Anda di halaman 1dari 7

Nama : Chelsea Veronica Sinurat

NIM : 03031381722114

PEMBUATAN CHITOSAN DARI SISIK IKAN

Kekayaan alam di Indonesia terkenal karena keindahan dan sumber daya-


nya yang melimpah terutama kekayaan di lautnya. Indonesia adalah negara yang
memiliki luas laut berkisar 70% dari luas wilayah Indonesia. Contoh organisme
laut yaitu, ikan yang berlimpah menjadi sumber pencaharian dan dapat
dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan dikonsumsi oleh masyarakat. Sekitar
70% dari sumber protein negara berasal dari ikan (Dirjen Kementrian Perikanan
dan Kelautan, 2012). Ikan mempunyai bagian tubuh yaitu bagian kepala, ekor,
dan sisik. Bagian kepala dan ekornya dapat diolah dan menjadi berbagai macam
makanan untuk konsumsi masyarakat Indonesia, sedangkan sisik ikan belum
termanfaatkan dengan baik.
Sumber daya perikanan Indonesia yang sedemikian besar tersebut perlu
adanya penanganan yang lebih maksimal agar hasil yang didapat juga lebih
maksimal. Produk perikanan saat ini lebih dikonsumsi dalam bentuk makanan
Produk olahan-olahan dari hasil perikanan tersebut dapat dikembangkan menjadi
produk yang memiliki manfaat lebih, seperti dikembangkan untuk obat-obatan,
kosmetik, sumber energi, maupun sebagai pengganti bahan baku pembuatan
plastik.
Kebanyakan limbah sisik pada ikan mengandung rendemen, abu, dan air.
Limbah sisik ikan yang dihasilkan dari produksi atau sumber penjualan makanan
laut dapat mengakibatkan dampak negatif yang tidak diinginkan. Limbah sisik
ikan tersebut akan mengakibatkan pencemaran dan kerusakan keindahan di
lingkungan serta berpotensi menjadi wadah pertumbuhan dari mikroorganisme.
Pertumbuhan mikroorganisme dapat memberikan efek negatif yang merugikan
makhluk hidup di sekitarnya. Limbah sisik ikan tersebut dapat dimanfaatkan
menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi serta manfaat, yaitu diolah menjadi
chitosan . Chitosan adalah senyawa turunan yang dapat dihasilkan dari proses
deasetilasi pada chitin yang banyak terkandung didalam hewan laut (Sahriawati
dkk, 2017).
Chitosan dihasilkan dari chitin dan mempunyai struktur kimia yang sama
dengan chitin, terdiri dari rantai molekul yang paojang dan berat molekul yang
tinggi, Perbedaan antara chitin dan chitosan adalah pada setiap cincin molekul
chitin terdapat gugus asetil (-CH3-CO) pada atom karbon kedua, sedangkan pada
chitosan terdapat gugus amina (-NH). Chitosan dapat dibasilkan dari chitin
melalui proses deasetilasi yaitu dengan cara direaksikan dengan menggunakan
alkali konsentrasi tinggi dengan waktu relatif lama dan suhu tinggi (Sahriawati
dkk, 2017).
Chitosan adalah biopolimer yang memiliki keunikan yaitu dalam larutan
asam, chitosan mempunyai karakteristik kation dan bermuatan positif sedangkan
dalam larutan alkali, chitosan akan mengendap. Chitin dan chitosan merupakan
polimer linier yang bersifat polikationik. Deasetilasi yang terjadi pada chitin
hampir tidak pernah selesai sehingga dalam chitosan masih ada gugus asetil yang
terikat pada beberapa gugus N. Chitosan dapat digunakan sebagai sumber
material alami, sebab chitosan sebagai polimer alami mempunyai karakteristik
yang baik, seperti dapat terbiodegradasi, tak beracun, dan dapat mengadsorpsi
(Sugita dkk, 2009).

1. Chitosan dari Sisik Ikan Bandeng


Ikan bandeng merupakan komoditi hasil perikanan yang sangat
melimpah di Indonesia. Ikan bandeng termasuk jenis ikan yang dapat hidup di air
tawar, air payau maupun air laut dan dikenal sebagai ikan yang memiliki banyak
tulang. Pengolahan ikan bandeng sering kali hanya memanfaatkan daging ikan
bandeng tanpa memanfaatkan tulang dan sisiknya. Sisik ikan bandeng
mengandung zat yang dapat dimanfaatkan sebagai pembuatan chitosan
(Rumengan dkk, 2018).
Penelitian yang dilakukan oleh Faridah dkk. (2012) diawali dengan
proses ektraksi chitin dari sisik ikan bandeng. Proses deproteinasi dilakukan pada
suhu 80°C, dengan menggunakan larutan NaOH 1 M dengan perbandingan serbuk
sisik ikan bandeng dengan NaOH adalah 1:10 selama 60 menit. Larutan yang
telah selesai diaduk tersebut disaring. Endapannya yang diperoleh setelah
Nama : Chelsea Veronica Sinurat
NIM : 03031381722114

penyaringan kemudian dicuci dengan menggunakan akuades sampai pH menjadi


netral.
Proses demineralisasi dilanjutkan suhu 25-30°C dengan menggunakan
larutan HCl 2 M dengan perbandingan sampel 1:10 sambil diaduk konstan selama
120 menit. Larutan yang telah selesai diaduk kemudian disaring dan endapan yang
diperoleh dicuci dengan menggunakan akuades sampai pH netral. Hasil dari
proses ini disebut chitin. Chitin lalu dimasukkan dalam larutan NaOH dengan
konsentrasi 20% pada suhu 90-100°C sambil diaduk konstan selama 60 menit
pada proses deasetilasi. Hasil yang berupa slurry disaring, lalu dicuci dengan
akuades sampai pH menjadi netral lalu dikeringkan. Hasil yang diperoleh disebut
chitosan.
Chitosan sisik ikan bandeng memiliki rendemen 12,5%, kadar air 7,49%,
kadar abu 1,15%, derajat deasetilasi 81,56% dan viskositas 3,06cp (Bangngalino
dan Akbar, 2018). Chitosan tersebut dapat diaplikasikan menjadi pengawet pada
salah satu makanan yaitu bakso. Chitosan lalu dicampurkan pada bakso dengan
konsentrasi 1,5%. Hasil yang didapatkan adalah bakso memiliki daya tahan
hingga 4 hari. Tekstur bakso mulai berubah dan mengeluarkan aroma yang busuk
pada hari ke 5. Chitosan dapat memperpanjang umur simpan bakso pada suhu
ruang.

2. Chitosan dari Sisik Ikan Papuyu


Ikan papuyu merupakan ikan yang banyak hidup di perairan rawa
terutama di Kalimantan. Ikan ini banyak digemari oleh masyarakat khususnya
Kalimantan untuk dikonsumsi. Produksi dari ikan papuyu melalui hasil tangkapan
mengalami peningkatan pada tiap tahunnya. Minat masyarakat terhadap ikan ini
menyebabkan munculnya suatu permasalahan, yaitu limbah sisik ikan papuyu. 1
ekor ikan papuyu dapat menghasilkan kurang lebih 1 gram limbah sisik ikan.
Jumlah ini tentu akan sangat banyak jika dikalikan dengan jumlah produksi ikan
papuyu sehingga limbah yang dihasilkan sangat banyak. Limbah sisik ikan
papuyu ini tidak termanfaatkan oleh masyarakat sehingga dibuang begitu saja
(Pellokila dan Yolanda, 2009).
Ikan papuyu merupakan jenis ikan yang mempunyai ketahanan terhadap
tekanan lingkungan. Ikan papuyu merupakan yang hidup pada habitat perairan air
tawar dan payau. Sisik ikan terdiri atas 2 lapisan yaitu lapisan luar tipis
merupakan epidermisnya di bentuk oleh sel-sel epitel. Lapisan dibawahnya adalah
dermis, kutin dan korium. Lapisan sel-sel yang mengandung chitin yang terdapat
dibawah lapisan dermis. Sisik ikan papuyu mengandung chitin yang dapat diubah
menjadi chitosan dimanfaatkan menjadi bahan pengawet makanan yang alami.
Sisik ikan mengandung air 30-36,8%, abu 18,7-26,3%, lemak 0,1-1,0%, protein
29,8-40,9%, chitin 0,4-3,7%, dan kalsium 5,0-8,6% (Pellokila dan Yolanda,
2009).
Penelitian yang dilakukan Izzati dkk. (2018) dimulai dengan
pengumpulan limbah sisik ikan. Limbah sisik ikan tersebut dibersihkan,
dikeringkan, kemudian diblender hingga ukuran 710 mikron. Proses deproteinasi
lmbah sisik ikan papuyu sebanyak 220gr dimasukkan ke dalam larutan NaOH
3,5% lalu dipanaskan selama 2 jam pada suhu 65°C sambil terus diaduk dengan
menggunakan magnetic stirrer. Campuran ini didinginkan dan disaring. Residu
yang telah disaring, dicuci dengan air sampai pH menjadi netral kemudian dibilas
dengan akuades. Residu dengan pH netral yang didapat merupakan chitin kasar.
Chitin kasar selanjutnya dikeringkan dalam oven suhu 65oC selama 24 jam dan
ditimbang (Izzati dkk, 2018).
Proses demineralisasi endapan hasil deproteinasi yang berupa chitin
kasar ditambahkan larutan HCl 1 N dengan perbandingan 1:15. Pemanasan
berlangsung pada suhu kamar 30 menit. Proses pengadukan dapat dilakukan
menggunakan alat magnetic stirrer. Hasil reaksi yang berupa chitin kemudian
dapat disaring dengan menggunakan kain. Residu yang disaring lalu dicuci
dengan air sampai pH menjadi netral kemudian dibilas dengan menggunakan
akuades. Residu dikeringkan di oven 65°C selama 24 jam. Endapan hasil
demineralisasi dimasukkan ke dalam larutan NaOH 60% selama 4 jam pada suhu
100°C dengan perbandingan 1:10. Campuran tersebut diaduk dan hasilnya
disaring menggunakan kertas saring. Residu yang merupakan chitosan, lalu dicuci
dengan air sampai netral dan dibilas menggunakan akuades. Chitosan dikeringkan
dalam oven dengan suhu 65°C selama 24 jam.
Nama : Chelsea Veronica Sinurat
NIM : 03031381722114

Chitosan yang telah kering tersebut dapat berfungsi sebagai pengawet


pada daging ayam. Pengaplikasiannya yaitu dengan menambahkan sebanyak 1gr
serbuk chitosan ke dalam larutan asam asetat sebanyak 100mL. Larutan chitosan
kemudian diaduk selama 1 jam dan selanjutnya larutan disaring. Daging ayam
yang akan diawetkan dapat direndam ke dalam larutan chitosan selama 45 menit.
Hasil yang didapatkan adalah chitosan konsentrasi NaOH 60% mencegah
pertumbuhan mikroorganisme dan bakteri pada daging ayam hingga hari ke 3
(Izzati dkk, 2018).

3. Chitosan dari Sisik Ikan Kakap Merah


Ikan kakap merah juga akan menghasilkan berbagai limbah sebagai hasil
samping proses produksinya baik limbah cair mapupun limbah padat. Limbah cair
yang dihasilkan dari pengolahan ikan kakap merah biasanya berupa darah, lendir,
drip, dan lemak. Limbah padat organik yang dihasilkan dari pengolahan ikan
kakap ikan kebanyakan berupa kepala, insang, isi perut, tulang, sirip, kulit dan
juga sisik. Banyak alternatif pengolahan yang sudah dilakukan untuk mengurangi
tingkat pencemaran khususnya dari limbah ikan kakap sehingga limbah ini
memiliiki nilai jual. Sisik ikan mengandung chitin di samping beberapa logam
esensial yang merupakan bahan mentah chitosan yang dapat diolah (Talumepa
dkk, 2016).
Proses sintesis chitosan diawali dengan proses isolasi chitin dari limbah
sisik ikan. Proses isolasi chitin dapat dilakukan melalui 2 tahap proses, yaitu
proses demineralisasi dan deproteinasi. Pengurangan massa akan terjadi pada
kedua tahap ini. Pengurangan massa pada proses deproteinasi disebabkan karena
adanya protein yang terkandung dalam sisik ikan sebesar 21% dari bahan
keringnya. Pengurangan protein yang terjadi yaitu sekitar 50-60%, hal ini sesuai
dengan tujuan deproteinasi yaitu penghilangan protein. Demineralisasi bertujuan
menghilangkan senyawa anorganik yang terdapat pada limbah sisik ikan dan
senyawa ini berkisar 40-50% dari berat bahan keringnya. Kandungan mineral
utamanya adalah CaCO3 dan Ca3(PO4)2 dalam jumlah kecil. Kadar garam tersebut
dihilangkan dengan larutan HCl. Penelitian yang telah dilakukan oleh Artiningsih
dkk. (2018) disimpulkan bahwa, sisik ikan kakap merah yang telah dikonversi
menjadi chitosan memiliki derajat deasetilasi maksimum sebesar 73,40%
konsentrasi NaOH 60%.
Manfaat chitosan salah satunya mengurangi absorpsi lemak, menurunkan
kadar lemak darah, dan mengurangi kelebihan berat badan. Chitosan mempunyai
kemampuan untuk mengikat lipid dan lemak karena chitosan adalah komponen
bermuatan positif, sehingga dapat menyerang dan mengikat asam lemak. Chitosan
melekatkan diri pada saluran usus, dan mengikat lemak yang lewat di dalam usus
sebelum diserap oleh darah, karena lemak yang diikat tidak memasuki aliran
darah. Lemak tersebut tidak bisa dicerna oleh tubuh, sehingga lemak akan dibuang
melalui saluran pencernaan. Chitosan menyerap lemak sebanyak 3-6 kali beratnya
sendiri sebelum lemak tersebut diserap di dalam tubuh untuk dibuang melalui
proses buang air besar. Chitosan tidak dapat dicerna dalam konsumsinya, maka
chitosan tidak mengandung kalori dan aman digunakan untuk bidang kesehatan
(Sugita dkk, 2009)
Limbah sisik ikan melimpah, menumpuk dan menimbulkan pencemaran
lingkungan seperti bau tidak sedap yang mengganggu aktivitas makhluk hidup
sekitar, menurunnya kualitas air, dan mengganggu kesehatan. Sisik ikan dapat
diteliti dan diolah lebih lanjut tidak hanya untuk bahan baku chitosan. Chitosan
sebelumnya dibuat dengan bahan baku kulit udang atau kepiting. Kemajuan
jaman, teknologi, dan sumber daya manusia di Indonesia diharapkan
mengembangkan ilmu dan penelitian chitosan dari bahan baku sisik ikan
(Sahriawati dkk, 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Artiningsih, A., dkk. 2018. Pembuatan Kitosan dari Sisik Ikan Kakap Merah.
Journal of Chemical Process Engineering. 3(1): 47-50.
Dirjen Kementrian Perikanan dan Kelautan. 2012. Buku Statistik Kelautan dan
Perikanan. Jakarta: Dirjen Kementrian Perikanan dan Kelautan.
Bangngalino, H., dan Akbar, A. M. I. 2018. Pemanfaatan Sisik Ikan Bandeng
sebagai Bahan Baku Kitosan dengan Metode Sonikasi dan Aplikasinya
untuk Pengawet Makanan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian: 105-108.
Nama : Chelsea Veronica Sinurat
NIM : 03031381722114

Makassar, 23-25 November 2017: Seminar Nasional Hasil Penelitian dan


Pengabdian kepada Masyarakat.
Faridah, F., dkk. 2012. Chitosan pada Sisik Ikan Bandeng (Chanos chanos)
sebagai Alternatif Pengawet Alami pada Bakso. Jurnal Ilmiah Mahasiswa. 2(2):
76-79.
Izzati, N. H., dkk. 2018. Identifikasi Awal Pengaruh Konsentrasi NaOH pada
Pembuatan Kitosan dari Limbah Sisik Ikan Papuyu. Prosiding Seminar
Nasional Industri Kimia dan Sumber Daya Alam 2018: 31-35.
Banjarbaru, 22 September 2018: Seminar Nasional Industri Kimia dan
Sumber Daya Alam 2018.
Pellokila, dan Yolanda, N. A. 2009. Biologi Reproduksi Ikan Betok (Anabas
testudineus Bloch, 1792) di Rawa Banjiran DAS Mahakam, Kalimantan
Timur. Skripsi. Jurusan Manajemen Sumber Daya Perikanan. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Rumengan, I. F. M., dkk. 2018. Nanokitosan dari Sisik Ikan: Aplikasinya sebagai
Pengemas Produk Perikanan. Manado: Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Sam Ratulangi.
Sugita, P., dkk. 2009. Kitosan : Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor: IPB
Press.
Sahriawati, dkk. 2017. Buku Ajar Ekstraksi Kitosan dari Limbah Perikanan.
Yogyakarta: Penerbit Samudra Biru.
Talumepa, A. C. N., dkk. 2016. Kandungan Kimia dari Sisik Beberapa Jenis Ikan
Laut. Jurnal LPPM Bidang Sains dan Teknologi. 3(1): 27-33.

Anda mungkin juga menyukai