Masuknya perusahaan juga membawa pengaruh yang sangat
besar dalam tatanan sosial mereka terutama sistem kepemimpinan yang dikendalikan
sepenuhnya oleh Pimpinan perusahaan. [Hasil wawancara langsung dengan Fr Agustinus
Alua di Wisma Salib Suci, Sabtu 11 September 2010].

Proses interaksi sosial mereka dengan dunia luar telah membawa dampak positif mau
pun negatif baik dari segi ekonomi, pengetahuan, dan kebudayaan. Interaksi mereka tidak
hanya terbatas pada keluarga-keluarga inti atau pun keluarga dekat karena ikatan marga,
namun mereka telah berinteraksi dengan masyarakat yang beda budaya yang jauh lebih
kompleks termasuk dengan budaya asing.

4.    Mata Pencaharian

Dengan masuknya arus perkembangan dunia modern, masyarakat suku Kamoro


mengalami satu pergeseran yang cukup memprihatinkan, khususnya berkaitan dengan mata
pencaharian mereka. Sebelumnya, laut dan sungai menjadi sumber kekayaan yang sangat
besar untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, namun kini semuanya telah tiada.
Kehadiran proyek raksasa, PT Freeport Indonesia menyebabkan mereka kehilangan mata
pencaharian. Di sungai-sungai, tempat mereka mendapatkan ikan telah dicemari dengan
limbah dari industri tersebut. Ikan-ikan yang biasanya mereka tangkap, mati terkena racun
limbah. Lahan-lahan perkebunan yang mereka olah, diambil alih oleh pihak perusahaan.

Setelah masuknya PT Freeport mereka harus berpindah ke kota Timika. Berhadapan


dengan situasi yang baru tersebut, mereka dituntut untuk menyesuaikan diri. Sebab, situasi
hidup di kota lebih menuntut pengetahuan dan keahlian yang memadai. Meskipun, pihak
perusahaan turut memperhatikan nasib mereka, karena kehilangan mata pencaharian, tetapi
sebenarnya itu tidak cukup.

5.    Pandangan Dunia

Pandangan dunia terhadap suku Kamoro, kami bahas terkait kehadiran PT Freeprot
Indonesia di Timika. Di satu pihak, perusahaan ini memberikan kontribusi yang berarti bagi
masyarakat suku Kamoro. Misalnya, salah satu dari kegiatan seperti Kamoro Kakuru atau
Festival Kamoro yang telah delapan kali diselenggarakan, melalui kerjasama antara PTFI,
LPMAK, Lemasko, Pemda, dan beberapa perusahaan yang beroperasi di Kabupaten
Mimika. Kali pertama, festival yang melibatkan ratusan pengukir Kamoro di hampir seluruh
desa yang ada di Kabupaten Mimika ini, digelar pada tahun 1998 di kampung Hiripau.
Tujuan dari penyelenggaraan festival ini adalah, untuk mengenalkan adat dan budaya suku
Kamoro melalui penjualan kerajinan, lelang ukiran, pertunjukan tarian, dan demo makanan
tradisional. Sedangkan bagi pengukir Kamoro, Festival Kamoro merupakan sarana bagi
mereka untuk bertemu dan bertukar pikiran tentang adat budayanya; dan menjadi
kesempatan untuk menjual ukiran dengan harga lebih tinggi.

Selain menyelenggarakan Kamoro Kakuru, berbagai kegiatan pameran juga digelar di


beberapa kota, diantaranya adalah Kuala Kencana, Jakarta, Surabaya, dan Bali. Sebagian
besar adalah atas undangan dari pihak penyelenggara, seperti keberangkatan kelompok
kecil ke Belanda atas undangan pihak Rijk Museum. Perlu diketahui bahwa di museum ini,
terdapat ukiran-ukiran Kamoro berumur lebih dari 50 tahun yang disimpan dan
dipamerkan.  [Radar Timika, Jumat, 29 Agustus 2008 11:59 WIB, Budaya Timika,

Di lain pihak mereka terasa terancam, sebab mereka harus berhadapan dengan
situasi perkembangan dunia yang lebih kompleks. Mereka menganggap PT Freeport
Indonesia, telah merusak alam sumber utama kehidupan mereka. Sikap ini tidak berarti suku
Kamoro tidak memiliki tuntutan, dan sepanjang tuntutan itu belum terealisasi optimal,
beberapa orang anggota suku tentu saja akan selalu menjadi bagian pemrotes mengenai
hal ihwal PT Freeport Indonesia [Dirgantara Wicaksono, 2010, Kondisi Geografis
Mimika,Universitas Negeri Jakarta 
6.    Agama

Perubahan besar-besaran pada suku Kamoro terjadi pada tahun 1925 ketika sebuah
pos pemerintah kolonial Belanda dan misi Katolik Roma didirikan di Kokonau. Maka segera
terjadilah pengendalian kekuasaan dan penduduk Kamoro dipaksa/dibujuk untuk
meninggalkan beberapa aspek kehidupan adat mereka misalnya upacara tindik hidung(tidak
higienis), lalu mereka tinggal dalam rumah-rumah permanen di mana terdapat sekolah-
sekolah dan rumah-rumah untuk satu kepala keluarga (lebih mudah dikendalikan), serta
pemindahan kepercayaan dari animisme hingga memeluk agama Katolik Roma [Blog
Lembaga Pendidikan Papua, Suku Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].

Dalam sumber lain, dikatakan bahwa perjanjian Pastor Le Cocq d’Armanvil SJ untuk
mendirikan misi di Mimika, baru digenapi 21 tahun kemudian, ketika Mgr. J. Aerts bersama
Pastor Kowatzky, Guru Benedictus Renjaan dan Christianus Retob, tiba di Kokonao pada 9
Mei 1927 [Suara Gaiyabi, Media Internal Petugas Pastoral Keuskupan Timika, 80 Tahun
Gereja Katolik di Mimika, Th. IV, No. 03-03, Juli-Agustus 2007, hal. 12].

Dengan masuknya misi Katolik dan pewartaan para Misionaris, maka masyarakat
suku Kamoro mulai mengenal agama Katolik. Mereka secara perlahan-lahan, mendapat
pemahaman baru tentang Sang Khalik, yang sebelumnya dikenal lewat alam sekitar.

7.    Kesenian

Dalam hal kesenian, masyarakat suku Kamoro cukup terkenal dengan hasil ukiran
mereka. Hasil karya mereka itu, menarik perhatian orang banyak, baik yang ada dalam
negeri maupun manca negara. Pihak pemerintahan Propinsi Irian Jaya (Papua), turut
memberikan dukungan yang berarti, atas keunikan kesenian suku Kamoro tersebut.
Sehingga dalam salah satu sumber dikatakan bahwa, pemerintah bertekad untuk
mempertahankan budaya asli suku Kamoro, mengingat keunikan yang dimiliki, sekaligus
aset yang berarti untuk memperkaya budaya bangsa Indonesia [Kompas, Sabtu, 1 Oktober
2005, Kebudayaan; Pemerintah Pertahankan Keunikan Suku Kamoro (Sambutan Gubernur
Salossa, saat pembukaan Festival Budaya Suku Kamoro di Tigopo, Kabupaten Mimika].

Sebagaimana halnya di Afrika, Oceania, dan suku Dayak, warga Kamoro pun mampu
menghasilkan patung-patung yang sangat mengagumkan, walau alat yang mereka gunakan
amat sederhana. Jenis kesenian suku Kamoro, memberi ilham atau inspirasi yang berarti
kepada banyak pelukis modern, terutama para penganut aliran Kubus dan Pablo Picasso
dengan lukisannya Les Demoiselles D'Avignon, yang menampilkan wujud-wujud wanita
dengan dua wajah seperti topeng-topeng Afrika [Blog Lembaga Pendidikan Papua, Suku
Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].
Benda seni suku Kamoro yang terkenal sampai tingkat Internasional, memberikan
semangat kepada para pengukir dan masyakarat untuk terus mengembangkannya. Menurut
salah satu sumber dikatakan bahwa patung Mbitoro, hasil ukiran dari suku Kamoro, kini
terpajang di Restoran Hotel Sheraton, Timika. Ukiran Kamoro juga telah satu abad terpajang
di Museum Leiden, Belanda [Radar Timika, Minggu, 11 Maret 2007,Timotius Samin,
Kegelisahan

Anda mungkin juga menyukai