LO Blok 16 Sken 2
LO Blok 16 Sken 2
3 .I. DEFINISI
Kata dislokasi merupakan gabungan dari kata dis dan lokasi
yang berarti kedudukan yang salah. Dislokasi sendi adalah keadaan dimana
terjadi pergeseran total permukaan tulang yang membentuk persendian.
Dislokasi sendi merupakan keadaan gawat darurat di bidang ortopedi yang
memerlukan penanganan segera.
3.2. EPIDEMIOLOGI
Dengan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas, dislokasi
panggul traumatik makin sering ditemukan. Dislokasi panggul ini dapat
terjadi pada semua kelompok usia. Dislokasi panggul posterior merupakan
dislokasi yang paling sering terjadi. Dislokasi panggul posterior terjadi
sebanyak 90% dari kasus, sedangkan dislokasi panggul anterior terjadi
sebanyak 10% dari seluruh kasus dislokasi panggul traumatik.
3.3 . ETIOLOGI
1. Cedera Olah raga
Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki,
serta olahraga yang beresiko jatuh misalnya: terperosok akibat bermain ski,
senam, volley,. pemain basket dan pemain sepak bola sering mengalami
dislokasi pada tangan dan jari-jari secara tidak sengaja menangkap bola dari
pemain lain.
2. Trauma
Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi.
3. Terjatuh
Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin.
4. Patologis
Terjadi ‘tear’ ligament dan capsul articuler yang merupakan komponen vital penghubung
tulang.
3.4. KLASIFIKASI
Berdasarkan arah dislokasi, dislokasi panggul dibagi menjadi 3,
yaitu dislokasi posterior, dislokasi anterior, dan dislokasi pusat (central).
a. Dislokasi Posterior
1) Mekanisme Cedera
Caput femoris keluar dari acetabulum melalui suatu trauma
yang dihantarkan pada diaphisis femur dimana sendi panggul dalam
posisi flexi atau semiflexi. Trauma biasanya terjadi karena kecelakaan
lalu lintas dimana lutut penumpang dalam keadaan flexi dan
menabrak dengan keras benda yang ada di depan lutut. Mekanisme
khas untuk dislokasi posterior adalah perlambatan dimana lutut
penderita mengenai dashboard dengan menekuk lutut dan panggul.
Dislokasi posterior sendi panggul biasa disebabkan oleh trauma. Ini
terjadi pada axis longitudinal pada femur saat femur dalam keadaan
flexi 90 derajat dan sedikit adduksi.
Gambar 6. Mekanisme cedera pada dislokasi panggul posterior
3) Klasifikasi
Epstein dan Thompson menganjurkan suatu klasifikasi yang
dapat membantu perencanaan tatalaksana. Klasifikasi ini dibuat
sebelum ditemukannya CT-scan.
•
• Gambar 8. Klasifikasi FractureCaput Femoris Menurut Pipkin
• A) Tipe I: Garis fracture berada di bawah fovea, B) Fragmen fracture meliputi
fovea, C) Sama seperti tipe I dan II, namun disertai dengan fracture collum
femoris, D) Fracture caput femoris dan acetabulum dalam bentuk apapun.
Klasifikasi Steward dan Milford didasarkan pada stabilitas fungsi
panggul, yaitu:
4) Pemeriksaan Radiologi
Pada foto anteroposterior (AP), caput femoris terlihat
keluar dari acetabulum dan berada di atas acetabulum. Segmen atap
acetabulum atau caput femoris dapat ditemukan patah dan bergeser.
Foto oblik dapat digunakan untuk mengetahui ukuran fragmen. CT
scan adalah cara terbaik untuk melihat fraktur acetabulum atau setiap
fragmen tulang.
1. Pasien ditempatkan di atas meja
dalam posisi telungkup.
2. Tungkai yang mengalami dislokasi
digantungkan ke bawah dan lutut
difleksikan.
3. Seorang asisten memegang tungkai
yang sehat secara horizontal.
4. Operator memberi tekanan ke
bawah secara mantappada lutut
yang fleksi.
5. Posisi ini tetap dipertahankan
hingga otot-otot relaksasi dan
caput femoris turun ke
acetabulum.
Kadang-kadang dengan sedikit
mengayunkanpaha dapat mempercepat
reduksi.
b. Dislokasi Anterior
Dislokasi anterior jarang terjadi jika dibandingkan dengan
dislokasi posterior. Dislokasi ini terjadi sebanyak 10-12 % dari
keseluruhan kejadian dislokasi panggul traumatik. Penyebab yang lazim
adalah kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan penerbangan. Caput
femoris didorong dengan paksa ke arah anteroinferior dan berpindah ke
foramen obturatorium atau pubis. a. Mekanisme Cedera
4) Klasifikasi
Klasifikasi fraktur acetabulum dideskripsikan oleh Letournel dan
Judet. Mereka membagi fraktur acetabulum menjadi 2 kelompok dasar yaitu
fraktur sederhana dan fraktur kompleks. Fraktur sederhana adalah fraktur
terisolasi pada satu columna atau dinding bersamaan dengan fraktur
melintang, fraktur tipe ini meliputi fraktur dinding posterior, columna
posterior, dinding anterior, atau columna anterior dan fraktur melintang.
Fraktur kompleks memiliki geometri fraktur lebih kompleks dan meliputi
fraktur berbentuk T (T-shaped), kombinasi fraktur dinding dan columna
posterior, kombinasi fraktur melintang dan dinding posterior, fraktur
columna anterior dengan fraktur posterior hemitransverse, dan fraktur kedua
columna.
Gambar 13. Klasifikasi Letournel dan Judet
A) Fracture dinding posterior, B) Fracture columna posterior, C) Fracture dinding anterior, D)
Fracture columna anterior, E) Fracture melintang, F) Fracture columna dan dinding posterior, G)
Fracture melintang dan fracture dinding posterior, H) Fracture berbentuk T, I) Fracture columna anterior
dengan fracture posterior hemitransverse, J) Fracture komplit kedua columna.
3.5 . TATALAKSANA
a. Tatalaksana Dislokasi Posterior
Dislokasi harus direduksi secepat mungkin di bawah
anestesi umum. Reduksi harus dilakukan dalam waktu 12 jam sejak
terjadinya dislokasi. Pada sebagian besar kasus dilakukan reduksi
tertutup, namun jika reduksi tertutup gagal sebanyak 2 kali maka
harus dilakukan reduksi terbuka untuk mencegah kerusakan caput
femoris lebih lanjut. Sebelum melakukan reduksi, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan neurovaskular.
• Manuver Stimson
Menggunakan berat tungkai bawah dan gravitasi untuk mengurangi dislokasi
• Maneuver Bigelow
Gambar 16. Manuver Bigelow
• Teknik Whistler
Panggul yang mengalami dislokasi direlokasikan menggunakan
lengan operator untuk mengangkat dan memanuver tungkai yang
mengalami dislokasi ketika bahu operator diangkat. Tangan
operator bertumpu pada paha kontralateral. Seorang asisten atau
tangan lain operator melakukan kontratraksi pada tibia atau fibula.
• Traksi longitudinal
Pasien dibaringkan dalam posisi supine, kemudian seorang asisten
melakukan traksi lateral, sementara operator melakukan traksi
longitudinal. (Gambar dapat dilihat di halaman berikutnya)
• Leg-crossing maneuver
Kadang-kadang dislokasi dapat direduksi dengan cara membujuk
pasien untuk perlahan-lahan menyilangkan tungkai yang mengalami
dislokasi ke arah tungkai sebelahnya (adduksi) dan kemudian
lakukan traksi lembut ketika asisten memandu caput femoris
kembali ke posisi semula dengan melakukan tekanan di sebelah
anterior.
• Teknik fulcrum
Pasien dibaringkan dalam posisi supine, lalu lutut operator
diletakkan di bawah lutut pasien di sisi yang mengalami dislokasi.
Lutut operator digunakan sebagai titik tumpu untuk mengungkit
caput femoris agar kembali masuk ke acetabulum.
Gambar 19. Teknik fulcrum
• Reduksi:
- Traksi paha sepanjang aksis longitudinalnya.
- Panggul diflexikan 900 dan diadduksi.
- Dislokasikan caput femoris ke arah posterior dengan
mengendorotasikan paha.
Untuk penanganan yang pertama yaitu melakukan pemeriksaan primary survey setelah itu dilanjutkan
secondery survey dengan melakukan pemeriksaan secara head to toe. Setelah itu,
Dislokasi harus direduksi secepat mungkin di bawah anestesi umum. Reduksi harus
dilakukan dalam waktu 12 jam sejak terjadinya dislokasi. Pada sebagian besar kasus
dilakukan reduksi tertutup, namun jika reduksi tertutup gagal sebanyak 2 kali maka harus
dilakukan reduksi terbuka untuk mencegah kerusakan caput femoris lebih lanjut. Sebelum
melakukan reduksi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan neurovaskular.
• Dislokasi dengan atau tanpa defisit neurologis jika tidak ada fraktur.
• Dislokasi yang disertai fraktur jika tidak terdapat defisit neurologis.
Kontraindikasi reduksi tertutup:
Dislokasi panggul terbuka
2. Tata laksana untuk dislokasi yang tidak tereduksi ini adalah dengan reduksi operatif (terbuka).
Setelah dilakukan reduksi diperlukan perawatan lebih lanjut, dengan:
• 1. Jika reduksi stabil, pelaksanaan bergantung pada pergerakannya, apakah menimbulkan
sakit atau tidak. Jika tidak menimbulkan rasa sakit, maka tidak diperlukan traksi, karena
itu lakukan pergerakan aktif di tempat tdur dan setelah 10 hari penderita diberi tongkat
ketiak dengan menahan beban berat parsial. Jika pergerakan menimbulkan nyeri, lakukan
traksi ekstensi hingga nyeri hilang, lalu berdirikan dengan tongkat ketiak, dilanjutkan
dengan menahan beban berat parsial sampai penuh.
• 2. Jika reduksi tidak stabil, sehingga kaput femur keluar dari asetabulum, maka lakukan
pemeriksaan sinar-X. Jika hasilnya menunjukkan satu potongan tulang besar patah dari
pinggir asetabulum, maka rujuk untuk perbaikan. Sebaliknya, lakukan traksi ekstensi
dengan pen tibia. Jika reduksi dapat dikontrol, lanjutkan untuk menggunakan sekurang-
kurangnya 6 minggu.