Anda di halaman 1dari 19

HADITS KEENAM

: ‫ يقول‬ ‫ سمعُت رسول ال‬: ‫عن الننعُمان بن بشير رضي ال عنهما قال‬
" ‫ فمن انتقى‬، ‫ت ل يعُلبنمهنن كثيتر من الناس‬ ‫وبينهما أمور مشتبها ت‬، ‫إن الحلل ببيين إوان الحلل ببيين‬
‫ كالنراعي يرعى حوبل الححبمى‬، ‫شنبهات بوقع في الحرام‬ ‫ومن وقع في ال ش‬، ‫شبهات استب أر لدينه وعرضه‬ ‫ال ش‬
‫ أل إوانن في الجسد نمضغةة‬، ‫ أل إوانن ححبمى ال محارنمه‬، ‫ أل إوان لكل بملحكك ححمى‬، ‫نيوشك أن بيرتبع فيه‬
‫ي ومسلم‬ ‫ أل وهي القل ن‬، ‫سند كشله‬
‫ب " رواه البخار ش‬ ‫سبد البج ب‬
‫واذا فسدت ف ب‬،
‫ إذا صلحت صلببح الجسند كله إ‬.

Dari An-Nu’man bin Basyir ra yang berkata bahwa aku dengar Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya halal itu jelas dan sesungguhnya haram juga jelas. Di antara keduanya
terdapat hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) yang tidak diketahui kebanyakan
manusia. Barangsiapa menjauhi hal-hal yang tidak jelas tersebut, ia telah mencari
kebersihan (dari celaan syar’i dan tuduhan) untuk agama dan kehormatannya.
Barangsiapa terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) tersebut, ia
terjerumus ke dalam haram, seperti penggembala yang menggembala disekitar hima
(lahan khusus yang tidak boleh dimasuki siapa pun), ia dikhawatirkan menggembala
masuk di dalamnya. Ketahullah bahwa setiap raja mempunyai hima dan ketahuilah
bahwa hima Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di tubuh
terdapat segumpal darah. Jika segumpal darah tersebut baik Maka seluruh tubuh
menjadi baik dan jika segumpal darah tersebut jelek maka seluruh tubuh menjadi jelek.
Ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati.”(Diriwayatkan Al Bukhari dan
Muslim).

Hadits Keenam Page 1


Hadits bab di atas shahih dan keshahihannya disepakati para ulama. Hadits tersebut
riwayat Asy-Sya’bi dan An-Nu’man bin Basyir. Di sebagian redaksi hadits tersebut
terdapat penambahan dan pengurangan, namun maknanya sama atau hampir sama
(berdekatan). Hadits yang sama diriwayatkan dan Nabi saw oleh Ibnu Umar, Ammar bin
Yasir, Jabir, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas, namun hadits An-Nu’man bin Basyir adalah
hadits yang paling shahih dalam tema ini.

Sabda Rasulullah saw,


‫ت ل يعُلبنمهنن كثيتر من الناس‬
‫وبينهما أمور مشتبها ت‬، ‫إن الحلل ببيين إوان الحلل ببيين‬
“Sesungguhnya halal itu jelas dan sesungguhnya haram juga jelas. Di antara keduanya
terdapat hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) yang tidak diketahui kebanyakan
manusia, “

maksudnya, halal murni itu jelas dan tidak ada yang samar-samar di dalamnya. Begitu
juga haram murni. Namun, di antara kedua hal tersebut terdapat perkara-perkara yang
samar-samar bagi kebanyakan manusia, apakah hal-hal tersebut termasuk halal ataukah
haram? Adapun orang-orang yang ilmunya mendalam, perkara-perkara tersebut tidak
terlihat samar-samar oleh mereka dan mereka mengetahui perkara perkara tersebut masuk
ke dalam kelompok yang mana.

Halal murni misalnya adalah makan yang baik-baik dan tanaman, buah-buahan, hewan
ternak, minuman-minuman yang baik, mengerakan katun atau linen atau wol dan lain
sebagainya yang dibutuhkan, menikah, mengambil budak wanita, dan lain-lain jika

Hadits Keenam Page 2


seseorang mendapatkan itu semua dengan akad yang benar seperti jual beli, warisan,
hibah, atau rampasan perang.

Haram murni misalnya adalah makan bangkai, darah, daging babi, minum minuman
keras, menikah dengan wanita-wanita yang haram dinikahi, mengerakan pakaian dari
bahan sutra untuk orang laki-laki, penghasilan haram seperti riba, judi, hasil penjualan
sesuatu yang tidak halal dijual, mengambil harta rampasan dengan cara mencuri,
merampas, penipuan, dan lain sebagainya.

Sedang perkara-perkara yang tidak jelas (musytabihat) misalnya adalah makan sebagian
hal-hal yang kehalalan dan keharamannya diperdebatkan; baik
berupa makhluk hidup seperti kuda, bighal (peranakan kuda dengan keledai), keledai, dan
biawak. Atau minum sesuatu yang keharamannya diperdebatkan seperti anggur yang
sebagian besar daripadanya memabukkan. Atau memakai sesuatu yang pembolehannya
masih diperdebatkan seperti kulit binatang buas dan lain sebagainya. Atau hal-hal yang
kehalalan dan keharamannya masih diperdebatkan, seperti penghasilan-penghasilan yang
diperdebatkan, seperti inah, tawarruq, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti itu ditafsirkan
sebagai hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) oleh Imam Ahmad, Ishaq, dan imam-imam
lain.

Kesimpulannya bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan Al Qur’an kepada Rasul-Nya dan
menjelaskan di dalamya untuk umat tentang halal dan haram yang mereka butuhkan,
seperti difirmankan Allah Ta’ala,
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu.“ (An-Nahl: 89).
Mujahid dan lain-lain berkata, “Maksudnya, menjelaskan hal-hal yang diperintahkan
kepada kalian dan hal-hal yang dilarang pada kalian.”

Allah Ta’ala berfirman di akhir surat An-Nisa’ di mana di dalamnya Allah menjelaskan
tentang hukum-hukum harta kekayaan dan pernikahan,
“Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian, supaya kalian tidak sesat dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.“ (An-Nisa’: 176).

Allah Ta’ala berfirman,


“Kenapa kalian tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang di sebut nama
Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada
kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpaksa kalian
memakannya.“ (Al An’am: 119).

Allah Ta’ala berfirman,


Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum sesudah Allah memberi
petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka
jauhi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.“ (At Taubah: 115).

Allah Ta’ala mewakilkan penjelasan wahyu yang tidak jelas kepada Rasul-Nya seperti
yang Dia firmankan,

Hadits Keenam Page 3


“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.“
(An-Nahl: 44).

Ketika Nabi saw wafat, Allah telah menyempurnakan agama untuk beliau dan umat
beliau. Karena itu, Allah Ta’ala menurunkan ayat berikut kepada Rasulullah di Arafah
beberapa waktu sebelum beliau wafat,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan
kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagi kalian.“ (Al
Maidah: 3).
Rasulullah saw bersabda,
‫تركتكككمُ على بيضاء نقية ليكلهُا كنهُارها ل يزيغك عنهُا إل هالل ك‬
‫ك‬
“Aku tinggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersih di mana malamnya seperti
siangnya dan tidaklah berpaling darinya melainkan orang yang binasa.“
Abu Dzar ra berkata,
‫ك جناححُيه في السسماء إل وقد ذكر لنا منه لعلم ا‬
‫ وما طائكر كيحُرر ك‬ ‫ توفي رسوكل ال‬: ‫وقال أبو ذرر‬
“Rasulullah saw wafat dan sebelum itu tidak ada burung di langit yang menggerak-
gerakkan kedua sayapnya melainkan beliau menyebutkan ilmunya untuk kami.”

Ketika manusia diliputi keraguan tentang wafatnya Rasulullah saw, paman beliau, Al-
Abbas bin Abdul Muththalib ra, berkata,
، َّ‫ وأحُسل الحُلحل وحُسرمُ الحُ ارحمُ ن ونحكحح وطلسللق‬، ‫ك السبيحل نهُج ا واضحُ ا‬
‫ حُتى تر ح‬ ‫ وال ما مات رسوكل ال‬:
‫ وما كان راعي غنمُ يتبع بهُا رؤوس الجبال حيخخبلطك عليهُا العضاه بمخحبطله وحيخمكدكر حُوضللهُا‬، ُ‫وحُارب وسالم‬
ُ‫ كان فيككم‬ ‫صب ول أدأب من رسول ال‬ ‫بيده بأن ح‬
“Demi Allah, Rasulullah saw tidak wafat hingga beliau meninggalkan jalan dalam
keadaan jelas, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, menikah,
mencerai, berperang, dan berdamai. Tidak ada penggembala kambing yang menggiring
kambing-kambingnya ke puncak gunung; ia menggugurkan daun-daun pohon berduri
dengan tongkatnya dan melumuri (melepa) kolamnya dengan tanah dengan tangannya,
dan tidak ada yang lebih gigih dan tekun daripada Rasulullah saw yang pernah berada
di tengah-tengah kalian.”

Kesimpulannya, Allah dan Rasul-Nya tidak meninggalkan halal dan haram melainkan
telah dijelaskan, namun sebagian penjelasan lebih jelas daripada sebagian penjelasan
lainnya. Apa saja yang penjelasannya telah terlihat, terkenal, dan termasuk kebutuhan
primer agama, maka tidak ada keraguan di dalamnya dan siapa pun di negeri Islam tidak
boleh tidak mengetahuinya. Sedang masalah-masalah yang penjelasannya tidak sejelas
sebelumnya; ada masalah yang dikenal luas di antara para pengemban syariat secara
khusus kemudian para ulama sepakat tentang kehalalan dan keharamannya, dan bisa jadi
masalah tersebut tidak terlihat jelas oleh orang-orang selain mereka, dan ada masalah
yang tidak dikenal luas di kalangan para pengemban syariat kemudian mereka berbeda
pendapat tentang kehalalan dan keharamannya karena sebab-sebab berikut;

Hadits Keenam Page 4


1. Nash tentang masalah tersebut tidak jelas dalam arti tidak diriwayatkan kecuali
sebagian kecil manusia dan tidak sampai pada seluruh pengemban ilmu.
2. Ada dua nash tentang masalah tersebut; salah satunya menghalalkan dan satunya
mengharamkannya, kemudian salah satu dari nash tersebut sampai pada sejumlah
ulama tanpa nash satunya lalu mereka berpegang teguh kepada nash tersebut.
Atau kedua nash tersebut sampai kepada ulama tanpa mengetahui sejanahnya,
kemudian ia benpegang teguh kepada keduanya karena ia tidak tahu ada nash
yang menghapus kedua nash tersebut.
3. Masalah tersebut tidak mempunyai nash yang tegas, namun diambil dan dalil
umum, atau pernahaman, atau qiyas. Oleh karena itu, pernahaman para ulama
seringkali berbeda dalam masalah seperti itu
4. Masalah tersebut mengandung perintah dan larangan kemudian ulama berbeda
pendapat tentang penafsiran perintah tersebut; apakah perintah wajib atau sunnah?
Mereka juga berbeda pendapat tentang makna larangan tersebut; apakah larangan
tersebut larangan haram atau tidak?

Sebab-sebab perbedaan pendapat lebih banyak lagi daripada apa yang telah saya
sebutkan. Kendati demikian, di umat pasti ada ulama yang ucapannya sinkron dengan
kebenaran kemudian ia mengetahui hukum, sedang orang lain samar-samar terhadapnya
dan tidak mengetahui hukumnya. Ini karena umat ini mustahil bersepakat kepada
kesesatan, penganut kebatilan pada mereka tidak mungkin menang atas para penganut
kebenaran pada mereka, dan kebenaran mustahil ditingkatkan dan tidak diamalkan di
seluruh pelosok negeri. Oleh karena itu, Rasulullah saw bersabda tentang hal-hal yang
tidak jelas (musytabihat),“Yang tidak diketahui kebanyakan manusia.“ Ini menunjukkan
bahwa sebagian manusia.

Hammad bin Ziyad dari Abu Ayyub dan Ikrimah. Perawi sanadnya adalah para perawi
tepercaya hanya saja hadits tersebut mursal, ada yang mengetahui hal-hal yang tidak jelas
tersebut (musytabihat). Hal-hal musytabihat tersebut tidak jelas hanya bagi orang yang
tidak mengetahuinya dan bukan berarti zat dari perkara itu sendiri yang tidak jelas. Itulah
faktor yang menyebabkan ketidakjelasan suatu hal bagi kebanyakan ulama. Bisa saja
ketidakjelasan dalam halal dan haram itu terjadi pada ulama dan orang-orang selain
mereka dari sudut pandang yang lain. Misalnya ada sesuatu yang sebab kehalalannya
diketahui dengan kepemilikan yang pasti dan ada sesuatu yang sebab keharamannya
diketahui dengan keabsahan kepemilikan lain atasnya. Pada contoh pertama, kehalalan
sesuatu tersebut tidak hilang kecuali dengan keyakinan hilangnya kepemilikan dari
sesuatu tersebut, kecuali pada pernikahan menurut orang yang berpendapat bahwa
perceraian dengan ragu-ragu itu sah seperti Imam Mauk, atau dugaan kuat perceraian
tersebut sah menurut ulama seperti Ishaq bin Rahawih. Sedang pada contoh kedua,
keharaman sesuatu tersebut tidak hilang kecuali dengan pengetahuan yang meyakinkan
tentang pemindahan kepemilikan terhadap sesuatu tersebut. Adapun sesuatu yang
pemiliknya tidak diketahui sejak awal, misalnya seseorang menemukan sesuatu di
rumahnya dan ia tidak tahu apakah sesuatu tersebut miliknya atau milik orang lain, maka
sesuatu termasuk hal yang tidak jelas (musytabihat) dan ia tidak haram mengambilnya,
karena pada umumnya apa saja yang ada di rumahnya adalah miliknya, namun sikap
wara ialah menjauhinya (tidak mengambilnya), karena Nabi saw bersabda,

Hadits Keenam Page 5


‫ ثللمُ أخشللى أن تكللون صللدقةك‬، ‫ " إرنللي لنقلللب إلللى أهلللي فأجلكد التملرة سللاقطة علللى ف ارشللي فأرفعهُللا لكلهُللا‬:
‫فألقيهُا " خسرجاه في "الصحُيحُين‬
“Aku pulang kepada keluargaku kemudian menemukan sebiji kurma jatuh di atas
kasurku. Aku mengangkatnya dan hendak memakannya, namun aku khawatir kurma
tersebut adalah sedekah (zakat), oleh karena itu, aku melemparkannya.“ (Diriwayatkan
A1-Bukhari dan Muslim).
Jika di rumah tersebut terdapat sesuatu yang dilarang diambil dan ia ragu-ragu apakah
sesuatu tersebut berasal dari sesuatu yang dilarang tersebut atau tidak, maka status
musytabihat sesuatu tersebut lebih kuat. Disebutkan di hadits Amr bin Syu’aib dari
ayahnya dari kakeknya yang berkata,

‫ض‬‫ فقال له بع ك‬، ‫قَّ من الليل‬ ‫ أصابه أر ك‬ ‫ أسن النبي‬، ‫ عن جرده‬، ‫ عن أبيه‬، ‫ وفي حُديث عمرو بن شعيب‬.
‫ فأكلكتهُا وكان عندنا تمللر‬، ‫ت تمرة تحُت جنبي‬‫ " إني كنت أصب ك‬: ‫ فقال‬. ‫ يا رسول ال أرقت الليلة‬: ‫نسائه‬
‫ت أن تكون منه‬
‫ فخشي ك‬، ‫من تمر الصدقة‬
“Nabi saw tidak dapat tidur pada suatu malam kemudian salah seorang istri beliau
bertanya, Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak bisa tidur tadi malam?’Nabi saw
bersabda, ‘Aku menemukan sebiji kurma dibawah lambungku kemudian aku
memakannya sedang di rumah kita terdapat kurma zakat. Jadi aku khawatir kurma
tersebut berasal dari kurma zakat tersebu.
Begitu juga sesuatu yang pada prinsipnya adalah mubah (diperbolehkan) misalnya
kesucian air, pakaian, dan tanah jika kesuciannya diyakini tidak hilang, maka boleh
dipergunakan. Sedang sesuatu yang pada prinsipnya adalah haram misalnya pernikahan
dan daging hewan maka tidak halal kecuali kehalalannya diyakini misalnya dengan
penyembelihan dan akad. Jika ada keraguan di dalamnya karena sebab lain, maka
hukumnya dikembalikan kepada asalnya kemudian didasarkan kepadanya dan diadakan
penetapan bahwa sesuatu yang pada asalnya adalah haram maka diharamkan. Oleh
karena itu, Nabi saw melarang makan hewan buruan yang ditemukan pemburunya
mempunyai bekas anak panah yang bukan anak panahnya, atau bekas gigitan anjing yang
bukan miliknya, atau menemukannya jatuh di air, sebab ia tidak tahu apakah hewan
buruan tersebut mati karena sebab yang diperbolehkan atau karena sebab lain. Selain itu,
sesuatu yang pada asalnya halal harus dikembalikan kepada kehalalannya. Jadi, air, tanah,
dan baju tidak menjadi najis karena adanya dugaan najis. Begitu juga jika badan terbukti
suci, namun seseorang ragu-ragu; apakah kesuciannya telah batal karena hadats itu
menurut jumhur ulama terkecuali Imam Mauk jika ia belum mengerjakan shalat?
Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi saw bahwa dilaporkan kepada beliau ada
seseorang yang dikesankan merasakan sesuatu di shalatnya kemudian Nabi saw bersabda,
‫ "ل ينصلرف حُللتى يسللمع صللوت ا‬: ‫ فقللال‬، ‫ " أنه كشكي إليه الرجكل كيخيل إليه أنله يجلد الشليء فلي الصلللة‬:
‫أو يجد ريحُا‬
“Ia jangan membatalkan (shalatnya) hingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium
bau.” Di riwayat lain disebutkan kata masjid sebagai ganti dari kata shalat.

Hadits di atas mencakup pada saat shalat dan selain shalat. Jika terdapat sebab kuat dan

Hadits Keenam Page 6


dugaan besar tentang najisnya sesuatu yang tadinya suci, misalnya pakaian yang dipakai
orang kafir yang tidak menjaga diri dari najis, maka di sinilah letak ketidakjelasan. Di
antara ulama ada yang memberi keringanan kepada orang tersebut untuk berpatokan
kepada status asal pakaian tersebut yaitu suci. Di antara mereka ada yang memandang
pakaian tersebut makruh namun bukan haram. Di antara mereka ada yang mengharamkan
pakaian tersebut jika ada dugaan kuat pakaian tersebut najis misalnya orang kafir tersebut
termasuk orang yang hewan sembelihannya tidak halal atau pakaian tersebut
bertemu/bersentuhan dengan aurat orang kafir tersebut seperti celana atau baju gamis.
Masalah tersebut dan masalah-masalah yang mirip dengannya dikembalikan kepada
kaidah pertentangan hukum asal dengan perkara yang nyata, karena hukum masalah
pakaian tersebut adalah suci sedang yang tampak najis. Dalil-dalil masalah tersebut
bertentangan.

Ulama yang berpendapat bahwa pakaian orang kafir tersebut tetap suci berhujjah bahwa
Allah menghalalkan makanan Ahli Kitab dan makanan mereka pasti mereka masak
dengan tangan mereka di bejana mereka. Selain itu, Nabi saw sendiri pernah memenuhi
undangan makan orang Yahudi, beliau dan para sahabat mengerakan dan memakai
pakaian dan bejana produk orang-orang kafir. Di perang, para sahabat membagi-bagikan
bejana dan pakaian yang mereka dapatkan dari orang-orang kafir dan menggunakannya.
Diriwayatkan dengan shahih dari mereka bahwa mereka mempergunakan air dari ransel
milik wanita kafir.

Ulama yang berpendapat bahwa pakaian orang kafir tersebut najis berhujjah bahwa
diriwayatkan dengan shahih dan Nabi saw bahwa beliau pernah ditanya tentang bejana-
bejana milik Ahli Kitab yang makan babi dan minum-minuman keras kemudian beliau
bersabda,
‫ فاغسلوها بالماء ثمُ كلوا فيهُا‬، ‫ إن لمُ تجدوا غيرها‬: ‫ فقال‬،
“Jika kalian tidak mendapatkan bejana lain selain bejana tersebut, cucilah bejana
tersebut dengan air kemudian makanlah di dalamnya.
Tentang syubhat, Imam Ahmad memberi penafsiran bahwa syubhat ialah posisi di antara
halal murni dengan haram murni. Imam Ahmad berkata,
. ُ‫ وفسسرها تارة باختلط الحُلل والحُرام‬، ‫ فقد استب أر لدينه‬، ‫ من اتسقاها‬: ‫وقال‬

“Barangsiapa menjauhi syubhat, ia mencari kebersihan (dari celaan syar’i dan


tuduhan) untuk agamanya.”

Terkadarg syubhat ditafsirkan Imam Ahmad dengan pengertian bercampurnya antara


halal dengan haram. Termasuk dalam masalah di atas ialah berinteraksi dengan orang
yang hartanya campur aduk antara halal dengan haram. Jika sebagian besar hartanya
adalah haram, Imam Ahmad berkata,
‫ أو شيئ ا ل يعرف‬، ‫ ينبغي أن يجتنبه إل أن يكون شيئ ا يسي ار‬: ‫فقال أحُمد‬
“Orang Muslim wajib menjauhi harta orang tersebut kecuali jika hartanya yang haram
itu sedikit atau tidak diketahui.”

Hadits Keenam Page 7


Sahabat-sahabat kami berbeda pendapat; apakah harta orang tersebut makruh atau haram?
Ada dua pendapat dalam masalah ini.

Jika sebagian besar harta orang tersebut adalah halal, maka orang Muslim boleh
berinteraksi dengannya dan makan hartanya, karena Al Harits meriwayatkan dari Ali bin
Abu Thalib yang berkata tentang hadiah dari penguasa,
ُ‫ما كيعطيكمُ من الحُلل أكثر مما كيعطيكمُ من الحُرام‬، ‫ ل بأس بهُا‬:
“Hadiah-hadiah tersebut tidak ada masalah. Apa yang diberikan kepada kalian dan
halal itu lebih banyak daripada apa yang diberikan kepada kalian dan haram.”

Nabi saw dan para sahabat berinteraksi (muamalah) dengan orang-orang musyrikin dan
Ahli Kitab padahal beliau dan mereka tahu bahwa orang-orang musyrikin dan Ahli Kitab
tidak menjauhi seluruh hal-hal haram. Jika sesuatu tidak jelas, sesuatu tersebut adalah
syubhat dan sikap wara’ ialah meninggalkannya. Sufyan berkata,
‫وتركه أعجب إلسي‬، ‫ل يعجبني ذلك‬
“Itu tidak membuatku kagum, namun yang lebih membuatku kagum ialah meninggalkan
sesuatu yang syubhat.”

Az-Zuhri dan Makhul berkata, “Tidak ada masalah orang Muslim makan sesuatu yang
seperti itu selagi ia tidak mengetahuinya bahwa haram.” Jika harta seseorang tidak
diketahui ada yang haram dengan pasti, namun diketahui ada syubhat di dalamnya, maka
tidak ada masalah makan barang seperti itu. Itu ditegaskan Imam Ahmad di riwayat
Hanbal. Ishaq bin Rahawih berpendapat seperti pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu
Mas’ud, Salman, dan lain-lain, bahwa hal tersebut rukhsah (dispensasi). Ishaq bin
Rahawih juga berpendapat seperti pendapat yang diriwayatkan dari Al-Hasan dan Ibnu
Sirin bahwa boleh mengambil pembayaran hutang dari riba dan judi. Itu diriwayatkan
darinya oleh Ibnu Manshur.

Tentang harta yang tidak jelas kehalalan dari keharamannya, Imam Ahmad berkata, “Jika
harta tersebut banyak, maka kadar harta yang haram dikeluarkan daripadanya dan harta
sisanya boleh dipergunakan. Jika harta tersebut sedikit, dia harus menjauhinya.” Itu
karena jika seseorang mengambil sedikit dari harta yang sedikit, ia jauh kemungkinan
selamat dari haram. Ini berbeda kalau harta tersebut banyak. Di antara sahabat-sahabat
kami ada yang menafsirkan bahwa hal tersebut harus dibawa kepada kehati-hatian bukan
kepada pengharaman dan memperbolehkan mempergunakan harta yang sedikit atau
banyak jika kadar keharamannya telah dikeluarkan daripadanya. Itu pendapat para
penganut madzhab Abu Hanifah dan lain-lain. Pendapat tersebut juga dipegang orang-
orang yang wara’ semisal Bisyr Al Hafi. Sejumlah generasi salaf memberi keringanan
untuk makan sesuatu dari orang yang diketahui ada yang haram di hartanya selagi sesuatu
yang haram tersebut tidak diketahui secara pasti seperti diriwayatkan dan Az-Zuhri dan
Makhul. Pendapat yang sama juga diriwayatkan dan Al-Fudhail bin Iyadh.

Tentang hal tersebut, diriwayatkan banyak sekali atsar dari generasi salaf. Diriwayatkan
dengan shahih dari Ibnu Mas’ud ra bahwa ia pernah ditanya tentang orang yang
mempunyai tetangga yang makan harta riba dengan terang-terangan dan tidak menjauhi

Hadits Keenam Page 8


harta haram, kemudian tetangga tersebut mengundangnya makan. Ibnu Mas’ud
menjawab,
‫ فإسنما الحمهُنأك لكمُ والوزكر عليه‬، ‫ أجيبوهك‬: ‫ قال‬،

“Penuhi undangan orang tersebut, karena kelezatan itu milik kalian sedang dosa milik
tetangga tersebut.” Di riwayat lain, disebutkan bahwa orang tersebut berkata, “Aku tidak
mengetahui sesuatu apa pun pada tetangga tersebut kecuali yang buruk dan haram.” Ibnu
Mas’ud berkata, “Penuhi undangan tetangga tersebut.” Imam Ahmad menshahihkan atsar
tersebut dari Ibnu Mas’ud, namun atsar tersebut bertentangan dengan atsar lain yang juga
diriwayatkan dan Ibnu Mas’ud yang berkata,
‫ الثمُ حُوازز القلوب‬:
“Dosa itu apa saja yang membekas di hati.”

Perkataan Ibnu Mas’ud yang pertama juga diriwayatkan dari Salman, Sa’id bin Jubair,
Hasan Basri, Muwarriq Al-Ijli, Ibrahim An-Nakhai, Ibnu Sirin, dan lain-lain. Atsar-atsar
tersebut ada di buku Al-Adab karangan Humaid bin Zanjawih. Sebagiannya ada di buku
Al-Jami’ karangan Al-Khallal, Mushannaf Abdurrazzaq, Mushannaf ibnu Abu Syaibah,
dan lain-lain. Jika barang diketahui secara pasti haram dan diambil dengan cara yang
haram, sesuatu tersebut haram diambil. Ibnu Abdul Barr dan lain-lain menyebutkan
bahwa ulama sepakat tentang hal tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Sirin tentang orang
yang membayar hutang dengan harta riba kemudian Ibnu Sirin berkata, “Itu tidak ada
masalah.” Tentang orang yang membayar hutang dengan harta hasil judi, Ibnu Sirin
berkata, “Tidak ada masalah.” Diriwayatkan Al-Khallal dengan sanad shahih. Pendapat
kebalikannya diriwayatkan dari Al-Hasan yang berkata, “Sesungguhnya pendapatan
seperti itu (riba dan judi) adalah rusak. Oleh karena itu, ambillah daripadanya seperti
dalam keadaan darurat.”

Pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Salman bertentangan dengan riwayat
dari Abu Bakr Ash-Shiddiq yang makan makanan kemudian diberitahu bahwa makanan
tersebut haram, lalu ia memuntahkannya.

Ketidakjelasan juga bisa terjadi di hukum, karena cabang masalah tidak jelas di antara
akar-akar masalah yang menariknya, misalnya pengharaman seorang suami terhadap
istrinya. Masalah tersebut tidak jelas antara pengharaman dzihar yang hanya bisa
dihilangkan dengan kafarat besar dengan pengharaman cerai pertama di mana jika masa
iddah-nya habis Maka isteri tersebut dihalalkan bagi suaminya dengan akad baru, atau
pengharaman cerai tiga di mana istri tidak dihalalkan lagi bagi suaminya kecuali dengan
istri tersebut dinikahi terlebih dahulu oleh laki-laki lain dan laki-laki tersebut
menggaulinya, atau pengharaman orang tersebut terhadap makanan dan minuman yang
dihalalkan Allah dan pengharaman tersebut mewajibkan kafarat kecil atau tidak
mewajibkan apa-apa karena masalah tersebut masih diperdebatkan. Banyak sekali
perbedaan pendapat di kalangan generasi sahabat dan sesudah mereka dalam masalah ini.

Kesimpulannya bahwa hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) yang tidak terlihat jelas
halal atau haram oleh kebanyakan manusia seperti disabdakan Nabi saw itu diketahui

Hadits Keenam Page 9


sebagian manusia bahwa hal-hal tersebut halal atau haram, karena mereka memiliki ilmu
lebih daripada ilmu kebanyakan manusia. Sabda Nabi saw tersebut menunjukkan bahwa
ada sebagian manusia yang mengetahui hal-hal yang musytabihat, namun sebagian besar
dari mereka tidak mengetahuinya. Ada dua pihak yang termasuk dalam kategori orang-
orang yang tidak mengetahui hal-hal musytabihat;
Pertama, orang yang memilih tidak diam dalam hal-hal musytabihat, karena
ketidakjelasan hal-hal musytabihat tersebut baginya.
Kedua, orang yang meyakini hal-hal musytabihat tersebut tidak dalam bentuk aslinya.
Perkataan orang tersebut menunjukkan bahwa orang lain mengetahuinya. Maksudnya,
orang lain mengetahui hal-hal musytabihat dalam bentuk aslinya; halal atau haram. Ini
dalil paling kuat bahwa orang yang benar di sisi Allah dalam masalah-masalah halal dan
haram yang tidak jelas dan diperselisihkan ialah satu orang sedang orang lain tidak
mengetahuinya dalam arti orang lain tidak benar dalam menetapkan hukum Allah di
masalah-masalah tersebut, kendati ia berkeyakinan di dalamnya dengan keyakinan yang
berpatokan pada syubhat yang ia kira dalil. Kendati demikian, ia diberi pahala karena
ijtihadnya dan kesalahannya diampuni karena ketidak sengajaannya.

Nabi saw bersabda,


" ُ‫ وقع في الحُرام‬، ‫ ومن وقححع في الزشبهُات‬، ‫ فقد استب أر لدينه وعرضه‬، ‫ " فمن اتقى الزشبهُات‬:  ‫وقوله‬
“Barangsiapa menjauhi hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) tersebut, ia telah mencari
kebersihan (dari celaan syar’i dan tuduhan) untuk agama dan kehormatannya.
Barangsiapa terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) tersebut, ia
terjerumus ke dalam haram.”

Pada sabda di atas, Nabi saw membagi manusia dalam hal-hal musytabihat ke dalam dua
kelompok. Pembagian tersebut kepada orang yang mempunyai ketidakjelasan terhadap
hal-hal musytabihat, yaitu orang yang tidak mengetahuinya. Sedang orang yang
mengetahuinya dan mengikuti apa yang ditunjukkan ilmunya terhadap hal-hal
musytabihat tersebut, ia masuk kelompok ketiga yang tidak disebutkan Nabi saw karena
status dirinya sudah jelas. Kelompok ketiga tersebut adalah kelompok terbaik di antara
ketiga kelompok karena ia mengetahui hukum Allah di hal-hal musytabihat yang terlihat
samar-samar oleh manusia dan mengikuti ilmunya dalam masalah tersebut. Sedang
orang-orang yang tidak mengetahui hukum Allah di dalamnya, mereka terbagi ke dalam
dua kelompok; salah satu dari kedua kelompok tersebut ialah orang-orang yang menjauhi
hal-hal syubhat tersebut karena perkara-perkara tersebut tidak jelas baginya. Kelompok
ini telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatan.

Makna kata istabra’a di hadits di atas ialah mencari kebersihan untuk agama dan
kehormatannya dan kekurangan dari celaan. Kata al-’idhu (kehormatan) pada hadits di
atas maksudnya ialah letak pujian dan celaan pada seseorang. Sebutan baik ialah pujian
sedang sebutan jelek ialah celaan. Terkadarg kehormatan itu pada diri orang yang
bersangkutan, atau pada nenek moyangnya, atau pada keluarganya. Jadi, barangsiapa
menjauhi hal-hal musytabihat dan menghindarinya, sungguh ia menjaga kehormatannya
dari celaan dan hinaan yang masuk pada orang yang tidak menjauhi hal-hal musytabihat
Ini bukti bahwa orang yang mengerjakan hal-hal syubhat itu membuat dirinya untuk
dicela dan dihina, seperti dikatakan salah seorang dari generasi salaf, “Barangsiapa

Hadits Keenam Page 10


membuat dirinya tertuduh, ia jangan menyalahkan orang yang buruk sangka
kepadanya.”
Hadits bab di atas menurut riwayat At Tirmidzi ialah,
‫ أسنله يترككهُلا بهُلذا القصلد ل وهلو بلراءةك دينله‬: ‫ فقلد حسلللحمُ " والمعنلى‬، ‫ اسلتبراء للدينه وعرضله‬، ‫ " فملن تركهُلا‬:
‫وعرضه من النقص ل ل لغرض آخر فاسد من رياء ونحُوه‬
“Barangsiapa meninggalkan hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) tersebut untuk
mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya, sungguh ia selamat.”

Maksudnya, barangsiapa meninggalkan hal-hal musytabihat karena bermaksud


membersihkan agama dan kehormatannya dari kekurangan dan tidak karena sebab lain
yang rusak seperti riya’ dan lain sebagainya, sungguh ia selamat. Hadits riwayat At-
Tirmidzi di atas menunjukkan bahwa mencari kebersihan untuk kehormatan adalah
terpuji sama seperti mencari kebersihan untuk agama. Oleh karena itu, disebutkan dalam
hadits,
‫ل‬
‫" أسن ما وقي به المركء عر ح‬
. " ‫ فهُو صدقةك‬، ‫ضه‬
“Sesungguhnya sesuatu yang dipakai seseorang untuk menjaga kehormatannya adalah
sedekah.”
Hadits bab di atas dalam riwayat Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim ialah,
‫ك‬
‫ كان لما استبان أتر ح‬، ُ‫" فمن ترك ما يشتبه عليه من الثم‬
“Barangsiapa meninggalkan dosa apa saja yang tidak jelas baginya, maka terhadap
sesuatu yang telah jelas, ia lebih meninggalkannya.”

Maksudnya, barangsiapa meninggalkan dosa padahal dosa tersebut tidak jelas baginya
dan tidak terbukti secara pasti, ia akan lebih meninggalkannya lagi jika terlihat jelas
olehnya bahwa itu benar-benar dosa. Itu dengan syarat orang tersebut meninggalkan dosa
tersebut karena menjauhi dosa. Sedang orang yang meninggalkannya karena riya’, ia
tidak meninggalkan kecuali sesuatu yang ia anggap terpuji bagi mereka jika sesuatu
tersebut ditinggalkan.

Kelompok kedua ialah orang yang terjerumus ke dalam hal-hal musytabihat padahal hal-
hal tersebut tidak jelas baginya. Adapun orang yang mengerjakan sesuatu yang dikira
syubhat oleh manusia dan ia mengetahui sesuatu tersebut halal, maka ia tidak berdosa di
sisi Allah. Namun jika ia khawatir dikecam manusia karena sesuatu yang tidak jelas
tersebut; sehingga ia meninggalkannya karena mencari kebersihan untuk kehormatannya,
maka itu baik. .ini seperti disabdakan Nabi saw kepada orang yang melihat beliau berdiri
dengan Shafiyah, “Dia Shafiyah binti Huyai.”

Pada suatu hari, Anas bin Mauk berangkat untuk menunaikan shalat Jum’at, namun ia
melihat orang-orang telah mengerjakan shalat Jum’at dan pulang ke rumahnya masing-
masing. Ia pun malu lalu masuk ke tempat yang tidak dilihat manusia. Ia berkata,
“Barangsiapa tidak malu kepada manusia, ia tidak malu kepada Allah.” Diriwayatkan
Ath-Thabrani secara marfu’ namun itu tidak benar.
Jika orang tersebut mengerjakan sesuatu tersebut karena ia meyakininya halal

Hadits Keenam Page 11


berdasarkan ijtihad yang dibolehkan atau taklid yang dibolehkan, ia salah dalam
keyakinannya seperti itu. Untuk itu, hukumnya tersebut seperti hukum sebelumnya. Jika
ijtthadnya lemah, taklid atau karena yang terlarang, dan ia berbuat seperti itu karena
mengikuti hawa nafsu, maka hukumnya seperti orang yang mengerjakan sesuatu padahal
ia sendiri tidak memiliki kejelasan tentang sesuatu tersebut. Tentang orang yang
mengerjakan hal-hal syubhat padahal ia sendiri mempunyai ketidakjelasan tentang hal-
hal syubhat tersebut, Nabi saw menjelaskan bahwa orang tersebut terjerumus ke dalam
haram. Ini bisa ditafsirkan dengan dua pengertian;

Pertama: Pengerjaaan orang tersebut terhadap hal-hal syubhat padahal ia meyakininya


syubhat adalah pengantar untuk mengerjakan sesuatu yang haram yang diyakini bahwa
haram itu terjadi secara bertahap.
Hadits bab di atas menurut riwayat Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim ialah,
‫ك أن كيواقحع ما استبان‬ ‫" ومن اجت أر على ما يش ز‬
‫ أوحش ح‬، ُ‫ك فيه من الثم‬
‘Dan barangsiapa bertindak lancang terhadap dosa yang ragu-ragu di dalamnya, ia
nyaris terjerumus ke dalam hal yang telah jelas.”
Di riwayat lain disebutkan,

“Dan barangsiapa bergaul dengan keragu-raguan, ia nyaris menyeberang.”


Maksudnya, ia nyaris mendekati dan melangkah kepada haram murni. Sebagian perawi
meriwayatkan hadits di atas dengan kata yajsyur artinya menggembala. Disebutkan di
hadits-hadits mursal Abu Al-Mutawakkil An-Naji dari Nabi saw yang bersabda,

“Barangsiapa menggembala di samping tempat-tempat haram, ia nyaris berbaur


dengannya. Dan barangsiapa menyepelekan dosa-dosa kecil, ia nyaris dengan dosa-
dosa besar”

Kedua: Barangsiapa lancang/sembrono terhadap sesuatu yang tidak jelas baginya; ia


tidak tahu apakah sesuatu tersebut halal atau haram, dikhawatirkan ditakutkan sesuatu
tersebut merupakan sesuatu yang haram. Maka suatu ketika ia akan bertemu dengan
sesuatu yang haram tanpa sepengetahuannya.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra dari Nabi saw yang bersabda,


‫ " الحُلكل بري لكن والحُ ل اركمُ بريللن وبينهُمللا كمشللتبهُا ك‬:
‫ ومللن وق لحع فللي‬، ‫ كللان أن لزه لللدينه وعرضلله‬، ‫ فمللن اتقاهللا‬، ‫ت‬
‫ كيوشك أخن كيواقحع اللحُمى وهو ل يشللعر " خرجلله‬، ‫ كالمرتع حُول اللحُمى‬، ُ‫الششبهُات أوشك أن يقع في الحُرام‬
‫الطبراني وغيره‬

“Halal itu jelas dan haram juga jelas. Di antara keduanya terdapat hal-hal yang tidak
jelas. Barangsiapa menjauhi hal yang tidak jelas tersebut, maka itu lebih bersih bagi
agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak jelas,
ia nyaris terjerumus ke dalam haram, seperti penggembala disekitar hima (lahan khusus
yang tidak boleh dimasuki) yang nyaris terjerumus ke dalam hima tersebut tanpa ia
rasakan. “(Diriwayatkan Ath-Thabrani dan lain-lain).

Hadits Keenam Page 12


Para ulama berbeda pendapat dalam masalah apakah anak harus taat kepada kedua orang
tuanya dalam mengerjakan sesuatu yang di dalamnya terdapat syubhat atau tidak?
Diriwayatkan dan Bisyr bin Al-Harits yang berkata, “Tidak ada ketaatan kepada kedua
orang tua dalam perkara syubhat.” Diriwayatkan dari Muhammad bin Muqotil Al-
Abbadani yang berkata, “Anak harus taat kepada kedua orang tuanya.” Imam Ahmad
memilih diam tidak berpendapat dalam masalah ini. Ia berkata, “Anak harus membujuk
kedua orang tuanya.” Imam Ahmad menolak menjawab permasalahan ini.

Imam Ahmad berkata,


‫ وتوقللف فلي حُلرد مللا كيؤكللل وملا كيلبللس‬، ‫ب للستجزمل مللن الزشلبهُة‬
‫ول يشتري الثو ح‬، ‫ ل يشبعك السرجل من الزشبهُة‬:
‫ ول يتعسر ك‬، ‫ول يأخذها‬، ‫ ل يأككلهُا‬: ‫ وقال في الستمرة يلقيهُا الطيكر‬، ‫منهُا‬
‫ض لهُا‬
“Orang tidak boleh makan barang syubhat hingga kenyang dan tidak boleh membeli
pakaian untuk penampilan dari uang syubhat.” Imam Ahmad tidak menentukan batas
makanan yang boleh dimakan dan batas pakaian yang boleh dipakai. Tentang kurma yang
dibuang burung, Imam Ahmad berkata, “Orang tidak boleh makan kurma tersebut,
mengambilnya, atau mendekat kepadanya.” At-Tsauri berkata tentang orang yang
menemukan uang atau dirham di numahnya, “Aku lebih suka kalau orang tersebut
menjauhi uang atau dirham tersebut, jika ia tidak tahu dari mana uang atau dirham
tersebut .”

Sebagian dari generasi salaf tidak makan kecuali sesuatu yang telah ia ketahui darimana
datangnya dan menanyakannya hingga mengetahui asal-usulnya. Tentang hal ini ada
hadits dari Nabi saw, namun terdapat padanya kelemahan.
Sabda Rasulullah saw, “Seperti penggembala yang menggembala disekitar hima (lahan
khusus yang tidak boleh dimasuki siapa pun), ia dikhawatirkan menggembala di
dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai hima dan ketahuilah bahwa hima
Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya,” adalah perumpamaan yang dibuat Nabi
saw tentang orang yang terjerumus ke dalam hal-hal syubhat dan ia kemungkinan kuat
terjerumus ke dalam haram. Di sebagian riwayat disebutkan bahwa Nabi saw bersabda,
“Aku akan membuat perumpamaan tentang hal tersebut .”
Kemudian Nabi saw menyebutkan hadits tersebut. Di hadits tersebut, Nabi saw
mengumpamakan hal-hal yang diharamkan seperti hima yang dijaga para raja dan mereka
melarang siapa pun untuk mendekatinya. Nabi saw menjadikan lahan seluas dua mil di
sekitar Madinah sebagai hima haram di mana pohonnya tidak boleh ditebang dan hewan
buruannya tidak boleh diburu. Hima Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan ialah
lahan-lahan tempat tumbuh rumput untuk unta-unta zakat.

Juga disebutkan di Shahih Al-Bukhari hadits nomer 3059 dari jalur Zaid bin Aslam dari
ayahnya bahwa Umar bin Khaththab ra mengangkat mantan budaknya, Hunai, sebagai
penjaga hima dan berkata, “Hai Hunai, bersikaplah ramah terhadap kaum Muslimin,
takutlah kepada mereka karena doa orang yang terdzalimi itu dikabulkan, izinkan masuk
pemilik sedikit unta dan pemilik sedikit kambing, tinggalkan unta Ibnu Alif, dan unta
Ibnu Affan, karena jika hewan ternak keduanya mati, keduanya pergi ke kurma dan
tanaman. Sedang jika hewan ternak pemilik sedikit unta dan kambing, maka keduanya

Hadits Keenam Page 13


datang kepadaku dengan anak-anak keduanya.” Hunai berkata, “Wahai Amirul
Mukminin, apakah aku harus meninggalkan mereka semoga engkau tidak mempunyai
ayah, padahal air dan rumput itu lebih kecil bagiku daripada emas dan perak. Demi
Allah, mereka tahu bahwa aku pernah mendzalimi mereka. Hima tersebut adalah negeri
mereka, kemudian mereka berperang pada masa jahiliyah di hima tersebut dan juga
masuk Islam di atas hima tersebut. Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya,
kalaulah tidak karena harta yang aku bawa di jalan Allah, aku tidak akan melindungi
sejengkal pun dari negeri mereka.”

Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih seperti dikatakan Al Hafidz Ibnu
Hajar di Fathul Bari 5/45 dari Nafi’ dan Ibnu Umar ra bahwa Umar bin Khaththab
melindungi Ar-Rabadzah untuk unta-unta zakat.

Al-Baihaqi di Sunan-nya 6/147 meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id mantan budak Abu
Usaid Al-Anshari yang berkata bahwa Utsman bin Affan ra mendengar delegasi Mesir
tiba kemudian ia menyambut mereka. Ketika mereka mendengar Utsman bin Affan,
mereka segera berangkat kepadanya. Utsman bin Affan tidak mau delegasi Mesir
menemuinya di Madinah, oleh karena itu, ia datang kepada mereka. Mereka berkata
kepada Utsman bin Affan, “Ambillah A1-Qur’an dan bacalah As-Sabi’ah - delegasi
Mesir menamakan sunat Yunus sebagai As-Sabi’ah.” Utsman bin Affan pun
membacanya. Ketika Utsman bin Affan sampai pada ayat, “Katakanlah, ‘Terangkanlah
kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepada kalian, lalu kalian jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. ‘Katakanlah, Apakah Allah telah
memberikan izin kepada kalian (tentang ini) atau kalian mengada-adakan saja terhadap
Allah?“ (Yunus: 59), delegasi Mesir berkata, “Berhentilah Bagaimana pendapatmu
tentang hima yang engkau lindungi? Apakah Allah telah mengizinkanmu berbuat seperti
itu ataukah engkau mengada-ngada terhadap Allah?” Utsman bin Affan berkata,
“Berjalanlah dan engkau berhenti di tempat ini dan itu. Sesungguhnya Umar bin
Kháthab melindungi hima sebelumku untuk unta-unta sedekah. Ketika aku diangkat
menjadi khalifah, unta-unta zakat menjadi banyak kemudian aku menambah hima karena
zakat bertambah.” Baca buku Syarhus Sunnah 8/272-275.

Allah Ta’ala melindungi hal-hal haram tersebut, melarang hamba-hamba-Nya


mendekatinya, dan menamakannya batasan-batasan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
“Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya, demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.“(Al Baqarah:
187).

Pada ayat di atas terdapat penjelasan bahwa Allah telah menetapkan bagi manusia apa
yang Dia halalkan dan haramkan untuk mereka, oleh karena itu, mereka tidak boleh
mendekati hal-hal haram dan tidak boleh melanggar hal-hal halal. Untuk itu, Allah Ta’ala
berfirman di ayat lain,
“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya; barangsiapa
melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang dzalim.“(Al Baqarah:
229).

Hadits Keenam Page 14


Allah menjadikan orang yang menggembala di sekitar hima dan dekat dengannya punya
kans besar untuk masuk ke dalam hima tersebut dan menggembala di dalamnya. Begitu
juga orang yang berlebih-lebihan dalam halal dan terjerumus ke dalam hal-hal syubhat, ia
sangat dekat dengan haram, berinteraksi dengan haram murni, dan terjerumus ke
dalamnya. Di sini, terdapat sinyal bahwa orang Muslim seyogyanya menjauhkan diri dari
hal-hal haram dan membuat jarak dengannya.

At-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dan Abdullah bin Yazid dari Nabi saw
yang bersabda,
“Seoranghamba tidak bisa menjadi salah seorang dari orang-orang bertakwa hingga ia
meninggalkan sesuatu yang tida kada madzarat di dalamnya karena khawatir sesuatu
tersebut termasuk sesuatu yang bermadzarat”

Abu Ad-Darda’ berkata, “Puncak ketakwaan ialah seorang hamba bertakwa kepada
Allah hingga ia bertakwa kepada-Nya dan yang sebesar biji sawi dan meninggalkan
sesuatu yang ia lihat halal karena khawatir sesuatu tersebut haram dan membuat jarak
dengan haram.”
Al Hasan berkata, “Takwa tetap ada pada orang-orang bertakwa hingga mereka
meninggalkan kebanyakan dari halal karena takut kepada haram.”

Ats-Tsauri berkata, “Dinamakan orang-orang bertakwa karena mereka takut kepada


sesuatu yang tidak ditakuti.”

Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra yang berkata, “Sungguh aku ingin membuat pembatas
antara aku dengan haram dan halal yang tidak aku robek.”
Maimun bin Mihran berkata, “Halal tidak tunduk kepada seseorang hingga ia membuat
pembatas dari halal antara dirinya dengan haram.” Sufyan bin Uyainah berkata,
“Seorang hamba tidak merasakan hakikat iman hingga ia membuat pembatas dari halal
antara dirinya dengan haram dan hingga ia meninggalkan dosa dan sesuatu yang mirip
dengannya.”

Berdasarkan hadits tersebut, sejumlah ulama berpendapat perlu kiranya penutupan semua
jalan kepada hal-hal haram dan pengharaman seluruh sarana kepadanya. Hadits tersebut
juga menunjukkan tentang kaidah-kaidah syariat, misalnya pengharaman sedikit dari
sesuatu yang jika banyak memabukkan, pengharaman berduaan dengan wanita asing
(wanita bukan mahram), pengharaman shalat setelah Shubuh dan setelah Ashar untuk
menutup jalan terjadinya shalat saat terbit dan terbenamnya matahari, larangan mencium
isteri bagi orang yang berpuasa jika hal tersebut membangkitkan syahwatnya, dan
larangan bercumbu dengan istri yang haid di antara pusat dan lututnya kecuali dengan
penutup (maksudnya, isteri memakai kain) seperti diriwayatkan di hadits bahwa
Rasulullah saw menyuruh isteri beliau yang haid untuk menggunakan kain kemudian
beliau mencumbuinya dari atas kain tersebut.

Perumpamaan hadits di atas - perumpamaan ini mirip dengan perumpamaan yang telah
dibuat Nabi saw - ialah barangsiapa melepas ternaknya merumput di dekat tanaman milik
orang lain, maka ia bentanggung jawab terhadap tanaman yang dirusak ternaknya,

Hadits Keenam Page 15


kendati hal tersebut terjadi di siang hari. Itulah pendapat yang benar, karena orang
tersebut lalai melepaskan ternaknya dalam keadaan seperti itu.

Ada perbedaan pendapat dalam kasus jika seseorang mengirim anjing berburu di tempat
dekat dengan tanah haram kemudian anjing berburu tersebut memasuki tanah haram dan
berburu di dalamnya. Tentang keharusan pemilik anjing berburu tersebut menanggung
kerugian yang diakibatkan anjingnya ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Ada yang
mengatakan, pemilik anjing berburu tersebut harus menanggung kerusakan yang
diakibatkan anjing berburunya dalam kondisi apa pun. Sabda Rasulullah saw,
“Ketahuilah bahwa di tubuh terdapat segumpal darah. Jika segumpal darah tersebut
baik maka seluruh tubuh menjadi baik dan jika segumpal darah tersebut jelek maka
selurub tubuh menjadi jèlek Ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati’
“adalah isyarat bahwa kebaikan aktivitas seorang hamba dengan organ tubuhnya,
sikapnya menjauhi hal-hal haram, dan menghindari hal-hal syubhat itu sangat ditentukan
oleh kebaikan aktivitas hatinya.

Jika hati sehat dalam arti hanya berisi cinta kepada Allah, mencintai apa saja yang
dicintai Allah, takut kepada Allah, dan takut terjerumus ke dalam apa saja yang dibenci-
Nya, maka seluruh aktivitas tubuh menjadi baik, muncullah sikap menjauhi seluruh hal-
hal haram, dan menghindari hal-hal syubhat karena khawatir terjerumus ke dalam hal-hal
haram.

Seba!iknya, jika hati rusak, sikap mengikuti hawa nafsu dominan di dalamnya, dan
mencari apa saja yang dicintai hawa nafsu kendati dibenci Allah, maka rusaklah semua
aktivitas organ tubuh dan meluncur kepada kemaksiatan-kemaksiatan dan hal-hal syubhat
sesuai dengan kadar sejauh mana hawa nafsu mengikuti hati. Oleh karena itu, dikatakan
bahwa hati adalah raja sedang organ tubuh lainnya adalah tentaranya. Organ tubuh
tersebut taat kepada hati, termotivasi patuh kepadanya, mengerjakan seluruh instruksinya,
dan tidak menentangnya dalam perkara apa pun. Jika raja baik, maka tentara-tentaranya
juga baik. Sebaliknya, jika raja tersebut rusak, rusak pula tentara-tentaranya. Tidak ada
yang berguna di sisi Allah kecuali hati yang sehat seperti difirmankan Allah Ta’ala,
“(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.“ (Asy-Syu’ara’: 88-89).

Nabi saw berkata dalam doa beliau,


“Aku meminta hati yang sehat kepada-Mu.“
Hati yang sehat ialah hati yang sehat (bersih) dari seluruh penyakit dan hal-hal yang
dibenci. Hati yang sehat juga hati yang di dalamnya tidak ada sesuatu apa pun selain cinta
kepada Allah dan apa saja yang dicintai-Nya, takut kepada Allah dan, takut akan apa saja
yang menjuhkannya dari-Nya.

Disebutkan di Musnad Imam Ahmad hadits dari Anas bin Mauk ra dari Nabi saw yang
bersabda,
“Iman seorang hamba tidak lurushingga hatinya lurus.“
Yang dimaksud dengan iman yang lurus ialah amal perbuatan organ tubuh yang lurus,
karena amal perbuatan organ tubuh tidak lurus kecuali dengan kelurusan hati. Yang

Hadits Keenam Page 16


dimaksud dengan hati yang lurus ialah hati yang penuh berisi cinta kepada Allah, senang
taat kepada-Nya, dan tidak suka bermaksiat kepada-Nya. Al Hasan berkata kepada
seseorang, “Obatilah hatimu, karena keperluan Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah
kebaikan hati mereka.” Maksudnya, keinginan dan tuntutan Allah kepada hamba-hamba-
Nya ialah hati mereka shalih, karena hati tidak akan baik hingga di dalamnya
bersemayam sifat kenal Allah, mengagungkan-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya,
berharap kepada-Nya, dan bertawakal kepada-Nya. Itulah esensi tauhid dan makna
kalimat Laa Ilaaha Illallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah). Jadi,
hati tidak baik hingga Allah menjadi Tuhan yang ia sembah, kenal, cintai, dan takuti.
Dialah Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Jika di langit terdapat Tuhan yang
berhak disembah Selain Allah, langit dan bumi pasti rusak karenanya seperti difirmankan
Allah Ta’ala,
“Sekiranya di langit dan bumi ada Tuhan-Tuhan selain Allah, tentulah keduanya telah
rusak binasa.“ (Al Anbiya’: 22).

Dari sini bisa diketahui bahwa tidak ada kebaikan bagi alam tinggi dan rendah hingga
seluruh akivitas penghuninya karena A1lah semata. Seluruh tubuh itu mengikuti aktivitas
dan keinginan hati. Jika pengerakan dan kehendak hati karena Allah semata, maka hati
dan seluruh pergerakan tubuh menjadi baik. Jika pergerakan dan keinginan hati karena
selain Allah, hati menjadi rusak. Kerusakan aktivitas tubuh sangat tergantung kepada
sejauh mana kerusakan hati.

Tentang firman Allah Ta’ala, janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu


apapun,“ Al Laits meriwayatkan dari Mujahid yang berkata, “Maksudnya, janganlah
kalian mencintai selain Aku.”

Di Shahih AL Hakim disebutkan hadits dari Aisyah ra dari Nabi saw yang bersabda,
“Syirik itu lebih tersembunyi daripada semut kecil di atas batu pada malam yang gelap.
Syirik terendah ialah engkau mencintai sesuatu dari kedzaliman dan membenci sesuatu
dari keadilan. Agama tidak lain adalah cinta dan benci, Allah Ta’ala berfirman,
‘Katakan, Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosa kalian” (Ali Imran: 31).”

Ini menunjukkan bahwa mencintai sesuatu yang dibenci Allah dan membenci sesuatu
yang dicintai Allah adalah sikap mengikuti hawa nafsu. Bersahabat dan memusuhi karena
hawa nafsu termasuk syirik tensembunyi. Hal ini ditunjukkan firman Allah Ta’ala,
“Katakan, jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosa kalian “(Ali Imnan: 31).

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa bukti kejujuran dalam mencintai-Nya
ialah mengikuti Rasul-Nya. Ini menunjukkan bahwa cinta tidak sempurna tanpa ketaatan
dan menyesuaikan diri dengan pihak yang dicintai.
‫ فأحُ س‬. ‫ب ربنا حُب ا شديدا‬
‫ قال أصحُاب النبي‬: ‫ قال الحُسن‬ : ‫ب ال أن يجعللل لحُبلله‬ ‫ إنا كنحُ ز‬، ‫يا رسول ال‬
‫ فأنزل ال هذه الية‬، ‫ حعحلم ا‬:  ‫ قل إن كنتم نتحبون ال فاتبعُوني نيحببكم ال‬ . ‫من‬
Al Hasan berkata bahwa sahabat- sahabat Rasulullah saw berkata, “Wahai Rasulullah,

Hadits Keenam Page 17


sesungguhnya kami amat mencintai Allah.” Maka Allah pun ingin menjadikan bukti cinta
kepada-Nya kemudian Dia menurunkan ayat berikut,
“Katakan, jika kalian mencintai Allah, ikuillah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosa kalian “ (Ali Imran: 31).

Dari sinilah, Al Hasan berkata,


‫ب ال حُتى كتحُ س‬
‫ب طاعته‬ ‫ اعلمُ أنك لن كتحُ س‬: ‫ من هنا قال الحُسن‬.
“Ketahuilah bahwa engkau tidak mencintai Allah hingga engkau cinta untuk taat
kepada-Nya.”

Dzun Nun pernah ditanya, “Kapan saya mencintai Tuhanku?” Dzun Nun menjawab,
“Jika sesuatu yang membuatmu benci itu lebih pahit daripada kesabaran.”

Bisyr bin As-Sari berkata, “Bukan tanda cinta kalau engkau mencintai sesuatu yang
dibenci kekasihmu.”

Abu Ya’qub An-Nahr Jun berkata, “Siapa saja yang mengklaim cinta Allah, namun tidak
sinkron dengan Allah dalam perintah-Nya, mencintainya palsu.”

Ruwaint berkata, “Cinta ialah menyesuaikan diri dengan pihak yang dicintai dalam
semua kondisi.” Yahya bin Muadz berkata, “Tidak benar orang yang mengklaim cinta
Allah, namun ia tidak menjaga hukum-hukum-Nya.” Salah seorang dari generasi salaf
berkata, “Saya pernah membaca salah satu buku terdahulu. Di dalamnya disebutkan,
‘Barangsiapa cinta Allah, ia tidak mempunyai sesuatu yang lebih ia utamakan daripada
keridhaan-Nya. Barangsiapa cinta dunia, tidak ada sesuatu yang lebih ia pentingkan
daripada hawa nafsunya.”

Di dalam Sunan-sunan disebutkan hadits dari Nabi saw yang bersabda,


‫ وأحُل س‬، ‫ ومنللع لل‬، ‫ " مللن أعطللى لل‬: ‫ قللال‬ ‫وفللي " السللنن " عللن النللبي‬
‫ فقللد اسللتكمل‬، ‫ وأبغللض لل‬، ‫ب لل‬
‫اليمان‬
“Barang siapa membenci karena Allah, tidak membenci karena-Nya, mencintai karena-
Nya, dan membenci karena-Nya, sungguh Ia telah menyempurnakan iman. “

Ini artinya jika seluruh aktivitas hati dan organ tubuh itu karena Allah Ta’ala, maka iman
seorang hamba menjadi sempurna baik lahir maupun batin. Kebaikan aktivitas hati
menghasilkan kebaikan aktivitas organ tubuh. Jika hati baik dan di dalamnya hanya ada
keinginan Allah dan keinginan kepada sesuatu yang diinginkan-Nya, maka organ tubuh
terdorong kepada sesuatu yang diinginkan Allah, oleh karena itu, organ tubuh bersegera
kepada sesuatu yang di dalamnya terdapat keridhaan-Nya, menahan diri dari sesuatu yang
dibenci-Nya, dan takut dari sesuatu yang dikhawatirkan termasuk sesuatu yang dibenci-
Nya kendati ia belum meyakini sesuatu tersebut termasuk sesuatu yang dibenci-Nya.

Al Hasan berkata, “Aku tidak melihat dengan mataku, berbicara dengan lidahku,
bergerak dengan tanganiku, dan berjalan di atas kakiku hingga aku berpikir apakah itu

Hadits Keenam Page 18


dalam ketaatan ataukah kemaksiatan? Jika dalam ketaatan, aku terus melangkah. Jika
dalam kemaksiatan, aku mundur.”

Muhammad bin Al Fadhi Al Balkhi berkata, “Selama empat puluh tahun, aku tidak
pernah melangkah satu langkah pun untuk selain Allah Azza wa Jalla.” Dikatakan
kepada Daud Ath-Thai, “Bagaimana kalau engkau pindah dari tempat berteduh ke bawah
sinar terik matahari?”

Daud Ath-Thai berkata, “Aku tidak tahu bagaimana langkah seperti itu ditulis.”
Karena hati generasi salaf baik dan di dalamnya tidak ada keinginan kepada selain Allah
Azza wa Jalla, maka organ tubuh mereka menjadi baik dan tidak tergerak kecuali karena
Allah Azza wa Jalla dan kepada sesuatu yang di dalamnya terdapat keridhaan-Nya,
wallahu a ‘lam.

ooOoo

Hadits Keenam Page 19

Anda mungkin juga menyukai