Anda di halaman 1dari 5

ACARA 5

LAPORAN PRAKTIKUM SANITASI LINGKUNGAN DAN MAKANAN

PROSEDUR PENGUKURAN KADAR DEBU LINGKUNGAN

Oleh :

Nama : Rini Kartika Saputri

Kelas : I1A016087

Kelompok : Kelompok 1

Rombongan : Rombongan 1

Kelas : Kelas A

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2018
A. Latar Belakang
Gangguan fungsi paru merupakan salah satu penyakit akibat kerja yang
tidak hanya terjadi di negara maju, melainkan juga terjadi di negara
berkembang. Berdasarkan data World Health Organization (WHO)
menunjukkan gangguan fungsi paru merupakan salah satu penyebab utama
kesakitan dan kematian di seluruh dunia. Gangguan fungsi paru
menunjukkan angka kematian ke-5 tertinggi di seluruh dunia dan
diperkirakan pada tahun 2020 menjadi angka kematian ke-3. Gangguan
fungsi paru yang terjadi salah satunya diakibatkan oleh debu (Fajrin, 2015).
Debu adalah partikel benda padat yang terapung di udara, biasanya, debu
dihasilkan oleh proses mekanik seperti penggosokan, pengeboran, pemecahan
benda padat, serta cara pengolahan benda padat lainnya, misalnya asbestos
dan silika (Harrianto, 2009).
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui kadar debu PM 2,5 pada udara dilingkungan
2. Untuk mengetahui kadar debu PM 10 pada udara dilingkungan
C. Tinjuan Pustaka
Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut dengan partikel
yang melayang di udara (Suspended Particular Matter/SPM) dengan ukuran 1
mikron sampai dengan 500 mikron. Dalam kasus pencemaran udara baik
dalam maupun di luar gedung (Indoor and Out Door Polution) debu sering
dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukan
tingkat bahaya baik terhadap lingkungan maupun keselamatan dan kesehatan
(Dwi Djatmiko,2016).
Debu dapat masuk dalam tubuh melalui inhalasi dalam bentuk partikel
debu solid maupun suatu campuran dan asap. Pola bernapas sangat
berpengaruh dalam proses masuknya debu ke dalam saluran pernapasan.
Bernapas melalui mulut lebih berisiko dibandingkan dengan bernapas
melalui hidung. Hidung memiliki mekanisme penyaringan untuk mencegah
terdepositnya debu di paru-paru. Reaksi mekanisme pertahanan non spesifik
muncul akibat dari masuknya debu ke saluran pernapasan. Reaksi ini dapat
berupa bersin, batuk, fagositosis oleh makrofag, dan gangguan transport
mukosilier. Penyempitan terjadi karena otot polos disekitar jalan napas
terangsang. Kondisi ini rata-rata terjadi apabila kadar debu melebihi nilai
ambang batas ( Anjani dkk, 2018).
Debu respirabel merupakan debu dengan ukuran yang paling bahaya
karena akan tetahan dan tertimbun (menempel) mulai dari bronkiolus
terminalis sampai alveoli sedangkan untuk debu yang berukuran 0,1-1μ
bergerak keluar masuk alveoli sesuai dengan Gerak Brown. Setiap inhalasi
500 partikel per milimeter kubik udara, maka 10% dari jumlah tersebut akan
tertimbun di paru. Konsentrasi yang melebihi 5.000 partikel per milimeter
kubik sering dihubungkan dengan kejadia pneumoconiosis (Nafisa, 2016).
Faktor yang dapat berpengaruh pada inhalasi bahan pencemar ke dalam
paru adalah faktor komponen fisik, faktor komponen kimiawi dan faktor
penderita itu sendiri. Aspek komponen fisik yang pertama adalah keadaan
dari bahan yang diinhalasi (gas,debu,uap). Ukuran dan bentuk akan
berpengaruh dalam proses penimbunan dalam paru, demikian juga dengan
kelarutan dan nilai higroskopisitasnya. Komponen kimia yang berpengaruh
antara lain kecenderungan untuk bereaksi dengan jaringan sekitarnya,
keasaman atau tingkat alkalisitasnya yang tinggi (dapat merusak silia atau
sistem enzim). Bahan-bahan tersebut dapat menimbulkan fibrosis yang luas
diparu dan dapat bersifat antigen yang masuk paru (Wahyu A,2004).
D. Metode
1. Alat
a. Dust Particle Counter (DPC)
b. Alat tulis
c. Stopwach
2. Bahan
a. Ruang kelas PJKR

3. Cara kerja
Alat dan bahan disiapkan

Diletakan pada tengah ruangan

Tombol power Run ditekan

Ditunggu selama 50 detik

Dilihat dan dicatat

E. Hasil
Hasil pengukuran kadar debu pada ruang kelas PJKR adalah sebagai berikut:
PM 2,5 = 79 µg/M2
PM 10 = 195 µg/M2
Suhu = 27,24˚C
Kelembaban = 74%
F. Pembahasan
Hasil pengukuran kadar debu pada ruang kelas PJKR PM 2,5 adalah sebesar
79 µg/M2, sedangkan pada PM 10 adalah sebesar 195 µg/M 2. Jika
dibandingkan dengan PPRI NO. 41/1999 Tentang Baku Mutu Udara Ambien
Nasional, Ruang Kelas PJKR termasuk melebihi NAB. Dimana NAB yang
diperkenankan Pada PM 2,5 adalah sebesar 65 µg/M2, sedangkan NAB pada
PM 10 sebesar 150 µg/M2 sehingga tidak memnuhi syarat kesehatan.
G. Kesimpulan
Hasil pengukuran kadar debu pada ruang kelas PJKR PM 2,5 adalah sebesar
79 µg/M2, sedangkan pada PM 10 adalah sebesar 195 µg/M 2. Sehingga debu
dalaam Ruang Kelas PJKR melebihi ambang batas yang diperkenankan.

H. Daftar Pustaka
Anjani, Nabila Rachma. 2018. “Hubungan Kadar Debu Terhirup dengan
Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Industri Mebel PT Marleny Jepara”.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. No.6. Vol.6:259 -269.
Dwi Djatmiko, Riswan Dwi. 2016. Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Yogyakarta : Deepublish.
Fajrin O, Yovi I, Burhanuddin L.2015. “Gambaran Status Gizi dan Fungsi
Paru pada Pasien Penyakit Paru pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif
Kronik Stabil di Poli Paru RSUD Arifin Achmad”. Jurnal Fakultas
Kedokteran Universitas Riau. No.2(2).
Harrianto, R. 2009. Buku Ajar Kesehatan Kerja. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Nafisa RS, Joko T, Setiani O. Hubungan Paparan Debu Kayu di
Lingkungan kerja Terhadap Gangguan Fungsi Paru pada pekerja di PT
Arumbai kasembadan, Banyumas. Jurnal Kesehatan
Masyarakat.2016;4(5):178- 186.
Wahyu A.2004. Higiene Perusahaan. Makasar. Hasanudin University Press.

I. Lampiran

No Dokumen Kegiatan Keterangan


1 Alat Dust Particle
Counter (DPC)

Anda mungkin juga menyukai