Oleh:
NUR AFIFA
NIM. 141701064
BAUBAU
i
2020
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................6
C. Tujuan Penelitian.....................................................................................6
D. Manfaat....................................................................................................6
1. Manfaat teoritis...................................................................................6
2. Manfaat praktis...................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalahpendidikan yang paling
fundamental kerana perkembangan anak dimasa selanjutnya akan sangat
ditentukan oleh berbagai stimulasi bermakna yang diberikan sejak usia dini. Awal
kehidupan anak merupakan masa yang paling tepat dalam memberikan dorongan
atau upaya pengembangan agar anak dapat berkembang secara
optimal.Pendidikan anak usia dini pada hakikatnya adalah pendidikan yang
diselenggarakan dengan tujuan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan
perkembangan anak secara menyeluruh atau menekankan pada pengembangan
seluruh aspek kepribadian anak. (Permendikbud 146, 2014).
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 (Pasal 1 Butir 14) tentang
sisitem pendidikan nasioanl menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir
sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani
agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih
lanjut.Pembelajaran yang dilakukan di PAUDseharusnya 80% membangun sikap
dan tidak seharusnya difokuskan pada pembelajaran calistung yang bernuansa
akademik (Aji, 2016). Dengan kata lain bahwa pembelajaran yang dilakukan di
PAUD tidak boleh menekankan pada pembelajaran yang memaksa anak untuk
bisa baca-tulis maupun berhitung tetapi lebih pada pengembangan sikap. Namun
pada kenyataannya masih terdapat beberapa sekolah PAUD (oknum guru tertentu)
yang menuntut anak untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung yang
dikarenakan juga terdapat disekolah dasar (SD) yang melaksanakan tesbaca –tulis
sebagai persyaratan masuk.Oleh karena masa usia dini adalah masa yang hanya
berlangsung satu kali sepanjang rentang kehidupan manusiadan juga sebagai masa
emas perkembangan anak dimana semua aspek perkembangan dapat dengan
1
mudah distimulasi, makapada masa usia dini perlu dilakukan upaya
pengembangan menyeluruh yang melibatkan aspek pengasuh, kesehatan,
pendidikan, dan perlindungan.
Potensi anak usia dini yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan
sesuai dengan prinsip holistik hendaknya terkait dengan aspek fisik (terkait
dengan perkembangan motorik halus, motorik kasar, termaksud menjaga stamina,
gizi, dan kesehatan); aspek emosi (aspek kesehatan jiwa, mampu mengendalikan
tekanan/stres, mampu mengontrol diri dari perbuatan negatif, memiliki rasa
percaya diri, berani mengambil risiko, dan memiliki empati. Aspek sosial
(menumbuhkan rasa senang melakukan pekerjaan, mampu bekerja sama, pintar
bergaul, peduli dengan masalah sosial, berjiwa sosial dan dermawan, bertanggung
jawab, menghormati orang lain, mengerti akan perbedaan dan keunikan,
mematuhi peraturan yang berlaku); Aspek kreativitas (mendoorong anak untuk
mampu mengespresikan diri dalam berbagai kegiatan produktif seperti dalam
dunia seni, berbahasa, berkomunikasi, dan sebagainya); Aspek spiritual (mampu
memaknai arti dan tujuan hidup dan bersikap taat terhadap ajaran agama yang
diyakini melalui perbuatan baik yang konsisten);Aspek akademik (mampu berfikir
logis, berbahasa, dan menulis dengan baik, selain dapat mengemukkan pertanyaan
kritis dan menarik kesimpulan dari berbagai informasi dengan cermat (Musfah,
2012: 37).
Perkembangan Sosial Emosional Anak mengalami masa keemasan (Golden
Age) yang merupakan masa dimana anak mulai peka/sensitif untuk menerima
berbagai rangsangan. Masa peka pada masing-masing anak berbeda, seiring
dengan laju pertumbuhan dan perkembangan anak secara individual. Pada masa
peka ini merupakan masa peletak dasar untuk mengembangkan kemampuan
moral, kognitif, bahasa, fisik motorik, sosial emosional. Perkembangan anak
terdiri atas sejumlah aspek perkembangan yang perlu ditingkatkan. Aspek-aspek
perkembangan tersebut meliputi perkembangan moral, perkembangan kognitif,
perkembangan bahasa, perkembangan fisik motorik, dan perkembangan sosial
emosional. (Susianty, 2018: 12).
2
Penelitian menunjukan bahwa masa peka belajar anak dimulai dari anak
dalam kandungan sampai 1000 hari pertama kehidupannya. Menurut ahli
neurologi, pada saat alhir otak bayi mengandung 100 sampai 200 milyar neuronn
atau sel syaraf yang siap melakukan sambungan antar sel. Sekitar 50% kapasitas
kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun, 80% telah terjadi ketika usia
8 tahun, dan mencapai titik kulminasi 100% bahkan ketika berusia 8 sampai 18
tahun. Penelitian lain juga didasari pada kasih sayang bahkan bisa merangsang
10n triliun otak. Namun demikian, dengan satu bentakan saja 1 milyar sel otak
akan merusak, sedangkan tindak kekerasan akan memusnakan 10 milyar sel otak.
(permendikbud 146, 2014).
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan
keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing
yang merupakan bagian dari keluarga. (Suprajitno, 2004: 1). Di dalam keluarga
terdapat ayah, ibu sebagai On rang tua dan anak. Dalam hal ini orang tua akan
memberikan arahan, nasehat, dan bimbingan kepada anaknya yang membentuk
sebuah pola asuh.
Pola asuh adalah pola pengasuhan anak yang berlaku dalam keluarga, yaitu
bagaimana keluarga membentuk perilaku generasi berikut sesuai dengan norma
dan nilai yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat (Fitriani, 2015).
Selain itu, terdapat definisi lain yang menyatakan bahwa pola asuh orang tua
adalah suatu keseluruhan interaksi orang tua yang memberikan dorongan bagi
anak dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan, dan nilai-nilai yang dianggap
paling tepat bagi orang tua agar anak bisa mandiri, tumbuh serta
berkembangsecara sehat dan optimal, memiliki rasa percaya diri, memiliki sifat
rasa ingin tahu, bersahabat, dan berorientasi untuk sukses (Al.Tridonanto, 2014:
5).
Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang menjadikan orang tua
sebagai”pusat” dari segala keputusan yang dibuat, pola asuh ini cenderung
menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua.Pola asuh otoriter
cenderung mengatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, kelekatan emosi orang tua
kepada anak,sehingga antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding
3
pembatas”Gab” yang memisahkan(orang tua) dengan (anak). Pola asuh ini tidak
mendukung berkembangnya minat baca pada anak karena terlalu memaksakan
kehendak pada anak. Dalam pola asuh ini, orang tua cenderung mengontrol
sepenuhnya kehidupan anak termaksud aktivitas dalam membaca dan menjadikan
ketentuan mutlak yang harus dilakukan anak-anak, jika dilarang maka mereka
akan mendapatkan hukuman dan murka dari orang tua. Dengan pola asuh ini
orang tua cenderung menjadi penguasa yang selalu menuntut anak-anak mereka
patuh dan cenderung lebih kaku dan penuh dengan aturan serta arahan, sehingga
kehangatan hubungan orang tua dan anak tidak terjalin dengan baik. (Christina,
2019). Seharusnya orang tua memberikan kebebasan kepada anak sehingga anak
tersebut memilih kegiatan mereka sendiri, agar anak-anak mulai melatih
pengendalian diri mereka sendiri.
Taman Kanak-Kanak berfungsi untuk membina, menumbuhkan,
mengembangkan seluruh potensi anak secara optimal, sehingga terbentuk perilaku
anak dan kemampuan dasar anak sesuai dengan tahap perkembangannya agar
anak memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan yang selanjutnya.
Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak diarahkan pada pencapaian yang berusia 4-
6 tahun agar anak siap untuk mengikuti pendidikan kejenjang yang selanjutnya
yaitu di Sekolah Dasar (SD).
Seorang anak mungkin saja dilahirkan lebih agresif daripada yang lain,
tetapi ada juga yang tidak, faktor lingkungan sangat berperan penting dalam
membentuk sekaligus mencegah perilaku buruk anak. Perilaku buruk anak
merupakan suatu perbuatan nakal (tidak baik) yang dilakukan anak pada usia
tertentu, umumnya karena dipengaruhi pertumbuhan otak dan kemampuan
tubuhnya, yang bila tidak segera diatasi dapat membahayakan anak-anak.
(Gichara, 2008: 8).
4
Tabel 1. Rangkuman Perilaku Negatif Anak diTk Kec. Mataoleo. Kab. Bombana
Persentase
Nama Tk Perilaku Negartif Jumlah
(%)
Sedih
Marah,
Berkelahi,
Membantah,
Mengamuk didepan umum,
Tk di Kec. Mataoleo, Bermalas-malasan
Kab. Bombana Meludah
Jorok dan berantakan
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini:
Apakah terdapat pengaruh pola asuh otoriter terhadap perilaku negatif anak usia
dini di Kec. Mataoleo, Kab. Bombana?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dalam penelitian ini: Untuk
mengetahui besar pengaruh pola asuh otoriter terhadap perilaku negatif anak usia
dini di Kec. Mataoleo, Kab. Bombana.
D. Manfaat
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu digunakan sebagai pedoman
bagi penelitian yang sejenis dan memberikan manfaat bagi pembaca terutama
orang tua untuk mengetahui dampak pola asuh otoriter khususnya pada
perilaku negatif anak.
2. Manfaat praktis
a. Bagi orang tua
Lebih meningkatkan intensitas komunikasi dengan anak dan
memberikan inspirasi kepada anak sehingga anak bersikap positif kepada
setiap orang.
b. Bagi sekolah
Dengan penelitian ini diharapkan agar sekolah juga lebih persuasif
atau lebih terbuka kepada anak dalam menerapkan pembelajaran karena
guru di sekolah adalah orang tua kedua bagi anak.
c. Bagi peneliti
Dengan penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan
yang menyangkut latar belakang pengaruh pola asuh otoriter terhadap
perilaku negatif anak.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Perilaku
a. Pengertian Perilaku
Menurut Skinner dalam Santrock (2011: 39) melalui kondisian
peran, adalah konsekuensi dari perilaku, menghasilkan perubahan dalam
probabilitas terjadinya perilaku tersebut. Sebuah perilaku yang diikuti
sebuah stimulus penghargaan cenderung terjadi lagi, sedangkan perilaku
yang diikuti oleh stimulus hukuman jarang terjadi lagi, sebagai contoh
ketika seorang anak tersenyum pada seorang anak setelah anak tersebut
melakukan sesuatu, maka sianak mungkin merasa lebih terikat dalam
suatu aktivitas dari pada jika seseorang memperlihatkan pandangan jahat.
Sehingga menurut Skinner penghargaan dan hukuman adalah suatu
pembentuk perilaku anak.
Berdasarkan teori behaviorisme yang menekankan perubahan
perilaku dengan konsekuensi-konsekuensi yang berupa stimulus,
hukuman dan penguatan dari perilaku yang dilakukan anak maka dapat
disimpilkan bahwa perilaku anak akan sangat ditentukan oleh suatu
stimulus yang diperolehnya berupa positif reinforcement dan negatif
reinforcement dan lingkungannya.
Menurut Skinner dalam operant conditioning(1938) konsekuensi
dari suatu perilaku dapat memberikan perubahan pada perilaku tersebut.
Suatu perilaku yang diikuti dengan smtimulus yang menyenangkan maka
akan lbih mungkin anak untuk mengulangi perbuatan tersebut. Akan
tetapi suatu perbuatan yang diikuti dengan stimulus yang berupa
hukuman, maka anak akan berusaha untuk meninggalkan atau tidak
mengulangi perbuatan yang kurang menyenangkan. Contohnya seorang
anak mengulangi perilaku apabila perilaku tersebut mendapatkan
7
senyuman sebagai stimulus (reward) dan akan meninggalkan perilaku
tersebut jika anak memperoleh hukuman.
Menurut Ensiklopedi Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi
dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Ini berarti , perilaku baru
terjadi jika suatu yang dapat menimbulkan reaksi yaitu berupa
rangsangan tertentu. Jadi suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan
reaksi atau perilaku tertentu(walgito, 2010) berdasarkan prespektif
biologis, perilaku manusia adalah suatu aktivitas atau kegiatan tertentu
dari individu yang bersangkutan, sedangkan pandangan behavioristik
menyatakan bahwa perilaku manusia adalah respos terhadap stimulasi
yang mengenainya. Hubungan stimulus dan respons dalam hal ini seperti
bersifat mekanistik. Prespektif kognitif mengemukakan bahwa perilaku
manusia adalah respons terhadap stimulus yang ada, tetapi didalam diri
individu memiliki kemampuan untuk menentukan perilaku yang akan
dilakukan.
Perilakuadalah suatu reaksi psikis seseorang terhadap
lingkungannya(Ani, & Nurhayati, 2019). Dari batasan dapat diuraikan
bahwa reaksi dapat diuraikan bermacam-macam bentuk, yang pada
hakekatnya digolongkan menjadi dua yaitu bentuk pasif, (tanpa tindakan
nyata atau konkret) dan dalam bentuk aktif dengan tindakan nyata atau
(konkret).
Perilaku adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi),
pemikiran (kognisi), dan peresdiposisi tindakan (konasi) seseorang
terhadap suatu aspek dilingkungan sekitarnya. Dalam pengertian umum
perilaku adalah segala perbuatan, tindakan yang dilakukan mahluk hidup.
Hal ini berarti bahwa perilaku baru berwujud bila ada sesuatu yang
diperlukan untuk menimbulkan tanggapan yang disebut rangsangan.
Dengan demikian suatu rangsangan tentu akan menimbulkan perilaku.
Proses pembentukan dan atau perubahan perilaku dipengaruhi
beberapa faktor yang berasal dari diri individu itu sendiri, atau susunan
saraf pusat, persepsi motivasi, emosi dan belajar. Susunan pusat
8
memegang peranan penting dalam perilaku manusia, karena perilaku
merupakan perpindahan dari rangsangan yang mauk kerespons yang
dihasilkan. Perpindahan ini dilakukan oleh susunan saraf pusat dengan
unit-unit dasarnya yang disebut neuron. Neuron memindahkan energi
dalam implus-implus perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat
diketahui melalui persepsi. Persepsi ini adalah pengalaman yang
dihasilkan melalui indera pendengaran, penciuman, dan sebagainya.
b. Pengertian Perilaku Negatif Anak
Seorang anak mungkin saja dilahirkan lebih agresif dari pada yang
lain, tetapi ada juga yang tidak, faktor lingkungan sangat berperan
penting dalam membentuk sekaligus mencegah perilaku buruk anak.
Perilaku buruk anak merupakan suatu perbuatan nakal (tidak baik) yang
dilakukan anak pada usia tertentu, umumnya karena dipengaruhi
pertumbuhan otak dan kemampuan tubuhnya, yang bila tidak segera
diatasi dapat membahayakan anak-anak.
Perilaku agresif pada anak sebenarnya adalah pengaruh dari seluruh
kehidupan sosial dalam masyarakat dimana anak itu berada. Anak yang
berperilaku agresif akan mengalami kesulitan menjalin hubungan yang
baik dengan orang tua, saudara, teman, dan guru. Tidak jarang akhirnya
semua orang disekitarnya merasa frustasi dan putus asa menghadapinya.
Akibatnya anak yang agresif akan mengalami kegagalan berprestasi
disekolah, menjalin hubungan baik dalam pergaulan, dan tidak dapat
menikmati kehangatan bersama keluarga dirumah.
Sebaiknya memang orang tua segera mengantisipasi agresivitas
pada anak sedini mungkin. Perilaku agresif yang berkembang saat anak
mulai menginjak remaja akan lebih mengkhawatirkan. Risiko yang
dihadapi relatif lebih besar, sehingga penanganannya pun relatif lebih
sulit. Agresif adalah masalah yang kompleks ada perbedaan antara anak
yang agresif dengan anak yang kadang-kadang berperilaku agresif. Anak
yang agresif selalu mengandalkan serangan, intimidasi, atau ancaman,
untuk mengendalikan orang lain qtqu menguasai keadaan yang yang
9
dihadapinya, sedangkan anak yang sesekali menggunakan perilaku
agresif mungkin disebabkan ketidaktahuan anak atau ketidakmahirannya
menggunakan cara positif untuk memecahkan masalah (Hyland and
David, 1999). Seperti memukul, berteriak, dan berkelahi, sebenarnya
memang merupakan cara alami anak-anak kecil untuk mendapatkan apa
yang diinginkannya, sebelum mereka mengetahui atau mahir
menggunakan cara-cara yang positif.
Perilaku anak adalah tanggung jawab orang tua. Orang tua harus
membantu anak-anak agar perilakunya dapat diterima oleh lingkungan
seperti:
1) Mengenal perilaku agresif pada anak dan bertindak sebelum
berkembang menjadi masalah.
2) Mengetahui bagaimana mendidik anak agar menghentikan perilaku
negatif dan belajar berperilaku positif.
c. Jenis Perilaku Negatif Anak
Menurut Gichara (2008: 8) menyebutkan perilaku buruk anak yang
perlu mendapatkan perhatian orangtua yaitu:
1) Sedih
Sedih merupakan suatu reaksi negatif didalam hati seseorang
menghadapi suatu keadaan tentang akibat-akibat dari keadaan namun
reaksi dalam menghadapi keadaan.
2) Marah
Marah merupakan salah satu emosi yang sangat wajar. Anak-anak
memang belum semua dapat menyalurkan kemarahan dengan cara
yang dapat diterima oleh lingkungannya. Hal ini antara lain karena
perkembangan bicara anak yang belum sempurna sehingga anak tidak
bisa mengungkapkan kemarahannya secara verbal. Karena mereka
ingin menunjukan pada orang disekililingnya, mereka kemudian
menggunakan cara-cara seperti memukul, melempar, berguling-guling
dilantai, dan sebagainya.
3) Berkelahi (memukul, mendorong, dan menggoda)
10
Memukul, mendorong, menendang, dan menggoda sering kita
anggap normal. Padahal, hal itu bisa membuat anak bertindak kasar
pada anak lain sehingga menimbulkan perkelahian. Tindakan ini bisa
terjadi ketika anak-anak sedang bermain-main, lalu tiba-tiba muncul
figur seorang anak yang ingin mrnguasai permainan sehingga
terjadilah aksi memukul, mendorong, dan menggoda. Mula-mula
tingkatnya masih normal hanya sebatas meledek. Lama-kelamaan
suasana bisa memanas bila salah satu pihak menanggapi serius dan
terpancing sampai akhirnya timbul baku hantam. Perilaku seperti ini
harus segera ditanggapi orang tua agar tidak membahayakan satu
sama lain.
4) Membantah
Sikap membantah dapat timbul karena anak ingin mencari
perhatian dari orang-orang terdekatnya, misalnya orang tua. Anak
ingin menguji apa kira-kira tindakan orang tua bila anak membantah.
Membantah bisa juga terjadi karena keinginan anak bertentangan
dengan keinginan orang tua atau keinginannya tidak segera dipenuhi
dalam tempo secejap. Karena merasa jengkel dan benci, anak menolak
atau membantah apa yang kita perintahkan padanya, baik secara
verbal maupun dengan sikap (mungkin dengan wajah cemburu dan
muka masam).
5) Mengamuk didepan umum
Anak yang mengamuk didepan umum sangat menjengkelkan
orang tua sehingga terkadang kehilangan kesabaran. Namun, ingat,
anak bisa saja berperilaku demikian untuk maksud terselubung,
misalnya protes karena orang tua tidak membelikan mainan tertentu
yang sangat diinginkannya.
Sikap anak mengamuk didepan umum memamng sangat
menjengkelkan orang tua bahkan terkadang mempermalukan mereka.
Untuk mencegah hal ini, pastikan kebutuhan anak terpenuhi lebih dulu
dan jangan menundanya terlalu lama tanpa alasan yang masuk akal
11
6) Bermalas-malasan
Bermalas-malasan bagi anak bukan merupakan sikap yang baik
karena bisa berubah menjadi kebiasaan. Bermalas-malasan biasanya
dilakukan berulang-ulang sehingga terkadang kita menganggapnya
sebagai tabiat seseorang. Untuk anak usia dini tertentu, kemalasan
masih bisa dibenarkan, tetapi memasuki usia sekolah sikap ini harus
dihidari karena dapat mempengaruhi prestasi belajar anak.
7) Meludah
Meludah disembarang tempat adalah perilaku yang menjijikan.
Banyak orang menganggapnya tidak bisa ditolerir. Oleh sebab itu, bila
orang tua menemukan anak berperilaku demikian, sebaiknya tegurlah
anak tersebut dan beri pengertian padanya.
Tindakan meludah umunya ditiru anak dari orang tuanya atau
orang-orang disekitarnya. Sama halnya ketika kita menyikat gigi, anak
pun melakukan hal yang sama, bahkan tangannya sewaktu menyikat
gigipun diusahakan sama posisi dan gerakannya dengan kita.
8) Jorok dan berantakan
Anak seakan sering mencontoh tindakan yang dilakukan orang
tuanya. Semakin sering orang tua melakukan perbuatan buruk,
semakin sering pula perilaku itu terekam dalam memori anak.
Bila orang tua berperilaku jorok dengan gaya berantakan, berhati-
hatilah agar sifat buruk itu tidak menurun kepada anak. Orang tua
dapat menerapkan kerapian, keteraturan, dan disiplin dengan
mempraktikannya didepan anak lewat kehidupan sehari-hari.
Emosi yang selalu identik dengan perasaan tidak menyenangkan
dan dapat mengakibatkan perasaan negatif pada orang yang
mengalaminya. Umumnya, emosi negatif menimbulkan permasalahan
yang dapat mengganggu orang yang mengalaminya, bahkan
berdampak pada orang lain, dan masyarakat secara luas. Emosi
semacam itu akan berdampak buruk bagi yang mengalaminya dan
orang lain.
12
2. Pola Asuh Orang Tua
a. Pengertian Pola Asuh
Pola asuh adalah pola pengasuhan anak yang berlaku dalam
keluarga, yaitu bagaimana keluarga membentuk perilaku generasi berikut
sesuai dengan norma dan nilai yang baik dan sesuai dengan kehidupan
masyarakat(Fitriani, 2015). Pola asuh dalam masyarakat umunya
bernuansa dari yang sangat permisif sampai yang sangat otorter. Pola
asuh dalam suatu masyarakat dapat dikatakan homogen bila dapat
diterima sebagai pola asuh oleh seluruh keluarga yang hidup dalam
masyarakat itu. Jadi merupakan pola asuh dari suatu etnik.
Namun demikian ada pola asuh yang amat mendasar yang sifatnya
universal atau berlaku disemua etnis dimuka bumi, misalnya kasih
sayang diantara sesama saudara atau sesama mahluk hidup. Pola asuh ini
diajarkan diseluruh keluarga diseluruh dunia, yaitu sgsr menyayangi
sesama, sayang pada binatang individual sebagai pendukung kebiasaan
umum tersebut, atau sebaliknya kebiasaan umum itu terbentuk karena
kebiasaan individual yang dilakukan oleh hampir semua anggota
masyarakat.
Pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi orang tua dan
anak, dimana orang tua yang memberikan dorongan bagi anak dengan
mengubah tingkah laku, pengetahuan, dan nilai-nilai yang dianggap
paling tepat bagi orang tua agar anak bisa mandiri, rumbuh serta
berkembang secara sehat dan optimal, memiliki rasa percaya diri,
memiliki sifat rasa ingin tahu, bersahabt, dan berorientasi untuk
suksesHidayati, Hanifah, & Sarly, 2019: 16).
b. Peranan Orang Tua
Orang tua terutama dapat memainkan peranan penting dalam
mempengaruhu anak-anak mereka kearah perilaku yang positif.
Misalnya, orang tua dapat menjadikan kegiatan menonton televisi
sebagai pengalaman yang memperkaya seluruh anggota keluarga. Oleh
13
karena itu orang tua yang memang kendali dalam lingkungan
mikrosistem keluarga, maka ayah dan ibu dapat memaksimalkan
pengaruh positif bagi anak-anak, menjadi model bagi anak-anaknya,
sehinga mereka mendapat tokoh panutan identifikasi yang baik. Menjadi
model identifikasi: mengemukakan bahwa model orang tua yang dipilih
anak untuk diidentifikasi adalah orang tua yang mempunyai hubungan
pribadi yang hangat dengan anak-anaknya. Orang tua yang saling
menghargai dan menghormati satu sama lain, menghargai nilai-nilai
pendidikan, dan menghargai pendapat anak-anaknya. Orang tua yang
mendengar keluhan, kemarahan, dan keungkapan perasaan anak-anaknya
selalu menjadi model yang lebih banyak diidentifikasi oleh anak-anak.
Dengan demikian, jelas bahwa agar orang tua dapat menjaddi model
bagi aanak-anaknya dan tidak ada jalan lain bahwa orang tua harus
membangun relasi yang hangat, saling menghargai dengan anak-anaknya.
Dengan adanya model nyata dalam keluarga, anak dibantu dalam proses
identifikasinya. Berkenaan dengan identifikasi ini, orang tua perlu
memperhatikan bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua diobservasi
oleh anak-anaknya. Apa bila orang tua banyak menonton televisi, secara
tidak sadar hal ini menjadi model bagi anak-anaknya. Bila orang tua
melakukan kegiatannya dengan disiplin, anak-anak juga cenderung
mengintermalisasikan nilai-nilai disiplin itu dalam kehidupannya. Orang
tua perlu memberikan model pada anak-anaknya, gaya bicara yang
lembut dan penuh kasih sayang, sikap hormat, kebaikan hati, rasa ingin
tahu yang sehat, ketegaran yang sehat dan cinta kasih. Menemani anak
menonton: salah satu cara orang tua untuk membangun hubungan pribadi
dengan anak-anaknya, adalah dengan melewati waktu bersama mereka.
Orang tua perlu menonton episode yang ditonton oleh anaknya, sehinga
merupakan cara terbaik mengetahui apa yang ditonton oleh anak,
sehingga orang tua lebih mengenal baik anak-anaknya. Sebaiknya,
setelah menonton suatu film atau tayangan tertentu, orang tua
mendiskusikan kepada anak-anak krakter apa yang menyebabkan
14
kekerasan seperti itu bukanlah perilau yang baik untuk melesaikan suatu
masalah. Orang tua dapat meminta anak-anak untuk mencari cara lain
yang lebih baik dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
c. Bentuk-bentuk pola asuh orang tua
Baumrid (Coleman, 2013:9) menyebutkan ada tiga bentuk Pola asuh
orang tua yaitu pola asuh otoriter, autoritatif permisif, Bentuk-bentuk
pola asuh tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Autoritatif.
Pola asuh autoritatif yaitu pola asuh yang menekankan kemandirian
dan batasan sosial (Florencia, Dariyo, & Basaria, 2017). dalam
bentuk demokratis perlakuan orang tua memberikan tanggapan
terhadap harapan anak dengan ketentuan aturan-aturan yang telah
ditetapkan, dimana para orang tua membuat suatu aturan, tetapi
juga diaplikasikan sebuah konsekuensi ketika anak melanggar
aturan tersebut, membangun komunikasi yang hangat,
membimbing anak. Salah satu kunci dari bentuk pola asuh ini
adalah untuk membantu anak menjadi mandiri, dan juga
bertanggung jawab terhadap lingkungan sosialnya. Hal ini
merupakan kombinasi dari dukungan dan pengontrolan dimana
naka yang diasugh dengan autoritatif akan menunjukan perilaku
yang baik dibandingkan dengan anak yang berlebihan rasa percaya
dirinya, pengaturan dan kebebasan yang tingg. Selain itu, anak
dengan pola asuh autoritatif dapat menunjukan pula perilaku
ramah, mandiri, dan bekerjasama dengan orang tua serta dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
2) Otoriter.
Pola asuh otoriter merupakan pola asuh orang tua yang
memberikan tuntutan yang tinggi, kurangnya tanggung jawab
terhadap anak., Pola asuh otoriter adalah pola asuh orang tua yang
mengontrol perilaku anak dengan keras atau tegas dan kurang
menghargai anak(Noviana, 2017).Disisi lain, orang tua berstatus
15
orientasi. Harapan mereka agar supaya dipatuhi tanpa suatu
penjelasan dalam hal ini, orang tua hanya memberikan sedikit
perhatuian dan doorongan. Dibandingkan dengan anak lain, orang
tua yang memberikan pola asuh otoriter cenderung sangat
berdampak dengan perilaku anak yaitu, anak menjadi pendiam dan
penuh kejurigaan.
3) Permisif.
Pola asuh permisif adalah pola asuh orang tua yang kurang tegas
dalam mengontrol perilaku anak dan memberikan ba nyak
perhatian kepada anak (Noviana, 2017). Pola asuh ini bertentangan
dengan pola asuh otoriter, dalam pengasuhan ini orang tua kurang
memberikan tuntutan kepada anak-anak. Dalam pola asuh permisif
cenderung memperbolehkan atau mengarahkan anak untuk
melakukan segala keinginannya untuk mewujudkan kebebasan
anak. Dalam hal ini, pendekatan atau perhatian orang tua kurang
berperan, hanya memberikan sedikit aturan fan memberikan aturan
tidak boleh dengan paksaan.
d. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter ditandai dengan penggunaan peraturan yang kaku
dan ketat, orang tua cenderung memaksakan kehendak pada anaknya,
jika anak melakukan kesalahan atau melanggar aturan yang dibuat maka
orang tua sering kali memberikan hukuman yang berat, anak menjadi
tertekan dan tidak bisa mengambil keputusan sendiri, orang tua selalu
menentukan segala sesuatu kepada anak(Khodijah, 2018).
Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang menjadikan orang tua
sebagai”pusat” dari segala keputusan yang dibuat, pola asuh ini
cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang
tua (Christina, 2019). Pola asuh otoriter cenderung mengatasi perilaku
kasih sayang, sentuhan, kelekatan emosi orang tua kepada anak,sehingga
antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas”Gab” yang
memisahkan(orang tua) dengan (anak). Pola asuh ini tidak mendukung
16
berkembangnya minat baca pada anak karena terlalu memaksakan
kehendak pada anak. Dalam pola asuh ini, orang tua cenderung
mengontrol sepenuhnya kehidupan anak termaksud aktivitas dalam
membaca dan menjadikan ketentuan mutlak yang harus dilakukan anak-
anak, jika dilarang maka mereka akan mendapatkan hukuman dan murka
dari orang tua. Dengan pola asuh ini orang tua cenderung menjadi
penguasa yang selalu menuntut anak-anak mereka patuh dan cenderung
lebih kaku dan penuh dengan aturan serta arahan, sehingga kehangatan
hubungan orang tua dan anak tidak terjalin dengan baik. Seharusnya
orang tua memberikan kebebasan kepada anak sehingga anak tersebut
memilih kegiatan mereka sendiri, agar anak-anak mulai melatih
pengendalian diri mereka sendiri.
e. Indikator
Ciri-ciri pola asuh otoriter (Christina, 2019), yaitu:
1) Kekuasaan orang tua sangat dominan
2) Anak tidak diakui sebagai pribadi
3) Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat
4) Orang tua menghukum anaknya bila tidak patuh
17
B. Penelitian yang Relavan
Kajian penelitian yang relavan dengan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Febiola, S., & Hazizah, N. (2019).Peran Keluarga dalam Menangani
Emosi Negatif dan Pembentukan Karakter Anak Usia Dini. Orang tua
dapat mengembangkan emosi positif anak dan menangani emosi negatif
anak melalui kegiatan rutin yang dilakukan secara bersama, mengontrol
perkataan dan tingkah laku di depan anak, melalui kegiatan bermain dan
meluangkan waktu bersama, selain itu orangtua harus memperbaiki
kembali pola asuh yang ditetapkan selama ini menjadi lebih baik serta
melatih anak untuk mengenali emosi diri dan emosi orang lain serta
bagaimana mengelola emosi tersebut.
2. Putri, H. (2017).Hubungan Pola Asuh Orang Tua dan Kecerdasan
Emosional Anak Terhadap Perilaku Sosial Anak. terdapat hubungan
signifikan antara kecerdasan emosional dan pola asuh orang tua terhadap
perilaku Anak di PAUD Melati Kabupaten Sambas. Hal ini dibuktikan
dengan hasil analisis menggunakan teknik regresi linier berganda dengan
diperoleh nilai R = 0,692 dan F regresi 39,924 dengan p < 0,005. Terdapat
hubungan signifikan antara kecerdasan emosi dengan pola asuh orang tua
pada Anak Usia Dini Melati Kabupaten Sambas. Hal ini dibuktikan
dengan diperolehnya nilai korelasi (rx1y) sebesar 0,756 dengan p < 0,005.
3. Damayanti, F. (2017).Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku
Sosial Anak Di Kelompok B1 TK Kemala Bhayangkari 01 Pim Staf Besusu
Tengah. Ada pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku sosial anak
dalam aspek tolong menolong, mau berbagi dan kerjasama. Dari hasil
rekapitulasi pengamatan pola suh demokratis pada semua aspek terdapat
47% BSB, 27% BSH, 23% MB, dan 3% BB. Pola asuh otoriter pada
semua aspek terdapat 22% BSB, 28% BSH, 33% MB, dan 17% BB. Pada
18
pola asuh permisif pada semua aspek terdapat 25% BSB, 25% BSB, 42%
MB, dan 8% BB.
C. Kerangka Pikir
Hubungan pola asuh dan perilaku adalah pola asuh orang tua tidak hanya
mempengaruhi kehidupan tiap individu anak, tetapi juga hubungan antara saudara
dalam keluarga (Harlock, 2009).Sementara itu, menurut pendapat Darling dan
Steinberg (1993 : 488), menjelaskan bahwa pola pengasuhan adalah kumpulan
dari sikap, praktek, expresi verbal dan non verbal orang tua yang bercirikan
kealamian dari interaksi orang tua kepada anak sepanjang situasi yang
berkembang, sebagai orang tua yang mempunyai kewajiban memberikan
perlindungan dan pemberian kasih sayang yang adil kepada anak-anaknya
sangatlah penting, agar tidak terjadi kecemburuan diantara satu sama lain.
Cemburu merupakan emosi yang biasa ditemukan dan terjadi pada anak-anak.
Orangtua dan keluarga yang memberikan pengalaman mengenai emosi di
masa awal kanak-kanak perlu diperhatikan dan perlu adanya perbaikan dalam
menerapkan pola asuh anak dalam keluarga karena perkembangan emosi anak
baik itu emosi positif dan negatif tak lepas dari peran orangtua.Orang tuaharus
memperhatikan pola asuh yang diterapkan pada anak karena akan mempengaruhi
perilaku anak itu sendiri.
X Y
Pola Asuh Otoriter Perilaku Negatif Anak
Gambar 1. Pola Hubungan pola asuh otoriter terhadap perilaku negatif anak
D. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Terdapat pengaruh pola asuh
otoriter terhadap perilaku negatif anak usia dini di Kec. Mataoleo, Kab.
Bombana”.
Hipotesis statistik:
19
H0 = tidak terdapat pengaruh pola asuh otoriter terhadap perilaku negatif anak
usia dini di Kec. Mataoleo, Kab. Bombana.
Ha = terdapat pengaruh pola asuh otoriter terhadap perilaku negatif anak usia
dini di Kec. Mataoleo, Kab. Bombana.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
1. Tempat Penelitian.
20
Raodhatul Athfal, TK Raodhatul jannah, TK Tunas Baru, TK Wonua
Bombana.
2. Waktu Penelitian.
21
Untuk menentukan sampel pada masing-masing sekolah digunakan
rumussebagai berikut:
jumla h gurutiapsekola h
S= XJumla h sampeltotal
jumla h gurukeseluru h an
22
D. Variabel dan Definisi Operasional Penelitian
23
otoriter dan perilaku negatif anak. Data kuesioner terkait dengan pemikiran,
perasaan, sikap, kepercayaan, nilai, persepsi, kepribadian dan perilaku
responden.
2. Instrumen Penelitian
24
Aturan dan standar yang tetap
diberikan oleh orang tua
25
G. Teknik Analisis Data
1. Analisis Deskriptif
skor capaian
× 100 %
skor kriterium
26
Y =a+b X
Keterangan:
Y = variabel terikat
X = variabel bebas
a = konstanta
b = koefisien regresi
a. Uji t
Untuk menguji koefisien regresi, digunakan uji tdengan kriteria
sebagai berikut:
H 0diterima jika nilai thitung< ttabel (Ha ditolak)
H aditerima jika nilai thitung¿ ttabel (H0 ditolak)
ttabel dengan derajat bebas n – k - 1
b. Koefisien determinasi
Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui besar pengaruh
pola asuh otoriter terhadap perilaku negatif anak usia dini di Kec.
Mataoleo, Kab. Bombana. Besar koefisien determinasi dapat dilihat
padaR squaredari output hasil analisis SPSS
27
DAFTAR PUSTAKA
Damayanti, F. (2017). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Sosial
Anak di Kelompok B1 TK Kemala Bhayangkari 01 Pim Staf Besusu
Tengah. Bungamputi, 4(3).
Febiola, S., & Hazizah, N. (2019). Peran Keluarga dalam Menangani Emosi
Negatif dan Pembentukan Karakter Anak Usia Dini.
Fitriani, L. (2015). Peran pola asuh orang tua dalam mengembangkan kecerdasan
emosi anak. Lentera, 17(1).
28
Florencia, C., Dariyo, A., & Basaria, D. (2017). Perbedaan Prestasi Belajar
Ditinjau Berdasarkan Pola Asuh Orangtua. Psibernetika, 10(2).
Hidayati, T., Hanifah, I., & Sarly, Y. N. E. (2019). Pendamping gizi pada balita.
Yogyakarta: Deepublish
La Jeti. (2019). Pola Asuh & Keterlibatan Orang Tua. Yogyakarta: Zahir
Publishing.
Mahatfi, A. D. (2015). Korelasi Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Kecerdasan
Emosi Siswa Sekolah Dasar Kelas V Segugus 1 Kecamatan Panjatan
Kabupaten Kulon Progo. Basic Education, 4(14).
29
Noviana, I. (2017). Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dan Kebiasaan
Menonton Televisi Pendidikan Dengan Nilai-Nilai Moral. SOCIA:
Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, 14(1).
Nurdin, I., & Hartati, S. (2019). Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Media
Sahabat Cendekia
Putri, H. (2017). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dan Kecerdasan Emosional
Anak Terhadap Perilaku Sosial Anak. Jurnal Pendidikan
Prasekolah, 1(2).
Resky. (2010). Cara Kreatif Mengasuh Anak Ala SUPERNANNY. Jogja: Bangkit
Publisher.
Susianty, S., (dkk). (2018). Metode Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Dini.
Jawa barat : EDU PUBLISHER.
30
Undang-Undang: Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 146 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Pendidikan
Anak Usia Dini.
31