Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kurang lebih sekitar 160 juta perempuan di seluruh dunia hamil setiap tahunnya. Pada
umumnya kehamilan ini berlangsung dengan aman. Tetapi, sekitar 1554 menderita
komplikasi berat, dengan sepertiganya merupakan komplikasi yang mengancam jiwa ibu.
Komplikasi ini mengakibatkan kematian lebih dari setengah juta ibu setiap tahun.
Kematian ibu atau kematian maternal adalah kematian seorang ibu sewaktu hamil atau
dalam waktu 42 hari setelah sesudah berakhirnya kehamilan, tidak bergantung pada tempat
atau usia kehamilan. Indikator yang umum digunakan dalam kematian ibu adalah Angka
Kematian Ibu (Maternal Mortality Ratio) yaitu jumlah kematian ibu dalam 1.000.000
kelahiran hidup. Angka ini mencerminka risiko obstetri yang dihadapi oleh seorang ibu
sewaktu ia hamil. Jika ibu tersebut hamil beberapa kali, risikonya meningkat dan
digambarkan sebagai risiko kematian ibu sepanjang hidupnya, yaitu pribabilitas menjadi
hamil dan probabilitas kematian karena kehamilan sepanjang masa reproduksi.
Kematian ibu dibagi menjadi kematian langsung dan tidak langsung. Kematian ibu
langsung adalah sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan, atau masa nifas dan segala
intervensi atau penanganan tidak tepat dari komplikasi tersebut. Kematian ibu tidak langsung
merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit yang sudah timbul sewaktu
kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS dan
penyakit kardiovaskular.
Secara global 80% kematian ibu tergolong pada kematian langsung. Pola penyebab
langsung dimana-mana sama, yaitu perdarahan (25 %, biasa perdarahan pascapersalinan),
sepsis (15 %), hipertensi dalam kehamilan (12 %), partus macet (8 %), komplikasi aborsi
tidak aman (13 %), dan sebab-sebab lain (8 %).

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai
berikut:
1.      Bagaimana prinsip dasar penatalaksanaan kegawatdaruratan obstetri?
2.      Bagaimana penilaian awal kegawatdaruratan obstetri?
3.      Bagaimana penilaian klinik lengkap kegawatdaruratan obstetri?
4.      Bagaimana prinsip umum penanganan syok perdarahan?
1
5.      Bagaimana penanganan kasus perdarahan dalam obstetri (kehamilan, persalinan, dan masa
nifas?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui prinsip dasar penatalaksanaan kegawatdaruratan obstetri
2.      Mengetahui penilaian awal kegawatdaruratan obstetri
3.      Mengetahui penilaian klinik lengkap kegawatdaruratan obstetri
4.      Mengetahui prinsip umum penanganan syok perdarahan
5.      Mengetahui penanganan kasus perdarahan dalam obstetri (kehamilan, persalinan, dan masa
nifas

D.    Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat dengan pertimbangan sebagai
berikut:
1.      Sebagai informasi mengenai penatalaksanaan kegawatdaruratan obstetri.
2.      Menjadi pembelajaran bagi penulis agar lebih baik dalam penulisan-penulisan berikutnya.

BAB II
TINJAUAN TEORI
2
A.    Prinsip Dasar
Kasus kegawatdarurat obstetri ialah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani
akan berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi
penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir. Dari sisi obstetri empat penyebab
utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir ialah (1) perdarahan; (2) infeksi dan sepsis; (3)
hipertensi dan preeklampsia/eklampsia, serta (4) persalinan macet (distosia). Persalinan
macet hanya terjadi pada saat persalinan berlangsung, sedangkan ketiga penyakit yang lain
dapat terjadi dalam kehamilan, persalinan, dan dalam masa nifas. Yang dimaksudkan dengan
kasus perdarahan disini termasuk kasus perdarahan yang diakibatkan oleh perlukaan jalan
lahir mencakup juga kasus ruptura uteri. Selain keempat penyebab kematian utama tersebut,
masih banyak jenis kasus gawatdarurat obstetri baik yang terkait langsung dengan kehamian
dan persalinan, misalnya emboli air ketuban, maupun yang tidak terkait langsung dengan
kehamilan dan persalinan, misalnya luka bakar, syok anafilaktik karena obat, dan cedera
akibat kecelakaan lalu lintas.
Manifestasi klinik kasus gawatdarurat tersebut berbeda-beda dalam rentang yang cukup
luas.
1. Kasus perdarahan, dapat bermanifestasi mulai dari perdarahan berwujud bercak,
merembes, profus, sampai syok.
2. Kasus infeksi dan sepsis, dapat bermanifestasi mulai dari pengeluaran cairan
pervaginam yang berbau, air ketuban hijau, demam, sampai syok.
3. Kasus hipertensi dan preeklampsia/eklampsia, dapat bermanifestasi mulai dari
keluhan sakit/pusing kepala, bengkak, penglihatan kabur, kejang-kejang, sampai
koma/pingsan/tidak sadar.
4. Kasus persalinan macet, lebih mudah dikenal yaitu apabila kemajuan persalinan
tidak berlangsung sesuai dengan batas waktu yang normal; tetapi kasus persalinan
macet ini dapat merupakan manifestasi ruptura uteri.
5. Kasus gawatdarurat yang lain, bermanifestasi klinik sesuai dengan penyebabnya.
Dalam menangani kasus gawatdarurat, penentuan permasalahan utama (diagnosis) dan
tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, cermat, dan terarah. Walupun
prosedur pemeriksaan dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan
hubungan antara dokter-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap
diperhatikan.

3
B.     Penilaian Awal
Dalam menentukan kondisi kasus obstetri yang dihadapi apakah dalam keadaan
gawatdarurat atau tidak, secara prinsip harus dilakukan pemeriksaan secara sistematis
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan obstetrik. Dalam praktik, oleh
karena pemeriksaan sistematis yang lengkap membutuhkan waktu agak lama, padahal
penilaian harus dilakukan secara cepat, maka dilakukan penilaian awal.
Penilaian awal ialah langkah pertama untuk menentukan dengan cepat kasus obstetri yang
dicurigai dalam keadaan gawatdarurat dan membutuhkan pertolongan segera dengan
mengidentifikasi penyulit (komplikasi) yang dihadapi. Dalam penilaian awal ini, anamnesis
lengkap belum dilakukan. Anamnesis awal dilakukan bersama-sama periksa pandang, periksa
raba, dan penilaian tanda vital dan hanya untuk mendapatkan informasi yang sangat penting
berkaitan dengan kasus. Misalnya, apakah kasus mengalami perdarahan, demam, tidak sadar,
kejang, sudah mengejan atau bersalin berapa lama, dan sebagainya. Fokus utama penilaian
adalah apakah pasien mengalami syok hipovolemik,  syok septik, syok jenis lain (syok
kardiogenik, syok neurologik, dan sebagainya), koma, kejang-kejang, atau koma disertai
kejang-kejang dan hal itu terjadi dalam kehamilan, persalinan, pascasalin, atau masa nifas.
Syok kardiogenik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik jarang terjadi pada kasus obstetri.
Syok kardiogenik dapat terjadi pada kasus penyakit jantung dalam kehamilan/persalinan.
Angka kematian sangat tinggi. Syok neurogenik dapat terjadi pada kasus inversio uteri
sebagai akibat rasa nyeri yang hebat disebabkan oleh tarikan kuat pada peritoneum, kedua
ligamentum infundibulopelvikum dan ligamentum retundum. Syok anafilaktik dapat terjadi
pada kasus emboli air ketuban.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk penilaian awal sebagai berikut:
1.      Penilaian dengan periksa pandang (inspeksi):
a. Menilai kesadaran penderita: pingsan/koma, kejang-kejang, gelisah, tampak kesakitan.
b. Menilai wajah penderita: pucat, kemerahan, banyak berkeringat.
c. Menilai pernapasan: cepat, sesak napas.
d. Menilai perdarahan dari kemaluan
2.      Penilaian dengan periksa raba (palpasi):
a. Kulit: dingin, demam.
b. Nadi: lemah/kuat, cepat/normal.
c. Kaki/tungkai bawah: bengkak.
3.      Penilaian tanda vital:
Tekanan darah, nadi, suhu, dan pernapasan..
4
C.    Penilaian Klinik Lengkap
Pemeriksaan klinik lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan
pemeriksaan obstetri termasuk pemeriksaan panggul secara sistematis meliputi sebagai
berikut:
1.      Anamnesis: diajukan pertanyaan kepada pasien atau keluarganya beberapa hal berikut dan
jawabannya dicatat dalam catatan medik.
a. Masalah/keluhan utama yang menjadi alasan pasien datang ke klinik
b. Riwayat penyakit/masalah tersebut, termasuk obat-obatan yang sudah didapat
c. Tanggal hari pertama haid yang terakhir dan riwayat haid
d. Riwayat kehamilan sekarang
e. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu termasuk kondisi anaknya
f. Riwayat penyakit yang pernah diderita dan penyakit dalam keluarga
g. Riwayat pembedahan dan riwayat alergi terhadap obat
2.      Pemeriksaan fisik umum:
a. Penilaian keadaan umum dan kesadaran penderita
b. Penilaian tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan)
c. Pemeriksaan kepala dan leher
d. Pemeriksaan dada (pemeriksaan jantung dan paru-paru)
e. Pemeriksaan perut (kembung, nyeri tekan atau nyeri lepas, tanda abdomen akut, cairan
bebas dalam rongga perut)
f. Pemeriksaan anggota gerak (antara lain edema tungkai bawah dan kaki)
3.      Pemeriksaan obstetri:
a. Pemeriksaan vulva dan perineum
b. Pemeriksaan vagina dan Pemeriksaan serviks
c. Pemeriksaan rahim (besarnya, kelainan bentuk, tumor, dan sebagainya)
d. Pemeriksaan adneksa
e. Pemeriksaan his (frekuensi, lama, kekuatan, relaksasi, simetri dan dominasi fundus)
f. Pemeriksaan janin
4.      Pemeriksaan panggul:
a.       Penilaian pintu atas panggul
1. Promontorium teraba atau tidak
2. Ukuran konjugata diagonalis dan konjugata vera
3. Penilaian linea inominata teraba berapa bagian atau teraba seluruhnya
5
b.      Penilaian ruang tengah panggul:
1. Penilaian tulang sakrum (cekung atau datar)
2. Penilaian dinding samping (lurus atau konvergen)
3. Penilaian spina iskiadika (runcing atau tumpul)
4. Ukuran jarak antarspina iskiadika (distansia interspinarum)
c.       Penilaian pintu bawah panggul:
1) Arkus pubis (lebih besar atau kurang dari 90o)
2) Penilaian tulang koksigis (ke depan atau tidak)
d.      Penilaian adanya tumor jalan lahir yang menghalangi persalinan pervaginam
e.       Penilaian panggul (panggul luas, sedang, sempit atau panggul patologik)
5.      Penilaian imbang feto-pelvik: (imbang feto-pelvik baik atau disproporsi sefalo-pelvik)

D.    Prinsip Umum Penanganan Syok Perdarahan


1.      Klasifikasi Perdarahan
Tabel 2.1: Klasifikasi Perdarahan

Kelas Jumlah Perdarahan Gejala Klinik


I 15 %   Tekanan darah dan nadi normal
(Ringan)   Tes Tilt (+)
II 20-25 %   Takikardi-takipnea
(Sedang)   Tekanan nadi < 30 mmHg
  Tekanan darah sistolik rendah
  Pengisian darah kapilar lambat
III 30-35 %   Kulit dingin, berkerut, pucat
(Berat)   Tekanan darah sangat rendah
  Gelisah
  Oliguria (< 30 ml/jam)
  Asidosis metabolic (pH < 7,5)
IV 40-45 %   Hipotensi berat
(Sangat berat)   Hanya nadi karotis yang teraba
  Syok ireversibel

2.      Penanganan
Jika terjadi syok, tindakan yang harus segera dilakukan antara lain sebagai berikut:

6
a. Cari dan hentikan segera penyebab perdarahan.
b. Bersihkan saluran napas dan beri oksigen atau pasang selang endotrakheal.
c. Naikkan kaki ke atas untuk meningkatkan aliran darah ke sirkulasi sentral.
d. Pasang 2 set infus atau lebih untuk transfuse, cairan infus dan obat-obat I.V. bagi pasien
yang syok. Jika sulit mencari vena, lakukan/pasang kanul intrafemoral.
e. Kembalikan volume darah dengan:
1)      Darah segar (whole blood) dengan cross-matched dari grup yang sama, kalau tidak tersedia
berikan darah O sebagai life-saving.
2)      Larutan kristaloid: seperti ringer laktat, larutan garam fisiologis atau glukosa 5 %. Larutan-
larutan ini mempunyai waktu paruh (half life) yang pendek dan pemberian yang berlebihan
dapat menyebabkan edema paru.
3)      Larutan koloid: dekstran 40 atau 70, fraksi protein plasma (plasma protein fraction), atau
plasma segar.
f. Terapi obat-obatan
1)      Analgesik: morfin 10-15 mg I.V. jika ada rasa sakit, kerusakan jaringan atau gelisah.
2)      Kortikosteroid: hidrokortison 1 g atau deksametason 20 mg I.V. pelan-pelan. Cara kerjanya
masih controversial: dapat menurunkan resistensi perifer dan meningkatkan kerja jantung dan
meningkatkan perfusi jaringan.
3)      Sodium bikarbonat: 100 mEq I.V. jika terdapat asidosis.
4)      Vasopresor: untuk menaikkan tekanan darah dan mempertahankan perfusi renal.
a)      Dopamin: 2,5 mg/kg/menit I.V.. sebagai pilih utama.
b)      Beta-adrenergik stimulan: isoprenalin 1 mg dalam 500 ml glukosa 5 % I.V. infus pelan-
pelan.
g.      Monitoring
1)      Central venous pressure (CVP): normal 10-12 cm air
2)      Nadi
3)      Tekanan darah
4)      Produksi urine
5)      Tekanan kapilar paru: normal 6-8 Torr
6)      Perbaikan klinik: pucat, sianosis, sesak, keringat dingin, dan kesadaran.

3.      Komplikasi

7
Syok yang tidak dapat segera diatasi akan merusak jaringan diberbagai organ
sehingga tidak dapat terjadi seperti komplikasi-komplikasi seperti gagal ginjal akut, nekrosis,
hipofise (sindroma Sheehan), dan koagulasi intravaskular diseminata (DIC).

E.     Penanganan Kasus Perdarahan dalam Obstetri (Kehamilan, Persalinan, dan Masa


Nifas)
1.      Perdarahan pada Kehamilan Muda
a.      Mola Hidatidosa
Yang dimaksud dengan mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang
tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami
perubahan berupa degenerasi hidropik. Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal
yaitu berupa gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan
ukuran bervariasi dari beberapa millimeter sampai 1 atau 2 cm.
Gambaran hitopatologik yang khas dari mola hidatidosa adalah edema stroma vili,
tidak ada pembuluh darah pada vili/ degenerasi hidropik dan proliferasi sel-sel trofoblas.
1)      Gejala-gejala dan Tanda
Pada permulaannya gejala hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan kehamilan biasa
yaitu mual, muntah, pusing, dan lain-lain, hanya saja derajat keluhannya sering lebih hebat.
Selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga pada umumnya besar uterus lebih besar dari
umur kehamilan. Adapula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besar walaupun
jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan jaringan trofoblas tidak begitu
aktif sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya jenis dying mole.
Perdarahan merupakan gejala utama mola. Biasanya keluhan perdarahan inilah yang
menyebabkan mereka datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara
bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat perdarahan bisa
intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian.
Karena perdarahan ini umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia.
Seperti juga pada kehamilan biasa, mola hidatidosa bisa disertai dengan preeclampsia
(eklampsia), hanya perbedaannya ialah bahwa preeclampsia pada mola terjadinya lebih muda
dari pada kehamilan biasa. Penyulit lain yang akhir-akhir ini banyak dipermasalahkan ialah
tirotoksikosis. Maka Martaadisoebrata menganjurkan agar tiap kasus mola hidatidosa dicari
tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif seperti kita selalu mencari tanda-tanda preeclampsia
pada tiap kehamilan biasa. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid.

8
Penyulit lain yang mungkin terjadi ialah emboli sel trofoblas ke paru-paru. Sebetulnya
pada setiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke paru-paru tanpa memberikan gejala
apa-apa. Akan tetapi pada mola, kadang-kadang jumlah sel trofoblas ini sedemikian banyak
sehingga dapat menimbulkan emboli paru-paru akut yang bisa menyebabkan kematian.
Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein, baik unilateral maupun bilateral.
Umumnya kista ini menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan, tetapi ada juga kasus-
kasus dimana kista lutein baru ditemukan pada waktu follow up. Dengan pemeriksaan klinik
insidensi kista lutein lebih kurang 10,2%, tetapi bila menggunakan USG angkanya meningkat
sampai 50%. Kasus mola dengan kista lutein mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk
mendapat degenerasi keganasan dikemudian hari daripada kasus-kasus tanpa kista.
2)      Diagnosis
Adanya mola hidatidosa harus dicurigai bila ada perempuan dengan amenorea,
perdarah pervaginam, uterus yang lebih besar dari tuanya kehamilan dan tidak tanda
kehamilan pasti seperti ballotement dan detak jantung anak. Untuk memperkuat diagnosis
dapat dilakukan pemeriksaan kadar Human Chorionic Gonadotropin (hCG) dalam darah atau
urin, baik secara bioassay, immunoassay, maupun radioimmunoassay. Peninggian hCG
terutama dari hari ke-100, sangat sugestif. Bila belum jelas dapat dilakukan pemeriksaan
USG, dimana kasus mola menunjukkan gambaran yang khas, yaitu berupa badai salju (snow
flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb).
Diagnosis yang paling tepat bila kita telah melihat keluarnya gelombang mola.
Namun, bila kita menunggu sampai gelembung mola keluar biasanya sudah terlambat karena
pengeluaran gelembung umumnya disertai perdarahan yang bayak dan keadaan umum pasien
menurun. Terbaik ialah bila dapat mendiagnosis mola sebelum keluar.
Pada kehamilan trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik, sehingga sering
kali sulit dibedakan dari kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus inkompletus, atau
mioma uteri. Apabila jaringan mola memenuhi sebagian kavum uteri dan sebagian berisi
janin yang ukurannya relative kecil dari umur kehamilannya disebut mola parsialis.
Umumnya janin mati pada bulan pertama, tapi ada juga yang hidup sampai cukup besar atau
bahkan aterm. Pada pemeriksaan histopatologik tampak dibeberapa tempat vili yang edema
dengan sel trofoblas yang tidak begitu berproliferasi, sedangkan ditempat lain masih tampak
vili yang normal. Umumnya mola parisalis mempunyai kariotipe triploid. Pada
perkembangan selanjutnya jenis mola ini jarang menjadi ganas.
3)      Pengelolaan Mola Hidatidosa
Pengelolaan mola hidatidosa dapat terdiri atas 4 tahap berikut ini:
9
a)      Perbaikan Keadaan Umum
Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfuse darah untuk memperbaiki
syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeclampsia atau
tirotoksikosis.
b)      Pengeluaran Jaringan Mola
Ada 2 cara yaitu:
(1)   Vakum kuretase
Setelah keadaan umum diperbaiki dilakukan vakum kuretase tanpa pembiusan.
Untuk memperbaiki kontraksi diberikan pula uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan
dengan kuretase dengan menggunakan sendok kuret biasa yang tumpul. Tindakan kuret
cukup dilakukan satu kali saja, asal bersih. Kuret kedua hanya dilakukan bila ada indikasi.
Sebelum tindakan kuret sebaiknya disediakan darah untuk menjaga bila terjadi
perdarahan yang banyak.

(2)   Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada perempuan yang telah cukup umur dan cukup
mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas
tinggi merupakan factor predisposisi untuk terjadinya keganasan. Batasan yang dipakai
adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa pada sediaan histerektomi
bila dilakukan pemeriksaan hitopatologik sudah tampak adanya tanda-tanda keganasan
berupa mola invasive/koriokarsinoma.
(3)   Pemeriksaan Tindak Lanjut
Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah mola
hidatidosa. Tes hCG harus mencapai nilai normal 8 minggu setelah evakuasi. Lama
pengawasan berkisar satu tahun. Untuk tidak mengacaukan pemeriksaan selama periode ini
pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu dengan menggunakan kondom, diafragma, atau
pantang berkala.
4)      Prognosis
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan oleh perdarahan, infeksi, payah jantung,
atau tirotoksikosis. Di negara maju kematian karena mola hampir tidak ada lagi. Akan tetapi,
di Negara berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Sebagian
dari pasien mola akan segera sehat kembali setelah jaringannya dikeluarkan, tetapi ada
sekelompok perempuan yang kemudian menderita degenerasi keganasan menjadi
koriokarsinoma. Presentase keganasan yang dilaporkan oleh berbagai klinik sangat berbeda-
10
berbeda, berkisar antara 5,56%. Bila terjadi keganasan, maka pengelolaan secara khusus pada
divisi Onkologi Ginekologi.
b.      Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang telah
dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Lebih dari 95 % kehamilan
ektopik berada di saluran telur (Tuba Fallopii). Berdasarkan lokasi terjadinya, kehamilan
ektopik dapat dibagi menjadi 5 berikut ini.
         Kehamilan tuba, meliputi > 95 % yang terdiri atas:
Pars ampularis (55 %), pars ismika (25 %), pars fimbriae (17 %), dan pars interstisialis (2 %).
         Kehamilan ektopik lain (<5 %) antara lain terjadi di serviks uterus, ovarium, atau
abdominal. Untuk kehamilan abdominal lebih sering merupakan kehamilan abdominal
sekunder dimana semula merupakan kehamilan tuba yang kemudian abortus dan meluncur ke
abdomen dari ostium tuba pars abdominalis (abortus tubaria) yang kemudian embrio/buah
kehamilannya mengalami reimplantasi di kavum abdomen, misalnya di
mesenterium/mesovarium atau di imentum.
         Kehamilan intraligamenter, jumlahnya sangat sedikit.
         Kehamilan heterotopik, merupakan kehamilan ganda dimana satu janin berada di kavum
uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik. Kejadian sekitar satu per 15.000 –
40.000 kehamilan.
         Kehamilan ektopik bilateral. Kehamilan ini perlu dilaporkan walaupun sangat jarang
terjadi.
1)      Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik sudah banyak disebutkan karena secara patofisiologi
mudah dimengerti sesuai dengan proses awal kehamilan sejak pembuahan sampai nidasi. Bila
nidasi terjadi diluar kavum uteri atau diluar endometrium, maka terjadilah kehamilan ektopik.
2)      Patologi
Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium untuk
proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudian akan mengalami
beberapa proses seperti dalam kehamilan pada umumnya.
3)      Gambaran Klinik
Gambaran klinik kehamilan tuba yang terganggu tidak khas, dan penderita maupun
dokternya biasanya tidak mengetahui kelainan dalam kehamilan, sampai terjadinya abortus
tuba atau rupture tuba. Pada umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala kehamilan muda,
dan mungkin merasa nyeri sedikit di bagian bawah yang tidak seberapa dihiraukan. Pada
11
pemeriksaan vaginal uterus membesar dan lembek walaupun mungkin tidak sebesar tuanya
kehamilan. Tuba yang mengandung hasil konsepsi karena lembeknya sukar diraba pada
pemeriksaan bimanual. Pada pemeriksaan USG sangat membantu menegakkan diagnosis
kehamilan ini apakah intrauterine atau kehamilan ektopik. Untuk itu setiap ibu yang
memriksakan kehamilan mudanya sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG.
4)      Pengelolaan Kehamilan Ektopik
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Dalam tindakan
demikian, beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu: kondisi penderita saat
itu, keinginan penderita atau fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik, kondisi
anatomic organ pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter operator, dan kemampuan
teknologi fertilisasi invitro setempat. Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu
dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba, atau dapat dilakukan pembedahan konservatif
dalam arti hanya dilakukan salpingostomi atau reanastomosis tuba. Apabila kondisi penderita
buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomi.
c.       Abortus
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin
kurang dari 500 gram.
Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan, sedangkan abortus
yang terjadi dengan sengaja dilakukan tindakan disebut abortus provokatus. Abortus
provokatus ini dibagi menjadi 2 kelompok yaitu abortus provokatus medisinalis, dan abortus
provokatus kriminalis. Disebut medisinalis bila didasarkan pada pertimbangan dokter untuk
menyelamatkan ibu. Di sini pertimbangan dilakukan oleh minimal tiga dokter spesialis yaitu
spesialis Kebidanan dan Kandungan, spesialis Penyakit Dalam, dan Spesialis Jiwa. Bila perlu
dapat pertimbangan oleh tokoh agama terkait. Setelah dilakukan terminasi kehamilan, harus
diperhatikan agar ibu dan suaminya tidak terkena trauma psikis di kemudian hari.
Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus banyak yang
tidak dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. Abortus spontan dan tidak jelas umur
kehamilannya, hanya sedikit memberikan tanda dan gejala sehingga biasanya ibu tidak
melapor atau berobat. Sementara itu, dari kejadian yang diketahui, 15-20 % merupakan
abortus spontan atau kehamilan ektopik. Sekitar 5 % dari pasangan yang mencoba hamil akan
mengalami 2 keguguran yang berurutan, dan sekitar 1 % dari pasangan mengalami 3 atau
lebih keguguran yang berurutan.

12
Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi menyatakan kejadian
abortus spontan antara 15-20 % dari semua kehamilan. Jika dikaji lebih jauh kejadian abortus
sebenarnya bisa mendekati 50 %. Hal ini dikarenakan tingginya angka chemical pregnancy
loss yang tidak bisa diketahui pada 2 - 4 minggu setelah konsepsi. Sebagian besar kegagalan
kehamilan ini dikarenakan kegagalan gamet (misalnya sperma disfungsi oosit). Pada 1988
Wilcox dan kawan-kawan melakukan studi terhadap 221 perempuan yang diikuti selama 707
siklus haid total. Didapatkan total 198 kehamilan, dimana 43 (22 %) mengalami abortus
sebelum saat haid berikutnya.
Abortus habitualis adalah abortus yang terjadi berulang tiga kali secara berturut-turut.
Kejadian sekitar 3 – 5 %. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah satu kali
abortus spontan, pasangan punya risiko 15 % untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan
bila pernah 2 kali, risikonya akan meningkat 25 %. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko
abortus setelah 3 abortus berurutan adalah 30 – 45 %.
1)      Etiologi
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering diperdebatkan.
Umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak diantaranya sebagai berikut.
a)      Faktor genetic. Translokasi parenatal keseimbangan genetic
(1)   Mendelian
(2)   Multifactor
(3)   Robertsonian
(4)   Resiprokal
b)      Kelainan congenital uterus
(1)   Anomaly duktus Mulleri
(2)   Septum uterus
(3)   Inkompetensi serviks uterus
(4)   Mioma uteri
(5)   Sindrom Asherman
c)      Autoinum
(1)   Aloimun
(2)   Media imunitas humoral
(3)   Mediasi imunitas seluler
d)     Defek fase luteal
(1)   Faktor endokrin eksternal
(2)   Antibody antitiroid hormone
13
(3)   Sintesis LH yang tinggi
e)      Infeksi
f)       Hematologic
g)      Lingkungan
   Usia kehamilan saat terjadinya abortus bisa memberi gambaran tentang
penyebabnya. Sebagai contoh, antiphospholipid syndrome (APS) dan inkompetensi serviks
sering terjadi setelah trimester pertama.
2)      Penyebab Genetik
   Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling
sedikit 50 % kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik.
Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang disebabkan oleh gangguan gen
tunggal (misalnya kelainan Mendelina) atau mutasi dari beberapa lokus (misalnya gangguan
poligenik atau multifactor) yang tidak terdeteksi oleh pemeriksaan kariotip.
Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi pada awal kehamilan.
Kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian
sporadic, misalnya nondisjunction meiosis atau poliploidi dan fertilisasi abnormal. Separuh
dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisemi autosom.
Triploidi ditemukan pada 16 % kejadian abortus, di mana terjadi vertilisasi ovum normal
haploid oleh 2 sperma (dispermi) sebagai mekanisme patologi primer. Trisomi timbul akibat
dari nondisjunction meiosis selama gemetogenesisbpada pasien dengan kariotip normal.
3)      Penyebab Anatomik
   Defek anatomi uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetric, seperti
abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus
berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan
anomaly uterus pada 27 % pasien.
Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengn malformasi uterus,
mendapatkan hasil hanya 18,8 % yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan,
sedangkan 36,5 % mengalami persalinan abnormal (premature, sungsang). Penyebab
terbanyak abortus karena kelainan anatomic uterus adalah septum uterus (40 – 80 %),
kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10 – 30 %). Mioma uteri bisa
menyebabkan baik infertilitas ataupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara 10 – 30 %
pada perempuan usia reproduksi. Sebagian besar mioma tidak memberikan gejala, hanya
yang berukuran besar atau yang memasuki kavum uteri (submukosum) yang akan
menimbulkan gangguan.
14
Sindrom Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan
darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25 – 80 %, bergantung pada berat
ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini bisa digunakan histerosalpingogafri
(HSG) dan USG.
4)      Penyebab Autoimun
   Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit autoinum.
Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan Antiphospolipid
Antibodies (aPA). aPA merupakan antibody spesifik yang didapati pada wanita dengan SLE.
Kejadian abortus spontan diantara pasien SLE sekitar 10 %, dibandingkan populasi umum.
Bila digabung dengan peluan terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka
diperkirakan 75 % pasien dengan SLE akan berakhir dengan berhentinya kehamilan.
Sebagian besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan antibody
yang akan berikatan dengan sisi negative dari fosfolipid. Paling sedikit ada 3 bentuk aPA
yang diketahui mempunyai arti klinis yang penting, yaitu Lupus
Anticoagulant (LAC), anticardiolipid antibodies (aCLs) dan biologically false-
positive untuk syphilis (FP-STS). APS (antiphospolipid syndrome) sering juga ditemukan
pada beberapa keadaan yang berhubungan dengan APS yaitu thrombosis arteri-vena,
trombositopeni autoimun, anemia hemolitik, korea dan hipertensi pulmonum.
Pemberian antikoagulan misalnya aspirin, heparin, IL-3 intravena menunjukkan hasil
yang efektif. Pada percobaan bintang, kerja IL-3 adalah menyerupai growth
hormone plasenta dan melindungi kerusakan jaringan plasenta.
Thrombosis plasenta pada APS diawali adanya peningkatan rasio tromboksan
terhadap prostasiklin , selain juga akibat dari peningkatan agregrasi trombosit, penurunan c-
reaktif protein dan peningkatan sintesis platelet-activating factor. Secara klinis lepasnya
kehamilan pada pasien APS sering terjadi pada usia kehamilan di atas 10 minggu.
5)      Penyebab Infeksi
   Teori peran mikroba terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917, ketika
DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada
perempuan yang ternyata terpapar brusellosis. Beberapa jenis organism tertentu diduga
berdampak pada kejadian abortus antara lain:
a)      Bacteria
(1)   Listeria monositogenes
(2)   Klamidia trakomatis
(3)   Ureaplasma urealitikum
15
(4)   Mikoplasma hominis
(5)   Bacterial vaginosis
b)      Virus
(1)   Sitomegalovirus
(2)   Rubella
(3)   Herpes simpleks virus (HSV)
(4)   HIV
(5)   Parvovirus
c)      Parasit
(1)   Toksoplasmosis gondii
(2)   Plasmodium falsiparum
d)     Spirokaeta
Treponema pallidum
6)      Faktor Lingkungan
   Diperkirakan 1 – 10 % malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau
radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas
anestesi dan tembakau.
7)      Faktor Hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kahamilan dini bergantung pada koordinasi yang baik
system pengaturan hormone maternal.
8)      Macam-macam Abortus
Dikenal berbagai macam abortus sesuai dengan gejala, tanda, dan proses patologi
yang terjadi.
a)      Abortus Iminens
        Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus, ditandai
perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam
kandungan.
        Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan pervaginam
pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak ada
keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih tertutup besarnya
uterus masih sesuai dengan usia kehamilan dan tes kehamilan urin masih positif.
        Untuk menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengan melihat kadar
hormone hCG pada urine dengan cara melakukan tes urine kehamilan menggunakan urine
tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10. Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka
16
prognosisnya adalah baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya negative maka prognosisnya dubia
ad malam. Pengelolaan penderita ini sangat bergantung pada informed consent yang
diberikan. Bila ibu masih menghendaki kehamilan tersebut maka pengelolaan harus
maksimal untuk mempertahankan kehamilan ini. Pemeriksaan USG diperlukan untuk
mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui keadaan plasenta apakah sudah
terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran biometri janin/kantong gestasi apakah
sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin
diperhatikan di samping ada tidaknya hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis
servikalis. Pemeriksaan USG dapat dilakukan baik secara transabdominal maupun
transvaginal.
b)      Abortus Insipiens
        Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah mendatar dan
ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum  uteri dan dalam
proses pengeluaran.
c)      Abortus Kompletus
        Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
        Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, ostium uteri telah menutup, uterus sudah
mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan.
Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksaan secara klinis sudah memadai. Pada
pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7-10 hari setelah abortus. Pengelolaan
penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan. Biasanya hanya diberi
roboransia atau hematenik bila keadaan pasien memerlukan. Utero tonika tidak perlu
dilakukan.
d)     Abortus Inkompletus
        Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal.
        Batasan ini juga masih terpancang pada usia kehamilan 20 minggu atau berat janin
kurang dari 500 gram. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam uterus di
mana pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam
kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi
jumlahnya pun bisa banyak atau sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa, yang
menyebabkan sebagin plasenta site masih terbuka sehingga perdarahan berjalan terus. Pasien
dapat jatuh dalam keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi
dikeluarkan. Pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan umum dan
17
mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan tindakan kuretase.
Pemeriksaan USG hanya dilakukan bila kita ragu dengan diagnose secara klinis. Besar uterus
adalah lebih kecil dari umur kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit dikenali, di kavum
uteri tampak tampak masa hipovolemik yang bentuknya tidak beraturan.
e)      Missed Abortion
        Yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kandungan sebelum
kehamilan 22 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan.
   
f)        Abortus Habitualis
        Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut.
Penderita abortus habitualis pada umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil kembali, tetapi
kehamilannya berakhir dengan keguguran/abortus secara berturut-turut. Bishop melaporkan
kejadian abortus habitualis sekitar 0,14 % dari seluruh kehamilan.
g)      Abortus Infeksiosus, Abortus Septik
        Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. Abortus septic
ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritoneum
(septicemia atau peritonitis).
Perdarahan pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan
a.   Plasenta Previa
Plasenta prefia adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim
demikian rupa sehingga menutupi sebagian atau seluruh dari osyium uteri internum.
1.      Etiologi
Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim belum diketahui dengan
pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa desidua di daerah segmen bawah
rahim tanpa latar belakang lain yang mungkin. Teori lain mengemukakan sebagai salah satu
penyebab adalah vaskularisasi desidua yang tidak memadai, mungkin sebagai akibat dari
proses radang atau atrofi. Paritas tinggi, usia lanjut, cacat rahim misalnya bekas bedah sesar,
kerokan, miomektomi, dan sebagainya berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi
di endometrium yang yang semuanya dapat dipandang sebagai faktor resiko bagi terjadinya
plasenta previa.
Cacat bekas bedah sesar berperan menaikkan insiden dua sampai tiga kali. Pada
perempuan perokok dijumpai insiden plasenta previa lebih tinggi dua kali lipat. Hipoksemia
akibat karbon monoksida hasil pembakaran rokok mrnyebabkan plasenta menjadi hipertrofi
sebagai upaya kpmpensasi.
18
Plasenta yang terlalu besar seperti pada kehamilan ganda dan eritroblastosis fetalis bisa
menyababkan pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah rahim sehingga menutupi
sebagian atau seluruh ostium uteri internum.
2.      Patofisiologi
     Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trimester ketiga dan mungkin juga lebih
awal, oleh karena telah mulai terbentuknya segmen bawah rahim, tampak plasenta akan
mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tampak plasenta terbentuk dari jaringan
maternal yaitu bagian desidua basalis yang bertumbuh menjadi bagian dari uri. Dengan
melebarnya ithmus uteri menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta yang berimplantasi di
situ sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai tampak
plasenta. Demikian pula pada waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatation)
ada bagian tampak plasenta yang lepas.
     Pada tempat laserasi itu akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu
dari ruangan intervillus dari plasenta. Oleh karena fenomena pembentukan segmen bawah
rahim itu perdarahan pada plasenta previa betapa pun pasti akan terjadi (unavoidable
bleeding) perdarahan di tempat itu relative dipermudah dn diperbanyak oleh karena segmen
bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang
dimilikinya sangan minimal, dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan
tertutup dengan sempurna.
     Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada laserasi mengenai
sinus yang besar dari plasenta pada masa perdarahan akan berlangsung lebih banyak dan
lebih lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu akan berlangsung progesif
dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulangi kejadian perdarahan. Demikianlah
perdarahan akan berulang tanpa sesuatu sebab lain (causeless). Darah yang keluar berwarna
merah segar tanpa rasa nyeri (painless). Pada plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri
internum perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan oleh karena segmen bawah rahim
terbentuk lebih dahulu pada bagian terbawah yaitu ostium uteri internum. Sebaliknya, pada
plasenta previa persialis atau letak rendah, perdarahan baru terjadi pada waktu mendeketi
atau mulai persalinan.
     Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih banyak pada perdarahan
berikutnya. Untuk berjaga-jaga mencegah syok hal tersebut perlu dipertimbangkan .
perdarahan pertama sudah bisa terjadi pada kehamilan di bawah usia 30 minggu tetapi lebih
separuh kejadiannya pada umur kehamilan 34 minggu ke atas. Berhubung tempat perdarahan
terletak dekan dengan ostium uteri internum, maka perdarahan lebih mudah mengalir keluar
19
luar rahim dan tidak membentuk hematoma retoplasenta yang mampu merusak jaringan lebih
luas dan melepaskan tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian, sangat
jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa.
     Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim yang tipis mudah
diinvasi oleh pertumbuhan villi dari trofoblas, akibatnya plasenta melekat lebih kuat pada
dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan plasenta inkreta, bahkan plasenta
perkreta yang pertumbuhan villinya bisa sampai menembus ke buli-buli dan ke rectum
bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan inkreta lebih sering terjadi pada uterus yang
sebelumnya pernah bedah sesar. Segmen bawah rahim dan serviks yang rapuh mudah robek
oleh sebab kurangnya elemen otot yang terdapat di sana.
     Kedua kondisi ini berpotensi meningkatkan kejadian perdarahan pascapersalinan pada
plasenta previa, misalnya dalam kala tiga karena plasenta sukar melepas dengan sempurna
(retentio placentae), atau uri lepas karena segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi
dengan baik.
3.      Diagnosis
     Perempuan hamil yang mengalami perdarahan dalam kehamilan lanjut biasanya menderita
plasenta previa atau solusio plasenta. Gambaran klinik yang klasik sangat menolong
membedakan antara keduanya. Dahulu untuk kepastian diagnosis pada kasus dengan
perdarahan banyak, pasien dipersiapkan di dalam kamar bedah demikian rupa segala
sesuatunya termasuk staf dan perlengkapan anastesia semua siap untuk tindakan bedah sesar.
Dengan pasien dalam posisi litotomi di atas meja operasi dilakukan periksa dalam (vaginal
toucher) dalam lingkungan desinfeksi tingkat tinggi (DTT) secara hati-hati dengan dua jari
telunjuk dan jari tengah meraba forniks posterior untuk mendapat kesan dan atu tidak ada
bantalan antara jari dan bagian terbawah janin. Perlahan jari-jari digerakkan menuju
pembukaan serviks untuk meraba jaringan plasenta. Kemudian jari-jari digerakkan mengikuti
seluruh pembukaan serviks untuk mengetahui derajat atas klasifikasi plasenta. Jika plasenta
lateralis atau marginalis dilanjutkan dengan amniotomi dan diberi oksitosin drip untuk
mempercepar persalinan jika tidak terjadi perdarahan banyak untuk kemudian pasien
dikembalikan ke kamar bersalin.
     Jika terjadi perdarahan banyak atau plasenta previa totalis, langsung dilanjutkan dengan
seksio sesaria. Persiapan yang demikian dilakukan bila ada indikasi penyelesaian persalinan.
Persalinan yang demikian disebut dengan double set-up examination. Perlu diketahui
tindakan periksa dalam tidak boleh/komtra-indikasi dilakukan di luar persiapan double set-up
examination. Periksa dalam sekalipun yang dilakukan dengan sangat lembut dan hati-hati
20
tidak menjamin tidan akan terjadi perdarahan yang banyak. Jika terjadi perdarahan banyak
diluar perdarahan akan berdampak pada prognosis yang lebih buruk bahkan bisa fatal.
     Dewasa ini double set-up examination pada banyak rumah sakit sudah jarang dilakukan
berhubungan telah tersedia alat ultrasonografi. Transabdominal ultrasonografi dalam keadaan
kandung kemih yang dikosongkan akan member kepastian diagnosis plasenta previa dengan
ketepatan tinggi sampai 96% - 98%. Walaupun lebih superior jarang diperlukan transvaginal
untuk mendeteksi keadaan ostium uteri internum. Di tangan yang tidak ahli pemakaian
transvaginal bisa memprovokasi perdarahan lebih banyak. Di tangan yang ahli dengan
transvaginal ultrasonografi dapat dicapai 98% positive predictive value dan 100% negative
predictive value pada upaya diagnosis plasenta previa.
4.      Komplikasi
     Ada beberapa komplikasi utama yang terjadi pada ibu hamil yang menderita plasenta
previa, diantaranya ada yang bisa menimbulkan perdarahan yang cukup banyak dan fatal.
a)      Oleh karena pembentukan segmen rahim terjadi secara ritmik, maka pelepasan plasenta dari
tempat melekatnya di uterus dapat berulang dan semakin banyak, dan perdarahan yang terjadi
itu tidak dapat dicegah sehingga penderita menjadi anemia bahkan syok.
b)      Oleh karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat segmen ini
yang tipis mudahlah jaringan trofoblas dengan kemampuan infasinya merobek kedalam
miometrium bahkan sampai ke primetrium dan menjadi sebab dari kejadian plasenta inkreta
dan bahkan plasenta perkreta. Paling ringan adalah plasenta akreta yang perlekatanya lebih
kuat tetapi villinya masih belum masuk ke dalam miometrium.
8)      Penanganan
     Setiap perempuan hamil yang mengalami perdarahan dalam trimester kedua atau
trimester ketiga harus dirawat dalam rumah sakit. Pasien diminta istirahat baring dan
dilakukan pemeriksaan darah lengkap termasuk golongan darah dan faktor Rh. Jika Rh
negative RhoGam perlu diberikan pada pasien yang belum pernah mengalami sensisitasi.
Jika kemudian ternyata perdarahan tidak banyak dan berhenti serta janin dalam keadaan
sehat dan masih premature dibolehkan pulang dilanjutkan dengan rawat rumah atau rawat
jalan dengan syarat telah mendapatkonsultasi yang cukup dengan pihak keluarga agar dengan
segera kembali ke rumah sakit bila terjadi perdarahan ulang, walaupun kelihatannya tidak
mencemaskan. Dalam keadaan yang stabil tidak ada keberatan pasien dirawat di rumah atau
rawat jalan. Sikap ini dapat dibenarkan sesuai sesuai dengan hasil penelitian yang
mendapatkan tindak ada perbedaan pada morbiditas ibu dan janin bila pada masing-masing
kelompok diberlakukan rawat inap atau rawat jalan. Pada kehamilan antara 24 minggu
21
sampai 34 minggu diberikan steroid dalam perawatan aternal untuk pematangan paru janin.
Dengan rawat jalan pasien lebih bebas dan kurang stress serta biaya dapat ditekan. Rawat
inap kembali diberikan bila keadaan menjadi lebih serius.
     Hal yang perlu dipertimbangkan adalah adaptasi fisiologik perempuan hamil yang
memperlihatkan seolah keadaan klinis dengan tanda-tanda vital dan hasil pemeriksaan
laboratorium yang masih normal padahal bisa tidak mencerminkan keadaan yang sejati. Jika
perdarahan terjadi dalam trimester kedua perlu diwaspadai karena perdarahan ulangan
biasanya lebih banyak. Jika ada gejala hipovolemia seperti hipotensi dan takikardia, pasien
tersebut mungkin telah mengalami perdarahan yang cukup berat, lebih berat daripada
penampakannya secara klinis. Tranfusi darah yang banyak perlu segera diberikan.
     Pada keadaan yang kelihatan stabil dalam rawatan di luar rumah sakit hubungan
suami isteri dan kerja rumah tangga dihindari kecuali jika setelah pemeriksaan ultrasonografi
ulang, dianjurkan minimal setelah 4 minggu, memperlihatkan ada migrasi plasenta manjadi
ostium uteri internum. Bila hasil USG tidak demikian, pasien tetap dinasihati untuk
mengurangi kegiatan fisiknya dan melawat ke tempat jauh tidak dibenarkan sebagai antisipasi
terhadap perdarahan ulang sewaktu-waktu.
     Selama rawat inap mungkin perlu diberikan transfusi darah dan terhadap pasien
dilakukan pemantauan kesehatan janin dan observasi kesehatan maternal tang ketat terhubung
tidak bisa diramalkan pada pasien mana dan bilamana perdarahan ulang akan terjadi.
Apabila diagnosis belum pasti atau tidak terdapat fasilitas ultrasonografi transvaginal
atau terduga plasenta previa marginalis atau plasenta previa parsialis dilakukan double set-up
axamination  bila inpartu atau sebelumnya bila perlu. Pasien dengan semua klasifikasi
plasenta previa dalam trimester ketiga yang dideteksi dengan ultrasonografi transvaginal
belum ada pembukaan pada serviks persalinanya dilakukan melalui seksio sesarea. Seksio
sesarea juga dilakukan apabila ada perdarahan banyak yang mengkhawatirkan.
Kebanyakan seksio sesarea pada plasenta previa dapat dilaksanakan melalui insisi
melintang pada segmen bawah rahim bagian anterior terutama bila plasentanya terletak di
belakang dan segmen bawah rahim telah terbentuk dengan baik. Insisi yang demikian juga
dapat dilakukan oleh dokter ahli yang cekatan pada plasenta yang terletak anterior dengan
melakukan insisi pada dinding rahim dan plasenta dengan cepat dan dengan cepat pula
mengeluarkan janin dan menjepit tali pusatnya sebelum janin sempat mengalami perdarahan
(fetal exsanguinations) akibat plasentanya terpotong. Session sesarea klasik dengan insisi
vertical pada rahim hanya dilakukan bila janin dalam letak lintang atau terdapat varises yang
luas pada segmen bawah rahim. Anastesia regional dapat diberikan dan pengendalian tekanan
22
darah dapat dikendalikan dengan baik di tangan spesialis anastesia. Perdarahan ini dilakukan
mengingat perdarahan intraoperasi dengan anastesi regional tidak sebanyak perdarahan pada
pamakaian anastesia umum. Namun, pada pasien dengan perdarahan berat sebelumnya
anastesia umum lebih baik mengingat anastesia regional bisa menambah berat hipotensi yang
biasanya telah ada dan memblokir respon normal simpatetik terhadap hipovolemia.
b.      Solusio Plasenta
          Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta
dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium sebelum waktunya
yakni sebelum anak lahir.
1)      Klasifikasi
        Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggiranya saja (ruptur sinus marginalis), dapat
pula terlepas lebih luas (solusio plasenta parsialis), atau bisa seluruh permukaan maternal
plasenta terlepas (solusio plasenta totalis). Perdarahan yang terjadi dalam banyak kejadian
akan merembes antara plasenta dan miometrium untuk seterusnya menyelinap di bawah
selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikalis dan keluar melalui
vagina (revealed hemorrhage) jika jarang perdarahan itu tidak keluar melalui vagina
(concealed hemorrhage) jika:
a)      Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim.
b)      Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim.
c)      Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah karenanya.
d)     Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen bawah rahim.

2)      Solusio plasenta ringan


   Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25%, atau ada yang menyebutkan kurang
dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang krluar biasanya kurang dari 250 ml. tumpahan darah yang
keluar terlihat seperti pada haid bervariasi dari sedikit sampai seperti menstruasi yang
banyak. Gejala-gejala perdarahan sukar dibedakan dari plasenta previa kecuali warna darah
yang kehitaman. Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada.
3)      Solusio plasenta sedang
Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25%, tetapi belum mencapai separuhnya
(50%). Jumlah darah yang keluar lebih banyak dari 250 ml tetapi belum mencapai 1.000 ml.
Umumnya pertumpahan darah terjadi ke luar dan ke dalam bersama-sama. Gejala-gejala dan
tanda-tanda sudah jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus menerus, denyut jantung janin
menjedi cepat, hipotensi dan takikardia.
23
4)      Solusio plasenta berat
Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%, dan jumlah darah yang keluar telah
mencapai 1.000 ml atau lebih. Pertumpahan darah bisa terjadi keluar dan kedalam bersama-
sama. Gejala-gejala dan tanda-tanda klinik jelas, keadaan umum penderita buruk disertai
syok, dan hampir semua janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal
yang ditandai pada oliguri biasanya telah ada.
5)      Etiologi
Sebab yang primer dari solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat beberapa
keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau menyertai solusio plasenta
dan dianggap sebagai faktor risiko (lihat Tabel38-1). Usia ibu dan paritas yang tinggi berisiko
lebih tinggi. Perbedaan suku kelihatan berpengaruh pada risiko.
Tabel 38-1. Faktor risiko solusio plasenta

Faktor risiko Risiko relatif


Pernah solusio plasenta 10 – 25
Ketuban pecah preterm/korioaamnionitis 2,4 – 3,0
Sindrom pre-eklampsia 2,1 – 4,0
Hipertensi kronik 1,8 – 3.0
Merokok/nikotin 1,4 – 1,9
Merokok + hipertensi kronik atau pre-eklampsia 5–8
Pecandu kokain 13 %
Mioma di belakang plasenta 8 dari 14
Gangguan system pembekuan darah berupa single-gene Meningkat s/d 7x
mutation/tombofilia
Acquiredantiphospholipid autoantibodies  meningkat
Trauma abdomen dalam kehamilan Jarang
Plasenta Sirkumvalata Jarang
Komplikasi dari kepustakaan 4, 5, dan 9
Dalam kepustakaan terdapat 5 kategori populasi perempuan yang berisiko tinggi
untuk solusio plasenta. Dalam kategori sosioekonomi termasuk keadaan yang tidak kondusif
seperti usia muda, primiparitas, single-parent (hidup sendiri tanpa suami), pendidikan yang
rendah dan solusio plasenta rekurens. Dalam kategori fisik termasuk trauma tumpul pada
perut, umumnya karena kekerasan dalam rumah tangga atau kecelakan berkendaraan.
Kategori kelainan pada rahim seperti mioma terutama mioma submukosum di belakang

24
plasenta atau uterus berseptum. Kategori penyakit ibu sendiri memegang peran penting
seperti penyakit tekanan darah tinggi dan kelainan system pembekuan darah seperti
trombofilia. Yang terakhir adalah yang termasuk kategori sebab iatrogenic seperti merokok
dan kokain.
6)      Patofisiologi
   Sesungguhnya solusi plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula
dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili koroalis plasenta dari tempat
implantasi pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Oleh karena itu patofisiologinya
bergantung pada etiologi. Pada trauma abdomen etiologinya jelas karena robekan pembuluh
darah di desidua.
   Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis) yang
disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat menyebabkan
pembentukan trombosit dalam pembuluh darah desidua atau dalam vascular vili dapat
berujung pada iskemia dan hipoksia setempat yang menyebabkan kematian sejumlah sel dan
mengakibatkan perdarahan sebagai hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua
basalis terlepas kecuali selapisan tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan
demikian, pada tingkat permulaan sekali dari proses terdiri atas pembentukan hematom yang
bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada bagian plasenta
sekelilingnya yang berdekatan. Pada awalnya mungkin belum ada gejala kecuali terdapat
hematoma pada bagian belakang plasenta yang baru lahir. Dalam beberapa kejadian
pembentukan hematom retroplasenta disebabkan oleh putusnya arteria spiralis dan desidua.
Hematoma retroplasenta mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi
maternal/plasenta ke sirkulasi janin. Hematoma yang terbentuk dengan cepat meluas dan
melepaskan plasenta lebih luas/banyak sampai ke pinggirnya sehingga darah yang keluar
merembes antara selaput ketuban dan miometrium untuk selanjutnya keluar melalui serviks
ke vagina (revealed hemorrhage).
   Terdapat beberapa keadaan yang secara teoritis dapat berakibat kematian sel karena
iskemia dan hopoksia pada desidua.
a)      Pada pasien dengan karioamnionitis, misalnya pada ketuban pecah premature, terjadi
pelepasan lipopolisakarida dan endotoksin lain yang berasl dari agensia yang infeksius dan
mengindikasi pembentukn dan penumpukan sitokines, eisikanoid, dan bahan-bahan oksidan
lain seperti superoksida. Semua bahan ini mempunyai daya sitotoksis yang menyebabkan
iskemia dan hipoksia yang berujung dengan kemayian sel. Salah satu kerja sitotoksis dari
endotoksin adalah terbentuknya NOS (Nitric Oxide Synthase) yang berkemampuan
25
menghasilkan NO (Nitric Oxide) yaitu suatu vasodilator kuat dan penghambat agregasi
trombosit.
kelompok penyakit ini termasuk autoimun antibody, antikardiolipin Milan termasuk
melatarbelakangi kejadian solusio plasenta.
b)      Kelainan genetic berupa defisiensi protein C dan protein S keduanya meningkatkan
pembentukan thrombosis dan dinyatakan terlibat dalam etiologi pre-eklampsia dan solusio
plasenta.
c)      Pada pasien dengan penyakit trombofilia di mana ada kecenderungan pembekuan berakhir
dengan pembentukan thrombosis di dalam desidua basalis yang mengakibatkan iskemia dan
hipoksia
d)     Keadaan hyperhomocysteinemia dapat menyebabkan kerusakan pada endothelium vascular
yang berakhir dengan pembentukan thrombosis pada vena atau menyebabkan kerusakan pasa
arteria spiralis yang memasok darah ke plasenta dan menjadi sebab lain dari solusio plasenta.
Pemeriksaan PA plasenta dari penderita hiperhomosisteinemia menunjukkan gambaran
patologik yang mendukung hiperhomosisteinemia sebagai faktor etiologi solusio plasenta.
Meningkatkan konsumsi asam folat dan piridoksin akan mengurangi hiperhomosisteinemia
karena kedua vitamin ini berperan sebagai kofaktor dalam metabolisme metionin menjadi
homosistein. Metionon mengalami remetilasi oleh enzim metilentetrahidrofolat reduktase
(MTHFR) menjadi homosistein. Mutasi pada gen MTHFR mencegah proses remetilasi dan
menyebabkan kenaikan kadar homosistein dalam darah. Oleh sebab itu, disarankan
melakukan pemeriksaan hiperhomosisteinemia pada pasien solusio plasenta yang penyebab
lainnya belum pasti.
e)      Nikotin dan kokain dan keduanya dapat menyebabkan vasokonstriksi yang bisa
menyebabkan iskemia dan pada plasenta sering dijumpai bermacam lesi seperti infark,
oksidatif stress, apoptosis, dan nekrosis, yang kesemuanya ini berpotensi merusak hubungan
uterus dengan plasenta yang berujung kepada solusio plasenta.
Dilaporkan merokok berperan pada 15% sampai 25% dari insiden solusio plasenta.
Merokok satu bungkus per hari menaikkan insiden menjadi 40%.
7)      Diagnosis
   Dalam banyak hal diagnosis bisa di tegaakkan berdasarkan gejala dan tanda klinik
yaitu perdrahan melalui vagina,nyeri pada uterus,kontraksi tetanik pada uterus, dan pada
solusio plasenta yang berat terdapat kelainan denyut jantung janin pada pemeriksaan dengan
KTG (Kardia Tocografi) untuk mengukur DJJ. Namun, ada kalanya pasien datang dengan
gejala mirip persalinan premature,  ataupun datang dengan perdarahan tidak banyak dengan
26
perut tegang,tetapi janin telah meninggal. Diagnose definitive hanya bisa di tegaakkan secara
retrospektif yaitu setelah partu dengan melihat adanya hematoma retroplasenta.
   Pemeriksaan dengn USG berguna untuk membedakannya dengan plasenta previa,
tetapi pada solusio plasenta pemeriksaan dengan USG tidak memberikan kepastian
berhubung kompleksitas gambaran retro plasenta yang normal mirip dengan gambaran
perdarahan retroplasenta pada solusio plasenta. Kompleksitas gambaran normal
retroplasenta,kompleksitas vascular rahim sendiri, desidua dan mioma semua bisa mirip
dengan solusioplasenta dan memberikan hasil pemeriksaan positif palsu. Disamping
itu,solusio plasenta sult di bedakan dengan plasenta itu sendiri. Pemeriksaan ulang pada
pendarahan baru sering bisa membantu karena gambaran USG dari darah yang telah
membeku akan berubah menurut waktu menjadi lebih ekogenik pada 48 jam kemudian
menjadi Hipogenik dalam waktu 1 sampai 2 minggu.
   Penggunaan color Doppler dinyatakan tidak menjadi alat yang berguna untuk
menegakkan solusio plasenta dimana tidak terdapat sirkulasi darah yang aktif padanya,sedang
pada kompleksitas lain,baik kompleksitas plasenta yang hiperekoik maupun hipoekoik seperti
mioma dan kontraksi uterus,terdapat sirkulasi darah yang aktif padanya. Pada kontraksi
uterus terdapat sirkulasi aktif di dalam nya, pada mioma sirkulasi aktif  terdapat lebih banyak
pada bagian perveri di bagian tengahnya.
   Pulsed-wave Doppler  dinyatakan tidak menjadi alat yang berguna untuk
menegakkan diagnosis solusio plasenta berhubung hasil pemeriksaan yang tidak konsisten.
   MRI bisa mendeteksi darah melalui deteksi metemoglobin, tetapi dalam situasi
darurat seperti pada kasus solusio plasenta tidaklah merupakan perangkat diagnosis yang
tepat.
   Alfa-feto-protein serum ibu (MSAFP) dan hCG serum ibu di tengarai bisa melewati
plasenta dalam keadaan dimana terdapat gangguan fisiologi dan keutuhan anatomic dari
plasenta. Peninggian  kadar MSAFP tanpa sebab lain yang me inggikan kadarnya terdapat
pada solusio plasenta. Adapun sebab-sebab lain yang dapat meninggikan MSAFP adalah
kehamilan dengan kelainan-kelainan kromosom, neural tube defect, juga pada perempuan
yang beresiko rendah terhadap kematian janin, hipertensi karena kehamilan, plasenta previa,
ancaman persalinan premature, dan hambatan pertumbuhan janin. Pada perempuan yang
mengalami perslinan premature dalam trimester ketiga dengan solusio plasenta d jumpai
kenaikkan MSAFP dengan sensifitas 67% bila tanpa perdarahan dan dengan sensifitas 100%
bila di sertai perdarahan. Nilai Ramal negative pada keadaan ini bisa mencapai 94% pada
tanpa perdarahan 100% pada perdarahan.
27
   Uji coba Kleihauer-Betke unutk mendeteksi darah atau hemoglobin janin dalam
darah ibu tidak merupakan uji coba yang berguna pada diagnosis solusio plasenta karena
pada perdarahan solusio plasenta kebanyakan berasal dari belakang plasenta, bukan berasal
dari ruang intervillus di mana darah janin berdekatan dengan darah ibu.
8)  Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang terus
berlangsung sehingga menimbulkan akibat pada ibu seperti anemia, syok hipovolemik,
insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan darah, gagal ginjal mendadak, dan uterus
Couvelarie di samping komplikasi sindroma insufisiensi fungsi plasenta pada janin berupa
angka kematian perinatal yang tinggi. Sindroma Sheehan terdapat dari beberapa penderita
yang terhindar dari kematian setelah penderita syok yang berlangsung lama yang
menyebabkan iskemia dan nekrosis adenohipofisis sebagai akibat solusio plasenta.
Kematian janin, kelahiran premature dan kematian perinatal merupakan komplikasi
yang paling sering terjadi pada solusio plasent. Solusio plasenta berulang dilaporkan juga
bisa terjadi pada 25% perempuan yang pernah menderita solusio plasenta sebelumnya.
Solusio plasenta kronik dilaporkan juga di mana proses pembentukan hematom retroplasenta
berhenti tanpa dijelang oleh persalinan. Komplikasi koagulopati dijelaskan sebagai berikut.
Hematoma retroplasenta yang terbentuk mengakibatkan pelepasan tromboplastin ke dalam
peredaran darah. Tromboplastin bekerja mempercepat perombakan protombin menjadi
thrombin. Thrombin yang terbentuk dipakai untuk merubah fibrinogen menjadi fibrin untuk
membentuk lebih banyak bekuan darah terutama pada solusio plasenta berat. Melalui
mekanisme ini apabila pelepasan tromboplastin cukup banyak dapat menyebabkan terjadi
pembekuan darah intravascular yang luas (disseminated intravascular coagulation) yang
semakin menguras persediaan fibrinogen dan faktor-faktor persediaan lain.
Akibat dari pembekuan darah intravascular adalah terbentuknya plasmin dari
plasminogan yang dilepaskan pada setiap kerusakan jaringan. Karena kemampuan fibrinolisis
dari plasmin ini maka fibrin yang terbentuk dihancurkannya. Penghancuran buti-butir fibrin
yang terbentuk intravascular oleh plasmin berfaedah menghancurkan bekuan-bekuan darah
dalam pembuluh darah kecil dengan demikian berguna mempertahankan keutuhan sirkulasi
mikro. Namun, di lain pihak penghancuran fibrin oleh plasmin memicu perombakan lebih
banyak fibrinogen menjadi fibrin agar darah bisa membeku. Dengan jalan ini dengan solusio
plasenta berat dimana telah terjadi perdarahan melebihi 2000 ml dapat dimengerti bila
akhirnya akan terjadi kekurangan fibrinogen dalam darah sehingga persediaan fibrinogen
lambat laun mencapai titik kritis (≤ 150 mg/100ml darah) dan terjadi hipofibrinogenemia.
28
Pada kadar ini telah terjadi gangguan pembekuan darah yang secara laboratories
terlihat pada memenjangnya waktu pembekuan melebihi 6 menit dan bekuan darah yang telah
terbentuk mencair kembali. Pada keadaan yang lebih parah darah tidak mau membeku sama
sekali apabila kadar fibrinogen turun di bawah 100 mg%. pada keadaan yang berat ini telah
terjadi kematian janin dan pada pemeriksaan laboratorium dijumpai kadar hancuran faktor-
faktor pembekuan darah dan hancuran fibrinogen meningkat dalam serum mencapai kadar
yang berbahaya yaitu di atas 100 µg per ml. kadar fibrinogen normal 450 mg% menjadi
100mg% atau lebih rendah. Untuk menaikkan kembali kadar fibrinogen ke tingkat di atas
nilai kritis lebih disukai memberikan transfuse darah segar sebanyak 2.000 ml sampai 4.000
ml karena setiap 1.000 ml darah segar diperkirakan mengandung 2 gr fibrinogen. Kegagalan
fungsi ginjal akut bisa terjadi apabila keadaan syok hipovolemik yang berlama-lama
terlambat atau tidak memperoleh penanganan yang sempurna. Penyebab kegagalan fungsi
ginjal pada solusio plasenta belum jelas, tetapi beberapa faktor dikemukakan sebagai
pemegang peran dalam kejadian itu.
Curah jantung yang menurun dan kekejangan pembuluh darah ginjal akibat tekanan
intrauterina yang meninggi keduanya mengakibatkan perfusi ginjal menjadi sangat menurun
dan menyebabkan anoksia. Pembekuan darah dalam intravascular member kontribusi
tambahan pada pengurangan perfusi ginjal selanjutnya. Penyakit hipertensi akut atau kronik
yang sering bersama atau bahkan menjadi penyebab solusio plasenta berperan memperburuk
fungsi ginjal pada waktu yang sama. Keadaan yang umum terjadi adalah nekrosis tubulus-
tubulus ginjal secara akut yang menyebabkan kegagalan fungsi ginjal (acute tubular renal
failure). Apabila korteks ginjal ikut menderita anoksia karena iskemia dan nekrosis yang
menyebabkan kegagalan fungsi ginjal (acute cortical renal failure) maka prognosisnya
sangat buruk karena pada keadaan demikian angka kematian (case specific mortality rate)
bisa mencapai 60%.
Transfuse darah yang cepat dan banyak serta pemberian infuse cairan elektrolit
seperti cairan elektrolit Ringer Laktat dapat mengatasi komplikasi ini dengan baik.
Pementauan fungsi ginjal dengan pengamatan diuresisi dalam rangka mengatasi oliguria dan
uji coba fungsi ginjal lain sangat berperan dalam menilai kemajuan penyembuhan.
Pengeluaran urine 30 ml atau lebih dalam satu jam menunjukkan menunjukkan kebaikan
fungsi ginjal.
9)  Penanganan
Semua pasien yang tersangka menderita solusio plasenta harus di rawat inap di
rumah sakit yang berfasilitas cukup. Ketika masuk segera di lakukan pemeriksaan darah
29
lengkap termasuk kadar Hb dan golongan darah serta gambaran pembekuan darah dengan
memeriksa waktu pembekuan, waktu protombin,waktu tombloplastin plasma. Pemeriksaan
dengan USG berguna terutama untuk membedakannya dengan plasenta previa dan
memastikan janin masih hidup.
c.       Ruptura Uteri
        Ruptura uteri komplit adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi
hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum. Peritoneum vesirale dan
kantong ketuban keduanya ikut rupture dengan demikian janin sebagian atau seluruh
tubuhnya telah kelur oleh kontraksi terakhir rahim dan berada dalam kavum peritonei atau
rongga abdomen.
        Dehinsens terjadi perlahan,sedngkan rupture terjadi secara dramatis. Ketentuan ini
berguna untuk membedakan rupture uteri inkompletta dengan dehisens yang sama-sama bisa
terjadi pada bekas bedah sesar. Pada dehisens perdarahan minimal atau tidak berdarah, tetapi
pada rupture uteri perdarahannya banyak yang bersal dari pinggir parut atau robekan baru
yang meluas.
1)      Klasifikasi
            Klasifikasi rupture uteri menurut sebabnya adalah sebagai berikut :
a)      Kerusakan atau anomaly uterus yang telah ada sebelum hamil :
(1)   Pembedahan pada meometrium: seksio sesarea atau histerotomi, histerorafia, mimatomi
yang sampai menembus seluruh ketebalan otot uterus, resepsi pada konua uterus,atau bagian
interstisialis, metroplasti.
(2)   Trauma uterus koinsi dental : instrument sendok kuret atau sondey pada penanganan
abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau atau peluru, rupture tanpa gejala pada
kehamilan sebelumnya.
(3)   Kelainan bawaan: kehamilan dalam bagian rahim yang tidak berkembang.
b)      Kerusakan atau anomaly uterus yang terjadi dalam kehamilan:
(1)   Sebelum kelahiran anak : his spontan yang kuat dan terus-menerus, pemakaian oksitosin
untuk merangsang persalinan, instilasi cairan ke dalam kantong gestasi atau ruang amnion
seperti larutan garam fisiologik atau prostaglandin, pembesaran rahim yang berlebihan
misalnya hidramnion dan kehamilan ganda.
(2)   Dalam periode intrapartum : versi eksresi, ekstrasi bokong, anomaly janin yang
menyebabkan distensi berlebihan pada segmen bawah rahim, tekanan kuat pada uterus dalam
persalinan, kesulitan dalam melakuka manual plasenta.

30
(3)   Cacat rahim yang didapat: plasenta akreta atau inkreta, neoplasia trofoblas gestasional,
adenomiosis, retroversion uterus gravidus inkarserata.
2)      Etiologi
Rupture uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang pernah ada
sebelumnya, karena trauma, atau komplikasi persalinan pada rahim yang masih utuh. Paling
sering terjadi pada rahim yang telah seksio sesarea pada apersalinan sebelumnya. Lebih lagi
jika pada uterus yang demikian dilakukan partus percobaan atau persalinan dirangsang
dengan oksitosin atau sejenisnya.
Pasien yang berisiko tinggi antara lain persalinan yang mengalami distosia,
grandemultipara, penggunaaan oksitosin untuk mempercepat persalinan, pasien hamil yang
pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah sesar atau operasi lain pada rahimnya, pernah
hosterorafia, pelaksanaan trial of labor terutama pada pasien bekas seksio sesarea, dan
sebagainya.
3)      Patofisiologi
a)      Aspek anatomic
        Berdasarkan lapisan dinding rahim yang terkena rupture uteri dibagi kedalam ruptyra
uteri komplit dan rupture uteri inkomplit. Pada rupture uteri komplit ketiga lapisan dinding
rahim ikut robek, sedangkan pada yang inkomplit lapisan serosany atau perimetrium masih
utuh.
b)      Aspek sebab
        Berdasarkan pada sebab mengapa terjadi robekan pada rahim, rupture uteri di bagi ke
dalam rupture uteri spontan, rupture uteri violent, dan rupture uteri traumatika. Rupture uteri
spontan terjadi pada rahim yang utuh oleh karena kekuatan his semata, sedangkan rupture
uteri violenta disebabkan ada manipulasi tenaga tambahan lain seperti induksi atau stimulasi
partus dengan oksitosin dan sejenis atau dorongan yang kuat pada fundus dalam persalunan.
Rupture uteri traumatika disebabkan oleh trauma pada abdomen seperti kekerasan dalam
rumah tangga dan kecelakaan lalu lintas.
c)      Aspek ketuban rahim
        Rupture uteri dapat terjadi pada uterus yang masih utuh, tetapi bisa terjadi pada uterus
yang bercacat misalnya pada parut bekas bedah sesar atau parut jahitan rupture uteri yang
pernah terjadi sebelumnya (histerorafia), miomektomi yang dalam sampai ke rongga rahim,
akibat kerokan yang terlalu dalam, resepsi kornu atau bagian interstitial dan rahim,
metroplasti, rahim yang rapuh akibat telah banyak meregam misalnya pada grandemultipara

31
atau pernah hidramnion atau hamil ganda, uterus yang masih kurang berkembang kemudian
menjadi hamil, dan sebagainya
d)     Aspek waktu
        Yang dimaksud dengan waktu di sini ialah dalam masa hamil atau pada waktu bersain.
Rupture uteri dapat terjadi dalam masa kehamilan misalnya karena trauma pada rahim yang
bercacat, sering pada bekas bedah sesar klasik. Kebanyakan rupture uteri terjadi dalam
persalinan kala 1 atau kala 2 dan pada partus percobaan bekas seksio sesarea, terlebih pada
kasus yang hisnya diperkuat dengan oksitosin prostaklandin dan yang sejenis.
e)      Aspek sifat
         Ramim robek bisa tanpa menimbulkan gejala yang kelas (silent) seperti pada ruptura
yang terjadi pada parut bedah sesar klasik pada masa hamil tua. Parut itu merekah sedikit
demi sedikit dan pada akhirnya robek tanpa menimbulkan perdarahan yang banyak dan rasa
nyeri yang tegas. Sebaliknya, kebanyakan rupture uteri terjadi dalam waktu yang cepat
dengan tanda-tanda serta gejala-gejala yang jelas dan akut, misalnya rupture uteri yang terjadi
dalam kala 1 atau kala 2 akibat dorongan atau picuan oksitosin. Kantong kehamilan ikut
robek dan janin terdorong masuk ke dalam rongga peritoneum. Terjadi perdarahan internal
yang banyak dan perempuan bersalin tersebut merasa sangat nyeri sampai syok.
f)       Aspek paritas.
        Rupture uteri dapat terjadi pada perempuan yang beru pertama kali hamil sehingga
sedapat mungkin padanya diusahakan histerorafia apabila lukanya rata dan tidak terinfeksi.
Terjadi rupture uteri pada multipara umumnya lebih baik dilakukan histerektomi atau jika
keadaan umumnya jelek dan luka robekan pada uterus tidak luas dan tidak compang camping,
robekan pada uterus dijahit kembali dilanjutkan dengan tubektomi.
g)      Aspek gradasi
        Kecuali akibat kecelakaan, rupture uteri tidak terjadi mendadak. Peristiwa robekan yang
umumnya terjadi pada segmen bawah rahim didahului oleh his yang kuat tanpa kemajuan
dalam persalinan sehingga batas antara korpus dan segmen bawah rahim yaitu lingkaran
retraksi yang fisiologik naik bertambah tinggi menjadi lingkaran Bandl yang patologik,
sementara ibu yang melahirkan itu merasa sangat cemas dan kekuatan oleh karena menahan
nyeri his yang kuat.
        Pada saat ini penderita berada dalam stadium rupture uteri iminens. Apabila keadaan
yang demikian belanjut dan tidak terjadi atonia uteru sekunder maka pada giliranya dinding
segmen bawah rahim yang sudah sangat tipi situ robek. Peristiwa ini tersebut rupture uteri
spontan.
32
4)      Penanganan
   Dalam menghadapi masalah rupture uteri semboyan prevention is better than
cure sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pengelolah persalinan dan
dimanapun persalinan itu berlangsung. Pasien resiko tinggi harus di rujuk agar persalinanya
berlangsung dalam rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup diawasi dengan penuh
dedikasi oleh petugas berpengalaman. Bila telah terjadi ruktura tindakan terpilih hanyalah
histerektomi dan resusitasi serta antobiotika yang sesuai. Di perlukan infuse cairan frustaloid
dan transfuse darah yang banyak, tindakan anti syok, serta pemberian anti biotika spectrum
luas, dan sebagainya.
   Jarang sekali bisa dilakukan histerorafia kecuali jika robekan masih dan rapid an
pasiennya belum punya anak hidup.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
      Kasus kegawatdarurat obstetri menjadi penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi
baru lahir. Penilaian awal ialah langkah pertama untuk menentukan dengan cepat kasus

33
obstetri yang dicurigai dalam keadaan gawatdarurat dan membutuhkan pertolongan segera
dengan mengidentifikasi penyulit (komplikasi) yang dihadapi.
Pemeriksaan klinik lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan
pemeriksaan obstetri termasuk pemeriksaan panggul.
Syok hemoragik adalah suatu syok yang disebabkan oleh perdarahan yang banyak yang
dapat disebabkan oleh perdarahan antepartum, inpartu, dan perdarahan pascapersalinan.
Gejala klinik syok hemoragik bergantung pada jumlah perdarahan yang terjadi. Dengan
penegakan diagnosis yang tepat maka penatalaksanaan kasus perdarahan dalam obstetri yang
dilakukan juga dapat tepat mengenai sasaran.

B.     Saran
Mahasiswi harus dapat melatih diri untuk dapat melakukan penilaian awal dan penilaian
klinik untuk menentukan suatu kegawatdaruratan obstetri. Selain itu, mahasiswi harus benar-
benar  mengetahui klasifikasi dari kasus gawatdarurat pada kehamilan, persalinan, dan masa
nifas. Mahasiswi diharapkan dapat menerapkan penatalaksanaan gawatdaruratan perdarahan
pada obstetri baik dalam kehamiFrlan, persalinan, dan masa nifas.

DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka.


Fraser, Diane M. dan Margaret A. Cooper. 2009. Buku Ajar Bidan. Jakarta:EGC.
Manuaba, Ida Ayu Chandranita, dkk. 2009. Buku Ajar Patologi Obstetri untuk Mahasiswa
Kebidanan. Jakarta: EGC.
34
Manuaba, dkk. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC.

35

Anda mungkin juga menyukai