Anda di halaman 1dari 48

COR PULMONALE

Synonims:

Pulmonary heart disease, cardiopulmonary disease.

Definisi :

1. Menurut WHO ( 1963 ), Definisi Cor Pulmonale adalah: Keadaan patologis dengan di
temukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan
struktur paru. Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri
dan penyakit jantung konginetal ( bawaan ).
2. Menurut Braunwahl ( 1980 ), Cor Pulmonale adalah: Keadaan patologis akibat hipertrofi/
dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal.

Penyebabnya antara lain: penyakit parenkim paru, kelainan vaskuler paru dan gangguan
fungsi paru karena kelainan thoraks.Tidak termasuk kelainan vaskuler paru yang disebabkan
kelaianan vebtrikel kiri, vitium cordis, penyakit jantung bawaan, penyakit jantung iskemik
dan infark miokard akut.

Penyebab

Sebagian besar insidens Cor Pulmonale karena Penyakit Paru Obstruksi Menahun (Chronic
Obstructive Pulmonary Disease) sebagai akibat proses kronik dari Asma bronkial, Empisema paru.

Penyakit Paru Menahun yang menyebabkan Cor Pulmonale :

1. Tuberkulosis
2. Harasawa 10,7 %
3. Moerdowo 47,3 %
4. Bronkiektasis
5. Adam 25,7 %
6. Padmawati 20,6 %
7. Bronkitis kronis
8. Fisher 40,0 %
9. Padmawati 64,7 %
10. Emfisema paru
11. Harasawa 82,1 %
12. Moerdowo 90,2 %
Patogenesis terjadinya PPOM:

1. Rangsangan Kimia
2. Predisposisi Bawaan
3. Faktor Infeksi
4. Faktor Lingkungan dan Iklim
5. Faktor Sosial-Ekonomi
6. Kelainan Thoraks
7. Kelainan Kontrol Pernafasan

Patofisiologi

Terjadinya penyakit ini diawali dengan kelainan struktural di paru, yakni kelainan di parenkim paru
yang bersifat menahun kemudian berlanjut pada kelainan jantung. Perjalanan dari kelainan fungsi
paru menuju kelainan fungsi jantung, secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Hipoventilasi alveoli
2. Menyempitnya area aliran darah dalam paru ( vascular bed )
3. Terjadinya shunt dalam paru
4. Peningkatan tekanan arteri pulmonal
5. Kelainan jantung kanan
6. Kelainan karena hipoksemia relatif pada miocard

Gejala klinis

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, Cor Pulmonale dibagi menjadi 5 fase, yakni:

Fase: 1

Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas, selain ditemukannya gejala awal penyakit paru
obstruktif menahun (ppom), bronkitis kronis, tbc lama, bronkiektasis dan sejenisnya. Anamnesa
pada pasien 50 tahunbiasanya didapatkan adanya kebiasaan banyak merokok.

Fase: 2

Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya ventilasi paru. Gejalanya antara lain:
batuk lama berdahak (terutama bronkiektasis), sesak napas / mengi, sesak napas
ketika berjalan menanjak atau setelah banyak bicara. Sedangkan sianosis masih belum nampak.
Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan berupa: hipersonor, suara napas berkurang, ekspirasi
memanjang, ronchi basah dan kering, wheezing. Letak diafragma rendah dan denyut jantungm
lebih redup. Pemeriksaan radiologi menunjukkan berkurangnya bronchovascular pattern, letak
diafragma rendah dan mendatar, posisi jantung vertikal.

Fase: 3

Pada fase ini nampak gejala hipoksemia yang lebih jelas. Didapatkan pula berkurangnya nafsu
makan, berat badan berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik nampak sianotik, disertai sesak dan
tanda-tanda emfisema yang lebih nyata.

Fase: 4

Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung kadang somnolens. Pada keadaan yang
berat dapat terjadi koma dan kehilangan kesadaran.

Fase: 5

Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri pulmonal meningkat.

Tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel, namun fungsi ventrikel kanan masih dapat kompensasi.
Selanjutnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan kemudian terjadi

gagal jantung kanan. Pemeriksaan fisik nampak sianotik, bendungan vena jugularis,

hepatomegali, edema tungkai dan kadang ascites.

Pemeriksaan Penunjang:

1. Pemeriksaan Radiologi

2. Pemeriksaan EKG

Penatalaksanaan

1. Konseling ( penyuluhan ).
2. Memperbaiki fungsi pernafasan dan pengobatan terhadap obstruksi kronis.

3. Memperbaiki fungsi jantung dan pengobatan gagal jantung kongestif.

Konseling

Memberikan edukasi agar pasien menghindari segala jenis polusi udara dan berhenti merokok.
Memperbaiki ventilasi ruangan-ruangan dalam rumah. Latihan pernafasan dengan bimbingan ahli
fisioterapi.

Memperbaiki Fungsi Paru

Selain upaya latihan pernafasan di atas, diperlakukan pemberian medikamentosa.

a. Bronkodilator

Aminofilin: Menghilangkan spasme saluran pernafasan Beta 2 adrenergik selektif (Terbutalin atau
Salbutamol ). Berkhasiat vasodilator pulmoner, sehingga diharapkan dapat menambah aliran darah
paru. Dosis obat diatas dapat dilihat di buku Farmakoterapi.

Mukolitik dan ekspektoran

Mukolitik berguna untuk mencairkan dahak dengan memecah ikatan rantai kimianya, sedangkan
ekspektoran untuk mengeluarkan dahak dari paru.

c. Antibiotika

Pemberian antibiotika diperlukan karena biasanya kelainan parenkim paru disebabkan oleh mikro-
organisme, diantaranya: Hemophylus influenzae dan Pneumococcus.

Dapat pula disebabkan oleh Staphylococcus dan bakteri Gram negatif seperti: Klebsiella. Idealnya,
pemberian antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur dahak. Sambil

menunggu hasil kultur, bisa diberikan antibiotika spectrum luas dalam 2 hari pertama.

Hemophylus influenzae, peka terhadap ampisilin, sefalospurin, kotrimoksazol.


Pneumococcus, peka terhadap golongan penisilin. Staphylococcus, peka terhadap metisilin,
kloksasilin, flukoksasilin, dan eritromisin. Klebsiella, peka terhadap gentamisin, streptomisin dan
polimiksin.

Oksigenasi

Peningkatan PaCO2 ( tekanan karbondiosida arterial ) dan asidosis pada penderita PPOM disebabkan
tidak sempurnanya pengeluaran CO2 sehingga menimbulkan hipoksemia.

Hal ini dapat diatasi dengan pemberian oksigen 20-30 % melalui masker venturi. Dapat pula
diberikan oksigen secara intermitten dengan kadar 30-50 % secara lambat 1-3 liter permenit.

Pengobatan

Pada gagal jantung kanan

Diuretika

Pemberian diuretika seperti furosemid atau hidroklorotiazid diharapkan dapat mengurangi kongesti
edema dengan cara mengeluarkan natrium dan menurunkan volume darah. Sehingga pertukaran
udara dalam paru dapat diperbaiki, dan hipoksia maupun beban jantung kanan dapat dikurangi.

Digitalis

Preparat digitalis ( digoxin, cedilanid dan sejenisnya ) perlu diberikan kepada penderita dengan
Gagal Jantung kanan berat.

Pengelolaan Hipoksemia menurut Sykes ( 1976 ):

1. Pemberian Antibiotika, diuretik, mukolitik dan obat bronkodilator sebagai tindakan dasar
penyakit paru obstruktif menahun.
2. Pada hipoksemia berat, perlu diberikan oksigenasi terkontrol dan menjaga agar tidak
terjadi CO2 narkosis.
3. Stimulan pernafasan ( seperti doksapram ) perlu diberikan pada penderita yang mengalami
CO2 narkosis.
4. Bila semua usaha di atas gagal, maka dilakukan pernafasan buatan dengan intubasi
endotrakeal atau bila perlu trakeotomi dan pemasangan ventilator mekanik.
Prognosis

Prognosis Cor Pulmonale sangat jelek dikarenakan kerusakan parenkim paru yang berlangsung lama
dan irreversible.Pengobatan bersifat simptomatis, karena pada umumnya kondisi penyakit sudah
dalam fase lanjut.

Berdasarkan penelitian, angka kemungkinan masa hidupberkisar antara 18 bulan ( Flint) sampai 30,
8 bulan dengan angka kematian setelah 5 tahun mencapai 68 % (Stuart Harris

dan Ude)

Kesimpulan:

Angka kematian Cor Pulmonale masih tinggi. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan
menanggulangi PPOM yang menjadi dasar etio-patogenesis Cor Pulmonale.

Upaya Pencegahan.

Penderita dianjurkan berhenti merokok dan menghindarkan diri dari polusi udara, terutama di
daerah tambang dan industri.Tak kalah penting adalah memperbaiki lingkungan tempat tinggal, dan
bagi penderita tidak mampu sedapat mungkin

menghindari dan mengobati penyakit infeksi saluran nafas secara dini.

Referensi:

1. National Heart, Lung, and Bethesda, COPD, U.S.Department of Health, 2003.


Askep Penyakit Jantung Paru (Cor Pulmonal)
PENYAKIT JANTUNG PARU (KOR PULMONAL)

A. Konsep Medis

1. Pengertian
Menurut Irman Sumantri (2009), Kor pulmonal adalah terjadinya pembesaran dari jantung
kanan (dengan atau tanpa gagal jantung kiri) sebagai akibat dari penyakit yang
mempengaruhi struktur atau fungsi dari paru-paru atau vaskularisasinya.

Pulmonary heart disease adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan/atau dilatasi)
yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada kontrol
pernafasan. Tidak termasuk di dalamnya kelainan jantung kanan yang terjadi akibat kelainan

jantung kiri atau penyakit jantung bawaan.


Pulmonary heart disease dapat terjadi akut maupun kronik. Penyebab pulmonary heart
disease akut tersering adalah emboli paru masif, sedangkan pulmonary heart disease kronik
sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada pulmonary heart
disease kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan, sedangkan pada pulmonary heart
disease akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.

Tidak semua pasien PPOK akan mengalami pulmonary heart disease, karena banyak usaha
pengobatan yang dilakukan untuk mempertahankan kadar oksigen darah arteri mendekati
normal sehingga dapat mencegah terjadinya Hipertensi Pulmonal. Pada umumnya, makin
berat gangguan keseimbangan ventilasi perfusi, akan semakin mudah terjadi ganguan analisis
gas darah sehingga akan semakin besar terjadinya Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart
disease. Penyakit yang hanya mengenai sebagian kecil paru tidak akan begitu mempengaruhi
pertukaran gas antara alveoli dan kapiler sehingga jarang menyebabkan terjadinya Hipertensi
Pulmonal dan pulmonary heart disease. Tuberculosis yang mengenai kedua lobus paru secara
luas akan menyebabkan terjadinya fibrosis disertai gangguan fungsi paru sehingga
menyebabkan terjadinya pulmonary heart disease. Hipoventilasi alveoli sekunder akibat sleep
apnea syndrome tidak jarang disertai dengan Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart
disease Kronik.
1. Anatomi Dan Fisiologi
Saluran pernafasan bagian atas terdiri atas :

1. Lubang hidung (cavum nasalis )


Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago). Hidung dibentuk oleh
sebagian tulang sejati, sisanya terdiri atas kartilago dan jaringan ikat (connective tissue).
Bagian dalam hidung merupakan suatu lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan
kanan oleh sekat (septum). Rongga hidung mengandung rambut (fimbrie) yang berfungsi
sebagai penyaring (filter) kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan (mukosa)
hidung terdapat epitel bersilia yang mengandung sel goblet. Sel tersebut mengeluarkan lender
sehingga dapat menangkap benda asing yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Kita dapat
mencium aroma karena di dalam lubang hidung terdapat reseptor. Reseptor bau terletak pada
cibriform plate, didalamnya terdapat ujung dari saraf krania I (nervous olfactorium)

Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, pengatur udara, pengatur kelembaban udara
(humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara, indra pencium, dan resonator
suara. Fungsi hidung sebagai pelindung dan penyaring dilakukan oleh vibrissa, lapisan
lender, dan enzim lozosim. Vibrissa adalah rambut vestibulum nasi yang bertugas sebagai
penyaring debu dan kotoran (partikel berukuran besar). Debu-debu kecil dan kotoran (partikel
kecil) yang masih dapat melewati vibrissa akan melekat pada lapisan lender dan selanjutnya
dikeluarkan oleh refleks bersin. Jika dalam udara masih terdapat bakteri (partikel sangat
kecil), maka enzim lizosim yang menghancurkannya.

1. Sinus para nasal


Sinus para nasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala. Dinamakan sesuai
dengan tulang tempat dia berada yaitu sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis,
dan sinus maxilaris. Sinus berfungsi untuk :

1) Membantu menghangatkan dan humidifikasi

2) Meringankan berat tulang tengkorak

3) Mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi

1. Faring
Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong (+ 13 cm) yang letaknya bermula dari
dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan
(kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat digestion (menelan) seperti pada saat
bernafas. Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi tiga yaitu dibelakang hidung (nasi-
faring), belakang mulut (oro-faring), dan belakang (laringo-faring).
1. Laring
Laring sering disebut dengan voice box dibentuk oleh struktur epitrlium lined yang
berhubungan dengan faring (di atas) dan trakea (di bawah). Lring terletak di anterior tulang
belakang (vertebra) ke-4

dan ke-6. Bagian atas dari esophagus berada di posterior laring.

Fungsi utama laring adalah untuk pembetukan suara, sebagai protek jalan nafas bawah dari
benda asing dan untuk memfasilitasi proses terjadinya batuk. Laring terdiri atas :

1) Eoiglotis : katup kartilago yang menutup dan membuka selama menelan.

2) Glotis : lubang antara pita suara dan laring.

3) Kartilago tiroid : kartilago yang terbesar pada trachea, terdapat bagian yang membentuk
jakun (adams apple).

4) Kartilago krikoid : cicin kartilago yang utuh di laring (terletak di bawah kartilago
tiroid).

5) Kartilago aritenoid : digunakan pada pergerakan pita suara bersama dengan kartilago
tiroid.

6) Pita suara : sebuah ligament yang dikontrol oleh pergerakan otot yang menghasilkan
suara dan menempel pada lumen laring.

Saluran pernafasan bagian bawah (tracheobronchial tree) terdiri atas :

1. Trachea
Trachea merupakan perpanjangan dari laring pada ketinggian tulang vertebrae torakal ke-7
yang bercabang menjadi dua bronkus. Ujung cabang trachea disebut carina. Trachea bersifat
sangat fleksibel, berotot dan memiliki panjang 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk huruf
C. pada cincin tersebut terdapat epitel bersilia tegak yang mengandung banyak sel goblet
yang mensekresikan lender (mucus).

1. Bronchus dan bronkhiolus


Cabang bronchus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan cenderung lebih vertical daripada
cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing lebih mudah masuk ke dalam
cabang sebelah kanan daripada cabang bronchus sebelah kiri.
Segmen dan subsegmen bronchus bercabang lagi dan berbentuk seperti ranting masuk ke
setiap paru-paru. Bronchus disusun oleh jaringan kartilago sedangkan bronkiolus yang
berakhir di alveoli tidak mengandung kartilago. Tidak adanya kartilago menyebabkan
bronkhiolus mampu menangkap udara, namun juga dapat mengalami kolaps. Agar tidak
kolaps, alveoli dilengkapi dengan porus/lubang kecil yang terletak antar alveoli (kohn pores)
yang berfungsi untuk mencegah kolaps alveoli.

Saluran pernafasan mulai dari trakea sampai bronkiolus terminal tidak mengalami pertukaran
dan merupakan area yang dinamakan anatomical dead space. Banyaknya udara yang berada
dalam area tersebut adalah sebesar 150 ml. awal dari proses pertukaran gas terjadi di
bronkeolus respiratorius.

1. Alveoli
Parenkim paru-paru merupakan area yang aktif bekerja dari jaringan paru-paru. Parenkim
tersebut mengandung berjuta-juta unit alveolus. Alveolus merupakan kantong udara yang
berukuran sangat kecil, dan merupakan akhir dari bronkhiolus respiratorius sehingga
memungkinkan pertukaran O2 dan CO2. Seluruh dari unit alveoli terdiri dari bronkhiolus
respiratorius, duktus alveolus, dan alveolar sacs. Fungsi utama dari unit alveolus adalah
pertukaran O2 dan CO2 di antara kapiler pulmoner dan alveoli.

1. Paru-paru
Paru-pau terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang
iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus
sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan
jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa subbagian menjadi sekita sepuluh unit
terkecil yang disebut bronchopulmonary segments.

Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang sebut mediastinum. Jantung, aorta, vena
cava, pembuluh paru-paru, esophagus bagian dari trachea dan bronchus, serta kelenjar timus
terdapat pada mediastinum.

Sirkulasi pulmoner

Suplai darah ke dalam paru-paru merupakan suatu yang unik. Paru-paru mempunyai dua
sumber suplai darah yaitu arteri bronkhialis dan arteri pulmonalis. Sirkulasi bronchial
menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi siatemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan
metabolism jaringan paru-paru. Arteri bronkhialis berasal dari aorta torakalis dan berjalan
sepanjang dinding posterior bronchus. Vena bronkhialis akan mengalirkan darah menuju
vena pulmonalis.
Kendali pernafasan

Fungsi mekanik pergerakan udara masuk dan keluar dari paru-pau dinamakan ventilasi.
Mekanisme tersebut dilaksanakan oleh sejumlah komponen factor yang saling berinteraksi.
Factor tersebut mengendalikan proses masuknya udara ke dalam paru-paru agar pertukaran
gas dapat berlangsung. Factor yang dapat mengendalikan pernafasan adalah :

1. Factor local
Kondisi paru itu sendiri dan dinding dada yang mengelilingi paru-paru, dimana keduanya
berperan dalam pompa resiprokatif (timbale balik) yang disebut hembusan nafas.

1. Control medulla oblongata


Sebagai pusat control pernafasan, terdapat daerah ritmik medulla oblongata yang terdiri dari
neuron inspirasi dan ekspirasi.

1. Control pons
Mengatur transisi dari fase inspirasi ke ekspirasi

1. Reflek hering –breur


Reseptor yang mengatur tingkat peregangan paru-paru sebagai pelindung agar tidak terjadi
pengembangan yang berlebihan.

1. Kendali korteks
Kendali korteks terbatas yaitu hanya dapat mengubah ritmik sebagai proteksi terhadap paru-
paru.

1. Efek latihan jasmani


Olahraga berat menyebabkan penggunaan O2 lebih besar dan poduk CO2 lebih besar pula.

1. efek altitude/ ketinggian


tempat ketinggian akan menyebabkan penurunan tekanan oksigen atmosfer, akibatnya
seseorang yang berada pada tempat tinggi akan mengalami peningkatan ritme nafas, denyut
jangtung, dan kedalaman pernafasan yang lazim terlihat pada seseorang yang sedang
melakukan aktivitas.

Fisiologi pernafasan

Proses respirasi dapat dibagi menjadi tiga proses utama :


1. ventilasi pulmonal adalah proses keluar masuknya udara dan atmosfer dal alveoli
paru-paru
2. difusi adalah proses pertukaran O2 dan Co2 antara alveoli dan darah
3. transfortasi adalah proses beredarnya gas dalam darah dan cairan tubuh ked an dari
sel-sel
Proses fisiologi respirasi dibagi menjadi tiga stadium yaitu :

1. difusi gas-gas antara alveolus dengan kapiler paru-paru dan darah sistemik dengan
sel-sel jaringan.
2. Distribusi darah adalah sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannya dengan distribusi
udara dalam alveolus-alveolus.
3. Reaksi kimia dan fisik O2 dan CO2 dengan darah
Proses repirasi eksternal

1. Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar dari paru-paru dikarenakan adanya selisih tekanan udara di
atmosfer dan alveolus dan didukung oleh kerja mekanik otot-otot. Selama inspirasi, volume
rongga dada bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi
beberapa otot. Otot serratus, otot skaleneus, dan otot interkostalis eksternus berperan
mengangkat iga, sedangkan otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas.

1. Difusi
Stadium kedua proses respirasi mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane antara
alveolus-kapiler yang tipis. Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan
parsial antara darah dan fase gas. Tekanan O2 dalam atmosfer sama dengan tekanan laut
yakni + 149 mmHg.
Pada waktu O2 diinspirasi dan sampai pada alveolus, tekanan parsial ini mengalami
penurunan sampai sekitar 103 mmHg sebagai akibat dari udara yang tercampur dengan ruang
rugi anatomis pada saluran udara dan dengan uap air.

1. Transportasi
Transportasi gas antar paru-paru dan jaringan meliputi proses-proses berikut ini :

1) Transport oksigen dalam darah

Sistem pengangkutan O2 dalam tubuh terdiri atas paru-paru dan sistem kardiovaskuler.

2) Transport karbonsioksida dalam darah

3) Kurva disosiasi oksihemoglobin


Oksihemoglobin adala struktur terikatnya oksigen pada hemoglobin.

1. Etiologi
Banyak penyakit yang mempengaruhi paru dan hubungan dengan hipoksemia dapat
menyebabkan kor pulmonal disebabkan oleh hal-hal berikut ini.

1. Penyakit paru-paru merata


Terutama emfisema, bronchitis kronis (COPD), dan fibrosis akibat TB

1. Penyakit pembuluh darah paru


Terutama thrombosis dan embolus paru dan fibrosis akibat penyinaran yang menyebabkan
penurunan elastisitas pembuluh darah paru.

1. Hipoventilasi alveolar menahun


Yaitu semua penyakit yang menghalangi pergerakan dada normal, seperti :

1) Penebalan pleura bilateral

2) Kelainan neuromuskuler, misalnya poliomyelitis dan distrofi otot

3) Kifoskoliosis yang mengakibatkan penurunan kapasistas rongga torak sehingga


pergerakan torak berkurang

1. Penyebab penyakit pulmonary heart disease antara lain :


1) Penyakit paru menahun dengan hipoksia :

a) Penyakit paru obstrutif kronik,

b) Fibrosis paru,

c) Penyakit fibrokistik,

d) Cryptogenic fibrosing alveolitis,

e) Penyakit paru lain yang berhubungan dengan hipoksia

2) Kelainan dinding dada : Kifos koliosis, torakoplasti, fibrosis pleura

Penyakit neuromuscular
3) Gangguan mekanisme control pernafasan :

Obesitas, hipoventilasi idopatik,

Penyakit serebro vascular.

4) Obstruksi saluran nafas atas pada anak :

a) Hipertrofi tonsil dan adenoid.

5) Kelainan primer pembuluh darah :

Hipertensi pulmonale primer emboli paru berulang dan vaskulitis pembuluh darah paru.

(nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id)

1. Klasifikasi
Secara umum kor pulmonal di bagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut

1. Kor pulmonal akut


Yaitu dilatasi mendadak dari ventrikel kanan dan dekompensasi.

Etiologi : embolus multiple pada paru-paru atau massif yang secara mendadak akan
menyumbat aliran darah dan ventrikel kanan.

Gejala : biasanya segera di susul oleh kematian, Terjadi dilatasi dari jantung kanan.

1. Kor pulmonal kronik


Merupakan jenis kor pulmonal yang paling sering terjadi. Dinyatakan sebagai hipertropi
ventrikel kanan akibat penyakit paru atau pembuluh darah atau adanya kelainan pada torak,
yang akan menyebabkan hipertensi dan hipoksia sehingga terjadi hipertropi ventrikel kanan.

Mekanisme terjadinya hipertensi pulmonale pada cor pulmunale dapat di bagi menjadi 4
kategori yaitu :

1. Obstuksi
Terjadi karena adanya emboli paru baik akut maupun kronik. Chronic Thromboembolic
Pulmonary Hypertesion (CTEPH) merupakan salah satu penyebab hipertensi pulmonale yang
penting dan terjadi pada 0.1 – 0.5 % pasien dengan emboli paru. Pada saat terjadi emboli
paru, system fibrinolisis akan bekerja untuk melarutkan bekuan darah sehingga hemodinamik
paru dapat berjalan dengan baik. Pada sebagian kecil pasien system fibrinolitik ini tidak
berjalan baik sehingga terbentuk emboli yang terorganisasi disertai pembentukkan
rekanalisasi dan akhirnya menyebabkan penyumbatan atau penyempitan pembuluh darah
paru.

1. Obliterasi
Penyakit intertisial paru yang sering menyebabkan hipertensi pulmonale adalah lupus
eritematosus sistemik scleroderma, sarkoidosis, asbestosis, dan pneumonitis radiasi. Pada
penyakit-penyakit tersebut adanya fibrosis paru dan infiltrasi sel-sel yang prodgersif selain
menyebabkan penebalan atau perubahan jaringan interstisium, penggantian matriks
mukopolisakarida normal dengan jaringan ikat, juga menyebabkan terjadinya obliterasi
pembuluh paru.

1. Vasokontriksi
Vasokontriksi pembuluh darah paru berperan penting dalam pathogenesis terjadinya
hipertensi pulmonale. Hipoksia sejauh ini merupakan vasokontrikstor yang paling penting.
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab yang paling di jumpai. Selain itu
tuberkolosis dan sindrom hipoventilasi lainnya misalnya sleep apnea syndrome, sindrom
hipoventilasi pada obesitas, dapat juga menyebabkan kelainan ini. Asidosis juga dapat
berperan sebagai vasokonstriktor pembuluh darah paru tetapi dengan potensi lebih rendah.
Hiperkapnea secara tersendiri tidak mempunyai efek fasokonstriksi tetepi secara tidak
langsung dapat meningkatkan tekanan arteri pulmunalis melalui efek asidosisnya.
Eritrositosis yang terjadi akibat hipoksia kronik dapat meningkatkan vikositas darah sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan arteri pumonalis.

1. Idiopatik
Kelainan idiopatik ini di dapatkan pada apsien hipertensi pulmonale primer yang di tandai
dengan adanya lesi pada arteri pumonale yang kecil tanpa di dapatkan adanya penyakit dasar
lainnya baik pada paru maupun pada jantung. Secara histopatologis di dapatkan adanya
hipertrofitunikamedia, fibrosistunikaintima, lesi pleksiform serta pembentukan mikro
thrombus. Kelainan ini jarang di dapat dan etiologinya belum di ketahui Waupun sering di
kaitkan dengan adanya penyakit kolagen, hipertensi portal, penyakit autoimun lainnya serta
infeksi HIV.

1. Patofisiologi
Beratnya pembesaran ventrikel kanan pada kor pulmonal berbaring lurus dengan fungsi
pembesaran dari peningkatan afterload. Jika resistensi vaskuler paru meningkat dan relative
tetap, seperti pada penyakit vaskuler atau parenkim paru, peningkatan curah jantung
sebagaimana terjadi pada pengerahan tenaga fisik, maka dapat meningkatkan tekanan arteri
pulmonalis secara bermakna. Afterload ventrikel kanan secara kronik meningkat jika volume
paru membesar, seperti pada penyakit COPD, pemanjangan pembuluh paru, dan kompresi
kapiler alveolar.

Pathway

Penyak
it paru
dapat
menye
babkan
peruba
han
fisiolog
is dan
pada
suatu
waktu
akan
mempe
ngaruhi
jantung
serta
menye
babkan
pembes
aran
ventrik
el
kanan.
Kondis
i ini
sering
kali
menye
babkan terjadinya gagal jantung. Beberapa kondisi yang menyebabkan penurunan oksigenasi
paru dapat mengakibatkan hipoksemia (penurunan PaO2) dan hiperkapnea (peningkatan
PaO2), yang nantinya akan mengakibatkan insufisiensi ventilasi. Hipoksia dan hiperkapnea
akan menyebabkan vasokontriksi arteri pulmonal dan memungkinkan terjadinya penurunan
vaskularisasi paru seperti pada emfisemi dan emboli paru. Akibatnya akan terjadi
peningkatan tahanan pada sistem sirkulasi pulmonal, yang akan menjadikannya hipertensi
pulmonal. Tekanan rata-rata pada arteri paru (arterial mean pressure) adalah 45 mmHg, jika
tekanan ini meningkat dapat menimbulkan kor pulmonal. Ventrikel kanan akan hipertropi dan
mungkin diikuti oleh gagal jantung kanan.

1. Manifestasi Klinik
Gejala klinis yang muncul pada klien dengan penyakit kor pulmonal adalah sebagai berikut.

1. Sesuai dengan penyakit yang melatarbelakangi, misalnya COPD akan menimbulkan


gejala nafas pendek, dan batuk.
2. Gagal ventrikel kanan akan muncul, distensi vena leher, liver palpable , efusi pleura,
asites, dan murmur jantung.
3. Sakit kepala, confusion, dan somnolen terjadi akibat peningkatan PCO2.
Informasi yang di dapat bisa berbeda-beda antara satu penderita yang satu dengan yang lain
tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan pulmonary heart disease.

1. Kor-pumonal akibat Emboli Paru : sesak tiba-tiba pada saat istirahat, kadang-kadang
didapatkan batuk-batuk, dan hemoptisis.
2. Kor-pulmonal dengan PPOM : sesak napas disertai batuk yang produktif (banyak
sputum).
3. Cor pulmonal dengan Hipertensi Pulmonal primer : sesak napas dan sering pingsan
jika beraktifitas (exertional syncope).
4. Pulmonary heart disease dengan kelainan jantung kanan : bengkak pada perut dan
kaki serta cepat lelah.
Gejala predominan pulmonary heart disease yang terkompensasi berkaitan dengan penyakit
parunya, yaitu batuk produktif kronik, dispnea karena olahraga, wheezing respirasi, kelelahan
dan kelemahan. Jika penyakit paru sudah menimbulkan gagal jantung kanan, gejala – gejala
ini lebih berat. Edema dependen dan nyeri kuadran kanan atas dapat juga muncul.

Tanda- tanda pulmonary heart disease misalnya sianosis, clubbing, vena leher distensi,
ventrikel kanan menonjol atau gallop ( atau keduanya), pulsasi sternum bawah atau
epigastrium prominen, hati membesar dan nyeri tekan, dan edema dependen.

Gejala- gejala tambahan ialah: Sianosis, Kurang tanggap/ bingung, Mata menonjol

1. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
Perluasan hilus dapat dinilai dari perbandingan jarak antara permulaan percabangan pertama
arteri pulmonalis utama kanan dan kiri dibagi dengan diameter transversal torak.
Perbandingan > 0,36 menunjukkan hipertensi pulmonal.
Batang pulmonal dan hilus membesar

1. Ekokardiografi
Memungkinkan pengukuran ketebalan dinding ventrikel kanan, meskipun perubahan volume
tidak dapat diukur, teknik ini dapat memperlihatkan pembesaran kavitas ventrikel kanan
dalam yang menggambarkan adanya pembesaran ventrikel kiri. Septum interventrikel dapat
bergeser ke kiri.

1. Magnetic resonance imaging (MRI)


Berguna untuk mengukur massa ventrikel kanan, ketebalan dinding, volume kavitas, dan
fraksi ejeksi.

1. Biopsi paru
Dapat berguna untuk menunjukkan vaskulitis pada beberapa tipe penyakit vaskuler paru
seperti penyakit vaskuler kolagen, arthritis rheumatoid, danWegener granulomatosis.

1. Penatalaksanaan Medis
Tujuan dari penatalaksanaan adalah peningkatan ventilasi klien dan mengobati penyakit yang
melatarbelakangi beserta manifestasi dari gagal jantungnya.

Secara umum penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Pada klien dengan penyakit asal COPD dapat diberikan O2 pemberian O2 sangat
dianjurkan untuk memperbaiki pertukaran gas dan menurunkan tekanan arteri
pulmonal dan tahanan vaskuler pulmonal.
2. Bronchial hygiene, diberikan obat golongan bronkodilator.
3. Jika terdapat gejala gagal jantung, maka harus memperbaiki kondisi hipoksemia dan
hiperkapnea.
4. Bedrest, diet rendah sodium, dan pemberian diuretic
5. Digitalis, bertujuan untuk meningkatkan kontraktilitas dan menurunkan denyut
jantung, selain itu juga mempunyai efek digitalis ringan.
6. Komplikasi
Komplikasi dari pulmonary heart disease diantaranya:
1. Sinkope
2. Gagal jantung kanan
3. Edema perifer
4. Kematian
5. Prognosis
Belum ada pemeriksaan prospektif yang dilakukan untuk mengetahui prognosis pulmonary
heart disease kronik. Pengamatan yang dilakukan tahun 1950 menunjukkan bahwa bila terjadi
gagal jantung kanan yang menyebabkan kongestinvena sistemik, harapan hidupnya menjadi
kurang dari 4 tahun.

Walaupun demikian, kemampuan dalam penanganan pasien selama episode akut yang
berkaitan dengan infeksi dan gagal napas mangalami banyak kemajuan dalam 5 tahun
terakhir.

Prognosis pulmonary heart disease berkaitan dengan penyakit paru yang mendasarinya.
Pasien yang mengalami pulmonary heart disease akibat obeliterasi pembuluh darh arteri kecil
yang terjadi secara perlahan-lahan akibat penyakit intrinsiknya (misal emboli), atau akibat
fibrosis intertisial harapan juntuk perbaikannya kecil karena kemungkinan perubahan anatomi
yang terjadi subah menetap. Harapan hidup pasien PPOK jauh lebih baik bila analisis gas
darahnya dapat dipertahankan mendekati normal.

1. Pencegahan
Menghindari perilaku yang mengarah pada penyakit paru-paru kronis (terutama
merokok) dapat mencegah perkembangan akhir cor pulmonale. Evaluasi seksama
murmur jantung anak dapat mencegah cor pulmonale yang disebabkan oleh cacat
jantung tertentu.
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth)
1. B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Anamnesa,meliputi:

1. Identitas pasien
Kor pulmonal dapat terjadi pada orang dewasa dan pada anak-anak. Untuk orang dewasa,
kasus yang paling sering ditemukan adalah pada lansia karena sering didapati dengan
kebiasaan merokok dan terpapar polusi. Hal ini di dasarkan pada epidemiologi penyakit-
penyakit yang menjadi penyebab kor pulmonal, karena hipertensi pulmonal merupakan
dampak dari beberepa penyakit yang menyerang paru-paru.

Untuk kasus anak-anak, umumnya terjadi kor pulmonal akibat obstruksi saluran napas atas
seperti hipertrofi tonsil dan adenoid.

Jenis pekerjaan yang dapat menjadi resiko terjadinya kor pulmonal adalah para pekerja yang
sering terpapar polusi udara dan kebiasaan merokok yang tinggi.

Lingkungan tempat tinggal yang dapat menjadi resiko terjadinya kor pulmonal adalah
lingkungan yang dekat daerah perindustrian, dan kondisi rumah yang kurang memenuhi
persyaratan rumah yang sehat. Contohnya ventilasi rumah yang kurang baik,hal ini akan
semakin memicu terjadinya penyakit-penyakit paru dan berakibat terjadinya kor pulmonal.

1. Riwayat Sakit dan Kesehatan


1) Keluhan utama

Pasien dengan kor pulmonal sering mengeluh sesak, nyeri dada

2) Riwayat penyakit saat ini

Pada pasien kor pulmonal, biasanya akan diawali dengan tanda-tanda mudah letih, sesak,
nyeri dada, batuk yang tidak produktif. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu
muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-
keluhan tersebut.

Penyebab kelemahan fisik setelah melakukan aktifitas ringan sampai berat.

Seperti apa kelemahan melakukan aktifitas yang dirasakan, biasanya disertai sesak nafas.

Apakah kelemahan fisik bersifat local atau keseluruhan system otot rangka dan apakah
disertai ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan.

Bagaimana nilai rentang kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

Kapan timbulnya keluhan kelemahan beraktifitas, seberapa lamanya kelemahan beraktifitas,


apakah setiap waktu, saat istirahat ataupun saat beraktifitas

3) Riwayat penyakit dahulu

Klien dengan kor pulmonal biasanya memilki riwayat penyakit seperti penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), fibrosis paru, fibrosis pleura, dan yang paling sering adalah klien
dengan riwayat hipertensi pulmonal.

1. Pemeriksaan fisik : Review Of System (ROS)


1) B1 (BREATH)

 Pola napas : irama tidak teratur


 Jenis: Dispnoe
 Suara napas: wheezing
 Sesak napas (+)
2) B2 (BLOOD)

 Irama jantung : ireguler s1/s2 tunggal (-)


 Nyeri dada (+)
 Bunyi jantung: murmur
 CRT : tidak terkaji
 Akral : dingin basah
3) B3 (BRAIN)

 Penglihatan(mata)
- Pupil : tidak terkaji

- Selera/konjungtiva : tidak terkaji

 Gangguan pendengaran/telinga: tidak terkaji


 Penciuman (hidung) : tidak terkaji
 Pusing
 Gangguan kesadaran
4) B4 (BLADDER)

 Urin:
- Jumlah : kurang dari 1-2 cc/kg BB/jam

- Warna : kuning pekat

- Bau : khas

 Oliguria
5) B5 (BOWEL)

 Nafsu makan : menurun


 Mulut dan tenggorokan : tidak terkaji
 Abdomen : asites
 Peristaltic : tidak terkaji
6) B6 (BONE)

 Kemampuan pergerakan sendi: terbatas


 Kekuatan otot : lemah
 Turgor : jelek
 Oedema
1. Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta
bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya, kecemasan
terhadap penyakit.

2. Diagnosa keperawatan
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kurangnya suplai oksigen,
obstruksi alveoli
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan sempitnya lapang respirasi dan
penekanan toraks.
3. Perubahan perfusi jaringan kardiopulmonal berhubungan dengan masalah pertukaran
pada tingkat alveolar atau tingkat jaringan
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan nafsu makan (energi lebih banyak digunakan untuk usaha bernapas,
sehingga metabolisme berlangsung lebih cepat).
5. Intoleransi aktifitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik dan keletihan.
6. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kurangnya suplai oksigen,
obstruksi alveoli
3. Perencanaan Keperawatan
 Tujuan : Mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat untuk keperluan
tubuh.
 Kriteria hasil :
 Klien tidak mengalami sesak napas.
 Tanda-tanda vital dalam batas normal
 Tidak ada tanda-tanda sianosis.
 Pao2 dan paco2 dalam batas normal
 Saturasi O2 dalam rentang normal
Intervensi dan Rasional :

1) Pantau frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir,
tidakmampuan bicara/ berbincang.

Rasional : Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan/atau kronisnya proses
penyakit.

2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernapas. Dorong nafas perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi individu.
Rasional : Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas
untuk menurunkan kolaps jalan nafas, dispnea dan kerja nafas.

3) Awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.

Rasional : Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar
bibir/atau daun telinga). Keabu-abuan dan diagnosis sentral mengindikasikan beratnya
hipoksemia.

4) Dorong mengeluarkan sputum; penghisapan bila diindikasikan.

Rasional : Kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran
gas pada jalan nafas kecil. Penghisapan dibutuhkan bila batuk tidak efektif.

5) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan/atau bunyi tambahan.

Rasional : Bunyi nafas mugkin redup karena aliran udara atau area konsolidasi. Adanya
mengi mengindikasikan secret. Krekel basah menyebar menunjukkan cairan pada
intertisial/dekompensasi jantung.

6) Palpasi fremitus.

Rasional : Penurunan getaran fibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara terjebak.

7) Awasi tingkat kesadaran/ status mental. Selidiki adanya perubahan.

Rasional : Gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hypoxia, GDA memburuk
disertai bingung/ somnolen menunjukkan disfungsi sersbral yang berhubungan dengan
hipoksemia.

8) Evaluasi tingkat toleransi aktifitas. Berikan lingkungan yang tenang dan kalem. Batasi
aktifitas pasien atau dorong untuk tidur/ istirahat dikursi selama fase akut. Mungkinkan
pasien melakukan aktifitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi individu.

Rasional : Selama distress pernapasan berat/akut/refraktori pasien secara total tak mampu
melakukan aktifitas sehari-hari karena hipoksemia dan dispnea. Istirahat diselingi aktifitas
perawatan masih penting dari program pengobatan. Namun, program latihan ditujukan untuk
meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa menyebabkan dispnea berat, dan dapat
meningkatkan rasa sehat.
9) Awasi tanda vital dan irama jantung

Rasional : Tachycardia, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.

10) Kolaborasi

a) Awasi/gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.

Rasional : Paco2 biasanya meningkat (bronchitis, enfisema) dan pao2 secara umum menurun,
sehingga hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar. Catatan: paco2 “normal”
atau meningkat menandakan kegagalan pernapasan yang akan datang selama asmatik.

b) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi
pasien.

Rasional : Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya hypoxia. Catatan: emfisema kronis,


mengatur pernapasan pasien ditentukan oleh kadar CO2 dan mungkin dieluarkan dengan
peningkatan pao2 berlebihan.

c) Berikan penekanan SSP (misal: ansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.

Rasional : Digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan konsumsi


oksigen/kebutuhan, eksaserbasi dispnea. Dipantau ketat karena dapat terjadi gagal nafas.

d) Bantu instubasi, berikan/pertahankan ventilasi mekanik,dan pindahkan UPI sesuai


instruksi pasien.

Rasional : Terjadinya/kegagalan nafas yang akan datang memerlukan penyelamatan hidup.

1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan Hipoksia.


 Tujuan :
 Memperbaiki atau mempertahankan pola pernapasan normal
 Pasien mencapai fungsi paru-paru yang maksimal.
Kriteria hasil :

 Pasien menunjukkan frekuensi pernapasan yang efektif.


 Pasien bebas dari dispnea, sianosis, atau tanda-tanda lain distress pernapasan
Intervensi dan Rasional :
1) Kaji jumlah/kedalaman pernafasan dan pergerakan dada

Rasional : evaluasi awal untuk melihat kemajuan dari hasil intervensi yang telah dilakukan.

2) Auskultasi daerah paru, catat area yang menurun/tidak adanya aliran udara, adanya
suara tambahan seperti crekels, wheezing.

Rasional : penurunan aliran udara timbul pada area yang konsolidasi dengan cairan. Suara
nafas bronchial (normal di atas bronkus ) dapat juga. Ronki , krecels, weezing terdengar pada
saat inspirasi dan atau ekspirasi sebagai respon dari akumulasi cairan.

3) Berikan posisi fowler atau semi fowler

Rasional : Memaksimalkan ekspansi paru, menurunkan kerja pernapasan, dan menurunkan


resiko aspirasi

4) Ajarkan teknik napas dalam dan atau pernapasan bibir atau pernapasan diafragmatik
abdomen bila diindikasikan

Rasional : Membantu meningkatkan difusi gas dan ekspansi jalan napas kecil, memberika
pasien beberapa kontrol terhadap pernapasan, membantu menurunkan ansietas.

1. Perubahan perfusi jaringan kardiopulmonal berhubungan dengan masalah pertukaran


pada tingkat alveolar atau tingkat jaringan.
Tujuan : mempertahankan perfusi jaringan

Kriteria hasil :

Tanda vital normal, tidak ada tanda sianosis

Intervensi :

1) Auskultasi HR dan ritme, serta catat suara jantung tambahan

2) Observasi perubahan status mental

3) Observasi warna dan temperatus kulit/membrane mukosa

4) Evaluasi ekstremitas dari adanya kualitas nadi


5) Kolaborasi :

 Berikan cairan sesuai dengan indikasi


 Monitor hasil diagnostic/ laboratorium, misalnya EKG, elektrolit, BUN
 Berikan terapi sesuai dengan indikasi : heparin, agen trombolitik
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
Penurunan nafsu makan (energi lebih banyak digunakan untuk usaha bernapas,
sehingga metabolism berlangsung lebih cepat).
 Tujuan : Nafsu makan membaik.
 Kriteria hasil :
 Gizi untuk kebutuhan metabolik terpenuhi
 Massa tubuh dan berat badan klien berada dalam batas normal.
Intervensi dan Rasional :

1) Beri motivasi pada klien untuk mengubah kebiasaan makan.

Rasional : Agar pasien mau memenuhi diet yang disarankan untuk kebutuhan nutrisi dalam
metabolisme.

2) Sajikan makanan untuk klien semenarik mungkin.

Rasional : Mengurangi anorexia pada pasien.

3) Pantau nilai laboratorium, khususnya transferin, albumin, dan elektrolit.

Rasional : Untuk mengetahui perkembangan asupan gizi klien melalui sampel darah

4) Timbang berat badan pasien pada interval yang tepat.

Rasional : Untuk mengetahui perkembangan klien dalam mempertahankan berat badan


normal.

5) Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein untuk klien.

Rasional : Untuk bisa lebih tepat memberikan diet kepada pasien sesuai zat gizi dan kalori
yang dibutuhkan.

6) Pertahankan kebersihan mulut yang baik


Rasional : Menambah nafsu makan dan membersihkan kuman-kuman yang ada dalam mulut,
sehingga makanan yang klien makan akan terasa lebih nikmat

1. Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan demand


oksigen
 Tujuan : keseimbanagn antara suplai dan demand oksigen.
 Kriteria hasil : mentoleransi aktivitas yang biasa dilakukan dan di tunjukkan
dengan daya tahan, menunjukkan penghematan energi.
 Intervensi dan Rasional :
1) Evaluasi respons klien terhadap aktivitas

Rasional : memberikan kemampuan/ kebutuhan klien dan memfasilitasi dalam pemilihan


intervensi.

2) Beri lingkungan yang nyaman dengan membatasi pengunjung. Anjurkan untuk


menggunakan menejemen stress dan aktivitas diversional

Rasional : mengurangi stress dan stimulasi yang berlebihan, meningkatkan istirahat.

3) Jelaskan pentingnya beristirahat pada rencana terapi dan perlunya keseimbangan


antara aktivitas dengan istirahat

Rasional : bedrest akan memelihara selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan
metabolic, memelihara energy untuk penyembuhan.

4) Bantu klien untuk mengambil posisi yang nyaman untuk beristirahat dan atau tidur.

Rasional : klien mungkin merasa nyaman dengan kepala dalam keadaan elevasi, tidur di kursi
atau istirahat pada meja dengan bantuan bantal

5) Ajarkan klien bagaimana meningkatkan rasa control dan mandiri dengan kondisi yang
ada

6) Ajarkan klien bagaimana menghadapi aktivitas menghindari kelelahan dan berikan


periode istirahat tanpa gangguan di antara aktifitas

Rasional : Istirahat memungkinkan tubuh memperbaiki energy yang digunakan selama


aktifitas

7) Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai menu makanan pasien


Rasional : Dengan ahli gizi,perawat dapat menentukan jenis-jenis makanan yang harus
dikonsumsi untuk memaksimalkan pembentukan energy dalam tubuh pasien

4. Evaluasi
1. Mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat untuk keperluan tubuh.
 Klien tidak mengalami sesak napas.
 Tanda-tanda vital dalam batas normal
 Tidak ada tanda-tanda sianosis.
 Pao2 dan paco2 dalam batas normal
 Saturasi O2 dalam rentang normal
1. Memperbaiki atau mempertahankan pola pernapasan normal
 Pasien mencapai fungsi paru-paru yang maksimal.
 Pasien menunjukkan frekuensi pernapasan yang efektif.
 Pasien bebas dari dispnea, sianosis, atau tanda-tanda lain distress pernapasan
1. Nafsu makan membaik.
 Gizi untuk kebutuhan metabolik terpenuhi
 Massa tubuh dan berat badan klien berada dalam batas normal.
1. keseimbanagn antara suplai dan demand oksigen.
Mentoleransi aktivitas yang biasa dilakukan dan di tunjukkan dengan daya tahan,
menunjukkan penghematan energi.

5. Kode Etik Dan Legal Keperawatan


1. Prinsip Etik
1) Otonomi

Otonomi berarti kebebasan setiap individu untuk memilih rencana kehidupan dan cara
bermoral mereka sendiri

Menghargai otonomi (autonomy) berarti komitmen terhadap klien dalam mengambil


keputusan tentang semua aspek pelayanan

Klien bertanggung jawab untuk pengambilan keputusan mengenai kesehatan mereka

2) Kebaikan ( beneficience )

Kebaikan (beneficence) adalah tindakan positif untuk membantu orang lain.

Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan
otonomi
3) Tidak mencederai ( non maleficience )

Rentang dari bahaya yang tidak berarti sampai menguntungkan orang lain dengan melakukan
yang baik

Dalam kondisi klinis sering sulit menggambarkan garis antara bahaya yang tidak berarti
dengan melakukan yang baik.

contoh : perawat yang memberikan imunisasi pada bayi memberi suatu derajat bahaya yaitu
nyeri namun tindakan ini juga benificient karena tindakan ini mencegah bahaya serius
penyakit anak

4) Keadilan ( justice )

Menuntut perlakuan yang adil dan memberikan apa yang menjadi kebutuhan klien

5) Kesetiaan ( fidelity)

Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang
lain.

Contoh : Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien.
Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang perawat untuk mempertahankan komitmen
yang dibuatnya kepada pasien.

6) Kejujuran ( veracity )

Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran.

Nilai ini diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada
setiap klien

1. Legal
Dalam kasus cor pulmonal peran perawat sebagai advokat yaitu harus bertanggung
jawab membantu klien dan keluarga dalam hal inform concern atas tindakan– tindakan medis
maupun tindakan – tindakan keperawatan yang akan dilakukan.
Selain itu, perawat juga harus mampu mempertahankan dan melindungi hak – hak
klien serta memastikan bahwa kebutuhan klien yang berhubungan dengan status
kesehatannya terpenuhi.

6. Pendidikan Kesehatan

SATUAN ACARA PENYULUHAN

(SAP)

Tema : Penyakit Cor Pulmonal

Sub Tema : Perawatan Penyakit Cor Pulmonal

Sasaran : Bp. X

Tempat : Rumah Sakit H

Hari/Tanggal : Jumat, 5 Desember 2012

Waktu : 30 Menit

1. A. Tujuan Instruksional Umum


Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit, diharapkan Bp. H dapat menjelaskan
penyakit Cor Pulmonal.

1. B. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit, diharapkan Klien dapat:

1. Menjelaskan pengertian penyakit Cor Pulmonal dengan benar


2. Menyebutkan faktor penyebab yang dapat menimbulkan penyakit Cor Pulmonal
3. Menyebutkan tanda/gejala dari penyakit Cor Pulmonal
4. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit Cor Pulmonal
5. Menjelaskan patofisiologi penyakit Cor Pulmonal
1. C. Materi
1. Pengertian penyakit Cor Pulmonal
2. Faktor penyebab dari penyakit Cor Pulmonal
3. Tanda/gejala penyakit Cor Pulmonal
4. Penatalaksanaan penyakit Cor Pulmonal
5. Patofisiologi penyakit Cor Pulmonal
1. D. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab
1. E. Kegiatan Penyuluhan
No Kegiatan Penyuluh Peserta Waktu

 Salam pembuka
 Menyampaikan
tujuan penyuluhan Mendengarkan, menjawab
1. Pembukaan  Menjawab salam pertanyaan 5 Menit
 Menyimak,
 Penjelasan
pengertian,
penyebab, gejala,
penatalaksanaan dan
patofisiologi
penyakit Cor
Pulmonal
 Memberi kesempatan
peserta untuk
bertanya  Menanyakan hal-hal
 Menjawab yang belum jelas
pertanyaan  Memperhatikan
 Evaluasi jawaban dari
 Mendengarkan penceramah 15
2. Kerja/ isi dengan penuh  Menjawab menit
perhatian pertanyaan
 Menyimpulkan
 Salam penutup 10
3. Penutup  Mendengarkan Menit
 Menjawab salam
1. F. Media
Leaflet: Tentang penyakit Cor Pulmonal

1. G. Sumber/Referensi
2. Doenges, E. Marilynn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3. EGC : Jakarta.
3. FKUI. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. FKUI : Jakarta.
1. H. Evaluasi
Formatif:

1. Klien dapat menjelaskan pengertian penyakit Cor Pulmonal


2. Klien mampu menjelaskan faktor penyebab dari penyakit Cor Pulmonal
3. Klien dapat menjelaskan tanda/gejala penyakit Cor Pulmonal
4. Klien mampu menjelaskan penatalaksanaan penyakit Cor Pulmonal
5. Klien mampu menjelaskan Patofisiologi penyakit Cor Pulmonal
Sumatif:

Klien dapat memahami penyakit Cor Pulmonal

Yogyakarta, 5 Desember 2012

Pembimbing Penyuluh

(Diah Pujiastuti, S. Kep., Ns) (Ni Gusti Ayu Kadek D.)

7. Jurnal

The association between obesity, mortality and filling


pressures in pulmonary hypertension patients; the “obesity
paradox”
Zafrir B, Adir Y, Shehadeh W, Shteinberg M, Salman N, Amir O.

B. Source

Department of Cardiovascular Medicine, Lady Davis Carmel Medical Center, Haifa, Israel;
The Heart Failure Center, Lin medical Center, Haifa, Israel. Electronic address: barakzmd @
gmail. com.

C. Abstract

BACKGROUND:

The term “obesity paradox”, refers to lower mortality rates in obese patients, and is evident in
various chronic cardiovascular disorders. There is however, only scarce data regarding the
clinical implication of obesity and pulmonary hypertension (PH). Therefore, in the current
study, we evaluated the possible prognostic implications of obesity in PH patients.

METHODS:
We assessed 105 consecutive PH patients for clinical and hemodynamic parameters, focusing
on the possible association between Body Mass Index (BMI) and mortality. Follow-up period
was 19 ± 13 months.

RESULTS:

Sixty-one patients (58%) had pre-capillary PH and 39 patients (37%) out-of-proportion post-
capillary PH. During follow-up period, 30 patients (29%) died. Death was associated with
reduced functional-class, inverse-relation with BMI, higher pulmonary artery and right atrial
pressures, pulmonary vascular resistance and signs of right ventricular failure. In multivariate
analysis, obesity (BMI ≥ 30 kg/m²), was the variable most significantly correlated with
improved survival [H.R 0.2, 95% C.I 0.1-0.6; p = 0.004], even after adjustment for baseline
characteristics. Obese and very-obese (BMI ≥ 35 kg/m²) patients had significantly less
mortality rates during follow-up (12% and 8%, respectively) than non-obese patients (41%),
p = 0.01. The tendency of survival benefit for the obese vs. non-obese patients was
maintained both in the pre-capillary (10% vs. 46% mortality, p = 0.008) and disproportional
post-capillary PH patients (11% vs. 40% mortality, p = 0.04).

CONCLUSIONS:

Obesity was significantly associated with lower mortality in both pre-capillary and
disproportional post-capillary PH patients. It seems that in PH, similarly to other chronic
clinical cardiovascular disease states, there may be a protective effect of obesity, compatible
with the “obesity paradox”.

Daftar Pustaka

Irman, Sumantri. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika

Nuzurul . 2012. Asuhan Keperawatan Cor Pulmonal. Diakses Tanggal 29 November 2012
Jam 20.00 Wib Http://Nuzulul-Fkp09.Web.Unair.Ac.Id/Artikel_Detail-35530-
Kep%20Respirasi-Askep%20Cor%20Pulmonal.Html
Pubmed. 2012. Jounal Cor Pulmonal. Diakses Tgl 2 Desember 2012 Jam 22.00
Wib Http://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/Pubmed/23199841
Syarifudin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : EGC
ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) COR PULMONAL
ATAU PULMONARY HEART DISEASE
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulmonary Heart Diseas
e atau Cor pulmonal didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam struktur dan
fungsi ventrikel kanan yang disebabkan oleh gangguan utama dari sistem pernapasan. Hipertensi paru
adalah hubungan umum antara disfungsi paru-paru dan jantung di cor pulmonal. Penyakit ventrikel kanan
sisi disebabkan oleh kelainan primer dari sisi kiri ventrikel kanan sisi disebabkan oleh kelainan primer dari
sisi kiri jantung atau penyakit jantung bawaan tidak dianggap pulmonale cor, tapi pulmonale cor dapat
mengembangkan sekunder untuk berbagai proses penyakit cardiopulmonary. Meskipun pulmonale cor
umumnya memiliki progresif dan perlahan-lahan saja kronis, onset akut atau pulmonale cor diperburuk
dengan komplikasi yang mengancam kehidupan dapat terjadi.
Data kematian yang dikumpulkan sejak tahun 1991 dari bagian Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI Unit paru
RSU Persahabatan penyebab kematian akibat cor pulmonal sebanyak 7 kasus dari 175 jumlah total
kematian pasien penderita penyakit paru atau sebesar 4,10%. Cor pulmonal menduduki ranking kelima
setalah TB paru, tumor paru, pneumonia, dan bronkhiektasis.
Jika cor pulmonal terlambat didiagnosa atau terapi awal yang tidak memadai pada cor pulmonal dapat
menimbulkan gangguan fungsi paru, maka diperlukan asuhan keperawatan secara menyeluruh yang
meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif untuk mencegah komplikasi yang mungkin
terjadi.
Untuk itu, berdasarkan uraian diatas, kami merasa perlu membahas dan menelaah lebih dalam mengenai
penyakit cor pulmonal untuk dapat mengetahui asuhan keperawatan pada pasien cor pulmonal dengan
pendekatan proses keperawatan yang benar.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi pulmonary heart disease ?


2. Apa etiologi/ faktor pencetus pulmonary heart disease ?
3. Apa saja manifestasi klinis pulmonary heart disease ?
4. Bagaimana patofisiologi pulmonary heart disease?
5. Apa saja pemeriksaan diagnostik pada pulmonary heart disease?
6. Bagaimana penatalaksanaan klien dengan pulmonary heart disease?
7. Apa komplikasi dari pulmonary heart disease?
8. Bagaimana prognosis dari pulmonary heart disease?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan pulmonary heart disease?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan mencegah terjadinya pulmonary heart disease.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi pulmonary heart disease.
2. Mengetahui etiologi/ faktor pencetus pulmonary heart disease.
3. Menyebutkan manifestasi klinis pulmonary heart disease.
4. Menyebutkan patofisiologi pulmonary heart disease.
5. Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada pulmonary heart disease.
6. Mengetahui penatalaksanaan klien dengan pulmonary heart disease.
7. Mengetahui komplikasi dari pulmonary heart disease.
8. Mangatahui prognosis dari pulmonary heart disease.
9. Menjelaskan asuhan keperawatan pasien dengan pulmonary heart disease.

1.4 Manfaat

1. Mendapatkan pengetahuan tentang pulmonary heart disease.


2. Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pulmonary heart disease.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
Pulmonary heart disease adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan/atau dilatasi) yang terjadi
akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada kontrol pernafasan. Tidak termasuk di
dalamnya kelainan jantung kanan yang terjadi akibat kelainan jantung kiri atau penyakit jantung bawaan.
Pulmonary heart disease dapat terjadi akut maupun kronik. Penyebab pulmonary heart disease akut
tersering adalah emboli paru masif, sedangkan pulmonary heart disease kronik sering disebabkan oleh
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada pulmonary heart disease kronik umumnya terjadi hipertrofi
ventrikel kanan, sedangkan pada pulmonary heart disease akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.

Tidak semua pasien PPOK akan mengalami pulmonary heart disease, karena banyak usaha
pengobatan yang dilakukan untuk mempertahankan kadar oksigen darah arteri mendekati normal sehingga
dapat mencegah terjadinya Hipertensi Pulmonal. Pada umumnya, makin berat gangguan keseimbangan
ventilasi perfusi, akan semakin mudah terjadi ganguan analisis gas darah sehingga akan semakin besar
terjadinya Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart disease. Penyakit yang hanya mengenai sebagian kecil
paru tidak akan begitu mempengaruhi pertukaran gas antara alveoli dan kapiler sehingga jarang
menyebabkan terjadinya Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart disease. Tuberculosis yang mengenai
kedua lobus paru secara luas akan menyebabkan terjadinya fibrosis disertai gangguan fungsi paru
sehingga menyebabkan terjadinya pulmonary heart disease. Hipoventilasi alveoli sekunder akibat sleep
apnea syndrome tidak jarang disertai dengan Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart disease Kronik.

2.2.Patogenesis
Mekanisme terjadinya hipertensi pulmonale pada cor pulmunale dapat di bagi menjadi 4 kategori yaitu
:
1. a. Obstuksi

Terjadi karena adanya emboli paru baik akut maupun kronik. Chronic Thromboembolic
Pulmonary Hypertesion
(CTEPH) merupakan salah satu penyebab hipertensi pulmonale yang penting dan
terjadi pada 0.1 – 0.5 % pasien dengan emboli paru. Pada saat terjadi emboli paru, system fibrinolisis akan
bekerja untuk melarutkan bekuan darah sehingga hemodinamik paru dapat berjalan dengan baik. Pada
sebagian kecil pasien system fibrinolitik ini tidak berjalan baik sehingga terbentuk emboli yang
terorganisasi disertai pembentukkan rekanalisasi dan akhirnya menyebabkan penyumbatan atau
penyempitan pembuluh darah paru.

1. b. Obliterasi

Penyakit intertisial paru yang sering menyebabkan hipertensi pulmonale adalah lupus eritematosus
sistemik scleroderma, sarkoidosis, asbestosis, dan pneumonitis radiasi. Pada penyakit-penyakit tersebut
adanya fibrosis paru dan infiltrasi sel-sel yang prodgersif selain menyebabkan penebalan atau perubahan
jaringan interstisium, penggantian matriks mukopolisakarida normal dengan jaringan ikat, juga
menyebabkan terjadinya obliterasi pembuluh paru.

1. c. Vasokontriksi

Vasokontriksi pembuluh darah paru berperan penting dalam pathogenesis terjadinya hipertensi
pulmonale. Hipoksia sejauh ini merupakan vasokontrikstor yang paling penting. Penyakit paru obstruktif
kronik merupakan penyebab yang paling di jumpai. Selain itu tuberkolosis dan sindrom hipoventilasi
lainnya misalnya sleep apnea syndrome, sindrom hipoventilasi pada obesitas, dapat juga menyebabkan
kelainan ini. Asidosis juga dapat berperan sebagai vasokonstriktor pembuluh darah paru tetapi dengan
potensi lebih rendah. Hiperkapnea secara tersendiri tidak mempunyai efek fasokonstriksi tetepi secara tidak
langsung dapat meningkatkan tekanan arteri pulmunalis melalui efek asidosisnya. Eritrositosis yang terjadi
akibat hipoksia kronik dapat meningkatkan vikositas darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
arteri pumonalis.

1. d. Idiopatik

Kelainan idiopatik ini di dapatkan pada apsien hipertensi pulmonale primer yang di tandai
dengan adanya lesi pada arteri pumonale yang kecil tanpa di dapatkan adanya penyakit dasar lainnya baik
pada paru maupun pada jantung. Secara histopatologis di dapatkan adanya hipertrofitunikamedia,
fibrosistunikaintima, lesi pleksiform serta pembentukan mikro thrombus. Kelainan ini jarang di dapat dan
etiologinya belum di ketahui Waupun sering di kaitkan dengan adanya penyakit kolagen, hipertensi portal,
penyakit autoimun lainnya serta infeksi HIV.

2.3.Etiologi
Penyebab penyakit pulmonary heart disease antara lain :
1) Penyakit paru menahun dengan hipoksia :
- Penyakit paru obstrutif kronik,
- Fibrosis paru,
- Penyakit fibrokistik,
- Cryptogenic fibrosing alveolitis,
- Penyakit paru lain yang berhubungan dengan hipoksia
2) Kelainan dinding dada :
- Kifos koliosis, torakoplasti, fibrosis pleura,
- Penyakit neuromuscular,
3) Gangguan mekanisme control pernafasan :
- Obesitas, hipoventilasi idopatik,
- Penyakit serebro vascular.
4) Obstruksi saluran nafas atas pada anak :
- Hipertrofi tonsil dan adenoid.
5) Kelainan primer pembuluh darah :
- Hipertensi pulmonale primer emboli paru berulang dan vaskulitis pembuluh darah paru.

2.4.Manifestasi Klinis
Informasi yang didapat bisa berbeda-beda antarasatu penderita yang satu dengan yang lain tergantung
pada penyakit dasar yang menyebabkan pulmonary heart disease.

1. Kor-pumonal akibat Emboli Paru : sesak tiba-tiba pada saat istirahat, kadang-kadang didapatkan
batuk-batuk, dan hemoptisis.
2. Kor-pulmonal dengan PPOM : sesak napas disertai batuk yang produktif (banyak sputum).
3. Cor pulmonal dengan Hipertensi Pulmonal primer : sesak napas dan sering pingsan jika
beraktifitas (exertional syncope).
4. Pulmonary heart disease dengan kelainan jantung kanan : bengkak pada perut dan kaki serta
cepat lelah.

Gejala predominan pulmonary heart disease yang terkompensasi berkaitan dengan penyakit parunya, yaitu
batuk produktif kronik, dispnea karena olahraga, wheezing respirasi, kelelahan dan kelemahan. Jika
penyakit paru sudah menimbulkan gagal jantung kanan, gejala - gejala ini lebih berat. Edema dependen
dan nyeri kuadran kanan atas dapat juga muncul.
Tanda- tanda pulmonary heart disease misalnya sianosis, clubbing, vena leher distensi, ventrikel kanan
menonjol atau gallop ( atau keduanya), pulsasi sternum bawah atau epigastrium prominen, hati membesar
dan nyeri tekan, dan edema dependen.
Gejala- gejala tambahan ialah:

1. 1. Sianosis
2. 2. Kurang tanggap/ bingung
3. 3. Mata menonjol

2.5.Patofisiologi
Beratnya pembesaran ventrikel kanan pada pulmonary heart disease berbanding lurus dengan fungsi
pembesaran dari peningkatan afterload. Jika resistensi vaskuler paru meningkat dan relative tetap, seperti
pada penyakit vaskuler atau parenkim paru, peningkatan curah jantung sebagaimana terjadi pada
pengerahan tenaga fisik, maka dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis secara bermakna. Afterload
ventrikel kanan secara kronik meningkat jika volume paru membesar, seperti pada penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK), pemanjangan pembuluh paru, dan kompresi kapiler alveolar.

Penyakit paru dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan pada suatu waktu akan mempengaruhi
jantung serta menyebabkan pembesaran ventrikel kanan. Kondisi ini seringkali menyebabkan terjadinya
gagal jantung. Beberapa kondisi yang menyebabkan penurunanan oksigenasi paru dapat mengakibatkan
hipoksemia ( penurunan PaO2) dan hipercapnea ( peningkatan PaCO 2) , yang nantinya akan
mengakibatkan insufisiensi ventilasi. Hipoksia dan hiperkapnea akan menyebabkan vasokonstriksi arteri
pulmonal dan memungkinkan terjadinya penurunan vaskularisasi paru seperti pada emfisema dan emboli
paru. Akibatnya akan terjadi peningkatan ketahanan pada sistem sirkulasi pulmonal, yang akan
menjadikannya hipertensi pulmonal. Tekanan rata-rata pada arteri baru ( arterial mean preassure) adalah
45mmHg, jika tekanan ini meningkat dapat menimbulkan pulmonary heart disease. Ventrikel kanan akan
hipertropi dan mungkin akan diikuti gagal jantung kanan.

2.6.Pemeriksaan Diagnostik
Gambaran radiologis
Pada tingkat hipertensi pulmonal jantung belum terlihat membesar, tetapi hilus dan arteri
pulmonalis utama amat menonjol dan pembuluh darah perifer menjadi kecil/tidak nyata.
Pada tingkat pulmonary heart disease jantung terlihat membesar karena adanya dilatasi dan
hipertrofi ventrikel kanan. Hal ini kadang-kadang sulit dinyatakan pada foto dada karena adanya
hiperinflasi paru (misalnya pada emfisema). Selain itu didapatkan juga diafragma yang rendah dan datar
serta ruang udara retrosternal yang lebih besar, sehingga hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tidak
membuat jantung menjadi lebih besar dari ukuran normal.

Gambaran elektrokardiogram
Pada tingkat awal (hipoksemia) EKG hanya menunjukkan gambaran sinus takikardia saja. Pada
tingkat hipertensi pulmonal EKG akan menunjukkan gambaran sebagai berikut, yaitu:

1. Gelombang P mukai tinggi pada leadII


2. Depresi segmen S-T di II, III, Avf
3. Gelombang T terbalik atau mendatar di V1-3
4. Kadang-kadang teadapat RBBB incompleteatau complete

Pada tingkat pulmonary heart disease dengan hipertrofi ventrikel kanan, EKG menunjukkan:

1. Aksis bergeser ke kanan(RAD) lebih dari +90


2. Gelombang P yang tinggi (P pulmonal) di II, III,Avf
3. Rotasi kea rah jarum jam (clockwise rotation)
4. Rasio R/S di V1 lebih dari 1
5. Rasio R/S di V6 lebih dari 1
6. Gelombang S ang dalam di V5dan V 6(S persissten di prekordial kiri)
7. RBBB incomplete
atau incomplete

Pada cor-pulmonal akut (emboli paru masif),EKG menunjukkan adanya Right Ventrikular Strain
yaitu
adanya depresai segmen S-T dan gelombang T yang terbalik pada sandapan perikordial kanan. Kadang-
kadang kriteria hipertrofi ventrikel kanan yang klasik sulit didapat. Padmavati dalam penelitiannya
menyatakan criteria yang lain untuk kor-pulmonal dalam kombinasi EKG sebagai berikut:
1) rS di V 5dan V 6

2) Aksis bergeser ke kanan


3) qR di AVR
4) P pulmonal

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya polisitemia (Ht > 50%), tekanan oksigen (PaO 2) darah
arteri < 60 mmHg,tekanan karbondioksida (PaO2) >50 mmHg.

2.7.Penatalaksanaan
Terapi medis untuk pulmonary heart disease kronis di fokuskan pada penatalaksanaan untuk penyakit paru
dan peningkatan oksigenasi serta peningkatan fungsi ventrikel kanan dengan menaikkan kontraktilitas dari
ventrikel kanan dan menurunkan vasokonstriksi pada pembuluh darah di paru. Pada pulmonary heart
disease akut akan dilakukan pendekatan yang berbeda yaitu di fokuskan pada kestabilan klien.
Untuk mendukung system kardiopulmonal pada klien dengan pulmonary heart disease harus diperhatikan
mengenai kegagalan jantung kanan yang meliputi masalah pengisian cairan di ventrikel dan pemberian
vasokonstriktor (epinephrine) untuk memelihara tekanan darah yang adekuat. Tetapi pada dasarnya
penatalaksanaan akan lebih baik jika di fokuskan pada masalah utama, misalnya pada emboli paru harus
dipertimbangkan untuk pemberian antikoagulan, agen trombilisis atau tindakan pembedaham
embolektomi. Khususnya jika sirkulasi terhambat akan dipertimbangkan pula pemberian broncodilator dan
penatalaksanaan infeksi untuk klien dengan PPOK; pemberian steroid dan imunosupresif pada penyakit
fibrosis paru.
Terapi oksigen, pemberian diuretic, vasodilator, digitalis, theophyline, dan terapi antikoagulan di gunakan
untuk terapi jangka panjang pada cor pulmonal kronis.
a) Terapi Oksigen.
Terapi oksigen sangat penting diberikan pada klien. Klien dengan pulmonary heart disease memiliki
tekanan oksigen (PO2) di bawah 55 mm Hg dan menurun dengan cepat ketika beraktivitas atau tidur.
Terapi oksigen dapat menurunkan vasokonstriksi hipoksemia pulmonar, kemudian dapat menaikkan cardiac
output, mengurangi vasokonstriksi, meringankan hipoksemia jaringan, dan meningkatkan perfusi ginjal.
Secara umum, terapi oksigen di berikan jika PaO2kurang dari 55 mm Hg atau saturasi O 2kurang dari 88%.
Manfaat dari terapi oksigen adalah untuk menurunkan tingkat gejala dan meningkatkan status fungsional.
Oleh karena itu, terapi oksigen penting di berikan untuk managemen jangka panjang khususnya untuk
klien dengan hipoksia atau penyakit paru obstruktif (PPOK).
b) Diuretik.
Diuretik di gunakan pada klien dengan pulmonary heart disease kronis, terutama ketika pengisian ventrikel
kiri terlihat meninggi dan pada edema perifer. Diuretic berperan dalam peningkatan fungsi dari ventrikel
kanan maupun kiri. Diuretik memproduksi efek hemodinamik yang berlawanan jika tidak di perhatikan
penggunaannya. Volume pengosongan yang berlebihan dapat menimbulkan penuruna cardiac output.
Komplikasi lain dari diuretic adalah produksi hypokalemic metabolic alkalosis
, yang akan mengurangi
efektivitas stimulasi karbondioksida pada pusat pernafasan dan menurunkan ventilasi. Produksi elektrolit
dan asam yang merugikan sebagai akibat dari penggunaaan diuretic juga dapat menimbulkan aritmia,
yang berakibat menurunnya cardiac output
. Oleh karena itu diuretik di rekomendasikan pada managemen
pulmonary heart disease kronis, dengan memperhatikan pemakaian.

2.8.Komplikasi
Komplikasi dari pulmonary heart disease diantaranya:
a) Sinkope
b) Gagal jantung kanan
c) Edema perifer
d) Kematian

2.9.Prognosis
Belum ada pemeriksaan prospektif yang dilakukan untuk mengetahui prognosis pulmonary heart disease
kronik. Pengamatan yang dilakukan tahun 1950 menunjukkan bahwa bila terjadi gagal jantung kanan yang
menyebabkan kongestinvena sistemik, harapan hidupnya menjadi kurang dari 4 tahun.
Walaupun demikian, kemampuan dalam penanganan pasien selama episode akut yang berkaitan dengan
infeksi dan gagal napas mangalami banyak kemajuan dalam 5 tahun terakhir.
Prognosis pulmonary heart disease berkaitan dengan penyakit paru yang mendasarinya. Pasien yang
mengalami pulmonary heart disease akibat obeliterasi pembuluh darh arteri kecil yang terjadi secara
perlahan-lahan akibat penyakit intrinsiknya (misal emboli), atau akibat fibrosis intertisial harapan juntuk
perbaikannya kecil karena kemungkinan perubahan anatomi yang terjadi subah menetap. Harapan hidup
pasien PPOK jauh lebih baik bila analisis gas darahnya dapat dipertahankan mendekati normal.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.1.1 Anamnesa,meliputi:

1. Identitas pasien

 Kor pulmonal dapat terjadi pada orang dewasa dan pada anak-anak. Untuk orang dewasa, kasus
yang paling sering ditemukan adalah pada lansia karena sering didapati dengan kebiasaan
merokok dan terpapar polusi. Hal ini di dasarkan pada epidemiologi penyakit-penyakit yang
menjadi penyebab kor pulmonal, karena hipertensi pulmonal merupakan dampak dari beberepa
penyakit yang menyerang paru-paru.

Untuk kasus anak-anak, umumnya terjadi kor pulmonal akibat obstruksi saluran napas atas
seperti hipertrofi tonsil dan adenoid.

 Jenis pekerjaan yang dapat menjadi resiko terjadinya kor pulmonal adalah para pekerja yang
sering terpapar polusi udara dan kebiasaan merokok yang tinggi.
 Lingkungan tempat tinggal yang dapat menjadi resiko terjadinya kor pulmonal adalah lingkungan
yang dekat daerah perindustrian, dan kondisi rumah yang kurang memenuhi persyaratan runmah
yang sehat. Contohnya ventilasi rumah yang kurang baik,hal ini akan semakin memicu terjadinya
penyakit-penyakit paru dan berakibat terjadinya kor pulmonal.

1. Riwayat sakit dan Kesehatan

 Keluhan utama

Pasien dengan kor pulmonal sering mengeluh sesak, nyeri dada

 Riwayat penyakit saat ini

Pada pasien kor pulmonal, biasanya akan diawali dengan tanda-tanda mudah letih, sesak, nyeri dada,
batuk yang tidak produktif. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah
dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhan tersebut.
Penyebab kelemahan fisik setelah melakukan aktifitas ringan sampai berat.
- Seperti apa kelemahan melakukan aktifitas yang dirasakan, biasanya disertai sesak nafas.
- Apakah kelemahan fisik bersifat local atau keseluruhan system otot rangka dan apakah disertai
ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan.
- Bagaimana nilai rentang kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
- Kapan timbulnya keluhan kelemahan beraktifitas, seberapa lamanya kelemahan beraktifitas, apakah
setiap waktu, saat istirahat ataupun saat beraktifitas

 Riwayat penyakit dahulu

Klien dengan kor pulmonal biasanya memilki riwayat penyakit seperti penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK), fibrosis paru, fibrosis pleura, dan yang paling sering adalah klien dengan riwayat hipertensi
pulmonal.

3.1.2 Pemeriksaan fisik : Review Of System (ROS)

1. B1 (BREATH)

 Pola napas : irama tidak teratur


 Jenis: Dispnoe
 Suara napas: wheezing
 Sesak napas (+)

1. B2 (BLOOD)

 Irama jantung : ireguler s1/s2 tunggal (-)


 Nyeri dada (+)
 Bunyi jantung: murmur
 CRT : tidak terkaji
 Akral : dingin basah

1. B3 (BRAIN)

 Penglihatan(mata)

- Pupil : tidak terkaji


- Selera/konjungtiva : tidak terkaji

 Gangguan pendengaran/telinga: tidak terkaji


 Penciuman (hidung) : tidak terkaji
 Pusing
 Gangguan kesadaran

1. B4 (BLADDER)

 Urin:

- Jumlah : kurang dari 1-2 cc/kg BB/jam


- Warna : kuning pekat
- Bau : khas

 Oliguria

1. B5 (BOWEL)

 Nafsu makan : menurun


 Mulut dan tenggorokan : tidak terkaji
 Abdomen : asites
 Peristaltic : tidak terkaji

1. B6 (BONE)

 Kemampuan pergerakan sendi: terbatas


 Kekuatan otot : lemah
 Turgor : jelek
 Oedema

1. Psikososial

Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana
perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya, kecemasan terhadap penyakit.

3.2 Diagnosa keperawatan


1. Gangguan pertukaran gas yang b.d. hipoksemia secara reversible/menetap, refraktori dan
kebocoran interstisial pulmonal/alveolar pada status cedera kapiler paru.
2. Ketidakefektifan pola napas b.d. sempitnya lapang respirasi dan penekanan toraks.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. penurunan nafsu makan (energi lebih
banyak digunakan untuk usaha bernapas, sehingga metabolism berlangsung lebih cepat).
4. Intoleransi aktifitas yang b.d. kelemahan fisik dan keletihan.
5. Perubahan pola eliminasi urin b.d. oliguria.

3.3 Perencanaan Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas yang b.d. Hipoksemia secara reversible/menetap, refraktori dan
kebocoran interstisial pulmonal/alveolar pada status cedera kapiler paru.

 Tujuan : Mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat untuk keperluan tubuh.


 Kriteria hasil :
o Klien tidak mengalami sesak napas.
o Tanda-tanda vital dalam batas normal
o Tidak ada tanda-tanda sianosis.
o Pao2 dan paco2 dalam batas normal
o Saturasi O2 dalam rentang normal
o Intervensi dan Rasional :

Intervensi Rasional
Pantau frekuensi, kedalaman Berguna dalam evaluasi derajat distress
pernapasan.Catat penggunaan otot pernapasan dan/atau kronisnya proses penyakit.
aksesori, nafas bibir, tidakmampuan
bicara/ berbincang.
Tinggikan kepala tempat tidur, bantu Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan
pasien untuk memilih posisi yang mudah posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk
untuk bernapas. Dorong nafas perlahan menurunkan kolaps jalan nafas, dispnea dan
atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau kerja nafas.
toleransi individu.
Awasi secara rutin kulit dan warna Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku)
membrane mukosa. atau sentral (terlihat sekitar bibir/atau daun
telinga). Keabu-abuan dan diagnosis sentral
mengindikasikan beratnya hipoksemia.
Dorong mengeluarkan sputum; Kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah
penghisapan bila diindikasikan. sumber utama gangguan pertukaran gas pada
jalan nafas kecil. Penghisapan dibutuhkan bila
batuk tidak efektif.
Auskultasi bunyi nafas, catat area Bunyi nafas mugkin redup karena aliran udara
penurunan aliran udara dan/atau bunyi atau area konsolidasi. Adanya mengi
tambahan. mengindikasikan secret. Krekel basah menyebar
menunjukkan cairan pada
intertisial/dekompensasi jantung.
Palpasi fremitus. Penurunan getaran fibrasi diduga ada
pengumpulan cairan atau udara terjebak.
Awasi tingkat kesadaran/ status mental. Gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum
Selidiki adanya perubahan. pada hypoxia, GDA memburuk disertai bingung/
somnolen menunjukkan disfungsi sersbral yang
berhubungan dengan hipoksemia.
Evaluasi tingkat toleransi aktifitas. Selama distress pernapasan berat/akut/refraktori
Berikan lingkungan yang tenang dan pasien secara total tak mampu melakukan
kalem. Batasi aktifitas pasien atau aktifitas sehari-hari karena hipoksemia dan
dorong untuk tidur/ istirahat dikursi dispnea. Istirahat diselingi aktifitas perawatan
selama fase akut. Mungkinkan pasien masih penting dari program pengobatan. Namun,
melakukan aktifitas secara bertahap dan program latihan ditujukan untuk meningkatkan
tingkatkan sesuai toleransi individu. ketahanan dan kekuatan tanpa menyebabkan
dispnea berat, dan dapat meningkatkan rasa
sehat.
Awasi tanda vital dan irama jantung Tachycardia, disritmia, dan perubahan tekanan
darah dapat menunjukkan efek hipoksemia
sistemik pada fungsi jantung.
Kolaborasi
Paco2 biasanya meningkat (bronchitis, enfisema)
1. Awasi/gambarkan seri GDA dan dan pao2 secara umum menurun, sehingga
nadi oksimetri. hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil atau
lebih besar. Catatan: paco2 “normal” atau
meningkat menandakan kegagalan pernapasan
yang akan datang selama asmatik.
b. Berikan oksigen tambahan yang Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya
sesuai dengan indikasi hasil GDA dan hypoxia. Catatan: emfisema kronis, mengatur
toleransi pasien. pernapasan pasien ditentukan oleh kadar CO2
dan mungkin dieluarkan dengan peningkatan
pao2 berlebihan.

1. Berikan penekanan SSP (misal: Digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah


ansietas, sedative, atau narkotik) yang meningkatkan konsumsi
dengan hati-hati. oksigen/kebutuhan, eksaserbasi dispnea.
Dipantau ketat karena dapat terjadi gagal nafas.
d. Bantu instubasi, berikan/pertahankan Terjadinya/kegagalan nafas yang akan datang
ventilasi mekanik,dan pindahkan UPI memerlukan penyelamatan hidup.
sesuai instruksi pasien.

1. 2. Ketidakefektifan pola napas b.d. Hipoksia.

 Tujuan :
o o Memperbaiki atau mempertahankan pola pernapasan normal
o Pasien mencapai fungsi paru-paru yang maksimal.
o Kriteria hasil :
 o Pasien menunjukkan frekuensi pernapasan yang efektif.
 o Pasien bebas dari dispnea, sianosis, atau tanda-tanda lain distress pernapasan
 Intervensi dan Rasional :

Tindakan/intervensi Rasional
Berikan posisi fowler atau semi Memaksimalkan ekspansi paru,
fowler menurunkan kerja pernapasan,
dan menurunkan resiko
aspirasi
Ajarkan teknik napas dalam dan Membantu meningkatkan difusi
atau pernapasan bibir atau gas dan ekspansi jalan napas
pernapasan diafragmatik kecil, memberika pasien
abdomen bila diindikasikan beberapa kontrol terhadap
pernapasan, membantu
menurunkan ansietas.
Obserfasi TTV (RR atau Mengetahui keadekuatan
frekuensi permenit) frekuensi pernapasan dan
keefektifan jalan napas

1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. Penurunan nafsu makan (energi lebih
banyak digunakan untuk usaha bernapas, sehingga metabolism berlangsung lebih cepat).

 Tujuan : Nafsu makan membaik.


 Kriteria hasil :
o Gizi untuk kebutuhan metabolik terpenuhi
o Massa tubuh dan berat badan klien berada dalam batas normal.
o Intervensi dan Rasional :

Tindakan/intervensi Rasional
Beri motivasi pada klien untuk mengubah Agar pasien mau memenuhi diet yang
kebiasaan makan. disarankan untuk kebutuhan nutrisi dalam
metabolisme.
Sajikan makanan untuk klien semenarik Mengurangi anorexia pada pasien.
mungkin.
Pantau nilai laboratorium, khususnya Untuk mengetahui perkembangan asupan
transferin, albumin, dan elektrolit. gizi klien melalui sampel darah.
Timbang berat badan pasien pada interval Untuk mengetahui perkembangan klien
yang tepat. dalam mempertahankan berat badan
normal.
Diskusikan dengan ahli gizi dalam Untuk bisa lebih tepat memberikan diet
menentukan kebutuhan protein untuk klien. kepada pasien sesuai zat gizi dan kalori
yang dibutuhkan.
Pertahankan kebersihan mulut yang baik. Menambah nafsu makan dan
membersihkan kuman-kuman yang ada
dalam mulut, sehingga makanan yang klien
makan akan terasa lebih nikmat.
1. Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbbangan antara suplai dan demand oksigen

 Tujuan : keseimbanagn antara suplai dan demand oksigen.


 Kriteria hasil : mentoleransi aktivitas yang biasa dilakukan dan di tunjukkan dengan daya
tahan, menunjukkan penghematan energi.
 Intervensi dan Rasional :

Tindakan/ Intervensi Rasional


Beri bantuan untuk melaksanakan Ajarkan klien bagaimana meningkatkan
aktifitas sehari-hari rasa control dan mandiri dengan kondisi
yang ada
Ajarkan klien bagaimana menghadapi Istirahat memungkinkan tubuh
aktifitas menghindari kelelahan dan memperbaiki energy yang digunakan
berikan periode istirahat tanpa gangguan selama aktifitas
di antara aktifitaa
Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai Dengan ahli gizi,perawat dapat
menu makanan pasien menentukan jenis-jenis makanan yang
harus dikonsumsi untuk memaksimalkan
pembentukan energy dalam tubuh pasien.

1. Perubahan pola eliminasi urin b.d. Penurunan curah jantung.

 Tujuan : mengembalikan pola eliminasi urin normal.


 Kriteria hasil : klien menunjukkan pola pengeluaran urin yang normal, klien menunjukkan
pengetahuan yang adekuat tentang eliminasi urin.
 Intervensi dan Rasional :

Tindakan/intervensi Rasional
Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat
warna saat dimana diuresis terjadi. karena penurunan perfusi ginjal. Posisi
terlentang membantu diuresis sehingga
pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama
tirah baring.
Pantau/hitung keseimbangan intake dan Terapi diuretic dapat disebabkan oleh
output selama 24 jam kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan
(hipovolemia) meskipun edema/asites masih
ada.
Pertahakan duduk atau tirah baring dengan Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal
posisi semifowler selama fase akut. dan menurunkan produksi ADH sehingga
meningkatkan dieresis.
Pantau TD dan CVP (bila ada) Hipertensi dan peningkatan CVP
menunjukkan kelebihan cairan dan dapat
menunjukkan terjadinya peningkatan
kongesti paru, gagal jantung.
Kaji bisisng usus. Catat keluhan anoreksia, Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut)
dapat mengganggu fungsi gaster/intestinal.
mual, distensi abdomen dan konstipasi.

Konsul dengan ahli diet. Perlu memberikan diet yang dapat diterima
klien yang memenuhi kebutuhan kalori
dalam pembatasan natrium.

BAB IV
PENUTUP

3.1 Simpulan
Kor-pulmonal adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan/atau dilatasi) yang terjadi akibat kelainan
paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada kontrol pernafasan.
Kor-pulmonal dapat terjadi akut maupun kronik. Penyebab Cor Pulmonale akut tersering
adalah emboli paru masif, sedangkan Cor Pulmonale kronik sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK). Pada Cor Pulmonale kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan, sedangkan pada Cor
Pulmonal akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.
DOWNLOAD : WOC COR PULMONAL

DAFTAR PUSTAKA

A Sovari, Ali.2009. Cor Pulmonal


.(online),emedicine.medscape.com,7 Oktober 2009
Boughman, Diane C & Hackley, Joann C.2000.Buku Saku Keperawatan Medical Bedah.Jakarta:EGC
Wilkinson, Judith. M.2002. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria
NOC.EGC:Jakarta
----------.1997.Mastering Medical-Surgical Nursing.USA:Springhouse Corporation.
----------.2001.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta:Balai Penerbit FK UI
http://cintalestari.wordpress.com/2009/08/29/chronic-obstructive-pulmonal-disease-copd/
http://en.wikipedia.org/wiki/Cor_pulmonale
http://bayuaslilow.multiply.com/journal/item/2
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&jd=CLINICAL+UPDATE+2009%3A+Cystic+Fibrosis&dn
=20081209064030
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14DampakDebuIndustripadaParuPekerja115.pdf/14DampakDebuIndu
stripadaParuPekerja115.html
http://books.google.co.id/books?id=wzIGJflmD4gC&pg=PA184&lpg=PA184&dq=%22prevalensi+kor+pulm
onal%22&source=bl&ots=c0hU0FIQt2&sig=eTKShvi2moK1eAo6SL65E2rXq0&hl=id&ei=RxzbStefK9CAkQX7
gZnJDg&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=8&ved=0CBgQ6AEwBw#v=onepage&q=&f=false

Anda mungkin juga menyukai