: يقول سمعُت رسول ال: عن الننعُمان بن بشير رضي ال عنهما قال
" فمن انتقى، ت ل يعُلبنمهنن كثيتر من الناس وبينهما أمور مشتبها ت، إن الحلل ببيين إوان الحلل ببيين
كالنراعي يرعى حوبل الححبمى، شنبهات بوقع في الحرام ومن وقع في ال ش، شبهات استب أر لدينه وعرضه ال ش
أل إوانن في الجسد نمضغةة، أل إوانن ححبمى ال محارنمه، أل إوان لكل بملحكك ححمى، نيوشك أن بيرتبع فيه
ي ومسلم أل وهي القل ن، سند كشله
ب " رواه البخار ش سبد البج ب
واذا فسدت ف ب،
إذا صلحت صلببح الجسند كله إ.
Dari An-Nu’man bin Basyir ra yang berkata bahwa aku dengar Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya halal itu jelas dan sesungguhnya haram juga jelas. Di antara keduanya
terdapat hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) yang tidak diketahui kebanyakan
manusia. Barangsiapa menjauhi hal-hal yang tidak jelas tersebut, ia telah mencari
kebersihan (dari celaan syar’i dan tuduhan) untuk agama dan kehormatannya.
Barangsiapa terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) tersebut, ia
terjerumus ke dalam haram, seperti penggembala yang menggembala disekitar hima
(lahan khusus yang tidak boleh dimasuki siapa pun), ia dikhawatirkan menggembala
masuk di dalamnya. Ketahullah bahwa setiap raja mempunyai hima dan ketahuilah
bahwa hima Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di tubuh
terdapat segumpal darah. Jika segumpal darah tersebut baik Maka seluruh tubuh
menjadi baik dan jika segumpal darah tersebut jelek maka seluruh tubuh menjadi jelek.
Ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati.”(Diriwayatkan Al Bukhari dan
Muslim).
maksudnya, halal murni itu jelas dan tidak ada yang samar-samar di dalamnya. Begitu
juga haram murni. Namun, di antara kedua hal tersebut terdapat perkara-perkara yang
samar-samar bagi kebanyakan manusia, apakah hal-hal tersebut termasuk halal ataukah
haram? Adapun orang-orang yang ilmunya mendalam, perkara-perkara tersebut tidak
terlihat samar-samar oleh mereka dan mereka mengetahui perkara perkara tersebut masuk
ke dalam kelompok yang mana.
Halal murni misalnya adalah makan yang baik-baik dan tanaman, buah-buahan, hewan
ternak, minuman-minuman yang baik, mengerakan katun atau linen atau wol dan lain
sebagainya yang dibutuhkan, menikah, mengambil budak wanita, dan lain-lain jika
Haram murni misalnya adalah makan bangkai, darah, daging babi, minum minuman
keras, menikah dengan wanita-wanita yang haram dinikahi, mengerakan pakaian dari
bahan sutra untuk orang laki-laki, penghasilan haram seperti riba, judi, hasil penjualan
sesuatu yang tidak halal dijual, mengambil harta rampasan dengan cara mencuri,
merampas, penipuan, dan lain sebagainya.
Sedang perkara-perkara yang tidak jelas (musytabihat) misalnya adalah makan sebagian
hal-hal yang kehalalan dan keharamannya diperdebatkan; baik
berupa makhluk hidup seperti kuda, bighal (peranakan kuda dengan keledai), keledai, dan
biawak. Atau minum sesuatu yang keharamannya diperdebatkan seperti anggur yang
sebagian besar daripadanya memabukkan. Atau memakai sesuatu yang pembolehannya
masih diperdebatkan seperti kulit binatang buas dan lain sebagainya. Atau hal-hal yang
kehalalan dan keharamannya masih diperdebatkan, seperti penghasilan-penghasilan yang
diperdebatkan, seperti inah, tawarruq, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti itu ditafsirkan
sebagai hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) oleh Imam Ahmad, Ishaq, dan imam-imam
lain.
Kesimpulannya bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan Al Qur’an kepada Rasul-Nya dan
menjelaskan di dalamya untuk umat tentang halal dan haram yang mereka butuhkan,
seperti difirmankan Allah Ta’ala,
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu.“ (An-Nahl: 89).
Mujahid dan lain-lain berkata, “Maksudnya, menjelaskan hal-hal yang diperintahkan
kepada kalian dan hal-hal yang dilarang pada kalian.”
Allah Ta’ala berfirman di akhir surat An-Nisa’ di mana di dalamnya Allah menjelaskan
tentang hukum-hukum harta kekayaan dan pernikahan,
“Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian, supaya kalian tidak sesat dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.“ (An-Nisa’: 176).
Allah Ta’ala mewakilkan penjelasan wahyu yang tidak jelas kepada Rasul-Nya seperti
yang Dia firmankan,
Ketika Nabi saw wafat, Allah telah menyempurnakan agama untuk beliau dan umat
beliau. Karena itu, Allah Ta’ala menurunkan ayat berikut kepada Rasulullah di Arafah
beberapa waktu sebelum beliau wafat,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan
kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagi kalian.“ (Al
Maidah: 3).
Rasulullah saw bersabda,
تركتكككمُ على بيضاء نقية ليكلهُا كنهُارها ل يزيغك عنهُا إل هالل ك
ك
“Aku tinggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersih di mana malamnya seperti
siangnya dan tidaklah berpaling darinya melainkan orang yang binasa.“
Abu Dzar ra berkata,
ك جناححُيه في السسماء إل وقد ذكر لنا منه لعلم ا
وما طائكر كيحُرر ك توفي رسوكل ال: وقال أبو ذرر
“Rasulullah saw wafat dan sebelum itu tidak ada burung di langit yang menggerak-
gerakkan kedua sayapnya melainkan beliau menyebutkan ilmunya untuk kami.”
Ketika manusia diliputi keraguan tentang wafatnya Rasulullah saw, paman beliau, Al-
Abbas bin Abdul Muththalib ra, berkata,
، َّ وأحُسل الحُلحل وحُسرمُ الحُ ارحمُ ن ونحكحح وطلسللق، ك السبيحل نهُج ا واضحُ ا
حُتى تر ح وال ما مات رسوكل ال:
وما كان راعي غنمُ يتبع بهُا رؤوس الجبال حيخخبلطك عليهُا العضاه بمخحبطله وحيخمكدكر حُوضللهُا، ُوحُارب وسالم
ُ كان فيككم صب ول أدأب من رسول ال بيده بأن ح
“Demi Allah, Rasulullah saw tidak wafat hingga beliau meninggalkan jalan dalam
keadaan jelas, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, menikah,
mencerai, berperang, dan berdamai. Tidak ada penggembala kambing yang menggiring
kambing-kambingnya ke puncak gunung; ia menggugurkan daun-daun pohon berduri
dengan tongkatnya dan melumuri (melepa) kolamnya dengan tanah dengan tangannya,
dan tidak ada yang lebih gigih dan tekun daripada Rasulullah saw yang pernah berada
di tengah-tengah kalian.”
Kesimpulannya, Allah dan Rasul-Nya tidak meninggalkan halal dan haram melainkan
telah dijelaskan, namun sebagian penjelasan lebih jelas daripada sebagian penjelasan
lainnya. Apa saja yang penjelasannya telah terlihat, terkenal, dan termasuk kebutuhan
primer agama, maka tidak ada keraguan di dalamnya dan siapa pun di negeri Islam tidak
boleh tidak mengetahuinya. Sedang masalah-masalah yang penjelasannya tidak sejelas
sebelumnya; ada masalah yang dikenal luas di antara para pengemban syariat secara
khusus kemudian para ulama sepakat tentang kehalalan dan keharamannya, dan bisa jadi
masalah tersebut tidak terlihat jelas oleh orang-orang selain mereka, dan ada masalah
yang tidak dikenal luas di kalangan para pengemban syariat kemudian mereka berbeda
pendapat tentang kehalalan dan keharamannya karena sebab-sebab berikut;
Sebab-sebab perbedaan pendapat lebih banyak lagi daripada apa yang telah saya
sebutkan. Kendati demikian, di umat pasti ada ulama yang ucapannya sinkron dengan
kebenaran kemudian ia mengetahui hukum, sedang orang lain samar-samar terhadapnya
dan tidak mengetahui hukumnya. Ini karena umat ini mustahil bersepakat kepada
kesesatan, penganut kebatilan pada mereka tidak mungkin menang atas para penganut
kebenaran pada mereka, dan kebenaran mustahil ditingkatkan dan tidak diamalkan di
seluruh pelosok negeri. Oleh karena itu, Rasulullah saw bersabda tentang hal-hal yang
tidak jelas (musytabihat),“Yang tidak diketahui kebanyakan manusia.“ Ini menunjukkan
bahwa sebagian manusia.
Hammad bin Ziyad dari Abu Ayyub dan Ikrimah. Perawi sanadnya adalah para perawi
tepercaya hanya saja hadits tersebut mursal, ada yang mengetahui hal-hal yang tidak jelas
tersebut (musytabihat). Hal-hal musytabihat tersebut tidak jelas hanya bagi orang yang
tidak mengetahuinya dan bukan berarti zat dari perkara itu sendiri yang tidak jelas. Itulah
faktor yang menyebabkan ketidakjelasan suatu hal bagi kebanyakan ulama. Bisa saja
ketidakjelasan dalam halal dan haram itu terjadi pada ulama dan orang-orang selain
mereka dari sudut pandang yang lain. Misalnya ada sesuatu yang sebab kehalalannya
diketahui dengan kepemilikan yang pasti dan ada sesuatu yang sebab keharamannya
diketahui dengan keabsahan kepemilikan lain atasnya. Pada contoh pertama, kehalalan
sesuatu tersebut tidak hilang kecuali dengan keyakinan hilangnya kepemilikan dari
sesuatu tersebut, kecuali pada pernikahan menurut orang yang berpendapat bahwa
perceraian dengan ragu-ragu itu sah seperti Imam Mauk, atau dugaan kuat perceraian
tersebut sah menurut ulama seperti Ishaq bin Rahawih. Sedang pada contoh kedua,
keharaman sesuatu tersebut tidak hilang kecuali dengan pengetahuan yang meyakinkan
tentang pemindahan kepemilikan terhadap sesuatu tersebut. Adapun sesuatu yang
pemiliknya tidak diketahui sejak awal, misalnya seseorang menemukan sesuatu di
rumahnya dan ia tidak tahu apakah sesuatu tersebut miliknya atau milik orang lain, maka
sesuatu termasuk hal yang tidak jelas (musytabihat) dan ia tidak haram mengambilnya,
karena pada umumnya apa saja yang ada di rumahnya adalah miliknya, namun sikap
wara ialah menjauhinya (tidak mengambilnya), karena Nabi saw bersabda,
ض فقال له بع ك، قَّ من الليل أصابه أر ك أسن النبي، عن جرده، عن أبيه، وفي حُديث عمرو بن شعيب.
فأكلكتهُا وكان عندنا تمللر، ت تمرة تحُت جنبي " إني كنت أصب ك: فقال. يا رسول ال أرقت الليلة: نسائه
ت أن تكون منه
فخشي ك، من تمر الصدقة
“Nabi saw tidak dapat tidur pada suatu malam kemudian salah seorang istri beliau
bertanya, Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak bisa tidur tadi malam?’Nabi saw
bersabda, ‘Aku menemukan sebiji kurma dibawah lambungku kemudian aku
memakannya sedang di rumah kita terdapat kurma zakat. Jadi aku khawatir kurma
tersebut berasal dari kurma zakat tersebu.
Begitu juga sesuatu yang pada prinsipnya adalah mubah (diperbolehkan) misalnya
kesucian air, pakaian, dan tanah jika kesuciannya diyakini tidak hilang, maka boleh
dipergunakan. Sedang sesuatu yang pada prinsipnya adalah haram misalnya pernikahan
dan daging hewan maka tidak halal kecuali kehalalannya diyakini misalnya dengan
penyembelihan dan akad. Jika ada keraguan di dalamnya karena sebab lain, maka
hukumnya dikembalikan kepada asalnya kemudian didasarkan kepadanya dan diadakan
penetapan bahwa sesuatu yang pada asalnya adalah haram maka diharamkan. Oleh
karena itu, Nabi saw melarang makan hewan buruan yang ditemukan pemburunya
mempunyai bekas anak panah yang bukan anak panahnya, atau bekas gigitan anjing yang
bukan miliknya, atau menemukannya jatuh di air, sebab ia tidak tahu apakah hewan
buruan tersebut mati karena sebab yang diperbolehkan atau karena sebab lain. Selain itu,
sesuatu yang pada asalnya halal harus dikembalikan kepada kehalalannya. Jadi, air, tanah,
dan baju tidak menjadi najis karena adanya dugaan najis. Begitu juga jika badan terbukti
suci, namun seseorang ragu-ragu; apakah kesuciannya telah batal karena hadats itu
menurut jumhur ulama terkecuali Imam Mauk jika ia belum mengerjakan shalat?
Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi saw bahwa dilaporkan kepada beliau ada
seseorang yang dikesankan merasakan sesuatu di shalatnya kemudian Nabi saw bersabda,
"ل ينصلرف حُللتى يسللمع صللوت ا: فقللال، " أنه كشكي إليه الرجكل كيخيل إليه أنله يجلد الشليء فلي الصلللة:
أو يجد ريحُا
“Ia jangan membatalkan (shalatnya) hingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium
bau.” Di riwayat lain disebutkan kata masjid sebagai ganti dari kata shalat.
Hadits di atas mencakup pada saat shalat dan selain shalat. Jika terdapat sebab kuat dan
Ulama yang berpendapat bahwa pakaian orang kafir tersebut tetap suci berhujjah bahwa
Allah menghalalkan makanan Ahli Kitab dan makanan mereka pasti mereka masak
dengan tangan mereka di bejana mereka. Selain itu, Nabi saw sendiri pernah memenuhi
undangan makan orang Yahudi, beliau dan para sahabat mengerakan dan memakai
pakaian dan bejana produk orang-orang kafir. Di perang, para sahabat membagi-bagikan
bejana dan pakaian yang mereka dapatkan dari orang-orang kafir dan menggunakannya.
Diriwayatkan dengan shahih dari mereka bahwa mereka mempergunakan air dari ransel
milik wanita kafir.
Ulama yang berpendapat bahwa pakaian orang kafir tersebut najis berhujjah bahwa
diriwayatkan dengan shahih dan Nabi saw bahwa beliau pernah ditanya tentang bejana-
bejana milik Ahli Kitab yang makan babi dan minum-minuman keras kemudian beliau
bersabda,
فاغسلوها بالماء ثمُ كلوا فيهُا، إن لمُ تجدوا غيرها: فقال،
“Jika kalian tidak mendapatkan bejana lain selain bejana tersebut, cucilah bejana
tersebut dengan air kemudian makanlah di dalamnya.
Tentang syubhat, Imam Ahmad memberi penafsiran bahwa syubhat ialah posisi di antara
halal murni dengan haram murni. Imam Ahmad berkata,
. ُ وفسسرها تارة باختلط الحُلل والحُرام، فقد استب أر لدينه، من اتسقاها: وقال
Jika sebagian besar harta orang tersebut adalah halal, maka orang Muslim boleh
berinteraksi dengannya dan makan hartanya, karena Al Harits meriwayatkan dari Ali bin
Abu Thalib yang berkata tentang hadiah dari penguasa,
ُما كيعطيكمُ من الحُلل أكثر مما كيعطيكمُ من الحُرام، ل بأس بهُا:
“Hadiah-hadiah tersebut tidak ada masalah. Apa yang diberikan kepada kalian dan
halal itu lebih banyak daripada apa yang diberikan kepada kalian dan haram.”
Nabi saw dan para sahabat berinteraksi (muamalah) dengan orang-orang musyrikin dan
Ahli Kitab padahal beliau dan mereka tahu bahwa orang-orang musyrikin dan Ahli Kitab
tidak menjauhi seluruh hal-hal haram. Jika sesuatu tidak jelas, sesuatu tersebut adalah
syubhat dan sikap wara’ ialah meninggalkannya. Sufyan berkata,
وتركه أعجب إلسي، ل يعجبني ذلك
“Itu tidak membuatku kagum, namun yang lebih membuatku kagum ialah meninggalkan
sesuatu yang syubhat.”
Az-Zuhri dan Makhul berkata, “Tidak ada masalah orang Muslim makan sesuatu yang
seperti itu selagi ia tidak mengetahuinya bahwa haram.” Jika harta seseorang tidak
diketahui ada yang haram dengan pasti, namun diketahui ada syubhat di dalamnya, maka
tidak ada masalah makan barang seperti itu. Itu ditegaskan Imam Ahmad di riwayat
Hanbal. Ishaq bin Rahawih berpendapat seperti pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu
Mas’ud, Salman, dan lain-lain, bahwa hal tersebut rukhsah (dispensasi). Ishaq bin
Rahawih juga berpendapat seperti pendapat yang diriwayatkan dari Al-Hasan dan Ibnu
Sirin bahwa boleh mengambil pembayaran hutang dari riba dan judi. Itu diriwayatkan
darinya oleh Ibnu Manshur.
Tentang harta yang tidak jelas kehalalan dari keharamannya, Imam Ahmad berkata, “Jika
harta tersebut banyak, maka kadar harta yang haram dikeluarkan daripadanya dan harta
sisanya boleh dipergunakan. Jika harta tersebut sedikit, dia harus menjauhinya.” Itu
karena jika seseorang mengambil sedikit dari harta yang sedikit, ia jauh kemungkinan
selamat dari haram. Ini berbeda kalau harta tersebut banyak. Di antara sahabat-sahabat
kami ada yang menafsirkan bahwa hal tersebut harus dibawa kepada kehati-hatian bukan
kepada pengharaman dan memperbolehkan mempergunakan harta yang sedikit atau
banyak jika kadar keharamannya telah dikeluarkan daripadanya. Itu pendapat para
penganut madzhab Abu Hanifah dan lain-lain. Pendapat tersebut juga dipegang orang-
orang yang wara’ semisal Bisyr Al Hafi. Sejumlah generasi salaf memberi keringanan
untuk makan sesuatu dari orang yang diketahui ada yang haram di hartanya selagi sesuatu
yang haram tersebut tidak diketahui secara pasti seperti diriwayatkan dan Az-Zuhri dan
Makhul. Pendapat yang sama juga diriwayatkan dan Al-Fudhail bin Iyadh.
Tentang hal tersebut, diriwayatkan banyak sekali atsar dari generasi salaf. Diriwayatkan
dengan shahih dari Ibnu Mas’ud ra bahwa ia pernah ditanya tentang orang yang
mempunyai tetangga yang makan harta riba dengan terang-terangan dan tidak menjauhi
“Penuhi undangan orang tersebut, karena kelezatan itu milik kalian sedang dosa milik
tetangga tersebut.” Di riwayat lain, disebutkan bahwa orang tersebut berkata, “Aku tidak
mengetahui sesuatu apa pun pada tetangga tersebut kecuali yang buruk dan haram.” Ibnu
Mas’ud berkata, “Penuhi undangan tetangga tersebut.” Imam Ahmad menshahihkan atsar
tersebut dari Ibnu Mas’ud, namun atsar tersebut bertentangan dengan atsar lain yang juga
diriwayatkan dan Ibnu Mas’ud yang berkata,
الثمُ حُوازز القلوب:
“Dosa itu apa saja yang membekas di hati.”
Perkataan Ibnu Mas’ud yang pertama juga diriwayatkan dari Salman, Sa’id bin Jubair,
Hasan Basri, Muwarriq Al-Ijli, Ibrahim An-Nakhai, Ibnu Sirin, dan lain-lain. Atsar-atsar
tersebut ada di buku Al-Adab karangan Humaid bin Zanjawih. Sebagiannya ada di buku
Al-Jami’ karangan Al-Khallal, Mushannaf Abdurrazzaq, Mushannaf ibnu Abu Syaibah,
dan lain-lain. Jika barang diketahui secara pasti haram dan diambil dengan cara yang
haram, sesuatu tersebut haram diambil. Ibnu Abdul Barr dan lain-lain menyebutkan
bahwa ulama sepakat tentang hal tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Sirin tentang orang
yang membayar hutang dengan harta riba kemudian Ibnu Sirin berkata, “Itu tidak ada
masalah.” Tentang orang yang membayar hutang dengan harta hasil judi, Ibnu Sirin
berkata, “Tidak ada masalah.” Diriwayatkan Al-Khallal dengan sanad shahih. Pendapat
kebalikannya diriwayatkan dari Al-Hasan yang berkata, “Sesungguhnya pendapatan
seperti itu (riba dan judi) adalah rusak. Oleh karena itu, ambillah daripadanya seperti
dalam keadaan darurat.”
Pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Salman bertentangan dengan riwayat
dari Abu Bakr Ash-Shiddiq yang makan makanan kemudian diberitahu bahwa makanan
tersebut haram, lalu ia memuntahkannya.
Ketidakjelasan juga bisa terjadi di hukum, karena cabang masalah tidak jelas di antara
akar-akar masalah yang menariknya, misalnya pengharaman seorang suami terhadap
istrinya. Masalah tersebut tidak jelas antara pengharaman dzihar yang hanya bisa
dihilangkan dengan kafarat besar dengan pengharaman cerai pertama di mana jika masa
iddah-nya habis Maka isteri tersebut dihalalkan bagi suaminya dengan akad baru, atau
pengharaman cerai tiga di mana istri tidak dihalalkan lagi bagi suaminya kecuali dengan
istri tersebut dinikahi terlebih dahulu oleh laki-laki lain dan laki-laki tersebut
menggaulinya, atau pengharaman orang tersebut terhadap makanan dan minuman yang
dihalalkan Allah dan pengharaman tersebut mewajibkan kafarat kecil atau tidak
mewajibkan apa-apa karena masalah tersebut masih diperdebatkan. Banyak sekali
perbedaan pendapat di kalangan generasi sahabat dan sesudah mereka dalam masalah ini.
Kesimpulannya bahwa hal-hal yang tidak jelas (musytabihat) yang tidak terlihat jelas
halal atau haram oleh kebanyakan manusia seperti disabdakan Nabi saw itu diketahui
Pada sabda di atas, Nabi saw membagi manusia dalam hal-hal musytabihat ke dalam dua
kelompok. Pembagian tersebut kepada orang yang mempunyai ketidakjelasan terhadap
hal-hal musytabihat, yaitu orang yang tidak mengetahuinya. Sedang orang yang
mengetahuinya dan mengikuti apa yang ditunjukkan ilmunya terhadap hal-hal
musytabihat tersebut, ia masuk kelompok ketiga yang tidak disebutkan Nabi saw karena
status dirinya sudah jelas. Kelompok ketiga tersebut adalah kelompok terbaik di antara
ketiga kelompok karena ia mengetahui hukum Allah di hal-hal musytabihat yang terlihat
samar-samar oleh manusia dan mengikuti ilmunya dalam masalah tersebut. Sedang
orang-orang yang tidak mengetahui hukum Allah di dalamnya, mereka terbagi ke dalam
dua kelompok; salah satu dari kedua kelompok tersebut ialah orang-orang yang menjauhi
hal-hal syubhat tersebut karena perkara-perkara tersebut tidak jelas baginya. Kelompok
ini telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatan.
Makna kata istabra’a di hadits di atas ialah mencari kebersihan untuk agama dan
kehormatannya dan kekurangan dari celaan. Kata al-’idhu (kehormatan) pada hadits di
atas maksudnya ialah letak pujian dan celaan pada seseorang. Sebutan baik ialah pujian
sedang sebutan jelek ialah celaan. Terkadarg kehormatan itu pada diri orang yang
bersangkutan, atau pada nenek moyangnya, atau pada keluarganya. Jadi, barangsiapa
menjauhi hal-hal musytabihat dan menghindarinya, sungguh ia menjaga kehormatannya
dari celaan dan hinaan yang masuk pada orang yang tidak menjauhi hal-hal musytabihat
Ini bukti bahwa orang yang mengerjakan hal-hal syubhat itu membuat dirinya untuk
dicela dan dihina, seperti dikatakan salah seorang dari generasi salaf, “Barangsiapa
Maksudnya, barangsiapa meninggalkan dosa padahal dosa tersebut tidak jelas baginya
dan tidak terbukti secara pasti, ia akan lebih meninggalkannya lagi jika terlihat jelas
olehnya bahwa itu benar-benar dosa. Itu dengan syarat orang tersebut meninggalkan dosa
tersebut karena menjauhi dosa. Sedang orang yang meninggalkannya karena riya’, ia
tidak meninggalkan kecuali sesuatu yang ia anggap terpuji bagi mereka jika sesuatu
tersebut ditinggalkan.
Kelompok kedua ialah orang yang terjerumus ke dalam hal-hal musytabihat padahal hal-
hal tersebut tidak jelas baginya. Adapun orang yang mengerjakan sesuatu yang dikira
syubhat oleh manusia dan ia mengetahui sesuatu tersebut halal, maka ia tidak berdosa di
sisi Allah. Namun jika ia khawatir dikecam manusia karena sesuatu yang tidak jelas
tersebut; sehingga ia meninggalkannya karena mencari kebersihan untuk kehormatannya,
maka itu baik. .ini seperti disabdakan Nabi saw kepada orang yang melihat beliau berdiri
dengan Shafiyah, “Dia Shafiyah binti Huyai.”
Pada suatu hari, Anas bin Mauk berangkat untuk menunaikan shalat Jum’at, namun ia
melihat orang-orang telah mengerjakan shalat Jum’at dan pulang ke rumahnya masing-
masing. Ia pun malu lalu masuk ke tempat yang tidak dilihat manusia. Ia berkata,
“Barangsiapa tidak malu kepada manusia, ia tidak malu kepada Allah.” Diriwayatkan
Ath-Thabrani secara marfu’ namun itu tidak benar.
Jika orang tersebut mengerjakan sesuatu tersebut karena ia meyakininya halal
“Halal itu jelas dan haram juga jelas. Di antara keduanya terdapat hal-hal yang tidak
jelas. Barangsiapa menjauhi hal yang tidak jelas tersebut, maka itu lebih bersih bagi
agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak jelas,
ia nyaris terjerumus ke dalam haram, seperti penggembala disekitar hima (lahan khusus
yang tidak boleh dimasuki) yang nyaris terjerumus ke dalam hima tersebut tanpa ia
rasakan. “(Diriwayatkan Ath-Thabrani dan lain-lain).
Sebagian dari generasi salaf tidak makan kecuali sesuatu yang telah ia ketahui darimana
datangnya dan menanyakannya hingga mengetahui asal-usulnya. Tentang hal ini ada
hadits dari Nabi saw, namun terdapat padanya kelemahan.
Sabda Rasulullah saw, “Seperti penggembala yang menggembala disekitar hima (lahan
khusus yang tidak boleh dimasuki siapa pun), ia dikhawatirkan menggembala di
dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai hima dan ketahuilah bahwa hima
Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya,” adalah perumpamaan yang dibuat Nabi
saw tentang orang yang terjerumus ke dalam hal-hal syubhat dan ia kemungkinan kuat
terjerumus ke dalam haram. Di sebagian riwayat disebutkan bahwa Nabi saw bersabda,
“Aku akan membuat perumpamaan tentang hal tersebut .”
Kemudian Nabi saw menyebutkan hadits tersebut. Di hadits tersebut, Nabi saw
mengumpamakan hal-hal yang diharamkan seperti hima yang dijaga para raja dan mereka
melarang siapa pun untuk mendekatinya. Nabi saw menjadikan lahan seluas dua mil di
sekitar Madinah sebagai hima haram di mana pohonnya tidak boleh ditebang dan hewan
buruannya tidak boleh diburu. Hima Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan ialah
lahan-lahan tempat tumbuh rumput untuk unta-unta zakat.
Juga disebutkan di Shahih Al-Bukhari hadits nomer 3059 dari jalur Zaid bin Aslam dari
ayahnya bahwa Umar bin Khaththab ra mengangkat mantan budaknya, Hunai, sebagai
penjaga hima dan berkata, “Hai Hunai, bersikaplah ramah terhadap kaum Muslimin,
takutlah kepada mereka karena doa orang yang terdzalimi itu dikabulkan, izinkan masuk
pemilik sedikit unta dan pemilik sedikit kambing, tinggalkan unta Ibnu Alif, dan unta
Ibnu Affan, karena jika hewan ternak keduanya mati, keduanya pergi ke kurma dan
tanaman. Sedang jika hewan ternak pemilik sedikit unta dan kambing, maka keduanya
Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih seperti dikatakan Al Hafidz Ibnu
Hajar di Fathul Bari 5/45 dari Nafi’ dan Ibnu Umar ra bahwa Umar bin Khaththab
melindungi Ar-Rabadzah untuk unta-unta zakat.
Al-Baihaqi di Sunan-nya 6/147 meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id mantan budak Abu
Usaid Al-Anshari yang berkata bahwa Utsman bin Affan ra mendengar delegasi Mesir
tiba kemudian ia menyambut mereka. Ketika mereka mendengar Utsman bin Affan,
mereka segera berangkat kepadanya. Utsman bin Affan tidak mau delegasi Mesir
menemuinya di Madinah, oleh karena itu, ia datang kepada mereka. Mereka berkata
kepada Utsman bin Affan, “Ambillah A1-Qur’an dan bacalah As-Sabi’ah - delegasi
Mesir menamakan sunat Yunus sebagai As-Sabi’ah.” Utsman bin Affan pun
membacanya. Ketika Utsman bin Affan sampai pada ayat, “Katakanlah, ‘Terangkanlah
kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepada kalian, lalu kalian jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. ‘Katakanlah, Apakah Allah telah
memberikan izin kepada kalian (tentang ini) atau kalian mengada-adakan saja terhadap
Allah?“ (Yunus: 59), delegasi Mesir berkata, “Berhentilah Bagaimana pendapatmu
tentang hima yang engkau lindungi? Apakah Allah telah mengizinkanmu berbuat seperti
itu ataukah engkau mengada-ngada terhadap Allah?” Utsman bin Affan berkata,
“Berjalanlah dan engkau berhenti di tempat ini dan itu. Sesungguhnya Umar bin
Kháthab melindungi hima sebelumku untuk unta-unta sedekah. Ketika aku diangkat
menjadi khalifah, unta-unta zakat menjadi banyak kemudian aku menambah hima karena
zakat bertambah.” Baca buku Syarhus Sunnah 8/272-275.
Pada ayat di atas terdapat penjelasan bahwa Allah telah menetapkan bagi manusia apa
yang Dia halalkan dan haramkan untuk mereka, oleh karena itu, mereka tidak boleh
mendekati hal-hal haram dan tidak boleh melanggar hal-hal halal. Untuk itu, Allah Ta’ala
berfirman di ayat lain,
“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya; barangsiapa
melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang dzalim.“(Al Baqarah:
229).
At-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dan Abdullah bin Yazid dari Nabi saw
yang bersabda,
“Seoranghamba tidak bisa menjadi salah seorang dari orang-orang bertakwa hingga ia
meninggalkan sesuatu yang tida kada madzarat di dalamnya karena khawatir sesuatu
tersebut termasuk sesuatu yang bermadzarat”
Abu Ad-Darda’ berkata, “Puncak ketakwaan ialah seorang hamba bertakwa kepada
Allah hingga ia bertakwa kepada-Nya dan yang sebesar biji sawi dan meninggalkan
sesuatu yang ia lihat halal karena khawatir sesuatu tersebut haram dan membuat jarak
dengan haram.”
Al Hasan berkata, “Takwa tetap ada pada orang-orang bertakwa hingga mereka
meninggalkan kebanyakan dari halal karena takut kepada haram.”
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra yang berkata, “Sungguh aku ingin membuat pembatas
antara aku dengan haram dan halal yang tidak aku robek.”
Maimun bin Mihran berkata, “Halal tidak tunduk kepada seseorang hingga ia membuat
pembatas dari halal antara dirinya dengan haram.” Sufyan bin Uyainah berkata,
“Seorang hamba tidak merasakan hakikat iman hingga ia membuat pembatas dari halal
antara dirinya dengan haram dan hingga ia meninggalkan dosa dan sesuatu yang mirip
dengannya.”
Berdasarkan hadits tersebut, sejumlah ulama berpendapat perlu kiranya penutupan semua
jalan kepada hal-hal haram dan pengharaman seluruh sarana kepadanya. Hadits tersebut
juga menunjukkan tentang kaidah-kaidah syariat, misalnya pengharaman sedikit dari
sesuatu yang jika banyak memabukkan, pengharaman berduaan dengan wanita asing
(wanita bukan mahram), pengharaman shalat setelah Shubuh dan setelah Ashar untuk
menutup jalan terjadinya shalat saat terbit dan terbenamnya matahari, larangan mencium
isteri bagi orang yang berpuasa jika hal tersebut membangkitkan syahwatnya, dan
larangan bercumbu dengan istri yang haid di antara pusat dan lututnya kecuali dengan
penutup (maksudnya, isteri memakai kain) seperti diriwayatkan di hadits bahwa
Rasulullah saw menyuruh isteri beliau yang haid untuk menggunakan kain kemudian
beliau mencumbuinya dari atas kain tersebut.
Perumpamaan hadits di atas - perumpamaan ini mirip dengan perumpamaan yang telah
dibuat Nabi saw - ialah barangsiapa melepas ternaknya merumput di dekat tanaman milik
orang lain, maka ia bentanggung jawab terhadap tanaman yang dirusak ternaknya,
Ada perbedaan pendapat dalam kasus jika seseorang mengirim anjing berburu di tempat
dekat dengan tanah haram kemudian anjing berburu tersebut memasuki tanah haram dan
berburu di dalamnya. Tentang keharusan pemilik anjing berburu tersebut menanggung
kerugian yang diakibatkan anjingnya ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Ada yang
mengatakan, pemilik anjing berburu tersebut harus menanggung kerusakan yang
diakibatkan anjing berburunya dalam kondisi apa pun. Sabda Rasulullah saw,
“Ketahuilah bahwa di tubuh terdapat segumpal darah. Jika segumpal darah tersebut
baik maka seluruh tubuh menjadi baik dan jika segumpal darah tersebut jelek maka
selurub tubuh menjadi jèlek Ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati’
“adalah isyarat bahwa kebaikan aktivitas seorang hamba dengan organ tubuhnya,
sikapnya menjauhi hal-hal haram, dan menghindari hal-hal syubhat itu sangat ditentukan
oleh kebaikan aktivitas hatinya.
Jika hati sehat dalam arti hanya berisi cinta kepada Allah, mencintai apa saja yang
dicintai Allah, takut kepada Allah, dan takut terjerumus ke dalam apa saja yang dibenci-
Nya, maka seluruh aktivitas tubuh menjadi baik, muncullah sikap menjauhi seluruh hal-
hal haram, dan menghindari hal-hal syubhat karena khawatir terjerumus ke dalam hal-hal
haram.
Seba!iknya, jika hati rusak, sikap mengikuti hawa nafsu dominan di dalamnya, dan
mencari apa saja yang dicintai hawa nafsu kendati dibenci Allah, maka rusaklah semua
aktivitas organ tubuh dan meluncur kepada kemaksiatan-kemaksiatan dan hal-hal syubhat
sesuai dengan kadar sejauh mana hawa nafsu mengikuti hati. Oleh karena itu, dikatakan
bahwa hati adalah raja sedang organ tubuh lainnya adalah tentaranya. Organ tubuh
tersebut taat kepada hati, termotivasi patuh kepadanya, mengerjakan seluruh instruksinya,
dan tidak menentangnya dalam perkara apa pun. Jika raja baik, maka tentara-tentaranya
juga baik. Sebaliknya, jika raja tersebut rusak, rusak pula tentara-tentaranya. Tidak ada
yang berguna di sisi Allah kecuali hati yang sehat seperti difirmankan Allah Ta’ala,
“(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.“ (Asy-Syu’ara’: 88-89).
Disebutkan di Musnad Imam Ahmad hadits dari Anas bin Mauk ra dari Nabi saw yang
bersabda,
“Iman seorang hamba tidak lurushingga hatinya lurus.“
Yang dimaksud dengan iman yang lurus ialah amal perbuatan organ tubuh yang lurus,
karena amal perbuatan organ tubuh tidak lurus kecuali dengan kelurusan hati. Yang
Dari sini bisa diketahui bahwa tidak ada kebaikan bagi alam tinggi dan rendah hingga
seluruh akivitas penghuninya karena A1lah semata. Seluruh tubuh itu mengikuti aktivitas
dan keinginan hati. Jika pengerakan dan kehendak hati karena Allah semata, maka hati
dan seluruh pergerakan tubuh menjadi baik. Jika pergerakan dan keinginan hati karena
selain Allah, hati menjadi rusak. Kerusakan aktivitas tubuh sangat tergantung kepada
sejauh mana kerusakan hati.
Di Shahih AL Hakim disebutkan hadits dari Aisyah ra dari Nabi saw yang bersabda,
“Syirik itu lebih tersembunyi daripada semut kecil di atas batu pada malam yang gelap.
Syirik terendah ialah engkau mencintai sesuatu dari kedzaliman dan membenci sesuatu
dari keadilan. Agama tidak lain adalah cinta dan benci, Allah Ta’ala berfirman,
‘Katakan, Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosa kalian” (Ali Imran: 31).”
Ini menunjukkan bahwa mencintai sesuatu yang dibenci Allah dan membenci sesuatu
yang dicintai Allah adalah sikap mengikuti hawa nafsu. Bersahabat dan memusuhi karena
hawa nafsu termasuk syirik tensembunyi. Hal ini ditunjukkan firman Allah Ta’ala,
“Katakan, jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosa kalian “(Ali Imnan: 31).
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa bukti kejujuran dalam mencintai-Nya
ialah mengikuti Rasul-Nya. Ini menunjukkan bahwa cinta tidak sempurna tanpa ketaatan
dan menyesuaikan diri dengan pihak yang dicintai.
فأحُ س. ب ربنا حُب ا شديدا
قال أصحُاب النبي: قال الحُسن : ب ال أن يجعللل لحُبلله إنا كنحُ ز، يا رسول ال
فأنزل ال هذه الية، حعحلم ا: قل إن كنتم نتحبون ال فاتبعُوني نيحببكم ال . من
Al Hasan berkata bahwa sahabat- sahabat Rasulullah saw berkata, “Wahai Rasulullah,
Dzun Nun pernah ditanya, “Kapan saya mencintai Tuhanku?” Dzun Nun menjawab,
“Jika sesuatu yang membuatmu benci itu lebih pahit daripada kesabaran.”
Bisyr bin As-Sari berkata, “Bukan tanda cinta kalau engkau mencintai sesuatu yang
dibenci kekasihmu.”
Abu Ya’qub An-Nahr Jun berkata, “Siapa saja yang mengklaim cinta Allah, namun tidak
sinkron dengan Allah dalam perintah-Nya, mencintainya palsu.”
Ruwaint berkata, “Cinta ialah menyesuaikan diri dengan pihak yang dicintai dalam
semua kondisi.” Yahya bin Muadz berkata, “Tidak benar orang yang mengklaim cinta
Allah, namun ia tidak menjaga hukum-hukum-Nya.” Salah seorang dari generasi salaf
berkata, “Saya pernah membaca salah satu buku terdahulu. Di dalamnya disebutkan,
‘Barangsiapa cinta Allah, ia tidak mempunyai sesuatu yang lebih ia utamakan daripada
keridhaan-Nya. Barangsiapa cinta dunia, tidak ada sesuatu yang lebih ia pentingkan
daripada hawa nafsunya.”
Ini artinya jika seluruh aktivitas hati dan organ tubuh itu karena Allah Ta’ala, maka iman
seorang hamba menjadi sempurna baik lahir maupun batin. Kebaikan aktivitas hati
menghasilkan kebaikan aktivitas organ tubuh. Jika hati baik dan di dalamnya hanya ada
keinginan Allah dan keinginan kepada sesuatu yang diinginkan-Nya, maka organ tubuh
terdorong kepada sesuatu yang diinginkan Allah, oleh karena itu, organ tubuh bersegera
kepada sesuatu yang di dalamnya terdapat keridhaan-Nya, menahan diri dari sesuatu yang
dibenci-Nya, dan takut dari sesuatu yang dikhawatirkan termasuk sesuatu yang dibenci-
Nya kendati ia belum meyakini sesuatu tersebut termasuk sesuatu yang dibenci-Nya.
Al Hasan berkata, “Aku tidak melihat dengan mataku, berbicara dengan lidahku,
bergerak dengan tanganiku, dan berjalan di atas kakiku hingga aku berpikir apakah itu
Muhammad bin Al Fadhi Al Balkhi berkata, “Selama empat puluh tahun, aku tidak
pernah melangkah satu langkah pun untuk selain Allah Azza wa Jalla.” Dikatakan
kepada Daud Ath-Thai, “Bagaimana kalau engkau pindah dari tempat berteduh ke bawah
sinar terik matahari?”
Daud Ath-Thai berkata, “Aku tidak tahu bagaimana langkah seperti itu ditulis.”
Karena hati generasi salaf baik dan di dalamnya tidak ada keinginan kepada selain Allah
Azza wa Jalla, maka organ tubuh mereka menjadi baik dan tidak tergerak kecuali karena
Allah Azza wa Jalla dan kepada sesuatu yang di dalamnya terdapat keridhaan-Nya,
wallahu a ‘lam.
ooOoo