Anda di halaman 1dari 3

ES TEH MATCHA

Let’s meet Shaka,

Terinspirasi dengan percakapan pagi teman laki – laki via whattsapp berdurasi satu jam lebih
tiga menit tentang dunia dan masalahnya, dan goresan tinta kering milik mas 96 yang
hasilnya susah hilang sampai sekarang.

Shaka adalah dewasa yang hidup dengan fase murninya.

Hari ini, tepat tiga hari setelah ujian akhir semesterku berakhir. Monologku, ingin liburan
seperti ekspetasi dalam masa – masa sibuk, ya tapi namanya juga ekspetasi, mana bisa jadi
realita. Tapi Shaka bilang ayo liburan sebentar, sekarang waktu sudah memotong umur
hidupnya setahun.

Kami pergi ke warung yang belum pernah kudatangi dengan Shaka. Tempatnya dekat dengan
sungai, bahkan terdapat balkon warung pada tepi sungai. Lagu Still With You milik Eric
Benet beralun menggema dalam warung, ketika kami masuk disana. Shaka bilang aku boleh
duduk dimana saja, asal tidak di air sungai, basah nanti katanya.

Kutinggalkan Shaka dengan guyonan noraknya itu, aku memilih duduk di kursi balkon
warung tersebut, serambi melihat Shaka yang mendekati kasir, tidak tahu mau apa. Lima
menit mungkin, Shaka datang dan duduk di depanku.

“Kamu mau pesan apa? pesan saja yang mahal, aku sedang kaya hari ini” Shaka memberiku
menu yang dia ambil dari kasir.

“Kenapa tadi ke kasir dulu?, kan nanti masnya datang memberi menu kalau kita panggil”
Tidak kujawab pertanyaannya.

“Kasir? bukan, dia pemilik warung dan dia temanku, aku menyapanya. Jadi sekarang apa
jawabannya?” Shaka membolak – balik halaman menunya.

“Jawaban apa?”

“Pesananmu, ini liat saja dulu menunya. Pesan yang mahal, tapi lebih penting kamu suka
makanan minumannya juga.” Aku diam saja, biar saja dia menjadi pembicara aktif hari ini.

“Aku Steak ayam dan matcha saja, kamu apa?”

“Aku Steak ayam juga tapi minumnya es teh saja” Aku tertawa sambil menulis menunya di
kertas pesanan.
“Kenapa es teh? banyak minuman yang enak disini Ka, sesuka itu dengan es teh?” Minuman
favoritnya dari dulu memang es teh dan air putih, katanya lebih enak dari pada minuman
lainnya.

“Sebentar, tulis dulu pesanannya” Lantas dipanggilnya mas pramusaji dan diberi kertas
pesanannya.

“Kamu suka matcha?” Shaka mulai percakapan kami yang terputus.

“Suka, tapi tidak favorit. Minumnya kalau sedang ingin minum saja, dia memang tidak
sefavorit es teh mu itu sih”

“Es teh itu lugu, makanya aku suka” Shaka mengambil tisu di depannya, berbeda denganku
yang menahan tawa terhadap kalimat yang barusan keluar dari mulutnya itu.

“Waktu aku kecil es teh itu minuman paling enak, pulang main bola di lapangan kemudian
minum es teh pegalnya hilang, makan indomie lalu minum es teh rasa mienya tidak luntur
malah menambah cita rasa makanannya” Shaka membersihkan mejaku yang sedikit berdebu
dengan tisunya.

“Benar juga sih, tapi kamu perlu mencoba sesekali minuman lain Ka. Matcha juga enak, nanti
ku kasih coba deh ya” Shaka mengangguk.

Pesanan kami datang, kami makan dengan tenang sesekali membicarakan ujian kami
kemarin, wajar karena kami tidak bersapa sama sekali waktu ujian. Selain waktu ujian yang
bersamaan, waktu pulang yang tidak menentu membuat kami tidak bertemu sama sekali di
kampus.

Kami tidak langsung pulang setelah makanannya habis, menunggu perut mencerna dengan
benar dulu kata Shaka, dia masih menyedot es tehnya yang tinggal seperempat bagian itu, dan
aku masih nyaman enggan menghabiskan matcha ku. Tapi sesuai janji awal, aku beri matcha
nya pada shaka.

“Enak?” Kutanya review rasanya.

“Enak tapi aku tidak suka, es teh paling juara” Aku tertawa lagi, tidak sendirian karena kali
ini Shaka juga tertawa.

“Kalau manusia meniru es teh mungkin tidak akan ada salah paham” Aku bingung, sungguh.

“Kamu tahu kalau menjadi dewasa itu sedang merajut kepura – puraan?”

“Tidak, dalam hal apa dulu?” Kujawab pertanyaannya menuntut kejelasan.

“Dalam memberi rasa tulus, rasa yang dimiliki semua insan baik kecil, dewasa ataupun tua,
sayang pada fase dewasa tulus sudah samar. Mereka bilang tulus itu sama seperti memberi
harapan untuk menjalin hubungan kasih sayang. Mereka lucu bukan?”

“Memangnya bukan seperti itu?”


“Kalau manusia jadi lugu seperti es teh walaupun sudah dewasa, kesalahpahaman itu tidak
terjadi. Bukankah membantu sesama manusia itu wajib, memberi nasehat kalau mereka salah,
melindungi disaat lemah, dan datang saat dibutuhkan”

“Tapi kan manusia cenderung memperlakukan hal tersebut pada orang yang sudah dikenal
ataupun dekat, Ka. Dan untuk lawan jenis pasti merasa spesial bukan diperlakukan seperti
itu”

“Itu manusia dewasa yang sudah kenal gengsi, tinggi hati dan keras kepala” Shaka menjawab
dengan tenang sambil menatapku serius.

“Waktu kecil yang belum mengenal sifat – sifat itu takkan ada permasalahan bahkan saat
terjadi kepedulian tinggi bukan, sayang dewasa – dewasa itu sudah suka matcha, si daun teh
yang diolah lebih intens dari teh biasanya” Dia mengatakan sambil tersenyum, lalu
dihabiskan es tehnya mengajakku segera pulang.

Di depan pagar rumahku, Shaka berkata terima kasih atas waktuku untuk menemaninya hari
ini. Aku bilang sama – sama sambil melepas helm yang menempel dikepalaku dari tadi.
Shaka tersenyum lama tak abis – abisnya saat percakapan kami usai sejak tadi.

Suara motor shaka sudah teredam suara alam rumahku, sudah jauh jaraknya mungkin.
Kutaruh helm ku di rak helm, sambil memikirkan perkataan Shaka barusan. Tak kusadari
senyum terukir saat membayangkan perkataannya. Ternyata selama ini kami tidak
berseberang jalan, bahkan bulan purnama hari ini bersinar lebih terang dari biasanya.
Rupanya hari ini hari baik setidaknya bagiku dan Shaka.

Anda mungkin juga menyukai