Pasien Ny.S (20 tahun), G2P1A0, tanggal 22 Juli 2007 jam 04.45 WIB datang ke UGD
RSUD dengan keluhan : hamil 9 bulan, mules-mules, ketuban sudah pecah di rumah.
Diperiksa dokter jaga di UGD, kesimpulan : Pasien sudah dalam proses persalinan (inpartu).
Saat itu UGD sangat sibuk; fasilitas tempat di UGD terbatas; kamar bersalin sedang penuh.
Pasien menolak untuk dirujuk ke RS lain (swasta), dengan alasan biaya; pasien mengaku
tidak mampu, tetapi tidak memiliki surat keterangan tidak mampu seperti ASKESKIN,
JAMKESMAS atau sejenisnya. Tanpa didampingi perawat, dengan dituntun suami, pasien
berjalan ke Kamar bersalin, yang berada pada jarak 30 meter dari UGD. Dalam perjalanan,
pasien mendadak merasa mules hebat, jatuh terkulai dilantai, mengejang kuat sehingga bayi
lahir spontan. Kebetulan saat itu lewat seorang perawat yang segera memberikan
pertolongan, bayi dibersihkan mulut dan hidungnya, dan bayi segera menangis kuat. Salah
seorang perawat lain memanggil bidan jaga dari kamar bersalin, yang segera datang dan
memotong tali pusat dan melahirkan placenta. Selanjutnya ibu dan bayi dibawa ke kamar
bersalin, dan mendapat perawatan sebagaimana mestinya. Keadaan ibu pasca melahirkan
baik, jalan lahir utuh (tidak ada robekan), perdarahan berhenti. Bayi normal,bb 2800 kg,
panjang badan 48 kg. Sehari sesudah melahirkan ibu dan bayi diperbolehkan pulang dalam
keadaan baik.
Esok harinya, hampir semua surat kabar lokal memuat berita tersebut yang cukup membuat
heboh masyarakat ibu kota Kabupaten tersebut. Ternyata ayah Ladilla adalah seorang
wartawan surat kabar lokal di kota tersebut!
II. PERSOALAN
Kasus diatas merupakan kasus yang seharusnya tidak boleh terjadi di sebuah Rumah Sakit.
Analisa dan buat penilaian mengenai peristiwa ini, hal-hal apa yang perlu dipertanyakan
dalam hal peristiwa ini, secara sistematis:
III. PEMBAHASAN
Jadi jika Instalasi Unit Gawat Darurat Rumah Sakit tersebut memang sudah kewalahan dalam
menangani pasien kegawat daruratan, sebaiknya pihak manajemen Rumah Sakit perlu segera
mengadakan perubahan manajemen di Instalasi Unit Gawat Darurat Rumah Sakit tersebut.
Pasien dalam keadaan inpartu tetapi di UGD tidak ada bidan hanya ada dokter jaga dan
perawat yang sibuk. Pada saat itu juga UGD sangat sibuk dan fasilitas tempat di UGD juga
terbatas serta kamar bersalin sedang penuh, sehingga pasien tidak terpantau. Seharusnya
Instalasi Unit Gawat Darurat Rumah Sakit tersebut sudah selayaknya mempunyai ruang
Triase, dimana jika memang harus ditangani sesegera mungkin seperti ibu yang akan
melahirkan, seharusnya dapat ditolong persalinannya pada ruang triase tersebut.
Pasien tergolong tidak mampu seharusnya masuk jamkesmas / SKTM dan sudah terdata oleh
Puskesmas di wilayah tinggal pasien dan pasien menolak untuk dirujuk ke RS lain (swasta),
pasien mengaku tidak mampu, tapi tidak memiliki surat keterangan tidak mampu,
ASKESKIN, JAMKESMAS atau sejenisnya, bila pasien memang tidak mampu, seharusnya
pasien mempunyai kartu JAMKESMAS atau minimal surat keterangan tidak mampu dan
biasanya pasien yang tidak mampu dan memerlukan pertolongan segera (dalam kasus ini
pertolongan kegawat daruratan kebidanan) perlu didampingi oleh bidan / kader yang selama
ini memantau kehamilannya.
Seharusnya juga pihak medis Instalasi Unit Gawat Darurat Rumah Sakit tersebut melihat
kondisi pasien yang sudah dalm keadaan inpartu, tidak begitu saja menyarankan pasien untuk
dirujuk, tetapi harus melihat apakah pasien tersebut tidak bermasalah dalam perjalanan ke
Rumah Sakit Swasta atau apakah pihak Rumah Sakit dalam merujuk pasien disediakan
fasilitas dalam merujuk (Ambulance, perawat / bidan yang mendampingi di dalam
ambulance)
Sesibuk apapun kondisi UGD adalah melihat fungsi dari dengan diselenggarakannya
pelayanan UGD berarti aktor-aktor yang ada harus selalu berorientasi untuk pelayanan
kepada masyarakat, karena ini merupakan kondisi dimana harus ada faktor resiko.
Seberapapun sibuk ruangan tersebut seharusnya ada sistem yang mampu mengatur tingkat
kesibukan di UGD tersebut antara lain :
1. Terselenggaranya jumlah SDM yang memadai
2. Ketersediaan fasilitas pelayanan yang optimal
3. Adanya sistem yang terintegrasi agar para aktor yang berperan dapat menjalani
pekerjaan yang seharusnya dilakukan
4. Tempat sangat menentukan lalu lintas pekerjaan yang kondusif
Peningkatan angka kunjungan ini jika tidak disertai dengan pembenahan UGD baik dari sisi
manajemen maupun sarana dan prasarana, tentu akan mempengaruhi mutu pelayanan yang
akan diberikan kepada pasien. Ditambah lagi dengan tingginya iklim kompetisi dalam bidang
pelayanan kesehatan di sekitar rumah sakit. UGD juga merupakan ujung tombak pelayanan
RS yang melibatkan semua instalasi dan unit lainnya dari rumah sakit, dengan demikian
pelayanan yang terdapat di UGD akan mencerminkan pelayanan di dalam RS. Berdasarkan
hal-hal tersebut, maka pengembangan UGD mutlak diperlukan.
Perencanaan SDM kesehatan adalah proses estimasi terhadap jumlah SDM berdasarkan
tempat, keterampilan, dan perilaku yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan kesehatan.
Secara garis besar perencanaan kebutuhan SDM kesehatan dapat dikelompokan kedalam tiga
kelompok yaitu :
Petugas jaga pada saat itu dan secara otomatis maka kepala IGD Rumah Sakit tersebut juga
terlibat, lalu yang tak kalah pentingnya adalah bagian Pelayanan Mediknya karena tidak
memperhatikan kualitas pelayanan sehingga direktur Rumah Sakit itu sendiri pun ikut terlibat
dan dalam kapasitas yang besar maka Pemda terkait selaku pemilk Rumah Sakit tersebut juga
harus bertanggung jawab.
Dalam rumah sakit ada kebutuhan akan kemampuan memahami masalah etika, melakukan
diskusi multidisiplin tentang kasus medik legal dan dilema etika biomedis dan proses
pengambilan keputusan yang terkait dengan permasalahan ini. Keberlangsungan pelayanan
sesuai standar akan menjadi tanggungan pimpinan di RS, pimpinan yang baik itu harus
melakukan pembinaan terhadap petugas, dalam hal ini petugas medis dan paramedis yang
bertugas di UGD Rumah Sakit tersebut, pimpinan wajib mempunyai pengaruh terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan RS antara lain dengan mengeluarkan kebijakan tentang
manajemen pelayanan dari tingkat atas sampai tingkat bawah. Hal yang paling terpenting
adalah bagaimana mengemas koordinasi Pimpinan Rumah Sakit dengan pengambil
kebijakan seperti halnya tidak ada nya koordinasi antara Pimpinan Rumah Sakit dengan
Dinkes, Puskesmas dan RS
8. SEBERAPA JAUH PIHAK PEMDA (SELAKU PEMILIK R.S) TURUT
BERTANGGUNG JAWAB ATAS PERISTIWA INI
PEMDA selaku pemilik dari RS tersebut akan secara langsung bertanggungjawab dengan
adanya permasalahan ini, kewenangan RS itu berada dibawah tanggungjawabnya. Oleh
karena itu perlunya adanya pendidikan etika yang tidak terbatas pada pimpinan dan staf
rumah sakit saja. PEMDA selaku pemilik dan anggota RS, pasien, keluarga pasien, dan
masyarakat dapat diikutsertakan dalam pendidikan etika. Pemahaman akan permasalahan
etika akan menambah kepercayaan masyarakat dan membuka wawasan mereka bahwa rumah
sakit bekerja untuk kepentingan pasien dan masyarakat pada umumnya. Tanggungjawab
PEMDA oleh karena kebijakannya mulai dari pembuat keputusan dan kebijakan yang ada
pada RS, pembuatan komitmen pada RS, penempatan dan pengangkatan sumber daya
manusia yang bertugas di RS dan sarana prasarana yang ada di RS tersebut.
Adalah seberapa jauh PEMDA mengatur regulasi terhadap RS setempat dan Rumah sakit
merupakan suatu institusi yang komplek, dinamis, kompetitif, padat modal dan padat karya
yang multidisiplin serta dipengaruhi oleh lingkungan yang selalu berubah. Namun rumah
sakit selalu konsisten tetap untuk menjalankan misinya sebagai institusi pelayanan sosial,
dengan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat banyak dan harus selalu
memperhatikan etika pelayanan. Konsekuensi logis diberlakukanya otonomi daerah,
pemerintah daerah harus siap menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengatur
sumber dana dan daya yang ada, untuk melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat.
Sehingga dalam jangka panjang mampu mewujudkan Good Governance, dalam jangka
pendek mampu melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan dalam rangka membangun dan
memberi pelayanan umum di daerah, serta mendorong partisipasi swasta dan masyarakat
dalam pembangunan dan pelayanan umum.
Kebijakan Umum
1. Peralatan di unit harus selalu dilakukan pemeliharaan dan kalibrasi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
2. Pelayanan di unit harus selalu berorientasi kepada mutu dan keselamatan pasien.
3. Semua petugas unit wajib memiliki izin sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. Dalam melaksanakan tugasnya setiap petugas wajib mematuhi ketentuan dalam K3 (Keselamatan
5. Setiap petugas harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional yang
8. Untuk melaksanakan koordinasi dan evaluasi wajib dilaksanakan rapat rutin bulanan minimal satu
bulan sekali.
Kebijakan Khusus
1. Setiap pasien yang datang berobat ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) harus mendaftar ke bagian
registrasi rawat jalan dan mendaftar ke bagian admission untuk rawat inap, bila dirawat
2. Pelayanan Gawat Darurat terutama life saving dilaksanakan tanpa membayar uang muka
3. Dalam memberikan pelayanan harus selalu menghormati dan melindungi hak-hak pasien
4. Selain menangani kasus “true emergency” IGD juga melayani kasus “false emergency”
5. Pada pasien DOA tidak dilakukan resusitasi kecuali atas permintaan keluarga dan harus diberi
6. Dokter yang bertugas di IGD harus memiliki sertifikat PPGD/ATLS/ACLS dan BLS yang masih
berlaku
7. Pada setiap shift jaga, salah satu perawat yang bertugas harus memilliki sertifikat PPGD / ACLS
8. Obat dan alat kesehatan sesuai standar yang berlaku harus selalu tersedia
9. Memberikan pelayanan kesehatan pasien Gawat Darurat selama 24 jam secara terus menerus dan
berkesinambungan
Tambahan
2. Penanganan pasien tidak akut dan tidak gawat yang datang ke IGD di luar jam kerja :
Bagi pasien yang tergolong tidak akut dan tidak gawat di IGD di luar jam kerja tetep diberikan
3. Setiap pasien yang datang ke IGD dilakukan triage untuk mendapatkan pelayanan yang tepat dan
4. Triage di IGD dilakukan oleh dokter jaga IGD atau perawat penanggung jawab shift
Rumah Sakit dapat dilakukan rujukan ke Rumah Sakit lain, termasuk juga bagi pasien yang
6. Bila terjadi banyak bencana baik yang terjadi di dalam luar Rumah Sakit, IGD siap untuk
7. Setiap petugas/staf IGD wajib mengikuti pelatihan yang sudah diprogramkan oleh bagian
Latbang
8. Setiap tindakan medis yang dilakukan harus berdasarkan atas permintaan dokter persetujuan
Pemimpin
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan kita tentu tidak lepas dari masalah kesehatan. Masalah kesehatan yang
dihadapi tentunya harus memiliki manajemen yang baik. Dan dalam hal ini, pemerintah turut
campur tangan di bawahi oleh Kementrian Kesehatan (Kemenkes). Sebagai suatu lembaga
yang mengatur jalannya sistem kesehatan di Indonesia, Kementrian Kesehatan sangat
bertanggung jawab akan hal ini. Kemenkes selaku pembuat kebijakan kesehatan juga perlu
melakukan analisis terhadap setiap kebijakan kesehatan yang dibuat supaya derajat kesehatan
di Indonesia lebih terarah untuk mencapai Indonesia Sehat. Lebih lanjut penjelasan mengenai
“Analisis Kebijakan Kesehatan”, akan dibahas dalam makalah ini.
Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai pemenuhan tugas kelompok Dasar AKK. Selain itu
juga, agar para pembaca sekalian dapat menambah pengetahuan dalam lingkup Dasar
Administrasi Kebijakan Kesehatan khususnya mengenai Analisis Kebijakan Kesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN
Analisis Kebijakan Kesehatan, terdiri dari 3 kata yang mengandung arti atau dimensi yang
luas, yaitu analisa atau analisis, kebijakan, dan kesehatan.
Analisa atau analisis, adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (seperti karangan,
perbuatan, kejadian atau peristiwa) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebab
musabab atau duduk perkaranya (Balai Pustaka, 1991).
Kebijakan merupakan suatu rangkaian alternative yang siap dipilih berdasarkan prinsip-
prinsip tertentu. Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam terhadap berbagai
alternative yang bermuara kepada keputusan tentang alternative terbaik[8]. Kebijakan adalah
rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak (tentag organisasi, atau pemerintah); pernyataan
cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha
mencapai sasaran tertentu. Contoh: kebijakan kebudayaan, adalah rangkaian konsep dan asas
yang menjadi garis besar rencana atau aktifitas suatu negara untuk mengembangkan
kebudayaan bangsanya. Kebijakan Kependudukan, adalah konsep dan garis besar rencana
suatu pemerintah untuk mengatur atau mengawasi pertumbuhan penduduk dan dinamika
penduduk dalam negaranya (Balai Pustaka, 1991).[8]
Kebijakan berbeda makna dengan Kebijaksanaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Balai Pustaka, 1991), kebijaksanaan adalah kepandaian seseorang menggunakan akal
budinya (berdasar pengalaman dan pangetahuannya); atau kecakapan bertindak apabila
menghadapi kesulitan.[11] Kebijaksanaan berkenaan dengan suatu keputusan yang
memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti
pertimbangan kemanusiaan, keadaan gawat dll. Kebijaksanaan selalu mengandung makna
melanggar segala sesuatu yang pernah ditetapkan karena alasan tertentu.[8]
Menurut UU RI No. 23, tahun 1991, tentang kesehatan, kesehatan adalah keadaan sejahtera
dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara soial
dan ekonomi (RI, 1992).[9] Pengertian ini cenderung tidak berbeda dengan yang
dikembangkan oleh WHO, yaitu: kesehatan adalah suatu kaadaan yang sempurna yang
mencakup fisik, mental, kesejahteraan dan bukan hanya terbebasnya dari penyakit atau
kecacatan.[13] Menurut UU No. 36, tahun 2009 Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara
fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis. [12]
Jadi, analisis kebijakan kesehatan adalah pengunaan berbagai metode penelitian dan argumen
untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga
dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan
kesehatan.[5][6]
Analisis kebijakan kesehatan awalnya adalah hasil pengembangan dari analisis kebijakan
publik. Akibat dari semakin majunya ilmu pengetahuan dan kebutuhan akan analisis
kebijakan dalam bidang kesehatan itulah akhirnya bidang kajian analisis kebijakan kesehatan
muncul.
Sebagai suatu bidang kajian ilmu yang baru, analisis kebijakan kesehatan memiliki peran dan
fungsi dalam pelaksanaannya. Peran dan fungsi itu adalah:
Adanya analisis kebijakan kesehatan akan memberikan keputusan yang fokus pada
masalah yang akan diselesaikan.
Analisis kebijakan kesehatan mampu menganalisis multi disiplin ilmu. Satu disiplin
kebijakan dan kedua disiplin ilmu kesehatan. Pada peran ini analisis kebijakan
kesehatan menggabungkan keduanya yang kemudian menjadi sub kajian baru dalam
khazanah keilmuan.
Adanya analisis kebijakan kesehatan, pemerintah mampu memberikan jenis tindakan
kebijakan apakah yang tepat untuk menyelesaikan suatu masalah.
Memberikan kepastian dengan memberikan kebijakan/keputusan yang sesuai atas
suatu masalah yang awalnya tidak pasti.
Dan analisis kebijakan kesehatan juga menelaah fakta-fakta yang muncul kemudian
akibat dari produk kebijakan yang telah diputuskan/diundangkan. [1] [2]
Staf puskesmas yang kuat orientasi materialnya (gaji tidak memenuhi kebutuhan), cenderung
memandang aspek imbalan dari puskesmas sebagai masalah mandasar dari pada orang yang
punya komitmen pada kualitas pelayanan kesehatan.
Menurut Dunn (1988) beberapa karakteristik masalah pokok dari masalah kebijakan, adalah:
Upaya untuk menghasilk informasi dan argumen, analis kebijakan dapat menggunakan
beberapa pendekatan, yaitu: pendekatan Empiris, Evaluatif, dan Normatif (Dunn, 1988).
Ketiga pendekatan di atas menghendaki suatu kegiatan penelitian dan dapat memanfaatkan
berbagai pendekatan lintas disiplin ilmu yang relevan. Adapun model panelitian yang lazim
digunakan adalah penelitian operasional, terapan atau praktis.
Pembuatan informasi yang selaras kebijakan (baik yang bersifat penandaan, evaluatif, dan
anjuran) harus dihasilkan dari penggunaan prosedur analisis yang jelas (metode penelitian).
Menurut Dunn (1988), dalam Analisis Kebijakan, metode analisis umum yang dapat
digunakan, antara lain:
3) Metode evaluasi, pembuatan informasi mengenai nilai atau harga di masa lalu dan masa
datang.
METODE ANALISIS
METODE ANALISIS UMUM
KEBIJAKAN
Deskripsi Perumusan Masalah
Penyimpulan Praktis
(Practical inference)
Penyimpulan praktis, ditujukan untuk mencapai kesimpulan yang lebih dekat agar masalah
kebijakan dapat dipecahkan. Kata Praktis, lebih ditekankan pada dekatnya hubungan
kesimpulan yang diambil dengan nilai dan norma sosial. Pengertian ini lebih ditujukan untuk
menjawab kesalahpahaman mengenai makna Rekomendasi yang sering diartikan pada
informasi yang kurang operasional atau kurang praktis, masih jauh dari fenomena yang
sesungguhnya.
Bila metode analisis kebijakan dikaitkan dengan pendekatan empiris, evaluatif, dan anjuran,
maka metode analisis kebijakan dapat disusun menjadi 3 jenjang, yaitu:
1) Pendekatan modus operandi, dapat menghasilkan informasi dan argumen dengan
memanfaatkan 3 jenjang metode analisis, yaitu perumusan masalah, peliputan, dan
peramalan.
2) Pendekatan modus evaluatif, dapat menghasilkan informasi dan argumen dengan
memanfaatkan 4 jenjang metode analisis, yaitu perumusan masalah, peliputan, peramalan,
dan rekomendasi.
3) Pendekatan modus anjuran, dapat menghasilkan informasi dan argumen dengan
memanfaatkan seluruh (6) jenjang metode analisis, yaitu perumusan masalah, peliputan,
peramalan, evaluasi, rekomendasi, dan peyimpulan praktis. [5][6]
Analisis kebijakan tidak hanya sekedar menghimpun data dan menghasilkan informasi.
Analisis kebijakan juga harus memanfaatkan atau memindahkan informasi sebagai bagian
dari argumen yang bernalar mengenai kebijakan publik untuk mencari solusi masalah
kebijakan publik. Menurut Dunn (1988) struktur argumen kebijakan menggambarkan
bagaimana analis kebijakan dapat menggunakan alasan dan bukti yang menuntun kepada
pemecahan masalah kebijakan.
Berdasarkan struktur argumen, dapat diketahui bahwa seorang analisis kebijakan dapat
menempuh langkah yang benar, dengan memanfaatkan informasi dan berbagai metode
menuju kepada pemecahan masalah kebijakan; dan tidak sekedar membenarkan alternatif
kebijakan yang disukai. [5][6]
Analisis kebijakan terdiri dari beberapa bentuk, yang dapat dipilih dan digunakan. Pilihan
bentuk analisis yang tepat, menghendaki pemahaman masalah secara mendalam, sebab
kondisi masalah yang cenderung menentukan bentuk analisis yang digunakan.
Berdasarkan pendapat para ahli (Dunn, 1988; Moekijat, 1995; Wahab, 1991) dapat diuraikan
beberapa bentuk analisis kebijakan yang lazim digunakan.
Bentuk analisis ini berupa penciptaan dan pemindahan informasi sebelum tindakan kebijakan
ditentukan dan dilaksanakan. Menurut Wiliam (1971), ciri analisis ini adalah:
– mengabungkan informasi dari berbagai alternatif yang tersedia, yang dapat dipilih dan
dibandingkan.
– diramalkan secara kuantitatif dan kualitatif untuk pedoman pembuatan keputusan
kebijakan.
1. Analisis berorientasi Disiplin, lebih terfokus pada pengembangan dan pengujian teori
dasar dalam disiplin keilmuan, dan menjelaskan sebab akibat kebijakan. Contoh:
Upaya pencarian teori dan konsep kebutuhan serta kepuasan tenaga kesehatan di
Indonesia, dapat memberi kontribusi pada pengembangan manajemen SDM original
berciri Indonesia (kultural). Orientasi pada tujuan dan sasaran kebijakan tidak terlalu
dominan. Dengan demikian, jika ditetapkan untuk dasar kebijakan memerlukan kajian
tambahan agar lebih operasional.
2. Analisis berorientasi masalah, menitikberatkan pada aspek hubungan sebab akibat
dari kebijakan, bersifat terapan, namun masih bersifat umum. Contoh: Pendidikan
dapat meningkatkan cakupan layanan kesehatan. Orientasi tujuan bersifat umum,
namun dapat memberi variabel kebijakan yang mungkin dapat dimanipulasikan untuk
mencapai tujuan dan sasaran khusus, seperti meningkatnya kualitas kesehatan gigi
anak sekolah melalui peningkatan program UKS oleh puskesmas.
3. Analisis beriorientasi penerapan, menjelaskan hubungan kausalitas, lebih tajam untuk
mengidentifikasi tujuan dan sasaran dari kebijakan dan para pelakunya. Informasi
yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil kebijakan khusus,
merumuskan masalah kebijakan, membangun alternatif kebijakan yang baru, dan
mengarah pada pemecahan masalah praktis. Contoh: analis dapat memperhitungkan
berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pelayanan KIA di
Puskesmas. Informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar pemecahan
masalah kebijakan KIA di puskesmas.
Bentuk analisis ini bersifat konprehensif dan kontinyu, menghasilkan dan memindahkan
informasi gabungan baik sebelum maupun sesudah tindakan kebijakan dilakukan.
Menggabungkan bentuk prospektif dan restropektif, serta secara ajeg menghasilkan informasi
dari waktu ke waktu dan bersifat multidispliner.
Bentuk analisis kebijakan di atas, menghasilkan jenis keputusan yang relatif berbeda yang,
bila ditinjau dari pendekatan teori keputusan (teori keputusan deksriptif dan normatif), yang
dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Teori Keputusan Deskriptif, bagian dari analisis retrospektif, mendeskripsikan tindakan
dengan fokus menjelaskan hubungan kausal tindakan kebijakan, setelah kebijakan terjadi.
Tujuan utama keputusan adalah memahami problem kebijakan, diarahkan pada pemecahan
masalah, namun kurang pada usaha pemecahan masalah.
2) Teori Keputusan Normatif, memberi dasar untuk memperbaiki akibat tindakan, menjadi
bagian dari metode prospektif (peramalan atau rekomendasi), lebih ditujukan pada usaha
pemecahan masalah yang bersifat praktis dan langsung. [5][6]
Seorang analis harus aktif sebagai agen perubahan, paham struktur politik, berhubungan
dengan orang yang mempengaruhi kebijakan yang dibuat, membuat usulan yang secara
politis dapat diterima pengambil kebijakan, kelompok sasaran, merencanakan usulan yang
mengarah kepada pelaksanaan.
Analis hanya satu dari banyak pelaku kebijakan, dengan pelaku kebijakan merupakan salah
satu elemen sistem kebijakan. Dunn (1988) menjelaskan adanya 3 elemen dalam sistem
kebijakan, yang satu sama lain mempunyai hubungan.
1) Kebijakan publik, merupakan serangkaian pilihan yang dibuat atau tidak dibuat oleh
badan atau kantor pemerintah, dipengaruhi atau mempengaruhi lingkungan kebijakan dan
kebijakan publik.
2) Pelaku kebijakan, adalah kelompok masyarakat, organisasi profensi, partai politik,
berbagai badan pemerintah, wakil rakyat, dan analis kebijakan yang dipengaruhi atau
mempengaruhi pelaku kebijakan dan kebijakan publik.
3) Lingkungan kebijakan, yakni suasana tertentu tempat kejadian di sekitar isu kebijakan
itu timbul, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pelaku kebijakan dan kebijakan publik.
Berdasarkan uraian di atas, maka seorang analis kebijakan dapat dikategorikan sebagai aktor
kebijakan yang menciptakan dan sekaligus menghasilkan sistem kebijakan, disamping aktor
kebijakan yang lainnya. [5][6]
Sebelum melakukan analisis kebijakan kesehatan perlu dipahami terlebih dahulu mengenai
sistem kesehatan. Bagaimana pengambilan kebijakan dibidang kesehatan.
► Pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang bermutu belum optimal
► Standar dan pedoman pelaksanaan pembangunan kesehatan masih kurang memadai
► Dukungan departemen kesehatan untuk melaksanakan pembangunan kesehatan masih
terbatas.
► Pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE)
► Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan
jaringannya
► Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat generik esensial
► Penangulangan KEP, anemia gizi besi, GAKI, kurang vitamin A, kekuarangan zat gizi
mikro lainnya
► Peningkatan keterjangkauan harga obat dan perbekalan kesehatan terutama untuk
penduduk miskin
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Analisis kebijakan kesehatan adalah pengunaan berbagai metode penelitian dan argumen
untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga
dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan
kesehatan.
Sebagai suatu bidang kajian ilmu yang baru, analisis kebijakan kesehatan memiliki peran dan
fungsi dalam pelaksanaannya.
Menurut Dunn (1988) beberapa karakteristik masalah pokok dari masalah kebijakan, adalah
Interdepensi (saling tergantung), Subjektif, Artifisial, Dinamis dan Tidak terduga.
Upaya untuk menghasilk informasi dan argumen, analis kebijakan dapat menggunakan
beberapa pendekatan, yaitu: pendekatan Empiris, Evaluatif, dan Normatif (Dunn, 1988).
Metode analisis kebijakan, yaitu Metode peliputan (deskripsi), Metode peramalan (prediksi)
dan Metode evaluasi. 3 jenjang Metode analisis kebijakan, yaitu Pendekatan modus operandi,
Pendekatan modus evaluative dan Pendekatan modus anjuran.
Analisis kebijakan tidak hanya sekedar menghimpun data dan menghasilkan informasi.
Analisis kebijakan juga harus memanfaatkan atau memindahkan informasi sebagai bagian
dari argumen yang bernalar mengenai kebijakan publik untuk mencari solusi masalah
kebijakan publik. Menurut Dunn (1988) struktur argumen kebijakan menggambarkan
bagaimana analis kebijakan dapat menggunakan alasan dan bukti yang menuntun kepada
pemecahan masalah kebijakan.
Bentuk analisis kebijakan yang lazim digunakan, yaitu Analisis Kebijakan Prospektif,
Analisis Kebijakan Restropektif (AKR) dan Analisis Kebijakan Terpadu.
Dunn (1988) menjelaskan adanya 3 elemen dalam sistem kebijakan, yang satu sama lain
mempunyai hubungan, yaitu Kebijakan public, Pelaku kebijakan dan Lingkungan kebijakan.
Sebelum melakukan analisis kebijakan kesehatan perlu dipahami terlebih dahulu mengenai
sistem kesehatan. Bagaimana pengambilan kebijakan dibidang kesehatan.
3.2.SARAN
Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam masalah kesehatan, disarankan dilakukan
dahulu analisis kebijakan kesehatan. Dengan demikian, dapat memberikan keputusan yang
fokus pada masalah yang akan diselesaikan.