Anda di halaman 1dari 5

Faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi DM di Indonesia

1. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
adalah faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya penyakt DM pada seseorang namun tidak
dapat dimodifikasi atau dilakukannya perubahan terhadap faktor tersebut.

a. Umur

Risiko bertambah sejalan dengan usia. Insidens DM Tipe II bertambah sejalan dengan
pertambahan Usia (jumlah sel β yang diproduksi berkurang seiring dengan bertambahnya
usia ). Upayakan memeriksa gula darah puasa jika usia telah diatas 45 tahun, atau segera jika ada
faktor risiko lain (Arisman, 2013). Sejalan dengan penelitian Wicaksono (2011) bahwa usia ≥45
tahun merupakan faktor risiko DM tipe dua. Seiring dengan pertambahan usia, lansia
mengalami kemunduran fisik dan mental yang menimbulkan banyak konsekuensi. Selain
itu, kaum lansia juga mangalami masalah khusus yang memerlukan perhatian antara lain lebih
rentan. terhadap komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular dari DM dan adanya
sindrom geriatri (Kurniawan, 2010). Beberapa ahli berpendapat bahwa bertambah umur,
intoleransi terhadap glukosa juga meningkat jadi untuk golongan usia lanjut diperlukan
batas glukosa darah yang lebih tinggi daripada orang dewasa non lanjut usia (Hasdianah,
2012).

b. Riwayat Keluarga Dengan DM

Riwayat keluarga dengan DM Tipe II, akan mempunyai peluang menderita DM sebesar 15%
dan risiko mengalami intoleransi glukosa yaitu ketidakmampuan dalam memetabolisme
karbohidrat secara normal sebesar 30%. Faktor genetik dapat langsung memengaruhi sel
beta dan mengubah kemampuannya untuk mengenali dan menyebarkan rangsang
sekretoris insulin. Keadaan ini meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap faktor
faktor lingkungan yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta pankreas (LeMone,
2008 dalam Damayanti 2015). Seorang anak merupakan keturunan pertama dari orang
tua dengan DM (ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan). Risiko seorang anak
mendapat DM tipe 2 adalah 15% bila salah satu orangtuanya menderita DM dan
kemungkinan 75% bilamana kedua dua nya menderita DM. Pada umumnya bilamana
seseorang menderita DM maka saudara kandungnya mempunyai risiko DM sebanyak
10% (Kemenkes, 2013). Penelitian Amalia (2014) bahwa seseorang yang mempunyai
keluarga dengan riwayat DM memiliki risiko 6 kali untuk terkena DM.

2. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya
penyakt DM pada seseorang namun tidak dapat dimodifikasi atau dilakukannya perubahan
terhadap faktor tersebut.

a. Berat Badan Lebih (Indeks Massa Tubuh/IMT >25kg/m2)


Obesitas atau kegemukan yaitu kelebihan berat badan ≥20% dari berat ideal atau BMI
(Body Mass Index) ≥25kg/m2. Kegemukan menyebabkan berkurangnya jumlah
reseptor insulin yang dapat bekerja didalam sel pada otot skeletal dan jaringan
lemak. Hal ini dinamakan resistensi insulin perifer. Kegemukan juga merusak
kemampuan sel beta untuk melepas insulin saat terjadi peningkatan glukosa darah
(Smeltzer, et.al., 2008). Menurut penelitian Trisnawati (2013) bahwa orang dengan
obesitas memiliki risiko 5 kali untuk terkena DM dibandingkan orang dengan tidak
obesitas.
Hasil IMT yang masuk kategori obesitas perlu diwaspadai. Obesitas merupakan faktor
risiko yang berperan penting terhadap penyakit DM Melitus. Apabila tubuh gemuk maka
tubuh lebih sulit dalam menggunakan insulin yang dibuatnya, ini dinamakan
keadaan resistensi insulin. Pada resistensi insulin, pankreas akan terus menerus
membuang lebih banyak insulin untuk menurunkan glukosa darah, karena tubuh
tidak dapat merespon insulin tersebut seperti seharusnya. Setelah beberapa tahun
pankreas akan mengalami kelelahan. (Waspadji, 2012). Obesitas, terutama obesitas
abdominal/sentral secara bermakna berhubungan dengan sindroma dismetabolik
(dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi), yang didasari oleh resistensi insulin. Obesitas
abdominal dapat diketahui dengan pengukuran lingkar perut. Pada pria dikatakan obesitas
abdominal/sentral apabila pengukuran lingkar perut >102cm (Asia>90cm) dan pada
wanita >82cm (Asia>80cm) (Kemenkes, 2011).
b. Kurangnya Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan dan
mengeluarkan tenaga dan energi (Kemenkes, 2010). Aktivitas fisik sangat berperan
dalam mengontrol gula darah. Pada saat tubuh melakukan aktivitas fisik maka
sejumlah glukosa akan diubah menjadi energi. Aktivitas fisik mengakibatkan
insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang. Pada
orang yang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar
tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk
mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul DM. Setelah beraktivitas fisik
selama 10 menit, glukosa darah akan meningkat sampai 15 kali dari jumlah kebutuhan
pada keadaan biasa (Kemenkes, 2010 dalam Fitriyani, 2012). Pada keadaan istirahat
metabolisme otot hanya sedikit menggunakan glukosa darah sebagai sumber energi,
sedangkan pada saat beraktivitas fisik, otot menggunakan glukosa darah dan lemak
sebagai sumber energi utama. Aktivitas fisik mengakibatkan sensitivitas dari reseptor dan
insulin semakin meningkat pula sehingga glukosa darah yang dipakai untk metabolisme
energi semakin baik. Setelah olahraga selama 10 menit, glukosa darah akan meningkat
sampai 15 kali jumlah kebutuhan pada keadaan biasa. Setelah berolahraga 60 menit,
kebutuhan glukosa darah dapat meningkat sampai 35kali (Kemenkes, 2011).
Menurut Chaveau dan Kaufman, latihan fisik/olahraga pada diabetisi dapat menyebabkan
peningkatan pemakaian glukosa darah oleh otot yang aktif sehingga latihan fisik secara
langsung dapat menyebabkan penurunan kadar lemak tubuh, mengontrol kadar glukosa
darah, memperbaiki sensitivitas insulin, menurunkan stres, mencegah terjadinya DM tipe
2 pada penderita gangguan toleransi glukosa dan lain lain (Kemenkes, 2011). Menurut
penelitian Wicaksono (2011) bahwa orang tidak beraktivitas secara teratur
mempunyai risiko 3 kali untuk terkena DM dibandingkan dengan orang yang
beraktivitas secara teratur. Lamanya manfaat olahraga akan hilang jika berhenti selama
3 hari, maka hal ini menekankan bahwa pentingnya olahraga secara teratur dan
berkelanjutan, agar benar benar bermanfaat olahraga harus dilakukan 3-4 kali dalam
seminggu, dan olahraga selama 30-40 menit dapat meningkatkan pemasukan
glukosa kedalam sel sebesar 7-20 kali lipat dibandingkan tidak berolahraga, dan
olahraga yang tepat untuk penderita DM adalah jalan, jogging, bersepeda dan
aerobik (Soewondo, 2015).
c. Diet tak sehat (unhealthy diet)
Pemberian makanan yang sebaik-baiknya harus memperhatikan kemampuan
tubuh seseorang untuk mencerna makanan, usia, jenis kelamin, jenis aktivitas, dan
kondisi tertentu seperti sakit, hamil, menyusui. Untuk hidup dan meningkatkan
kualitas hidup, setiap orang memerlukan 5 kelompok zat gizi (karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, dan mineral) dalam jumlah yang cukup, tidak berlebihan dan tidak juga
kekurangan. Di samping itu, manusia memerlukan air dan serat untuk memperlancar
berbagai proses faali dalam tubuh (Syamiah, 2014).
Diet sehat yang berkaitan dengan penyakit DMadalah konsumsi sayur dan buah
sebagai asupan serat untuk membantu metabolisme. Sedangkan konsumsi gula atau
makanan yang terlalu manis dengan jumlah yang sangat berlebihan dapat menimbulkan
risiko Diabetes. Penelitian yang dilakukan oleh Sufiati dan Erma (2012), membuktikan
bahwa asupan serat berhubungan erat dengan kadar gula darah, kolesterol total dan status
gizi pada penderita DM. Konsumsi makanan yang tidak seimbang, tinggi gula dan
rendah serat akan menyebabkan insulin resisten sehingga terjadi hiperinsulinemia.
Perencanaan makanan yang dianjurkan gizi seimbang dengan komposisi energi yang
dihasilkan oleh karbohidrat, protein, lemak, dan serat yaitu : karbohidrat = 45-65%,
protein= 10- 20%, lemak = 20-30%, dan serat ≥20gr (Kemenkes, 2011).
d. Merokok
Rokok merupakan produk utama dari tembakau yang mengandung unsur tar termasuk
golongan senyawa polikistik aromatik hidrokarbon, mengandung nikotin CO, HCN, dan
benzopyrene. Nikotin dapat menyebabkan pengurangan sensitivitas insulin dan
meningkatkan terjadinya resistensi insulin. Pada kondisi hiperglikemia, nikotin dan
karbon monoksida mempercepat terjadinya penggumpalan darah. Diabetesi yang
merokok cenderung mengalami penyakit yang berkaitan dengan pembuluh darah
sehingga lebih banyak mengalami komplikasi seperti kebutaan, impotensi, gagal
ginjal, dan tindakan amputansi (Kemenkes, 2011)
Pencegahan Diabetes Melitus Pencegahan DM Terdiri dari pencegehan primer,
penceghan sekunder, dan pencegahan Tersier (Perkeni, 2015).
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor
risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan
kelompok intoleransi glukosa. Pencegahan primer dilakukan dengan tindakan
penyuluhan dan pengelolaan yang ditujukan untuk masyarakat. Materi
penyuluhan meliputi (Perkeni, 2015) program penurunan berat badan dengan
melakukan diet sehat, jumlah asupan kalori yang ditujukan untuk mencapai
berat badan ideal, karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan
secara terbagi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak glukosa
darah yang tinggi. setelah makan, komposisi diet sehat mengandung sedikit
lemak jenuh dan tinggi serat larut, latihan jasmani, menghentikan kebiasaan
merokok serta pada kelompok dengan risiko tinggi diperlukan intervensi
farmakologis.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
pada pasien yang telah terdiagnosis DM. Tindakan pencegahan sekunder dilakukan
dengan pengendalian kadar gula darah sesuai target terapi serta pengendalian
faktor risiko penyulit yang lain dengan pemberian pengobatan yang optimal.
Melakukan deteksi dini adanya penyulit merupakan bagian dari pencegahan
sekunder (Perkeni, 2015).
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penderita DM yang telah mengalami
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut serta
meningkatkan kualitas hidup. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini
mungkin, sebelum kecacatan menetap (Perkeni, 2015).

Anda mungkin juga menyukai