Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PENANGANAN MEDIS OLEH LAWAN JENIS


Mata Kuliah Agama Islam

Kelompok 5 :

Alya Ralasati A171 0

Elfa Azkiya A171 016

Lia Marliana A 171 0

Nuri Asminawati A 171 037

Sri Nurpatimah A 171 0

1
SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA

YAYASAN HAZANAH

2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk bagi pembaca.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Bandung, Mei 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar isi

Bab 1
Pendahuluan.....................................................................................1

1.1 Kasus................................................................................................1

Bab II Isi ....................................................................................................2

2.1 Ranah
Medis.....................................................................................2

2.2 Pandangan Islam Penangan Medis Lawan Jenis...............................

Bab
III(Penutup).......................................................................................15

3.1 Kesimpulan ...................................................................................15

3.2
Saran..............................................................................................15

Daftar
Pustaka..........................................................................................16

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Kasus

Fatimah dan Ali adalah pasangan muda. Fatimah tengah mengandung 3 bulan.
mereka baru saja pindah ke salah satu kota besar, karena Ali mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik disana.

Ketika Fatimah akan memeriksakan kandungan nya, ternyata mayoritas dokter


kandungan di rumah sakit di kota tersebut adalah laki-laki.

Jelaskan pandangan kelompok saudara tentang kasus diatas!

4
5
BAB II

ISI

2.1 Lingkungan Medis

2.1.1. Sumpah Dokter dan Etika Kedokteran

Sejak permulaan sejarah umat manusia, orang sudah mengenal hubungan


kepercayaan antara dua insane yaitu si penderita dan sang pengobat, yang pada zaman
modern ini disebut sebagai hubungan dokter dengan pasien.

Rumusan-rumusan disiplin untuk para dokter itu mula pertama dikenal sebagai
“Sumpah Hippocrates”. Sumpah Hippocrates itu mengandung 6 buah nasehat atau
peringatan yaitu :

a. mengajarkan ilmu kedokteran kepada mereka yang berhak menerimanya.

b. mempraktikkan ilmu kedokteran hanya untuk memberi manfaat sebanyak-


banyaknya bagi pasien.

c. tidak mengerjakan sesuatu yang berbahaya bagi pasien.

d. tidak melakukan keguguran buatan yang bersifat kejahatan.

e. menyerahkan perasat-perasat tertentu kepada teman-teman sejawat ahli dalam


lapangan yang bersangkutan.

f. Tidak mempergunakan kesempatan untuk melakukan kejahatan atau godaan yang


mungkin timbul dalam mengerjakan praktik kedokteran.

g. Hidup dalam keadaan suci dan sopan santun.

h. Memelihara rahasia jabatan.

Setiap nasihat dan peringatan tersebut diatas adalah dasar dari pada susila
kedokteran dewasa ini.

6
Pada kode etik kedokteran terdapat point-point pada tiap-tiap babnya yaitu antara lain;
kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap team
sejawat, dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.

Dalam kode etik kedokteran ( Islamic code of medical Etyhics), yang merupakan
hasil dari First international conferenceon Islamic Medicine yang diselenggarakan pada 6-10
Rabi’al awwal 1401 M di Kuwait dan selajutnya disepakati sebagai kode etik kedokteran
islam, dirumuskan beberapa karakteristik yang semestinya dimiliki oelh dokter muslim
(tenaga kesehatan umumnya). Isi kode etik kedokteran islam tersebut terdiri atas dua belas
pasal. Rinciannya disebutkan : Pertama, definisi profesi kedokteran. Kedua, ciri-ciri para
dokter. Ketiga, hubungan dokter dengan dokter. Keempat, hubungan dokter dengan pasien.
Kelima, rahasia profesi. Keenam, peranan dokter di masa perang. Ketujuh, taggung jawab
dan pertanggungjawaban. Kedelapan, kesucian jiwa manusia. Kesembilan, dokter dan
masyarakat. Kesepuluh, dokter dan kemajuan biomedis modern. Kesebelas, pendidikan
kedokteran. Keduabelas, sumpah dokter.

Melihat bagaimana besarnya amal dan pengabdian yang diberikan oleh dokter dan
tenaa para medik, maka islam menganjurkan beberapa sifat-sifat yang harus dipunyai antara
lain :

1. Beriman

Sebab tanpa iman segala amal saleh sebagai dokter dan tenaga para medis akan
hilang sia-sia dimata Allah. (Q.S Al ashr : 1-3)

2. Tulus-ikhlas karena Allah (Q.S Al-bayyinah :5)

3. penyantun

Artinya ikut merasakan penderitaan orang lain dan Karena itu suka menolong orang
lain dalam kesukaran. (Q.S Al-baqarah : 263)

4. Peramah

Bergaul dengan tidak kaku dan menyenangkan. (Q.S Ali Imran : 159)

7
5. Sabar

Tidak lekas emosionil dan lekas marahQ.S Asy syura :43)

6. Tenang

Tidak gugup betapa pun keadaan gawat. (Dalam sabda Rasulullah : “Tetaplah kamu
bersikap tenang” riwayat At thabrani dan Bhaiqi)

7. Teliti

Berhati-hati, cermat dan rapi

8. Tegas

Terang,nyata, dan tidak ragu-ragu.

9. Patuh pada peraturan

Suka menurut perintah

10. bersih, apik , suci. (Q.S At taubah : 108)

11. Penyimpan rahasia (Q.S An-nisa 148)

12. dapat dipercaya (Q.S Al mu’minun : 1-11)

13. bertanggung jawab (Q.S Al isra’ : 36)

Di dalam literatur lain, terdapat karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang
tenaga kesehatan, khususnya dokter adalah menurut Ja’far Khadim Yamani, ilmu
kedokteran dapat dikatan islami, mempersyaratkan dengan 9 karakteristik, yaitu : pertama,
dokter harus mesngobati pasien dengan ihsan dan tidak melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan Al-Qur’an. Kedua, tidak menggunakan bahan haram atau dicampur
dengan unsure haram. Ketiga, dalam pengobatan tidak boleh mengakibatkan mencacatkan
tubuh pasien, kecuali sudah tidak ada alternative lain. Keempat, pengobatannya tidak
berbau takhayyul, khurafat, atau bid’ah. Kelima, hanya dilakukan oleh tenaga medis yang
,menguasai di bidang medis. Keenam, dokter memiliki sikap-sikap terpuji, tidak pemilik rasa

8
iri, riya, tkabbur, senang merendahkan orang lain, serta sikap hina lainnya. Ketujuh, harus
berpenampilan rapid an bersih. Kedelapan, lembaga-lembaga pelayanan kesehatan mesti
bersikap simpatik. Kesembilan, menjauhkan dan menjaga diri dari pengaruh atau lambing-
lambang non-islami.

Disamping itu menurut Dr. Zuhair Ahmad al- Sibai dan Dr. Muhammad ‘ali al-Ba
dalam karyanya Al-Thabib, Adabu wa Fiqhuh (dokter, Etika, dan Fiqih Kedokteran), antara
lain dikemukan bahawa dokter muslim harus berkeyakinan atas kehormatan profesi ,
menjernihkan nafsu,lebih mendalami ilmu yang dikuasai, menggunaka metode ilmiah dalam
berfikir, kasih sayang,benar dan jujur, rendah hati, bersahaja dan mawas diri.

A. Berkeyakinan dan Kehormatan Atas Profesi

Bahwa profesi kedokteran adalah salah satu profesi yang sangat mulia tapi
tergantung dengan dua syarat, yaitu :

- dilakukan dengan sngguh-sumngguh dan dengan penuh keikhlasan

- menjaga akhlak mulia dalamperilaku dan tindakan-tindakan sebagai dokter

Disamping itu, dokter selalu menjadi tumpuan pasien, keluarga, masyarakat , bahkan
bangsa. Mengingat kedudukan profesi kedokteran tersebut, seharusnya dalam menjalankan
profesinya tidak hanya berfikir tentang materi tetapi lebih kepada pengabdian dan
perbaikan umat. Keyakinan akan kehormatan profesi tersebut merupakan motivator untuk
memelihara akhlak yang baik dalam hubungannya dengan masyarakat.

B. Berusaha Menjernihkan Jiwa

Kejernihan jiwa akan menentukan kualitas perbuatan manusia secara keseluruhan,


jika seseorang termasuk dokter hatinya jernih maka perbuatan akan selalu positif.

C. Lebih Mendalami Ilmu Yang Dikuasai

Dalam hadist nabi disebutkan bahwa mencari ilmu merupakan kewajiban sepanjang
hidup. Sebagaimana diketahui bahwa ilmu pengetahuan iytu dari hari ke hari selalu
mengalami perkembangan. Karena itu, agar setiap dokter tidak ketinggalan informasi dan

9
ilmu pengetahuan dan lebih mendalami bidang profesinya, maka dituntut untuk selalu
belajar. Dalam islam sangat ditekankan dalam mengamalkan segala sesuatu agar dilakukan
secara professional dan penuh ketelitian.

D. Menggunakan Metode Ilmiah Dalam Berfikir

Bagi dokter muslim diharuskan dalam berfikir menggunakan metode ilmiah sesuai dengan
kaidah logika ilmiah sebagaimana terjabar dalam disiplin ilmu kedokteran modern. Ajaran
islam sangat menekankan agar berfikir atau merenung terhadap berbagai sebab, tujuannya
agar mendapat keyakinan yang benar.

E. Memiliki Rasa Cinta Kasih

Rasa cinta kasih adalah cahaya yang timbul dari hati yang terdalam, dia akan dapat
menyinari orang lain, alam semesta dan segala sesuatu. Cahaya itu kemudian memantul
kepada dirinya sendirinya dan melimpah kepadanya kejernihan, kerelaan, dan kemantapan.

F. Keharusan Brsikap Benar Dan Jujur

Benar dan jujur bagi seorang dokter yang selalu berkomunikasi dengan masyarakat
merupakan keharusan agar mendapat kepercayaan dari pasien dan masyarakat. Yang
dimaksud dengan benar dan jujur disini adalah sifat yang komprehensif mempunyai banyak
makna, termasuk menepati janji dan menunaikan amanah. Al-qur’an sangat menekankan
sikap benar dan jujur, diantaranya terdapat dalam firman Allah SWT ( Q.S At-taubat : 119)

G. Berendah Hati (Tawadhu)

Setiap orang, terutama orang yang melayani kepentingan umum termasuk dokter
dituntut bersifat rendah hati. Sifat yang sering membuat seseorang dijauhi dalam pergaulan
biasanya karena kesombongan dan keangkuhan. Kesombongan dan keangkuhan biasanya
lahir karena ada perasaan, ilmu, atau pengaruhnya. Ajaran islam sangat mengecam

10
perbuatan angkuh dan sombong. Disisi lain dijelaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat
ornag yang merendahkan diri (tawadhu).

H. Keadilan Dan Keseimbangan

Dokter termasuk orang yang banyak berurusan dengan masalah manusia dan
kemanusiaan. Kehidupan seseorang termasuk dokter sangat ditentukan oleh kualitas
hubungan dengan masyarakat itu. Ajaran islam sangat menganjurkan untuk berperilaku adil
dan berkeseimbangan dalam berbagai urusan, tidak berkelebihan atau over acting
dalam gaya hidup, khususnya dalam masalah tarif praktek,dan bayaran seghingga
mengurangi dan menodaiprinsip-prinsip yang mesti dijunjung tinggi sebagai pelayan
masyarakat.

I. Mawas Diri

Mengingat tugas dokter melayani masyarakat dan tanggung jawab menyangkut nyawa dan
keselamatan seseorang. Mereka sering menjadi sasaran tuduhan, itu dsebabkan adanya
anggapan masyarakat yang menganggap bahwa mereka adalah ornag yang paling
mengetahui rahasia kehidupan dan kematian. Dengan senantiasa mawas diri, seorang
dokter muslim akan sadar atas segala kekurangannya sehingga di masa mendatang akan
memperbaikinya, juga akan terhindar dari berbagai sifat tercela lain seperti sombong, riya,
angkuh, dan lainnya.

J. Ikhlas, Penyantun, Ramah, Sabar, Dan Tenang.

Dokter muslim juga harus ikhlas dalam menjalankan pekerjaannya, semua dilakukan
sebagai ibadah untuk mencari ridha Allah. Berbuat ikhlas sangat dituntut dalam islam,
sebagai mana dinyatakan dalam Al-Qur’an (Q.S Al-Bayyinat:5).

Dokter muslim juga dituntut penyantun, ikut merasakan penderitaan orang lain
sehingga berkeinginan untuk menolongnya. Dokter muslim juga dituntut ramah, bergaul
dengan luwes, dan menyenangkan. Juga dituntuk bersikap sabar, tidak emosional dan lekas
marah, tenang penyantun, ramah, sebagaimana dianjurkan dalam ayat Al-Qur’an (Q.S ali
imran: 159)

11
Dokter muslim juga dituntut bersikap tenang, tidak gugup dalam menghadapi
segawat apapun.

2.2 Pandangan Islam Mengenai Penanganan Medis oleh Lawan Jenis

2.2.1 Pandangan Islam Terhadap Ikhtilat


Yang dimaksud ikhtilat, yaitu berduanya seorang lelaki dengan seorang
perempuan di tempat sepi. Dalam hal ini menyangkut pergaulan antara sesama
manusia, yang rambu-rambunya sangat mendapat perhatian dalam Islam. Yaitu
berkait dengan ajaran Islam yang sangat menjunjung tinggi keselamatan bagi
manusia dari segala gangguan. Terlebih lagi dalam masalah mu’amalah (pergaulan)
dengan lain jenis. Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita telah diatur
dengan batasan-batasan, untuk membentengi gejolak fitnah yang membahayakan
dan mengacaukan kehidupan. Karenanya, Islam telah melarang pergaulan yang
dipenuhi dengan ikhtilat (campur baur antara pria dan wanita).

Dalam hadits di bawah ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah


memperingatkan kaum lelaki untuk lebih berhati-hati dalam masalah wanita.

‫ت‬
‫َالال َْح ْم ُو ال َْم ْو ُـ‬
َ ‫تال َْح ْم َو ق‬ َ ‫ال َر ُج ٌل ِم ْن ال ْأَن ْ َص ِار يَا َر ُس‬
َ ْ‫ولالل َّ ِه أَف ََرأَي‬ َ َ‫عل َى ال ِن ّ َسا ِء َفق‬
َ ‫ول‬
َ ‫الد ُخ‬
ُّ ‫ِإيَّاك ُْم َو‬

“Berhati-hatilah kalian dari menjumpai para wanita,” maka seorang sahabat dari
Anshar bertanya,”Bagaimana pendapat engkau tentang saudara ipar, wahai
Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Saudara ipar adalah maut (petaka).” [HR Bukhari
dan Muslim].

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah memperingatkan bahaya ikhtilat ini dengan


pernyataannya: “Ikhtilat yang terjadi di antara lelaki dan wanita menjadi penyebab
banyaknya perbuatan keji dan zina”.[1] Maka, sungguh kehatian-hatian Islam dalam
banyak hal, ialah demi kemaslahatan kehidupan manusia itu sendiri.

2.2.2 Perintah Menjaga Aurat Dan Menahan Pandangan

12
Di antara keindahan syariat Islam, yaitu ditetapkannya larangan mengumbar
aurat dan perintah untuk menjaga pandangan mata kepada obyek yang tidak
diperbolehkan, lantaran perbuatan itu hanya akan mencelakakan diri dan
agamanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya): Katakanlah kepada


orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka,
dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan
mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan
mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,
atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-
saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang
mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita . . .”
[an-Nûr/24: 30-31].

Larangan melihat aurat, tidak hanya untuk yang berlawan jenis, akan tetapi
Islam pun menetapkan larangan melihat aurat sesama jenis, baik antara lelaki
dengan lelaki lainnya, maupun antara sesama wanita.

Disebutkan dalam sebuah hadits:

‫الر ُج ُل‬ َ ‫عل َيْ ِه َو َسل َّ َم ق‬


َّ ‫َالل َا يَن ْ ُظ ُر‬ َ ‫ِيه أ َ ّ َن َر ُس‬
َ ‫ولالل َّ ِه َصلَّى الل َّ ُه‬ ِ ‫ع ْن أَب‬ ُ ْ ‫الر ْح َم ِن ْب ِنأَبِي َس ِعي ٍد ال‬
َ ‫خ ْد ِر ِ ّي‬ َّ ‫عبْ ِد‬
َ ‫ع ْن‬
َ
‫ع ْو َر ِة ال َْم ْرأ َ ِة‬
َ ‫الر ُج ِل َول َا ال َْم ْرأ َ ُة ِإل َى‬
َّ ‫ع ْو َر ِة‬َ ‫ِإل َى‬

“Dari ‘Abdir-Rahman bin Abi Sa`id al-Khudri, dari ayahnya, bahwasanya Nabi

13
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah seorang lelaki melihat kepada
aurat lelaki (yang lain), dan janganlah seorang wanita melihat kepada aurat wanita
(yang lain)”. [HR Muslim]

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, di antara kandungan hadits ini,


yaitu larangan bagi seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya) dan wanita melihat
aurat wanita (lainnya). Di kalangan ulama, larangan ini tidak diperselisihkan.
Sedangkan lelaki melihat aurat wanita, atau sebaliknya wanita melihat aurat lelaki,
maka berdasarkan Ijma’, perbuatan seperti ini merupakan perkara yang
diharamkan. Rasulullah mengarahkan dengan penyebutan larangan seorang lelaki
melihat aurat lelaki lainnya, yang berarti lelaki yang melihat aurat wanita maka lebih
tidak dibolehkan.[2]

Selain itu juga, guna mengantisipasi terjadinya perbuatan buruk, yang


disebabkan karena terjalinnya hubungan bebas antara lelaki perempuan, sehingga
Islam benar-benar menutup akses ke arah sana. Yaitu dengan mengharamkan
terjadinya persentuhan antara kulit lelaki dan perempuan. Bahkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

‫ام َرأَةٍال َ تَ ِح ُّلل َُه‬ َ ‫لِأ َ ْن يُ ْط َع َن ِف ْي رأ ْ ِ أ‬


ْ ‫خيَ ٍط َخيْ ٌر ل َُه ِم ْن أ َ ْن يَ َم ّ َس‬
ْ ‫س َح ِدك ُْم ب ِِم‬ َ

“Tertusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum besi, (itu) lebih
baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. [3]

Demikian sekilas prinsip pergaulan dengan lawan jenis yang telah ditetapkan
Islam. Tujuannya, ialah demi kebaikan yang sebesar-besarnya.

2.2.3 IDEALNYA MUSLIMAH BEROBAT KE DOKTER WANITA


Hukum asalnya, apabila ada dokter umum dan dokter spesialis dari kaum Muslimah,
maka menjadi kewajiban kaum Muslimah untuk menjatuhkan pilihan kepadanya.
Meski hanya sekedar keluhan yang paling ringan, flu batuk pilek sampai pada

14
keadaan genting, semisal persalinan ataupun jika harus melakukan pembedahan.

Berkaitan dengan masalah itu, Syaikh Bin Bâz rahimahullah mengatakan:


“Seharusnya para dokter wanita menangani kaum wanita secara khusus, dan dokter
lelaki melayani kaum lelaki secara khusus kecuali dalam keadaan yang sangat
terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan bagian pelayanan wanita masing-masing
disendirikan, agar masyarakat terjauhkan dari fitnah dan ikhtilat yang bisa
mencelakakan. Inilah kewajiban semua orang”.[4]

Lajnah Dâ-imah juga menfatwakan, bila seorang wanita mudah menemukan dokter
wanita yang cakap menangani penyakitnya, ia tidak boleh membuka aurat atau
berobat ke seorang dokter lelaki. Kalau tidak memungkinkan maka ia boleh
melakukannya.[5]

Bagaimana tidak? Karena seorang muslimah harus menjaga kehormatannya,


sehingga ia harus menjaga rasa malu yang telah menjadi fitrah wanita,
menghindarkan diri dari tangan pria yang bukan makhramnya, menjauhkan diri dari
ikhtilath. Tatkala ia ingin mendapatkan penjelasan mengenai penyakitnya secara
lebih banyak, lebih leluasa bertanya, dan sebagainya, maka mau tidak mau hal ini
tidak akan bisa didapatkan dengan baik, melainkan jika seorang wanita berobat atau
memeriksakan dirinya kepada dokter atau ahli medis wanita. Bila tidak, maka hal itu
sulit dilakukan secara maksimal.

2.2.4 Bagaimana Bila Tidak Ada Dokter Wanita?


Kenyataan yang kita saksikan cukup langkanya dokter umum maupun spesialis
dari kalangan kaum hawa. Keadaan ini, sedikit banyak tentu menimbulkan pengaruh
yang cukup membuat risih kaum wanita, bila mereka mesti berhadapan dengan
lawan jenis untuk berobat. Sehingga banyak diantara kaum wanita yang terpaksa
berobat kepada dokter pria.

Syaikh Bin Bâz rahimahullah memandang permasalahan ini sebagai persoalan

15
penting untuk diketahui dan sekaligus menyulitkan. Akan tetapi, ketika Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memberi karunia ketakwaan dan ilmu kepada seorang
wanita, maka ia harus bersikap hati-hati untuk dirinya, benar-benar memperhatikan
masalah ini, dan tidak menyepelekan. Seorang wanita memiliki kewajiban untuk
mencari dokter wanita terlebih dahulu. Bila mendapatkannya, alhamdulillah, dan ia
pun tidak membutuhkan bantuan dokter lelaki.[6]

Bila memang dalam keadaan darurat dan terpaksa, Islam memang


membolehkan untuk menggunakan cara yang mulanya tidak diperbolehkan. Selama
mendatangkan maslahat, seperti untuk pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan
raganya. Seorang muslimah yang keadaannya benar-benar dalam kondisi terhimpit
dan tidak ada pilihan, (maka) ia boleh pergi ke dokter lelaki, baik karena tidak ada
ada seorang dokter muslimah yang mengetahui penyakitnya maupun memang
belum ada yang ahli.

Allah Ta`ala menyebutkan dalam firman-Nya surat al-An’âm/6 ayat 119:

‫اض ُط ِر ْرتُ ْم ِإل َيْ ِه‬


ْ ‫عل َيْك ُْم ِإال َما‬
َ ‫َوق َْد ف ّ ََص َللَك ُْم َما َح َّر َم‬

“(padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang


diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya)”.

Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus


mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak.
Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala
seorang muslimah terpaksa harus bertemu dan berobat kepada dokter lelaki, ia
harus didampingi mahram atau suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan
sang dokter di kamar praktek atau ruang periksa.

16
Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bâz rahimahullah untuk pengobatan pada bagian
tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan, dan kaki. Jika obyek pemeriksaan
menyangkut aurat wanita, meskipun sudah ada perawat wanita –umpamanya-
maka keberadaan suami atau wanita lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini
lebih baik untuk menjauhkan dari kecurigaan.

Ketika Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya mengenai hukum berobat kepada


dokter yang berbeda jenisnya, beliau menjelaskan:
“Seorang wanita tidak dilarang berobat kepada dokter pria, terlebih lagi ia seorang
spesialis yang dikenal dengan kebaikan, akhlak dan keahliannya. Dengan syarat, bila
memang tidak ada dokter wanita yang setaraf dengan dokter pria tersebut. Atau
karena keadaan si pasien yang mendesak harus cepat ditolong, (karena) bila tidak
segera, penyakit (itu) akan cepat menjalar dan membahayakan nyawanya. Dalam
masalah ini, perkara yang harus diperhatikan pula, dokter tersebut tidak boleh
membuka sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali sebatas yang
diperlukan dalam pemeriksaan. Dan juga, dokter tersebut adalah muslim yang
dikenal dengan ketakwaannya. Pada situasi bagaimanapun, seorang muslimah yang
terpaksa harus berobat kepada dokter pria, tidak dibolehkan memulai pemeriksaan
terkecuali harus disertai oleh salah satu mahramnya”.

Ketika Lajnah Dâ-imah menjawab sebuah pertanyaan tentang syarat-syarat


yang harus terpenuhi bagi dokter lelaki untuk menangani pasien perempuan, maka
Lajnah Dâ-imah mengeluarkan fatwa yang berbunyi: “(Syarat-syaratnya), yaitu tidak
dijumpai adanya dokter wanita muslimah yang sanggup menangani penyakitnya,
dokter tersebut seorang muslim lagi bertakwa, dan pasien wanita itu didampingi
oleh mahramnya”.

Demikian pula menurut Syaikh Muhammmad bin Shalih al-‘Utsaimin. Hanya


saja, untuk menangani wanita muslimah, beliau rahimahullah lebih memilih seorang
dokter wanita beragama Nashrani yang dapat dipercaya, daripada memilih seorang
dokter lelaki muslim. Kata beliau: “Menyingkap aurat lelaki kepada wanita, atau

17
aurat wanita kepada pria ketika dibutuhkan tidak masalah, selama terpenuhi dua
syarat, yaitu aman dari fitnah, dan tidak disertai khalwat (berduaan dengan lawan
jenis yang bukan mahramnya). Akan tetapi, berobat kepada dokter wanita yang
beragama Nasrani dan amanah, tetap lebih utama daripada ke doker muslim
meskipun lelaki, karena aspek persamaan”.

Penjelasan tambahan Syaikh al-‘Utsaimin di atas, juga dipilih oleh para ulama
yang tergabung dalam Lajnah Daimah. Dalam fatwanya yang bernomor 16748,
Lajnah Dâ-imah memfatwakan, wanitalah yang menangani (pasien) wanita, baik ia
seorang muslimah maupun bukan. Seorang lelaki yang bukan mahram, tidak boleh
menangani wanita, kecuali dalam kondisi darurat. Yaitu bila memang tidak
ditemukan dokter wanita.

Begitu pula bagi wanita yang menghadapi persalinan.

Ada sebuah pertanyaan mengenai hukum wanita memasuki rumah sakit


untuk menjalani persalinan, sedangkan dokter-dokter di rumah sakit tersebut
seluruhnya laki-laki. Lajnah Dâ-imah memberi jawaban: “Dokter laki-laki tidak boleh
menangani persalinan wanita, kecuali dalam kondisi darurat, seperti
mengkhawatirkan kondisi wanita (ibu bayi), sementara itu tidak ada dokter wanita
yang mampu mengambil alih pekerjaan itu”.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

18
Dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa dalam kondisi darurat diperbolekan
bagi tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan medis kepada pasiennya yang berbeda
jenis kelamin jika itu benar-benar akan mendatangkan banyak kemaslahatan bagi pasien
dengan syarat-syarat yang telah diatur pula misalnya pasien yang tetap ditemani oleh
keluarganya saat pemeriksaan ataupun hanya memeriksa bagian tubuh pasien yang perlu-
perlu saja. Tenaga kesehatan pun harus dituntut untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan
kode etik yang telah dibuat oleh institusi terkait dan mereka juga harus memiliki sikap dan
jiwa yang sesuai dengan syariat islam agar dapat mencerminkan diri sebagai tenaga
kesehatan yang islami pula.

3.2 Saran

19
DAFTAR PUSTAKA

https://almanhaj.or.id/2883-jika-wanita-muslimah-berobat-ke-dokter- lelaki.html

http://lhiezainternisti.blogspot.com/2009/12/pandangan-islam-dalam pelayanan.html

20

Anda mungkin juga menyukai