Anda di halaman 1dari 12

INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN

“Mekanisme Interaksi Obat Farmakodinamik”

KELOMPOK VI:

Elisya Anggraini : (PO.62.31.3.16.230)

Fika Anggreini : (PO.62.31.3.16.230)

Maya Juliani Kibtiyah : (PO.62.31.3.16.230)

Yustina Puspita Sari : (PO.62.31.3.16.230)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN PALANGKA RAYA
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV GIZI
2019
PEMBAHASAN
MEKANISME INTERAKSI OBAT FARMAKODINAMIK

A. Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau
dipengaruhi oleh obat lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat terjadi
jika suatu obat mengubah efek obat lainnya. Kerja obat yang diubah dapat
menjadi lebih atau kurang Aktif (Harknes 1989). Pengobatan dengan
beberapa obat sekaligus (Poifarmasi) yang menjadi kebiasaan para dokter
memudahkan terjadinya interaksi obat.
Suatu survey yang di laporkan pada tahun 1997 mengenai Polifarmasi
pada penderita yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa insidens
efek samping pada penderita yang mendapat 0-5 macam obat adalah 3,5%,
sedangkan yang mendapat 16-20 macam obat adalah 54%. Peningkatan
insidens efek samping yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat yang di
berikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga
makin Meningkat (Setiawati, 2003).
Berdasarkan mekanisme interaksi obat secara garis besar dapat
dibedakan menjadi 3 mekanisme yaitu:
1. Interaksi farmasetik.
2. Interaksi farmakokinetik.
3. Interaksi farmakodinamik.

B. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang
memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir
sama. Interaksi ini disebabkan oleh kompetisi pada reseptor yang sama, atau
terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang sama.
Interaksi ini biasanya dapat diperkirakan dari pengetahuan tentang
farmakologi obat-obatan yang berinteraksi. Pada umumnya, interaksi yang
terjadi dengan suatu obat akan terjadi juga dengan obat-obat sejenisnya.
Interaksi ini terjadi dengan intensitas yang berbeda pada kebanyakan pasien
yang mendapat obat-obat yang berinteraksi (BNF 58, 2009).
Efek yang terjadi pada interaksi farmakodinamik yaitu (Fragley, 2003):
1. Sinergisme atau interaksi aditif
Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah
sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel atau
enzim yang sama dengan efek farmakologi yang sama bisa bersifat aditif.
Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah
sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik,
hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan.
Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif
ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan
interval QT) (Stockley, 2008).
2. Antagonisme atau interaksi berlawanan
Interaksi terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek
farmakologi yang berlawanan sehingga mengakibatkan pengurangan
hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat. Misalnya kumarin dapat
memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif
menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari
antikoagulan oral dihambat dan waktu protrombin dapat kembali normal,
sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan
(Stockley, 2008).
3. Efek reseptor tidak langsung
Kombinasi ini dapat bekerja melalui mekanisme saling
mempengaruhi efek reseptor yang meliputi sirkulasi kendali fisiologi
atau biokimia. Efek dan keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi
antara pasien yang satu dengan yang lain. Berbagai faktor dapat
mempengaruhi kerentanan pasien terhadap interaksi obat. Pasien yang
rentan terhadap interaksi obat antara lain:
a. Pasien lanjut usia.
b. Pasien yang minum lebih dari satu macam obat.
c. Pasien yang mempunyai ganguan fungsi hati dan ginjal.
d. Pasien dengan penyakit akut.
e. Pasien dengan penyakit yang tidak stabil.
f. Pasien yang mempunyai karakteristik genetik tertentu.
g. Pasien yang dirawat lebih dari satu dokter.

Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi (Fragley, 2003) :


1) Menghindari kombinasi obat yang berinterksi. Jika resiko interaksi
pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya maka harus
dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat
pengganti tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan
interaksi yang berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan
efek obat yang spesifik.
2) Penyesuaian dosis obat Jika interaksi obat meningkatkan atau
menurunkan efek obat maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah
satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan
efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada saat mulai
atau menghentikan penggunaan obat yang berinteraksi.
3) Pemantauan pasien jika kombinasi yang saling berinteraksi
diberikan, maka diperlukan pemantauan pasien. Keputusan untuk
memantau atau tidak tergantung pada berbagai faktor, seperti
karaktteristik pasien, penyakit lain yang diderita pasien, waktu mulai
menggunakan obat yang menyebabkan interaksi dan waktu
timbulnya reaksi interaksi obat.
4) Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya Jika interaksi obat tidak
bermakna klinis atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut
merupakan pengobatan optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan.
C. Mekanisme Kerja Obat
Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor
pada sel organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu
makromolekul fungsional, yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu
reseptor fisiologis bagi ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan
neurtransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah
kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali
yang baru.
Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor
hormon, faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim
metabolik dan regulator (seperti dihidrofolat reduktase, asetilkolinesterase).
Namun demikian, reseptor untuk obat pada umumnya merupakan reseptor
yang berfungsi bagi ligan endogen (hormon dan neurotransmitter).2
Reseptor bagi ligan endogen seperti ini pada umumnya sangat spesifik
(hanya mengenali satu struktur tertentu sebagai ligan). Obat-obatan yang
berinteraksi dengan reseptor fisiologis dan melakukan efek regulator seperti
sinyal endogen ini dinamakan agonis Ada obat yang juga berikatan dengan
reseptor fisioloigs namun tanpa menghasilkan efek regulator dan
menghambat kerja agonis (terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis)
disebut dengan istilah antagonis, atau disebut juga dengan bloker.
Obat yang berikatan dengan reseptor dan hanya menimbulkan efek
agonis sebagian tanpa memedulikan jumlah dan konsentrasi substrat disebut
agonis parsial. Obat agonis-parsial bermanfaat untuk mengurangi efek
maksimal agonis penuh, oleh karena itu disebut pula dengan istilah
antagonis parsial Sebaliknya, obat yang menempel dengan reseptor
fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan dengan agonis disebut
agonis negatif.
Berikut adalah pembagian reseptor fisiologik adalah sebagai berikut.
1. Reseptor enzim mengandung protein permukaan kinase yang
memfosforilasi protein efektor di membran plasma. Fosforilasi
mengubah aktivitas biokimia protein tersebut. Selain kinase, siklase juga
dapat mengubah aktivitas biokimia efektor. Tirosin kinase, tirosin
fosfatase, serin/treonin kinase, dan guanil siklase berfungsi sebagai situs
katalitik, dan berperan layaknya suatu enzim. Contoh ligan untuk
reseptor ini: insulin, epidergmal growth factor (EGF), platelet-derived
growth factor (PDGF), atrial natriuretic factor (ANF), transforming
growth factor-beta (TGF-β), dan sitokin.
2. Reseptor kanal ion – reseptor bagi beberapa neurotransmitter, sering
disebut dengan istilah ligandgated ion channels atau receptor operated
channels. Sinyal mengubah potensial membran sel dan komposisi ionik
instraselular dan ekstraselular sekitar. Contoh ligan untuk reseptor ini:
nikotinik, γ-aminobutirat tipe A (GABAA), glutamat, aspartat, dan glisin.
3. Reseptor tekait Protein G – Protein G merupakan suatu protein regulator
pengikatan GTP berbentuk heterotrimer. Protein G adalah penghantar
sinyal dari reseptor di permukaan sel ke protein efektor. Protein efektor
Protein G antara lain adenilat siklase, fosfolipase C dan A2,
fosfodiesterase, dan kanal ion yang terletak di membran plasma yang
selektif untuk ion Ca2+ dan K+. Obat selain antibiotik pada umumnya
bekerja dengan mekanisme ini. Contoh ligan untuk reseptor ini: amina
biogenik, eikosanoid, dan hormon-hormon peptida lain.
4. Reseptor faktor transkripsi DNA (DNA binding domain mengaktifkan
atau menghambat transkripsi. Contoh ligan: hormon steroid, hormon
tiroid, vitamin D, dan retinoid v.
5. Second Messenger pada sitoplasma kedua (second messenger) yang
bertindak sebagai sinyal lanjutan untuk jalur transduksin sinyal. (NO).
Ciri khas cara kedua adalah produksinya yang sangat cepat dengan
konsentrasi yang r Setelah sinyal utama (first messenger) tidak ada,
caraka kedua akan disingkarkan melalui proses daur ulang. Contoh:
AMP, siklik GMP, siklik ADP.

Selain daripada reseptor, obat juga dapat bekerja tanpa melalui reseptor,
misalnya obat yang mengikat molekul atau ion dalam tubuh. Contohnya
penggunaan antasida sebagai penetral keasaman lambung yang berlebihan.
merkaptoetana sulfonat (mesna) meniadakan sebagai analog struktur normal
tubuh yang bisa “bergabung” ke dalam sel sehingga mengganggu fungsi sel
dan tubuh. Misalnya analog purin dan pirimidin yang dapat diinsersei ke
dalam asam nukleat antivirus dan kemoterapi untuk kanker.

D. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respons Tubuh terhadap Obat


Tubuh setiap orang berbeda-beda dalam hal menghasilkan respons untuk
pemberian obat dengan dosis tertentu. Pemberian obat biasanya telah
disepekati secara bersama oleh farmakolog dalam dosis biasa (dosis rata-
rata) yang cocok untuk sebagian besar pasien. Dosis rata-rata ini dapat
menimbulkan efek toksik untuk beberapa orang. Sebaliknya dosis rata-rata
juga juga dapat menimbulkan efek yang tidak terapeutik. Berikut adalah
perjalanan suatu obat hingga menimbulkan efek farmakologik (respons
pasien terhadap obat tertentu).
1. Dosis yang diberikan (resep)
a. Kepatuhan pasien (Patient's complience)
b. Kesalahan medikasi
c. Mutu obat
2. Dosis yang diminum
a. Kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat,
dan toleransi factor-faktor yang memengaruhi farmakokinetik dan
farmakodinamik obat tertentu
b. Faktor farmakokinetik seperti absorpsi, distribusi, biotransformasi,
dan ekskresi
c. Faktor farmakodinamik seperti interaksi obat- reseptor, keadaan
fungsional jaringan, dan mekaisme homeostatik
3. Efek farmakologik
Respons pasien terhadap obat tertentu
E. Faktor Interaksi Obat Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik merupakan suatu interaksi antara obat yang
bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja, atau sistem fisiologik yang sama.
Interaksi ini bisa menimbuolkan efek yang sinergistik, atau antagonistik.
Interaksi farmakodinamik ini biasanya dapat diramalkan (misalnya:
pengelompokan obat antihipertensi yang dapat saling sinergik menurunkan
tekanan darah).
1. Interaksi pada reseptor, misalnya asetilkolin yang bekerja pada reseptor
kolinergik (muskarinik) sebagai agonis; sementara adanya atropine,
kuinidin, dan antihistamin H1 sebagai antagonis untuk reseptor yang
sama.
2. Interaksi fisiologik yaitu interaksi pada sistem fisiologik yang sama,
sehingga dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan respons.
Misalnya penggunaan antidiabetes (bekerja pada sistem endokrin)
dengan tiazid atau kortikosteroid (juga bekerja pada sistem endokrin)
dapat menurunkan efek antidiabetik. Demikian juga penggunaan obat β-
bloker dengan verapamil dapat menyebabkan gagal jantung dan
bradikardia.

F. Impilikasi Klinis Interaksi Obat


Interaksi obat sering dianggap sebagai sumber terjadinya efek samping
obat (adverse drug reactions), yakni jika metabolisme suatu obat indeks
terganggu akibat adanya obat lain (precipitant) dan menyebabkan
peningkatan kadar plasma obat indeks sehingga terjadi toksisitas. Selain itu
interaksi antar obat dapat menurunkan efikasi obat. Interaksi obat demikian
tergolong sebagai interaksi obat "yang tidak dikehendaki" atau Adverse
Drug Interactions (ADIs). Meskipun demikian, beberapa interaksi obat tidak
selalu harus dihindari karena tidak selamanya serius untuk mencederai
pasien. Adapun implikasi klinis interaaksi obat yaitu sebagai berikut.
1. Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs)
Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs) mempunyai implikasi
klinis jika: (1) obat indeks memiliki batas keamanan sempit; (2) mula
kerja (onset of action) obat cepat, terjadi dalam waktu 24 jam; (3)
dampak ADIs bersifat serius atau berpotensi fatal dan mengancam
kehidupan; (4) indeks dan obat presipitan lazim digunakan dalam praktek
klinik secara bersamaan dalam kombinasi.
Banyak faktor berperan dalam terjadinya ADIs yang bermakna
secara klinik, antara lain faktor usia, faktor penyakit, genetik, dan
penggunaan obat-obat preskripsi bersama-sama beberapa obat-obat OTC
sekaligus. Usia lanjut lebih rentan mengalami interaksi obat. Pada
penderita diabetes melitus usia lanjut yang disertai menurunnya fungsi
ginjal, pemberian penghambat ACE (misal: kaptopril) bersama diuretik
hemat kalium (misal: spironolakton, amilorid, triamteren) menyebabkan
terjadinya hyperkalemia yang mengancam kehidupan.
Beberapa penyakit seperti penyakit hati kronik dan kongesti hati
menyebabkan penghambatan metabolisme obat-obat tertentu yang
dimetabolisme di hati (misalnya simetidin) sehingga toksisitasnya dapat
meningkat. Pemberian relaksans otot bersama aminoglikosida pada
penderita miopati, hipokalemia, atau disfungsi ginjal, dapat
menyebabkan efek relaksans otot meningkat dan kelemahan otot
meningkat.
Polimorfisme adalah salah satu faktor genetik yang berperan dalam
interaksi obat. Pemberian fenitoin bersama INH pada kelompok
polimorfisme asetilator lambat dapat menyebabkan toksisitas fenitoin
meningkat. Obatobat OTC seperti antasida, NSAID dan rokok yang
banyak digunakan secara luas dapat berinteraksi dengan banyak sekali
obat-obat lain.
2. Interaksi obat yang dikehendaki
Adakalanya penambahan obat lain justru diperlukan untuk
meningkatkan atau mempertahankan kadar plasma obat-obat tertentu
sehingga diperoleh efek terapetik yang diharapkan. Selain itu,
penambahan obat lain diharapkan dapat mengantisipasi atau
mengantagonis efek obat yang berlebihan. Penambahan obat lain dalam
bentuk kombinasi (tetap ataupun tidak tetap) kadang-kadang disebut
pharmacoenhancement, juga sengaja dilakukan untuk mencegah
perkembangan resistensi, meningkatkan kepatuhan, dan menurunkan
biaya terapi karena mengurangi regimen dosis obat yang harus diberikan.
Kombinasi suatu anti aritmia yang memiliki waktu paruh singkat
misalnya prokainamid, dengan simetidin dapat mengubah parameter
farmakokinetik prokainamid. Simetidin akan memperpanjang waktu
paruh prokainamid dan memperlambat eliminasinya. Dengan demikian
frekuensi pemberian dosis prokainamid sebagai anti aritmia dapat
dikurangi dari setiap 4-6 jam menjadi setiap 8 jam/hari, sehingga
kepatuhan dapat ditingkatkan.
Dalam regimen pengobatan HIV, diperlukan kombinasi obat-obat
penghambat protease untuk terapi HIV dengan tujuan mengubah profil
farmakokinetik obat-obat tersebut. Misalnya, penghambat protease
lopinavir jika diberikan tunggal menunjukkan bioavailabilitas rendah
sehingga tidak dapat mencapai kadar plasma yang memadai sebagai
antivirus. Dengan mengombinasikan lopinavir dengan ritonavir dosis
rendah, maka bioavailabilitas lopinavir akan meningkat dan obat mampu
menunjukkan efikasi sebagai antiviral. Ritonavir dosis rendah tidak
memiliki efek antiviral namun cukup adekuat untuk menghambat
metabolisme lopinavir oleh CYP3A4 di usus dan hati.
Kombinasi obat-obat anti malaria dengan mula kerja cepat tetapi
waktu paruhnya singkat (misal, artemisinin) dengan obat anti malaria lain
yang memiliki waktu paruh lebih panjang, akan meningkatkan efktivitas
obat anti malaria tersebut dan mengurangi relaps. Kombinasi obat-obat
anti tuberkulosis diharapkan akan memperlambat terjadinya resistensi.
Pemberian obat presipitan sebagai antagonis atau antidotum untuk
mengkonter efek samping obat indeks adalah contoh lain dari interaksi
antar obat yang dikehendaki. Misalnya, pemberian antikolinergik untuk
mengatasi efek samping ekstrapiramidal dari obat-obat ami emetik dan
anti psikotik; pemberian nalokson untuk mengatasi overdosis opium;
pemberian atropin untuk intoksikasi antikolinesterase dan sebagainya.

G. Tingkat Keparahan Interaksi Obat


Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam
3 level yaitu minor, moderate, atau major.
1. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi
mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya
terhadap pasien jika terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan
absorbsi ciprofloxacin oleh antasida ketika dosis diberikan kurang dari
dua jam setelahnya (Bailie, 2004).
2. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari
bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe
intervensi/monitor sering diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin
menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan perawatan
tambahan, perawatan di rumah sakit dan atau perpanjangan lama tinggal
di rumah sakit. Contohnya adalah dalam kombinasi vankomisin dan
gentamisin perlu dilakukan monitoring nefrotoksisitas (Bailie, 2004).
3. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat
probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk
kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan
permanen (Bailie, 2004). Contohnya adalah perkembangan aritmia yang
terjadi karena pemberian eritromisin dan terfenadin (Piscitelii, 2005).
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai