Anda di halaman 1dari 68

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH


KABUPATEN KUTAI TIMUR TENTANG
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

Kerjasama
NUSANTARA STRATEGIC HOUSE DAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
MULAWARMAN
2

DAFTAR ISI

Halaman Judul........................................................................... 1

Daftar Isi..................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................... 4

B. Identifikasi Masalah........................................................... 12

C. Tujuan Dan Kegunaan Naskah Akademik.......................... 14

D. Metode............................................................................... 14

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS DAN PERATURAN PERUNDANGAN....... 16

1. Narkotika...................................................................... 16

2. Teori Pencegahan.......................................................... 18

3. Penyalahgunaan Narkotika............................................ 20

4. Rehabilitasi.............................................................. 22

5. Kebijakan Pencegahan dan Pemberantasan terhadap

Pencegahan dan Penanggulangan terhadap

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika,

Psikotropika dan Zat Adiktif (P4GN)............................... 28

6. Perencanaan Pembangunan Berwawasan

Anti Narkoba……………………………………………………… 31

7. Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam

Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika........................ 35

B. ASAS/PRINSIP DALAM PENCEGAHAN DAN

PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA..... 39

C. KAJIAN TERHADAP PRAKTEK PENYELENGGARAAN

KONDISI YANG ADA SERTA PERMASALAHAN YANG

DIHADAPI MASYARAKAT.................................................. 40

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI SISTEM BARU YANG

AKAN DIATUR DALAM PERATURAN DAERAH TERHADAP

ASPEK KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DAN


3

DAMPAKNYA TERHADAP BEBAN KEUANGAN NEGARA.... 41

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

FASILITASI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA.................................. 43

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. LANDASAN FILOSOFIS...................................................... 51

B. LANDASAN SOSIOLOGIS................................................... 51

C. LANDASAN YURIDIS.......................................................... 52

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP

A. JANGKAUAN PERATURAN DAERAH.................................. 55

B. ARAH PENGATURAN PERATURAN DAERAH...................... 55

C. RUANG LINGKUP MATERI MUATAN

PERATURAN DAERAH....................................................... 56

BAB VI PENUTUP

A. SIMPULAN......................................................................... 66

B. SARAN............................................................................... 69

DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 71
4

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyalahgunaan narkotika di Indonesia telah diklasifikasi sebagai
musuh bersama hal ini ditegaskan oleh Presiden RI Joko Widodo dalam rapat
terbatas bulan Februari Tahun 2016 dengan topik pemberantasan narkoba
dan program rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba, dalam rapat
tersebut Presiden menegaskan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan
berbahaya menduduki rangking pertama masalah besar negara ini. 1
Pada awal Januari 2015, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan
bahwa transaksi narkoba yang ada di Indonesia menduduki peringkat tertinggi
diantara negara-negara ASEAN, dimana 100% transaksi narkoba di wilayah
ASEAN, 40% berada di Indonesia dengan nilai transaksi sekitar Rp.48
Trilliun.2
Pemberian peringkat tersebut tentu saja bukan hal yang patut
dibanggakan, justru sebaliknya, sebagai sebuah situasi yang harus mendapat
perhatian sangat serius dari semua pihak, terutama pemerintah, jika tidak
ingin negara ini hancur karena penyalahgunaan narkotika. Indikasi menuju
kehancuran negara karena penyalahgunaan narkotika sebenernya sudah
terjadi jika membaca data yang tertera pada Press Release Akhir Tahun 2015
BNN, tersebutkan dalam dokumen tersebut bahwa sepanjang tahun 2015 BNN
telah mengungkap sebanyak 102 kasus Narkotika dan TPPU yang merupakan
sindikat jaringan nasional dan internasional, dimana sebanyak 82 kasus telah
P2. Kasus-kasus yang telah diungkap tersebut melibatkan 202 tersangka yang
terdiri dari 174 WNI dan 28 WNA. Berdasarkan seluruh kasus Narkotika yang
telah diungkap, BNN telah menyita barang bukti sejumlah 1.780.272,364
gram sabu kristal; 1.200 mililiter sabu cair; 1.100.141,57 gram ganja; 26 biji
ganja; 95,86 canna chocolate; 303,2 gram happy cookies; 14,94 gram hashish;
606.132 butir ekstasi; serta cairan precursor sebanyak 32.253 mililiter dan
14,8 gram. Sedangkan dalam kasus TPPU total asset yang berhasil disita oleh
BNN senilai Rp 85.109.308.337. Selain itu, pada tahun ini BNN juga
1
Lihat http://www.timesindonesia.co.id/baca/119043/20160224/164744/jokowi-
narkoba-ranking-pertama-masalah-indonesia/, diakses tanggal 7 May 2016 jam 10.17
WITA.
2
Lihat http://www.antaranews.com/berita/474528/bnn-transaksi-narkoba-indonesia-
tertinggi-se-asean, diakses tanggal 7 May 2016 jam 10.20 WITA.
5

menemukan 2 jenis zat baru (new psychoactive substances) yaitu CB-13 dan
4-klorometkatinon. Sehingga total NPS yang telah ditemukan BNN hingga
akhir tahun 2015 yakni sebanyak 37 jenis.3
Melihat data tersebut, bisa saja beranggapan bahwa angka 102 kasus
yang diungkap dalam setahun tersebut sangat sedikit, namun demikian angka
tersebut bukanlah menjadi patokan utama, logika sederhana setelah melihat
data tersebut menggambarkan bahwa dampak negatif dari terungkapnya 102
kasus tersebut jauh lebih besar daripada jumlah kasus itu sendiri. Berapa
banyak penyalahgunaan narkotika yang telah “sukses” dilakukan sebelum
para penyalahguna narkotika tersebut ditangkap oleh BNN dan diproses
hukum. Perlu diingat juga, data tersebut baru dari BNN, belum yang dari
pihak kepolisian atau bahkan penyalahgunaan narkotika yang belum
terungkap dan masih merajalela merusak masyarakat. Sungguh tidak heran
jika Presiden RI menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika merupakan
masalah utama di negara ini.
Keyakinan bahwa negara ini dalam kondisi darurat penyalahgunaan
narkotika akan semakin menjadi-jadi jika melihat data yang terdapat pada
Laporan Kinerja BNN Tahun 2015, disebutkan dalam dokumen tersebut
bahwa sepanjang tahun 2015 terdapat 4.680 informasi masyarakat tentang
peredaran gelap narkotika4, 25.053 orang pecandu yang menerima layanan di
lembaga rehabilitasi pemerintah5 dan 394 jumlah kasus tindak pidana
peredaran gelap narkoba yang terungkap dan diselesaikan (P.21). 6 Sungguh
data dan fakta yang membuat segenap elemen di negara ini untuk menjadikan
penyalahgunaan narkotika sebagai musuh utama bersama, dan patut dicatat
sekali lagi bahwa data dan fakta tersebut baru berasal dari BNN saja.
Kepala BNN Komjen Pol Budi Waseso, dalam sebuah kesempatan
menyebutkan “"Indonesia sudah darurat bahaya narkoba dan hal itu sudah
disampaikan oleh presiden. Sebelumnya pada bulan juni 2015 tercatat 4,2
juta dan pada November meningkat signifikan hingga 5,9 juta, setiap hari ada
30-40 orang yang mati karena narkoba”.7

3
Dokumen Press Release Akhir Tahun 2015 Badan Narkotika Nasional; Bab Executive
Summary.
4
Dokumen Laporan Kinerja Badan Narkotika Nasional Tahun 2015, Lampiran 12,
halaman 93.
5
Ibid., Lampiran 14, halaman. 95.
6
Ibid., Lampiran 18, halaman 104.
7
Lihat artikel “Buwas: Pengguna Narkoba di Indonesia Meningkat hingga 5,9 Juta
Orang”
http://regional.kompas.com/read/2016/01/11/14313191/Buwas.Pengguna.Narkoba.di.I
ndonesia.Meningkat.hingga.5.9.Juta.Orang, diakses pada hari Minggu, 8 May 2016 jam
21.23 WITA.
6

Setelah melihat data umum terkait penyalahgunaan narkotika, maka


penting juga untuk melihat situasi, data, dan fakta salah satu provinsi yang
ada di Indonesia, provinsi tersebut adalah Provinsi Kalimantan Timur.
Mengapa perhatian diarahkan pada provinsi ini?. Berbagai macam sumber
yang kredibel menyebutkan bahwa Provinsi Kalimantan Timur menempati
peringkat kedua se-Indonesia (di bawah DKI Jakarta) sebagai provinsi paling
rawan atau pengguna narkotika terbanyak. 8 Adapun berdasarkan data yang
dirilis oleh BNN berdasarkan hasil penelitian BNN – Puslitkes UI tentang
prevalensi penyalahguna narkoba per provinsi pada tahun 2015, disebutkan
bahwa Provinsi Kalimantan Timur menduduki peringkat ketiga, di bawah DKI
Jakarta dan Sumatera Utara, dengan jumlah penyalahguna sebanyak 63.873
dari populasi penduduk berusia 10-59 tahun sebanyak 1.978.100, sehingga
prevalensinya mencapai 3,23 %.9
Melihat hal tersebut Pemerintah Kabupaten Kutai Timur sebagai salah
satu kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan Timur ingin melakukan
pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika. Adapun untuk
lebih meyakinkan bahwa penyalahgunaan narkotika merupakan masalah
cukup besar di wilayah Kabupaten Kutai Timur, patut untuk disimak trend
penyelesaian perkara narkoba yang ditangani oleh Polres Kutai Timur pada
Dari hasil operasi penangkapan yang dilakukan Ditresnarkoba Kabupaten
Kutai Timur ada 145 dengan jumlah tersangka 145 di Tahun 2015 sedangkan
di tahun 2016 ada 257 Kasus dengan jumlah tersangka 204, ada peningkatan
kasus di Kabupaten Kutai Timur.10 Berdasarkan data tersangka tindak pidana
narkotika, data barang bukti narkotika, dan jumlah kasus yang ditangani
Ditresnarkoba Polda Kaltim pada tahun 2015 dan 2016, sebagaimana tersaji
pada Tabel 1 dan Tabel 2, sebagai berikut ini:

8
Lihat http://news.metrotvnews.com/read/2015/03/09/368451/ini-10-besar-tingkat-
pengguna-narkotika-di-indonesia dan
http://m.tempo.co/read/news/2015/06/26/063678653/ini-dia-5-provinsi-paling-rawan-
narkoba, diakses pada hari Minggu, 8 May 2016 jam 21.23 WITA.
9
Data dari Diresnarkoba Polda Kaltim yang disampaikan pada Rakor Narkoba
September 2017.
10
Data dari Diresnarkoba Polda Kaltim yang disampaikan pada Rakor Narkoba
September 2017.
7

Tabel 1. Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika, Barang Bukti


Narkotika, dan Jumlah Kasus yang Ditangani Ditresnarkoba Polda
Kaltim11

Tabel 2. Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika, Barang Bukti


Narkotika, dan Jumlah Kasus yang Ditangani Ditresnarkoba Polda
Kaltim12

11
Ibid.
12
Ibid.
8

Berdasarkan data tersebut, sangat pantas jika pencegahan dan


penanggulangan penyalahgunaan narkotika menjadi hal yang patut untuk
diperhatikan secara sangat serius, trend kejahatan yang tinggi pada
penyalahgunaan narkotika di Kabupaten Kutai Timur bukanlah sesuatu yang
hanya untuk diketahui saja, namun perlu tindakan konkrit untuk
memberangusnya.
Salah satu program yang saat ini sedang gencar dijalankan adalah
program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran
Gelap Narkotika (P4GN). Program ini adalah bagian dari terbitnya Peraturan
Presiden Nomor 83 tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan
Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota yang kemudian
pada tahun 2010 diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010
tentang Badan Narkotika Nasional dan ditindaklanjuti dengan Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional dibidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkoba (Jakstranas P4GN) Tahun 2011-2015 dan terus
berlanjut dengan dikeluarkannya Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun
2018 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika
Tahun 2018-2019.
Selain itu juga terdapat program Perencanaan Pembangunan
Berwawasan Anti Narkoba atau yang biasa dikenal dengan “Bang Wawan”
yang merupakan amanat dalam Pasal 4 huruf b Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebutkan mencegah, melindungi dan
menyelamatkan bangsa indonesia dari penyalahgunaan narkotika. Dalam hal
ini peran serta masyarakat yang mempunyai hak dan tanggung jawab dalam
upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika, serta melibatkan lembaga pemerintah dan seluruh komponen
masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
narkotika.
Pembangunan berwawasan anti narkoba adalah program pembangunan
yang menjamin adanya kebijakan, program, kegiatan, dan anggaran pada
Kementrian/Lembaga Daerah yang berorientasi pada upaya pencegahan,
rehabilitasi dan penegakan hukum kejahatan narkoba. Tujuan pembangunan
berwawasan anti narkoba adalah meningkatkan komitmen dan sinergi seluruh
komponen bangsa dalam upaya penanganan permasalahan narkoba melalui
program pembangunan pada seluruh Kementrian/Lembaga Daerah, dan
9

meningkatkan kontribusi nyata Kementrian/Lembaga Daerah dalam upaya


penanganan permasalahan narkoba.13
Ruang lingkup pembangunan berwawasan anti narkoba meliputi
seluruh program kerja pembangunan pada Kementrian/Lembaga Daerah
dalam upaya pencegahan, rehabilitasi dan penegakan kejahatan narkoba baik
dalam bentuk penguatan regulasi maupun penyelenggaraan aktivitas yang
berorientasi pada upaya penanganan permasalahan narkoba.
Adapun selain program P4GN dan Bang Wawan, pada tahun 2013
Kementerian Dalam Negeri RI menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan
Penyalahgunaan Narkotika (Permendagri 21/2013). Berdasarkan Pasal 2
Permendagri 21/2013, Fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika
bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan narkotika di daerah. Dilanjutkan
pada Pasal 3 yang pada intinya mengamanahkan kepada kepala daerah untuk
melakukan fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika di daerahnya
melalui SKPD yang terkait dengan pencegahan penyalahgunaan narkotika dan
kegiatan tersebut dikoordinasikan oleh SKPD yang membidangi urusan
kesatuan bangsa dan politik.
Adapun pengaturan yang lebih penting lagi terdapat pada Pasal 4 huruf
a, dimana Permendagri ini mengamanahkan kepada Kepala daerah untuk
menyusun peraturan daerah mengenai narkotika yang memuat sekurang-
kurangnya antisipasi dini, pencegahan, penanganan, rehabilitasi,
pendanaan, dan partisipasi masyarakat.
Sehubungan dengan amanah tersebut, terdapat problematika yang
cukup serius, yaitu terkait persoalan rehabilitasi, di wilayah Kutai Timur
belum ada,14 sedangkan untuk Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) di
wilayah Kabupaten Kutai Timur ada 3 (tiga) yakni IPWL Teluk Lingga di
Kecamatan Sangatta Utara, IPWL Muara Wahau dan IPWL Kaliorang.
Persoalannya adalah, sampai sejauh ini keberadaan institusi tersebut belum
banyak diketahui oleh masyarakat dan tingkat kesadaran masyarakat untuk

13
Artikel, Perencanaan Pembanguanan Berwawasan Anti Narkoba,
Indonesiabergegas.bnn.go.id/index/en Materi biro perencanaan
http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:fzswbXWNxlIJ:indonesiabergegas.bnn.go.id/index.php/en/download/category/57-
materi-biro perencanaan%3Fdownload%3D102:materi-biro-
perencanaan+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id, diakses pada tanggal 3 Juni 2016 pada pukul
21.45 WITA.

14
Website: http://kaltim.prokal.co/read/news/336778-perlu-bangun-balai-rehabilitasi-narkoba.html, diakses pada
tanggal 29 September 2018, pukul 12.00 WITA
10

melaporkan diri belum tinggi, akibatnya institusi-institusi tersebut tidak


banyak melakukan aktifitas rehabilitasi kepada pecandu narkotika. 15
Oleh karena itu, dalam rangka partisipasi aktif program percepatan
untuk pemberantasan penyalahgunaan narkotika di daerah dan program
P4GN berikut program pembangunan berwawasan anti narkotika serta sebagai
bentuk konkrit menjalankan amanah Pasal 4 huruf a Permendagri 21/2013,
segera disusun peraturan daerah tentang pencegahan penyalahgunaan
narkotika di masing-masing daerah, termasuk Kabupaten Kutai Timur.

B. Identifikasi Masalah
Dalam Naskah Akademik ini dilakukan identifikasi permasalahan
terhadap fasilitasi pencegahan dan dan penanggulangan penyalahgunaan
narkotika, oleh karena itu dalam Naskah Akademik ini, rumusan
permasalahannya adalah sebagai berikut:
1. Apa masalah yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat dalam kaitannya dengan fasilitasi pencegahan dan
Penanggulangan penyalahgunaan narkotika di Kabupaten Kutai Timur?
2. Apa saja cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut?
3. Mengapa perlu di bentuk Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Kutai
Timur tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkotika?
4. Apa pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis dari pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Timur tentang Pencegahan
dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika?
5. Apa saja sasaran, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah
pengaturan yang terdapat dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Kutai Timur tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkotika?
Adapun berdasarkan observasi dan penelusuran data, berikut identifikasi
masalah-masalah yang terjadi terkait dengan pelaksanaan pencegahan
penyalahgunaan narkotika di Kabupaten Kutai Timur:
1. Tingginya angka kasus narkotika yang ditangani oleh Ditresnarkoba
Kabupaten Kutai Timur.
Dari hasil operasi penangkapan yang dilakukan Ditresnarkoba Kabupaten
Kutai Timur ada 145 dengan jumlah tersangka 145 di Tahun 2015

15
Website: http://www.humas.kutaitimurkab.go.id/index.php/home/detail/3502/iplw-kutim-rehabilitasi-120-
pecandu-narkoba---pecandu-kebanyakan-pekerja-swasta, diakses pada tanggal 23 September 2018 pukul 14.00
WITA.
11

sedangkan di tahun 2016 ada 257 Kasus dengan jumlah tersangka 204,
ada peningkatan kasus di Kabupaten Kutai Timur. Hal ini menjadi sebuah
problematika yang perlu mendapatkan perhatian sangat serius dari semua
elemen yang ada di wilayah Kabupaten Kutai Timur.
2. Belum adanya Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Timur tentang fasilitasi
pencegahan penyalahgunaan narkotika sebagai tindak lanjut dari
Permendagri 21/2013.
Ketiadaan peraturan di tingkat daerah terkait fasilitasi pencegahan
penyalahgunaan narkotika menjadi salah satu kendala bagi elemen-elemen
yang ada di wilayah Kabupaten Kutai Timur untuk memerangi
penyalahgunaan narkotika. Ketiadaan peraturan yang menjadi arahan dan
panduan bagi terselenggaranya pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan narkotika membuat para pihak yang terkait dengan
program tersebut bekerja secara sendiri-sendiri (parsial) dan belum
terkoordinasi dengan maksimal, sehingga hasilnya pun belum dapat
mencapai target yang diinginkan, yaitu menurunkan jumlah kasus
penyalahgunaan narkotika.
3. Fasilitas penyelenggaraan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di
Kabupaten Kutai Timur belum sesuai Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Wajib Lapor dan Rehabilitasi Bagi Pecandu, Penyalaguna dan
Korban Penyalahguna Narkotika.
4. Belum terciptanya sinergitas antara
instansi/badan/lembaga/dinas/institusi pusat di daerah dengan instansi
pemerintah daerah. Program yang dibuat tampak sporadic dan belum
terintegrasi antara satu dengan lainnya. Persoalan ini salah satunya
dikarenakan belum adanya sebuah sistem informasi dan basis data yang
terintegrasi di samping persoalan masih adanya faktor ego sektoral.
5. Kesadaran dan peran serta masyarakat dalam mencegah dan
menanggulangi penyalahgunaan narkotika belum maksimal dan belum
terpadu, serta masih parsial.

C. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik


Tujuan dari disusunnya Naskah Akademik ini adalah:
1. Mengidentifikasi, merumuskan dan menganalisis berbagai permasalahan
yang terjadi di wilayah Kabupaten Kutai Timur terkait dengan
12

penyelenggaraan program pencegahan dan penanggulangan


penyalahgunaan narkotika.
2. Merumuskan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis terkait dengan
penyelenggaraan program pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan narkotika di Kabupaten Kutai Timur.
3. Merumuskan draft rancangan peraturan daerah yang berisikan sasaran
yang akan diwujudkan, ruang lingkup, pengaturan, jangkauan, dan arah
pengaturan terkait dengan penyelenggaraan program pencegahan dan
penanggulangan penyalahgunaan narkotika di Kabupaten Kutai Timur.
Adapun kegunaan dari Naskah Akademik ini adalah sebagai bahan
pertimbangan akademis bagi eksekutif dan legislatif dalam proses penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Timur tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika.

D. Metode
Metode yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini adalah
metode yuridis normatif, dikarenakan yang menjadi bahan hukum primer
adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan
Narkotika dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
pencehagan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika serta dokumen-
dokumen hukum yang dimiliki oleh pihak-pihak terkait seperti BNN RI, BNNP
Kalimantan Timur, BNN Kabupaten Kutai Timur, Polda Provinsi Kalimantan
Timur, Polres Kabupten Kutai Timur, Kantor Wilayah Provinsi Kalimantan
Timur Kementerian Hukum dan HAM RI, Badan Pemberdayaan Masyarakat
Kabupaten Kutai Timur, Dinas Sosial Kabupaten Kutai Timur, Rumah Sakit
Umum Daerah, serta beberapa lembaga swadaya/organisasi masyarakat yang
memiliki kepedulian terhadap penyalahgunaan narkotika.
Adapun yang menjadi bahan hukum sekunder adalah teori dan konsep
yang terkait dengan penyalahgunaan narkotika, model-model pencegahan
penyalahgunaan dan rehabilitasi, dan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat
dalam rangka pencegahan penyalahgunaan narkotika.
Dalam hal pencarian bahan hukum untuk mendukung penyusunan
Naskah Akademik, juga dilakukan metode forum group discussion (FGD) yang
dihadiri oleh pihak-pihak sebagai berikut:
1. BNN Provinsi Kalimantan Timur;
2. BNN Kabupaten Kutai Timur;
13

3. Polda Provinsi Kalimantan Timur;


4. Polres Kabupten Kutai Timur;
5. Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kutai Timur;
6. Dinas Sosial Kabupaten Kutai Timur;
7. Rumah Sakit Umum Daerah; dan
8. Lembaga Swadaya/Organisasi Masyarakat
Semua bahan hukum yang diperoleh dianalisis secara kualitatif
terhadap pengertian, konsep dan norma-norma hukum dengan teknik berpikir
deduktif yang bertitik tolak pada hal-hal yang abstrak untuk diterapkan pada
proposisi-proposisi konkret dalam rangka menjawab permasalahan-
permasalahan yang telah diidentifikasi sebagai acuan dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Timur tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika.

BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
14

A. KAJIAN TEORETIS DAN PERUNDANG-UNDANGAN


1. Narkotika
Istilah narkotika yang terkenal di Indonesia saat ini berasal dari
kata narkotics yang sama artinya dengan narcosis. Yang berarti narkose,
yang menidurkan, obat-obat yang membiuskan. 16 Peristilahan lain
untuk narkotika tersebut adalah zat-zat (obat) yang dapat
mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat
tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi
ini sudah termasuk jenis candu, zat-zat yang dibuat dari candu
(morphine, codein, heroin) dan candu sintetis (meperidine dan
methadone).17
Narkotika adalah zat yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu
bagi mereka yang menggunakannya dengan cara memasukkan obat
tersebut ke dalam tubuhnya, pengaruh tersebut berupa pembiasaan,
hilangnya rasa sakit, rangsangan, semangat, dan halusinasi. 18
Sedangkan menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa “narkotika adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir Undang-Undang ini.
Narkoba terdiri dari Narkotika, Psikotropika dan zat adiktif
bermacam-macam jenis, bergantung dari asal pembuatannya. Ada
narkoba yang berasal dari tanaman, contohnya adalah tanaman candu,
ganja dari tanaman ganja. Ada juga narkoba yang berasal dari bahan
yang diolah secara kimiawi dari tanaman dan disebut bahan semi-
sintetis, contoh heroin. Juga ada narkoba yang berasal dari bahan kimia
murni hasil olahan pabrik dan disebut bahan sintetis, contoh
amfetamin, ekstasi, beberapa obat penenang/obat tidur, serta beberapa
bahan untuk keperluan rumah tangga atau kantor seperti lem dan
thiner.19

16
H. Ikin A Ghani dan Abu Chanif, 1997, Bahaya Penyalahgunaan Narkotika dan
Penanggulangannya, Yayasan Bina Taruna, Jakarta, Halaman 5.
17
Ibid.
18
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2012, Modul Untuk Orang tua:
Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati, BNN Republik Indonesia, Jakarta, Halaman 1.
19
Ibid., halaman 3.
15

Jenis narkotika dibagi dalam 3 golongan yang digunakan untuk


mengukur seberapa besar hukuman yang diperoleh yaitu:20
1. Golongan I tidak digunakan dalam pengobatan, hanya digunakan
dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, jumlahnya
ada 65 jenis. Contoh: Heroin, Ganja, Opium, Sabu-Sabu, Extacy dan
Kokain
2. Golongan II digunakan pengobatan tapi terbatas, jumlahnya ada 86
jenis. Contoh: Morfin, Fentamil, Alfametadol, Ekgonia dan Bezetadin.
3. Golongan III digunakan dalam pengobatan jumlahnya ada 13 jenis.
Contoh: Kodein, Propiram, Norkedenia, Polkodina dan Etilmorfina
Adapun psikotropika juga memiliki macam dan golongan
tersendiri karena efek yang ditimbulkan juga berbeda-beda. Psikotropika
dibagi menjadi 4 golongan yaitu:21
1. Golongan 1 ini memiliki daya yang dapat menimbulkan
ketergantungan tertinggi, digunakan hanya untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan untuk pengobatan serta ada 26
jenisnya, contoh: MDMA (Metylin Dioxcit Metamfetamin), plisolibin dan
psilosin yaitu zat yang diperoleh dari jenis jamur yang tumbuh di
Mexico.
2. Golongan 2 yaitu kelompok psikotropika yang mempunyai daya yang
menimbulkan ketergantungan menengah, digunakan untuk tujuan
pengetahuan. Ada beberapa macam hingga 60 jenis, seperti
Ampethamine dan Metaqualon
3. Golongan 3 ialah kelompok psikotropika yang mempunyai daya
menimbulkan ketergantungan sedang. Mempunyai khasiat dan
digunakan untuk tujuan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Jenis
pada golongan ini cukup sedikit hanya ada 9 jenis. Contohnya seperti
Amobarbital, Flunitrazem, dan Pentobarbial.
4. Yang terakhir golongan 4 adalah kelompok jenis psikotropika yang
mempunyai daya menimbulkan ketergantungan rendah, berkhsiat
dan digunakan dalam pengobatan, jumlahnya ada 16 jenis.
Contohnya: barbital, diazepam dan nitrazepam.

20
H. A. Madjid Tawil, 2010, Penyalahgunaan Narkoba dan Penanggulangannya,
BNPJATIM, Surabaya, halaman 6.
21
Ibid., halaman 9.
16

Berbagai macam dan jenis narkotika serta psikotropika juga ada


zat adiktif yang sering kita temui di masyarakat dan menimbulkan
ketergantungan yaitu:22
1. Alkohol adalah salah satu jenis adiktif yang sering terdengar di
masyarakat. Zat ini berasal dari fermentasi karbohidrat, sari buah
anggur, nira dan lain sebagainya
2. Kafein adalah alklodia yang terdapat dalam buah tanaman kopi. Biji
kopi mengandung 1-2,5% kafein.
3. Nikotin terdapat dalam tumbuhan tembakau dengan kadar sekitar 1-
4%. Tembakau digunakan dalam pembuatan rokok, dalam batang
rokok terdapat sekitar 1,1 mg nikotin. Makanya rokok dapat
menimbulkan ketergantungan dikarenakan kandungan nikotin yang
terdapat dalam rokok tersebut.
2. Teori Pencegahan
Para peneliti pencegahan kejahatan secara tradisional telah
berusaha mendefinisikan strategi-strategi yang akan mencegah individu
terlibat di dalam kejahatan atau merehabilitasi mereka sehingga mereka
tidak lagi melakukan tindakan kejahatan.
Pencegahan adalah semua tindakan atau kegiatan yang dilakukan
untuk menghindari terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan
(antisipatik), sehingga memungkinkan orang mempunyai ketahanan diri
dan dapat memberdayakan masyarakat untuk menciptakan dan
memperkuat lingkungannya, guna mengurangi atau menghilangkan
semua resiko terjadinya sesuatu yang tidak diharpkan tersebut. 23
Penggunan pendekatan berkaitan dengan pencegahan kejahatan
situasional ialah berupaya untuk mengembangkan pemahaman yang
lebih mendalam terhadap kejahatan dan strategi pencegahan kejahatan,
sehingga efektif melalui kepedulian terhadap lingkungan fisik, organisasi
dan sosial yang memungkinkan terjadinya kejahatan tersebut.
Pendekatan situasional tidak mengabaikan para pelanggar, dia hanya
menempatkan mereka sebagi satu bagian dari suatu pemahaman bagi
upaya pencegahan kejahatan yang lebih luas yang berpusat pada
konteks kejahatan itu. Hal ini menuntut suatu pergeseran dalam
pendekatan terhadap pencegahan kejahatan yakni dari suatu titik yang
terutama berkaitan dengan bagaimana atau mengapa orang-orang

22
Ibid., halaman 12.
23
Sumber: https://jurnalsrigunting.wordpress.com/tag/teori-pencegahan-kejahatan/,
tentang teori pencegahan, diakses pada tanggal 9 Mei 2016, pada pukul 15.00 WIB
17

melakukan kejahatan ke titik lain yang terutama melihat pada mengapa


kejahatan terjadi pada waktu tertentu.
Dalam pencegahan narkotika dapat dilakukan dengan 3 cara
sebagai berikut:24
1. Pencegahan umum;
Narkotika merupakan wabah internasional yang akan
menjalar ke setiap Negara, maka diperlukan aturan hukum yang
dapat mencegah narkotika dan memberikan sanksi yang tegas
kepada pengedar dan melindungi masyarakat dari penyalahgunaan
narkotika. Hal ini ditujukan untuk mencegah secara dini
penyalahgunaan narkotika di Indonesia. Keberhasilan pemerintah
dalam mengadakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika,
bergantung kepada kesadaran masyarakat dan aparat pemerintah
dalam hal ini Badan Narkotika Nasional dan Kepolisian Republik
Indonesia.
2. Pencegahan dalam lingkungan keluarga;
Dalam hal pencegahan penyalahgunaan narkotika di
lingkungan keluarga perlu diantaranya:
a. komunikasi yang harmonis antar seluruh anggota keluarga
karena hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak
mengakibatkan tumbuhnya rasa kasih sayang diantara
anggota keluarga.
b. adanya keterbukaan orang tua dalam batas tertentu kepada
anak akan memberi kesempatan anak untuk mengambil
tanggung jawab karena dengan memberikan tanggung jawab
kepada anak akan menjadikan kebanggaan kepada anak itu
sendiri sebagai anggota keluarga yang dihargai.
c. Menyempatkan waktu luang untuk berkumpul bersama antar
anggota keluarga.
d. Menanamkan nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan mengajarkan hal-hal religi yang dapat membentuk
karakter anak untuk selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha
Esa.

3. Pencegahan di luar lingkungan rumah tangga

24
H. Ikin A Ghani dan Abu Chanif, Opcit, halaman 62-69.
18

Lingkungan di luar rumah tangga adalah merupakan


masyarakat tersendiri bagian dari kegiatan sehari-hari dan tak
dapat dipisahkan. Dalam lingkungan ini akan tercipta suatu
masyarakat sendiri dengan latar belakang sosial ekonomi yang
berbeda-beda, budaya yang berbeda, agama yang berbeda dan
banyak lagi perbedaan-perbedaan yang berkumpul menjadi satu
kelompok.
Ke dalam lingkungan ini pengaruh narkotika/obat keras,
minuman keras dan lain-lainnya mudah masuk dan berkembang. Untuk
itu kelompok ini harus cepat diarahkan kepada kegiatan-kegiatan
dimana perbedaan-perbedaan tadi tidak jadi penghalang seperti kegiatan
olahraga, kesenian, pengamanan lingkungan, kegiatan sosial membantu
kegiatan-kegiatan pemerintah berupa penyuluhan maupun seminar
terkait pencegahan penyalahgunaan narkotika dan kegiatan-kegiatan
lainnya yang positif.
4. Penyalahgunaan Narkotika
Penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif merupakan penyakit
endemik dalam masyarakat modern. Penyakit ini sudah kronik yang
berulangkali kambuh dan merupakan proses gangguan mental adiktif. 25
Menurut Hawari dalam bukunya, penyalahgunaan narkotika dan
zat adiktif dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu :26
1. Ketergantungan primer, ditandai dengan adanya kecemasan dan
depresi, yang pada umumnya terdapat pada orang dengan
kepribadian tidak stabil. Mereka ini sebetulnya dapat digolongkan
orang yang menderita sakit (pasien) namun salah atau tersesat ke
Narkotika dan zat adiktif dalam upaya untuk mengobati dirinya
sendiri yang seharusnya meminta pertolongan ke dokter (psikiater).
Golongan ini memerlukan terapi dan rehabilitasi dan bukannya
hukuman.
2. Ketergantungan rekatif, yaitu terdapat pada remaja karena dorongan
ingin tahu, bujukan, dan rayuan teman, jebakan dan tekanan serta
pengaruh teman kelompok sebaya (peer group pressure). Mereka ini
sebenarnya merupakan korban (victim), golongan ini memerlukan
terapi dan rehabilitasi dan bukannya hukuman.

25
D. Hawari, 2009, Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA, Balai Penerbitan FKUI,
Jakarta, halaman 5.
26
Ibid, halaman 6.
19

3. Ketergantungan simtomatis, yaitu penyalahgunaan Narkotika dan zat


adiktif sebagai salah satu gejala dari tipe kepribadian yang
mendasarinya, pada umumnya terjadi pada orang dengan
kepribadian anti social (psikopat) dan pemakaian Narkotika dan zat
adiktif itu untuk kesenangan semata. Mereka dapat digolongkan
sebagai criminal karena seringkali mereka juga merangkap sebagai
pengedar (pusher). Mereka ini selain memerlukan terapi dan
rehabilitasi juga hukuman.
Penyalahgunaan narkotika ini sangat disukai karena pengaruhnya
pada kerja otak, segera setelah memakai Narkotika bisa timbul rasa
nikmat seperti rasa riang, tenang, rileks, dan perasaan melambung naik
(high). Perasaan itulah yang dicari mula-mula oleh pemakai Narkotika.
Hal ini yang menyebabkan Narkotika disalahgunakan. Akan tetapi
pengaruh Narkotika setelah pemakaiannya adalah terjadi perasaan
turun atau pengaruh sebaliknya yaitu gelisah, cemas dan sulit tidur.
Untuk menghilangkan hal ini orang harus memakai Narkotika itu lagi
dan menyebabkan ketergantungan. Penyalahgunaan Narkotika adalah
penggunaan Narkotika tidak untuk maksud pengobatan, akan tetapi
untuk menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih dan cukup lama,
sehingga menyebabkan gangguan pada kesehatan jasmani, kesehatan
jiwa dan fungsi sosialnya.27
Faktor penyebab penyalahgunaan Narkotika, yaitu:28
1. Faktor psikis, antara lain:
a. Mencari kesenangan dan kegembiraan.
b. Mencari inspirasi.
c. Melarikan diri dari kenyataan.
d. Rasa ingin tahu, meniru, mencoba, dan sebagainya.
2. Faktor sosial, antara lain:
a. Rasa setia kawan.
b. Upacara-upacara kepercayaan/adat.
c. Tersedia dan mudah diperoleh.

3. Faktor medik antara lain


Seseorang yang dalam perkembangan jiwanya mengalami gangguan
lebih cenderung untuk menyalahgunakan narkotika, misalnya untuk

27
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Op.cit.,, halaman 19.
28
Soedjono Dirdjosisworo, 1985, Bunga Rampai Kriminologi Kumpulan Karangan dan
Hasil Penelitian, ARMICO, Bandung, halaman 97.
20

menghilangkan rasa malu, rasa segan, rasa rendah diri dan


kecemasan.
Efek dari penyalahgunaan narkotika antara lain: 29
a. Halusinogen, efek dari narkotika bisa mengakibatkan bila dikonsumsi
dalam sekian dosis tertentu dapat mengakibatkan seseorang menjadi
ber-halusinasi dengan melihat suatu hal/benda yang sebenarnya
tidak ada/tidak nyata, contohnya kokain dan LSD.
b. Stimulant, efek dari narkotika yang bisa mengakibatkan kerja organ
tubuh seperti jantung dan otak bekerja lebih cepat dari kerja
biasanya sehingga mengakibatkan seseorang lebih bertenaga untuk
sementara waktu, dan cenderung membuat seseorang pengguna lebih
senang dan gembira untuk sementara waktu.
c. Depresan, efek dari narkotika yang bisa menekan system syaraf
pusat dan mengurangi aktivitas fungsional tubuh, sehingga pemakai
merasa tenang bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tidak
sadarkan diri. Contoh putaw.
d. Adiktif, seseorang yang sudah mengkonsumsi narkotika biasanya
akan ingin dan ingin lagi karena zat tertentu dalam narkotika
mengakibatkan seseorang cenderung bersifat pasif, karena secara
tidak langsung narkotika memutuskan syaraf-syaraf dalam otak,
contoh ganja, heroin dan putaw.
e. Jika terlalu lama dan sudah ketergantungan narkotika maka lambat
laun organ dalam tubuh akan rusak dan jika sudah melebihi takaran
maka pengguna itu akan overdosis dan akibatnya kematian.
4. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup,
maksudnya hanya orang-orang tertentu dengan kepentingan khusus
yang dapat memasuki area ini.30 Rehabilitasi Narkotika adalah tempat
yang memberikan pelatihan keterampilan dan pengetahuan untuk
menghindarkan diri dari narkotika.31 Dalam Pasal 1 angka 16 dan 17
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dijelaskan
rehabilitasi ada dua jenis yaitu:

29
Artikel “Penyalahgunaan Narkotika”, diakses dari web id.wikipedia.org/wiki/Narkoba,
diakses pada tanggal 17 Mei 2016 pada pukul 22.00 WITA.
30
Kamus Besar Bahasa Indonesia, website http://kamusbahasaindonesia.org/, diakses
pada tanggal 17 Mei 2016, pada pukul 22.00 WITA.
31
Herman Soeparman, 2000, Narkoba Telah Merubah Rumah Kami Menjadi Neraka,
Departemen Pendidikan Nasional-Dirjen Dikti, Jakarta, halaman 37.
21

1. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara


terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan
narkotika.
2. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara
terpadu, baik fisik mental maupun soaial, agar bekas pecandu
narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam
kehidupan masyarakat.
Pusat atau lembaga yang baik haruslah memenuhi persyaratan
antara lain:32
a. Sarana dan prasarana yang memadai termasuk gedung, akomodasi,
kamar mandi/WC yang higienis, makanan dan minuman yang
bergizi dan halal, ruang kelas, ruang rekreasi, ruang konsultasi
individu maupun kelompok, ruang konsultasi keluarga, ruang
ibadah, ruang olah raga, ruang keterampilan dan lain sebagainya.
b. Tenaga profesiaonal (psikiater, dokter umum, psikolog, pekerja
sosial, perawat, agamawan/rohaniawan dan tenaga ahli
lainnya/instruktur). Tenaga professional ini menjalankan program
terkait.
c. Manajemen yang baik.
d. Kurikulum/program rehabilitasi yang memadai dan sesuai
kebutuhan.
e. Peraturan dan tata tertib yang ketat agar tidak terjadi pelanggaran
ataupun kekerasan.
f. Keamanan (security) yang ketat agar tidak memungkinkan peredaran
Narkotika di dalam pusat rehabilitasi (termasuk rokok dan minuman
keras).
Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No.04 Tahun 2010
tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan
Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi Sosial, untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi,
wajib diperlukan keterangan ahli sebagi standar dalam proses terapi dan
rehabilitasi adalah sebagai berikut:
a. Program Detoksifikasi dan Stabilisasi : lamanya 1 (satu) bulan
b. Program Primer : lamanya 6 (enam) bulan
c. Program sekunder : lamanya 6 (enam) bulan

32
D. Hawari, Op.cit., halaman 132.
22

Setelah dilakukan proses rehabilitasi kepada penyalahguna


narkotika, diharapkan pecandu tidak mengalami hal-hal sebagai
berikut:33
a. “Post addiction syndrome” keadaan sesudah mengalami pengobatan
penderita masih menunjukkan gejala-gejala anxietas, depresi
keinginan untuk memakai obat, keadaan emosional yang masih
sangat labil.
b. Penderita masih sangat mudah terpengaruh pada lingkungan,
karena adanya gangguan struktur kepribadian dasar, sehingga daya
penyesuaian-penyesuaian dan pengendalian diri sangat labil.
Untuk menghindari hal ini diperlukan program pasca rehabilitasi
dengan melibatkan tenaga professional dan peran serta masyarakat
dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika. Dalam Pasal 1 angka
4 Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 4 Tahun 2015
tentang Tata Cara Peningkatan Kemampuan Lembaga Rehabilitasi Medis
dan Rehabilitasi Sosial Yang Diselenggarakan Oleh
Pemerintah/Pemerintah Daerah Maupun Masyarakat dijelaskan Pasca
Rehabilitasi adalah bagian dari rehabilitasi sosial berupa pembinaan
lanjut dalam bentuk pendampingan agar mampu menjaga kepulihan
serta beradaptasi dengan lingkungan sosial dan mandiri.
1. Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat (LRKM)
Paradigma penanganan penyalahguna narkotika melalui
rehabilitasi tengah menjadi isu penting dan terus mengemuka.
Rehabilitasi menjadi sangat penting, karena penangananan
narkotika dengan penegakkan hukum semata tidaklah cukup.
Setiap jenis narkotika berdampak khusus pada kesehatan, perilaku,
pikiran, perasaan dan tempramen seseorang. Pemicu dan akar
masalah keterlibatan narkotika seorang sangatlah berbeda dan
bervariasi orang satu dengan lainnya sehingga diperlukannya
rehabilitasi artinya, rehabilitasi dan penegakkan hukum harus jadi
panglima dalam penanggulangan narkotika.34
Banyak kendala yang dihadapi dalam merehabilitasi para
penyalahguna narkotika, karena mereka termasuk dalam golongan
populasi yang tersembunyi. Karena itulah, peran lembaga
rehabilitasi berbasis masyarakat dalam hal ini sangat penting,

33
H. Ikin A Ghani dan Abu Chanif, Opcit, halaman 72.
34
Lambertus Somar, 2001, Rehabilitasi Pecandu Narkoba, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta, halaman 15-16.
23

karena dapat dimaksimalkan perannya baik itu dengan cara


menjangkau, mendampingi, hingga menerapkan konsep rehabilitasi.
Peran lembaga rehabilitasi berbasis adiksi masyarakat perlu
didukung penuh mengingat peran mereka yang cukup sentral dalam
upaya rehabilitasi narkotika.35
BNN mendorong kegiatan atau kelompok rehabilitasi berbasis
masyarakat sesuai dengan Pasal 1 angka 10 Peraturan Kepala
Badan Narkotika Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Peningkatan Kemampuan Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi Sosial Yang Diselenggarakan Oleh
Pemerintah/Pemerintah Daerah Maupun Masyarakat dijelaskan
serangkaian kegiatan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan
edukasi dalam rangka memotivasi lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial yang diselenggarakan pemerintah/pemerintah
daerah maupun masyarakat. Hal ini dapat berupa kemudahan
dengan pemberian rekomendasi maupun advokasi terkait dalam
pemberian ijin. Dan dalam Pasal 12 ayat 1 Peraturan Kepala Badan
Narkotika Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Peningkatan Kemampuan Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi Sosial Yang Diselenggarakan Oleh
Pemerintah/Pemerintah Daerah Maupun Masyarakat dijelaskan
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang dapat
memperoleh peningkatan kemampuan adalah yang diselenggarakan
oleh:
a. Pemerintah/pemerintah daerah; dan/atau
b. Masyarakat.
BNN melakukan peningkatan kemampuan dengan 3 cara
yaitu:36
a. Penguatan lembaga;
b. Dorongan lembaga;dan
c. Fasilitasi lembaga
Kegiatan penguatan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial yang dikelola oleh masyarakat dan didukung oleh BNN adalah
35
Atikel, BNN dukung lembaga rehabilitasi masyarakat,
http://bnn.go.id/portal/konten/detail/humas/berita/11256/bnn-dukung-lembaga-
rehabilitasi-komponen-masyarakat-di-makassar diakses tanggal 7 juni 2016 pukul 00.30
WITA
36
Pasal 3 Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata
Cara Peningkatan Kemampuan Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial Yang
Diselenggarakan Oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah Maupun Masyarakat.
24

dengan melakukan pembinaan dan bimbingan teknis, peningkatan


keterampilan atau kompetensi sumber daya manusia, peningkatan
kapasitas lemba, peningkatan mutu layanan, peningkatan sarana
dan prasarana serta pemberian dukungan layanan rehabilitasi dan
pasca rehabilitasi.
Sedangkan dorongan rehabilitasi yang dapat dilakukan oleh
BNN adalah:
a. Seminar;
b. Koordinasi antar pemangku kepentingan;
c. Semiloka atau lokakarya;
d. Dukungan asistensi/konselor adiksi;dan
e. Pemberian motivasi penyediaan dan pengembangan
program layanan.
Untuk kegiatan fasilitasi lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial adalah dengan pemberian rekomendasi dalam
pengurusan ijin penyelenggara rehabilitasi dan mediasi antar
pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan terkait rehabilitasi.
Lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh masyarakat
diantaranya adalah lembaga rehabilitasi sosial, rumah sakit swasta
dan klinik swasta. Peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi
yang diselenggarakan oleh masayarakat dilaksanakan oleh
Direktorat Penguatan Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat
BNN dan Direktorat Pascarehabilitasi BNN, Bidang Rehabilitasi
Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Seksi Rehabilitasi Badan
Narkotika Nasional Kabupaten/Kota hal ini sesuai dengan Pasal 14
ayat 2 Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 4 Tahun
2015 tentang Tata Cara Peningkatan Kemampuan Lembaga
Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial Yang Diselenggarakan
Oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah Maupun Masyarakat.
Peran Lembaga Rehabilitasi Masayarakat sangat berperan
bagi penyembuhan penyalahguna narkotika, melalui lembaga
rehabilitasi masyarakat dan dukungan dari BNN membuat
peredaran narkotika semakin berkurang.
2. Lembaga Rehabilitasi Instansi Pemerintah (LRIP)
Lembaga rehabilitasi instansi pemerintah adalah lembaga yang
bergerak dalam melakukan penanggulangan kepada penyalahguna
25

dan korban narkotika untuk mendappatkan perawatan yang


dilakukan oleh instansi pemerintah.
Dalam Pasal 12 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Narkotika
Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Peningkatan
Kemampuan Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial
Yang Diselenggarakan Oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah
Maupun Masyarakat dijelaskan lembaga rehabilitasi yang
diselenggarakan oleh pemerintah/pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 huruf a, antara lain:
a. Rumah Sakit Umum;
b. Rumah Sakit Khusus meliputi Rumah Sakit Jiwa dan Rumah
Sakit Ketergantungan Obat;
c. Puskesmas;
d. Klinik;
e. Panti Rehabilitasi;
f. Balai dan loka rehabilitasi;dan/atau
g. Lembaga Pemasyarakatan.
BNN melakukan peningkatan kemampuan kepada lembaga
rehabilitasi yang dikelola instansi pemerintah dengan program
seperti pembinaan dan bimbingan teknis, peningkatan keterampilan
atau kompetensi sumber daya manusia, peningkatan kapasitas
lembaga, peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan mutu
layanan, dan pemberian dukungan layanan rehabilitasi dan pasca
rehabilitasi.37
Peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi yang
diselenggarakan oleh pemerintah/pemerintah daerah dilaksanakan
oleh yang diselenggarakan oleh masayarakat dilaksanakan oleh
Direktorat Penguatan Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat
BNN dan Direktorat Pascarehabilitasi BNN, Bidang Rehabilitasi
Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Seksi Rehabilitasi Badan
Narkotika Nasional Kabupaten/Kota hal ini sesuai dengan Pasal 14
ayat 1 Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 4 Tahun
2015 tentang Tata Cara Peningkatan Kemampuan Lembaga
Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial Yang Diselenggarakan
Oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah Maupun Masyarakat.

37
Pasal 4 Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata
Cara Peningkatan Kemampuan Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial Yang
Diselenggarakan Oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah Maupun Masyarakat.
26

Lembaga rehabilitasi instansi pemerintah bertugas


melaksanakan penyusunan rencana layanan rehabilitasi dengan
direktorat Penguatan Lembaga Rehabilitasi Instansi Pemerintah
BNN, melaksana pencataatan sesuai pedoman BNN terkait pecandu
dan penyalahguna narkotika.
3. Instansi Pelayanan Wajib Lapor (IPWL)
IPWL merupakan langkah yang bukan hanya sekedar
pemberantasan, tapi juga proses rehabilitasi pecandu yang bersinergi
dengan instanti terkait seperti kepolisian dan kementerian kesehatan,
IPWL dibentuk berdasarkan Keputusan Menkes RI
No.293/Menkes/SK/VIII/2013 tentang Institusi Penerima Wajib
Lapor, dengan tujuan merangkul pengguna atau pecandu narkotika,
sebagai proses rehabilitasi. Dengan melapor ke IPWL, maka pecandu
narkoba bisa terhindar dari jeratan hukum.38
5. Kebijakan Pencegahan dan Pemberantasan terhadap Pencegahan dan
Penanggulangan terhadap Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (P4GN)
Berdasarkan Instruksi Presiden R.I. Nomor 6 Tahun 1971 pada
BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Nasional) telah diserahi 5 masalah
yaitu:
1. Masalah Narkotika.
2. Masalah Kenakalan Anak.
3. Masalah Subversi.
4. Masalah Penyelundupan.
5. Masalah Uang Palsu.
Usaha pemberantasan Narkotika ini telah dikeluarkan aturan-
aturan antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
2. Intruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pelaksanaan Kebijakan Strategi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba
Tahun 2011-2015.
3. Intruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018
tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekusor
Narkotika Tahun 2018-2019.
38
Artikel, Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/lannang/ipwl-instansi-penerima-wajib-
lapor_54f76a07a3331189338b47e2 Diakses pada tanggal 7 juni 2016 pukul 01.00 WITA.
27

Secara global penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba akan


mempengaruhi segenap sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan
Negara Indonesia. Oleh karena itu, perlu wujud nyata komitmen
bersama seluruh komponen masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia
untuk bersatu menciptakan “Indonesia Negeri Bebas Narkoba”.
Kebijakan dan Strategi Nasional Bidang Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (Jakstranas P4GN) ini
merupakan tahap tahun 2011-2015 yang diharapkan menjadi pedoman
bagi seluruh komponen masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia
mewujudkan “Indonesia Negeri Bebas Narkoba”.39
Arah kebijakan P4GN antara lain adalah:40
a. Menjadikan 97,2 % penduduk Indonesia imun terhadap
penyealahgunaan dan perderan gelap narkoba melalui partisipasi aktif
seluruh komponen masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia dengan
menumbuhkan sikap menolak narkoba dan menciptakan lingkungan
bebas narkoba;
b. Menjadikan 2,8% penduduk Indonesia (penyalahguna narkoba) secara
bertahap mendapat layanan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
melalui rawat inap atau rawat jalan serta mencegah kekambuhan
dengan program after care (rawat lanjut);
c. Menumpas jaringan sindikat narkoba hingga ke akar-akarnya melalui
pemutusan jaringan sindikat narkoba dalam dan/atau luar negeri dan
penghancur kekuatan ekonomi jaringan sindikat narkoba dengan cara
penyitaan aset yang berasal dari tindak pidana narkotika melalui
penegakan hukum yang tegas dan keras.
Strategi nasional dalam menjalankan kebijakan P4GN melalui: 41
1. Strategi di bidang pencegahan

a. Upaya menjadikan siswa/pelajar pendidikan menengah dan


mahasiswa memiliki pola pikir, sikap, dan terampil menolak
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
b. Upaya menjadikan para pekerja memiliki pola pikir, sikap dan
terampil menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
2. Strategi di bidang pemberdayaan masyarakat

39
Badan Narkotika Nasional, 2011, Kebijakan dan Strategi Nasional di Bidang P4GN, BNN
RI, Jakarta , Halaman 1-2.
40
Ibid., halaman 37.
41
Ibid., halaman 38-39.
28

a. Menciptakan lingkungan pendidikan menengah dan kampus bebas


dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba terutama ganja,
shabu ekstasi dan heroin;
b. Menciptakan lingkungan kerja bebas dari penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba terutama ganja, shabu, ekstasi dan
heroin;
c. Penyadaran dengan pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah
yang secara sosiologis dan ekonomis melakukan penanaman ganja;
d. Penyadaran dengan pemberdayaan masyarakat terhadap
masyarakat yang belum terkena narkoba, penyalahguna narkoba
dan pelaku peredaran gelap narkoba.
3. Strategi di bidang rehabilitasi

a. Upaya mengintensifkan pelaksanaan wajib lapor pecandu narkoba;


b. Upaya memberikan pelayanan rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial kepada penyalahguna, korban penyalahguna dan pecandu
narkoba;
c. Upaya pembangunan kapasitas lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial secara prioritas berdasarkan kerawanan daerah
penyalahgunaan narkoba;
d. Upaya pembinaan lanjut kepada mantan penyalahguna, korban
penyalahgunaan dan pecandu narkoba untuk mencegah terjadinya
kekambuhan kembali.
4. Strategi di bidang pemberantasan

a. Upaya pengawasan yang ketat terhadap impor, produksi,


distribusi, penggunaan (end user), ekspor, dan re-ekspor bahan
kimia prekusor dan penegakan hukum terhadap jaringan
tersangka yang melakukan penyimpangan;
b. Upaya pengungkapan pabrikan gelap narkoba dan/atau
laboratorium rumahan dan jaringan sindikat yang terlibat;
c. Upaya pengungkapan tindak pidana pencucian uang yang
berkaitan dengan tindak pidana narkotika secara tegas dan keras
sesuai peraturan perundang-undangan;
d. Upaya penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan peradilan
jaringan sindikat narkoba baik dalam maupun luar negeri secara
sinergi;
29

e. Upaya penindakan yang tegas dan keras terhadap aparat penegak


hukum dan aparat pemerintah lainnya yang terlibat jaringan
sindikat narkoba;
f. Upaya peningkatan kerjasama antar aparat penegak hukum untuk
menghindari kesenjangan di lapangan;
g. Upaya peningkatan kerjasama dengan aparat penegak hukum
tingkat internasional guna pengungkapan jaringan sindikat luar
negeri.
6. Perencanaan Pembangunan Berwawasan Anti Narkoba (BANG
WAWAN)
Perencanaan Pembangunan Berwawasan Anti Narkoba (Bang
Wawan) merupakan amanat dalam Pasal 4 huruf b Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebutkan
mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa indonesia dari
penyalahgunaan narkotika. Dalam hal ini peran serta masyarakat
yang mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika,
serta melibatkan lembaga pemerintah dan seluruh komponen
masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
narkotika.
Pembangunan berwawasan anti narkoba adalah program
pembangunan yang menjamin adanya kebijakan, program, kegiatan,
dan anggaran pada Kementrian/Lembaga Daerah yang berorientasi
pada upaya pencegahan, rehabilitasi dan penegakan hukum
kejahatan narkoba. Tujuan pembangunan berwawasan anti narkoba
adalah meningkatkan komitmen dan sinergi seluruh komponen
bangsa dalam upaya penanganan permasalahan narkoba melalui
program pembangunan pada seluruh Kementrian/Lembaga Daerah,
dan meningkatkan kontribusi nyata Kementrian/Lembaga Daerah
dalam upaya penanganan permasalahan narkoba. 42
Ruang lingkup pembangunan berwawasan anti narkoba meliputi
seluruh program kerja pembangunan pada Kementrian/Lembaga
Daerah dalam upaya pencegahan, rehabilitasi dan penegakan
42
Artikel, Perencanaan Pembanguanan Berwawasan Anti Narkoba,
Indonesiabergegas.bnn.go.id/index/en Materi biro perencanaan
http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:fzswbXWNxlIJ:indonesiabergegas.bnn.go.id/index.php/en/download/category/57-
materi-biro perencanaan%3Fdownload%3D102:materi-biro-
perencanaan+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id, diakses pada tanggal 3 Juni 2016 pada pukul
21.45 WITA.
30

kejahatan narkoba baik dalam bentuk penguatan regulasi maupun


penyelenggaraan aktivitas yang berorientasi pada upaya penanganan
permasalahan narkoba.43
Dalam program Bang Wawan, Badan Narkotika Nasional (BNN)
mempunyai peran sebagai berikut:
a. Melakukan penguatan dasar hukum Bang Wawan sebagai upaya
percepatan pelembagaan pengarustamaan Bang Wawan di
Kementrian/lembaga daerah;
b. Menyiapkan pedoman/standar teknis pelaksanaan aktivitas
penggerak Bang Wawan;
c. Meningkatkan kapasitas SDM penggerak Bang Wawan
d. Melakukan sosialisasi, fasilitasi, dan advokasi Bang Wawan kepada
kementrian/lembaga daerah;
e. Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program Bang
Wawan secara periodik;
f. Menyelenggarakan program pemberian apresiasi kepada
Kementrian/Lembaga/Daerah yang telah mengimplementasikan
Bang Wawan secara maksimal.

Tabel 3 : Model Bang Wawan Dalam P4GN


(Sasaran, Strategi, Rencana Aksi) 44

SASARAN STRATEGI RENCANA AKSI (CONTOH)

Pencegahan • Peningkatan faktor protektif • Sosialisasi Bahaya


penyalahgunaan dan pengurangan faktor risiko Penyalahgunaan Narkoba.
narkoba penyalahgunaan narkoba. • Pelatihan Pengembangan
• Pengembangan sistem deteksi Potensi Diri.
dini penyalahgunaan • Pelatihan Penggiat Anti
narkoba. Narkoba
• Pengembangan metode • Tes Urine Berkala
pencegahan penyalahgunaan • Pendampingan Khusus
narkoba. Kelompok Berisiko.

43
Ibid.
44
Ibid.
31

• Penyusunan Kebijakan Anti


Narkoba

Rehabilitasi • Peningkatan fasilitas layanan • Penyediaan layanan rehabilitasi


Penyalah guna rehabilitasi penyalah guna penyalahgunaan narkoba.
narkoba narkoba. • Pelatihan Penanganan Dini Korban
• Peningkatan kapasitas SDM Penyalahgunaan Narkoba.
rehabilitasi penyalah guna • Pendampingan Kelompok
narkoba. Pascarehabilitasi.
• Pengembangan metode • Pengkajian Metode Terapi dan
rehabilitasi penyalah guna Rehabilitasi Penyalah guna
narkoba yang efektif. Narkoba.
Pemberantasan • Pengembangan sistem • Penyediaan Layanan Informasi
Peredaran gelap pengawasan dan perlindungan Tindak Pidana Narkoba.
Narkoba kejahatan narkoba berbasis • Pelatihan Deteksi Dini Tindak
masyarakat. Pidana Narkoba Berbasis
• Peningkatan pengawasan jalur Masyarakat.
peredaran gelap narkoba pada • Penguatan Sistem Pengawasan
jalur-jalur masuk (entry point). Narkoba pada Pintu Masuk (Entry
• Peningkatan pengawasan pada Point).
tempat-tempat rawan peredaran • Pelatihan Profesionalitas Aparat
gelap narkoba. Penegak Hukum Tindak Pidana
Narkoba
• Pengawasan Aparatur dalam
Tindak Pidana Narkoba.
• Pengembangan model
pemidanaan penyalah guna dan
bandar narkoba yang efektif.
Pencegahan • Peningkatan faktor protektif • Sosialisasi Bahaya
penyalahgunaan dan pengurangan faktor risiko Penyalahgunaan Narkoba.
narkoba penyalahgunaan narkoba. • Pelatihan Pengembangan
• Pengembangan sistem deteksi Potensi Diri.
dini penyalahgunaan • Pelatihan Penggiat Anti
narkoba. Narkoba
• Pengembangan metode • Tes Urine Berkala
pencegahan penyalahgunaan • Pendampingan Khusus
narkoba. Kelompok Berisiko.
• Penyusunan Kebijakan Anti
32

Narkoba

Rehabilitasi • Peningkatan fasilitas layanan • Penyediaan layanan rehabilitasi


Penyalah guna rehabilitasi penyalah guna penyalahgunaan narkoba.
narkoba narkoba. • Pelatihan Penanganan Dini
• Peningkatan kapasitas SDM Korban Penyalahgunaan Narkoba.
rehabilitasi penyalah guna • Pendampingan Kelompok
narkoba. Pascarehabilitasi.
• Pengembangan metode • Pengkajian Metode Terapi dan
rehabilitasi penyalah guna Rehabilitasi Penyalah guna
narkoba yang efektif. Narkoba.
Pemberantasan • Pengembangan sistem • Penyediaan Layanan Informasi
Peredaran gelap pengawasan dan perlindungan Tindak Pidana Narkoba.
Narkoba kejahatan narkoba berbasis • Pelatihan Deteksi Dini Tindak
masyarakat. Pidana Narkoba Berbasis
• Peningkatan pengawasan jalur Masyarakat.
peredaran gelap narkoba pada • Penguatan Sistem Pengawasan
jalur-jalur masuk (entry point). Narkoba pada Pintu Masuk (Entry
• Peningkatan pengawasan pada Point).
tempat-tempat rawan peredaran • Pelatihan Profesionalitas Aparat
gelap narkoba. Penegak Hukum Tindak Pidana
Narkoba
• Pengawasan Aparatur dalam Tindak
Pidana Narkoba.
• Pengembangan model pemidanaan
penyalah guna dan bandar narkoba
yang efektif.

7. Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Pencegahan


Penyalahgunaan Narkotika
Peran masyarakat mengenai kewajibannya ialah melaporkan
terjadinya tindak pidana narkotika kepada aparat penegak hukum.
Disamping kewajiban itu, masyarakat mempunyai hak untuk
mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan hukum dari aparat
33

penegakan hukum. Namun demikian hak dan kewajiban masyarakat


kelihatan amat terbatas, khususnya dalam menindak para pelaku
kejahatan tersebut.45
Hubungan antara hak dan kewajiban terkait dengan proses
belajar dalam perubahan perilaku masyarakat terhadap aturan hukum.
Beberapa definisi tentang arti belajar telah banyak dikemukakan oleh
para ahli yang berbeda-beda pendiriannya, karena berlainan titi
tolaknya. Sumadi Suryabrata telah menyimpulkan hal-hal pokok belajar
sebagai berikut:46
1) Belajar itu membawa perubahan (dalam arti behavior changes, actual
maupun potensial);
2) Perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan
baru;
3) Perubahan itu terjadi karena usaha.
Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberantas
penyalahgunaan narkotika, karena tanpa dukungan masyarakat maka
segala usaha, pada dan kegiatan penegakan hukum akan mengalami
kegagalan. Disinilah pentingnya mengubah sikap tingkah laku dan
kepedulian masyarakat terhadap pencegahan dan penanggulangan
tindak pidana narkotika.47
Penyuluhan hukum menggunakan strategi yang cepat dan efektif,
sehingga masyarakat benar-benar memahami tentang bahaya narkotika
dan akan melakukan action anti-narkotika. Penerapan sanksi pidana
yang berat kepada para pelaku kejahatan akan memberikan efek jera
dan sekaligus berdampak pada bekerjanya hukum serta dampak
sosialnya, yaitu sebagai wahana pebelajaran publik, sehingga
masyarakat akan sadar betul tentang pentingnya menjauhi
penyalahgunaan narkotika.48
Bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam upaya
penanggulangan tindak pidana narkotika antara lain ialah:
1. Pencegahan tindak pidana narkotika
Peran serta masayarakat dalam kaitannya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkotika tujuannya ialah bagaiman

45
Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika, Rajawali Press, Jakarta,
halaman 158.
46
Sumadi Suyabrata, 1993, Psikologi Pendidikan, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, halaman
249.
47
Siswantoro Sunarso, Op.cit., halaman 160.
48
Ibid., halaman 159.
34

upaya untuk membangun sistem pengendalian sosial yaitu suatu


sistem yang hidup dipastikan akan menghadapi sejumlah masalah
dan harus dapat diatasi untuk memungkinkan sistem sosial tersebut
bisa melangsungkan kehidupannya.49
Pencegahan penyalahgunaan narkotika dipandang sebagai suatu
ancaman dan akan dapat menghancurkan sistem sosial masyarakat
tersebut. Bentuk-bentuk kegiatan pencegahan yang dilakukan
masyarakat antara lain kampanye anti penyalahgunaan narkotika,
penyuluhan seluk-beluk narkotika, pendidikan dan pelatihan
kelompok sebaya (peer group).50
2. Kewajiban melaporkan tindak pidana narkotika
Sesuai dengan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika dikatakan bahwa masyarakat dapat melaporkan
kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor
narkotika.
Kewajiban melaporkan ini merupakan salah satu bentuk atau wujud
peran serta masyarakat dalam pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini apabila dilanggar
dikenakan sanksi pidana, oleh sebab itu diperlukan pemahaman
terhadap hak dan kewajiban masyarakat dalam pencegahan
kejahatan ini.51
3. Jaminan keamanan dan perlindungan hukum
Penggunaan orang-orang yang terlibat atau dilibatkan secara
langsung oleh penegakan hukum, baik sebagai informan maupun
yang terlibat dalam pembelian terselubung dan/atau penyerahan
diawasi, perlu mendapatkan prioritas jaminan keamanan dan
perlindungan hukum oleh penegak hukum.52
Keamanan berasal dari kata “aman” yang memberikan makna,
terbebas dari perasaan takut dari gangguan baik fisik dan psikis,
adanya rasa kepastian dan bebas dari kekhawatiran, keragu-raguan,
ketakutan, peasaan dilindungi dari segi macam bahaya dan perasaan
kedamaian, ketentraman lahiriah dan batiniah. 53
49
Siswanto, 2012, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika, Rineka Cipta, Jakarta,
halaman 311.
50
Ibid., halaman 312.
51
Penjelasan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika .
52
Siswantoro Sunarso, Op.cit., halaman 160.
53
Kamus Besar Bahasa Indonesia, website http://kamusbahasaindonesia.org/, diakses
pada tanggal 17 Mei 2016, pada pukul 22.00 WITA
35

Kondisi aman seperti tersebut diatas itulah yang merupakan kendala


masyarakat dalam berkomunikasi dengan aparat penegakan hukum,
khususnya dengan aparat kepolisian, berkaitan dengan kewajiban
melaporkan tentang suatu peristiwa tindak pidana.
4. Pengembangan kelembagaan masyarakat
Manusia dapat dipandang sebagai suatu organisme dan manusia
selalu melakukan beberapa aktivitas tertentu dalam kaitan dengan
kehidupan sosialnya, yakni untuk mempertahankan diri, melakukan
pengawasan, dan pengendalian diri terkait dengan proses timbal
balik serta melakukan komunikasi informasi yang bertujuan untuk
menjaga keseimbangan secara homeostatis dalam tatanan kehidupan
sosialnya.54 Dalam kaitan dengan peran serta masyarakat dalam
penyalahgunaan narkotika, polisi mengakui masyarakat enggan
melaporkan narkotika kepada petugas.
Pandangan masyarakat ini disebabkan karena kurang tanggapnya
dari kepolisian, padahal selama ini masayarakat telah memberikan
informasi dan penggalangan kekuatan untuk bertindak sendiri
memberantas narkotika.
5. Pelaksanaan program kuratif
Program ini disebut juga dengan program pengobatan. Program
kuratif dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk peran serta dalam
penanggulangan tindak pidana narkotika yang ditujukan kepada
pemakai narkotika. Tujuannya adalah untuk mengobati
ketergantungan dan menyembuhkan penyakit sebagai akibat dari
pemakaian narkotika, sekaligus memberhentikan pemakaian
narkotika. Bentuk kegiatan pengobatan pemakai narkotika antara
lain menghentikan pemakaian narkotika, pengobatan gangguan
kesehatan, pengobatan terhadap kerusakan organ tubuh, pengobatan
terhadap penyakit ikutan lain seperti HIV dan AIDS, Hepatitis B/C,
dan lain-lain.55
6. Melaksanakan program Rehabilitasi
Rehabilitatif adalah upaya pemulihan kesehatan fisik dan psikis yang
ditujukan kepada pemakai narkotika yang sudah menjalani program

54
Siswantoro Sunarso, Op.cit., halaman 163.
55
Badan Narkotika Nasional, 2010, Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan
Penyalahgunaan Narkoba Bagi Lambaga/Instansi, BNN RI, Jakarta, halaman 36.
36

kuratif. Tujuannya adalah agar tidak memakai lagi dan bebas dari
penyakit ikutan yang disebabkan oleh pemakaian narkotika.56
7. Mengawasi upaya penangkapan adanya pelanggaran, penahanan
tersangka, jalannya penuntutan (persidangan/pengadilan) dan
jalannya eksekusi hukuman
8. Mengawasi pemusnahan barang bukti narkotika
Bentuk lain dari peran masyarakat adalah dengan melakukan
pengawasan terhadap pemusnahan barang bukti narkotika yang
dilakukan oleh instansi terkait seperti pihak kepolisian dan BNN.
Pengawasan ini perlu dilakukan oleh masyarakat untuk menghindari
adanya permainan dalam pemusnahan barang bukti. Contohnya
barang bukti ditukar dengan yang lain atau barang buktinya tidak
sesuai jumlahnya dengan yang ditangkap.57
Agar masyarakat mau berpartisipasi aktif diperlukan syarat: 58
1. Adanya penegak hukum yang akomodatif, simpatik, dan mampu
mengajak masyarakat berpartisipasi;
2. Instansi pemerintah terkait harus dapat bekerja sama secara
transparan dengan LSM atau lembaga sosial terkait lainnya;
3. Prilaku aparat penegak hukum yang terpuji dan bekerja dengan
jujur, profesional, serta kebal terhadap sogok dan suap;
4. Penerapan hukum secara tegas, konsekuen, konsisten dan
transparan;
5. Adanya petunjuk atau pedoman untuk berpartisipasi bagi
masyarakat dari semua instansi terkait agar partisipasi masyarakat
terarah dan efektif.

B. ASAS/PRINSIP DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN


PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
Asas yang terkait dengan pencegahan dan penyalahgunaan
narkotika ini dapat didasarkan kepada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, antara lain:
a. Keadilan;
Yang dimaksud dengan asas “keadilan” adalah dalam pencegahan dan
rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkotika, harus

56
Ibid., halaman 50.
57
Ibid., halaman 38.
58
Sumadi Suyabrata, Op.cit., halaman 119.
37

menekankan pada aspek pemerataan tidak diskriminatif dan


keseimbangan antara hak dan kewajiban.
b. Kemitraan
Yang dimaksud dengan asas “kemitraan” adalah dalam menangani
masalah pencegahan dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan
narkotika, diperlukan kemitraan antara pemerintah daerah dan
masyarakat, dimana pemerintah daerah sebagai penanggung jawab dan
masyarakat sebagai mitra pemerintah daerah dalam menangani
permasalahan pencegahan dan rehabilitasi sosial korban
penyalahgunaan narkotika
c. Kemanusiaan;
Yang dimaksud dengan asas “kemanusiaan” adalah dalam pencegahan
dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkotika ditujukan
untuk mengembalikan harkat dan martabat korban secara manusiawi.
d. Ketertiban;
Yang dimaksud dengan asas “ketertiban” adalah dalam pencegahan dan
rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkotika ditujukan untuk
tidak melakukan penyalahgunaan lagi dan akan diberikan sanksi jika
masih melakukan tindakan pidana narkotika.
e. Perlindungan;
Yang dimaksud dengan asas “perlindungan” adalah menegaskan bahwa
aturan hukum narkotika ini berlaku untuk siapa saja baik warga negara
Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana
narkotika dan bertujuan untuk melindungi masyarakat dari peredaran
dan penyalahgunaan narkotika.
f. Keamanan;
Yang dimaksud dengan asas “keamanan adalah menciptakan rasa aman
bagi masyarakat dengan menindak penyalahguna narkotika dan
peredaran narkotika di wilayah Kalimantan Timur.
C. KAJIAN TERHADAP PRAKTEK PENYELENGGARAAN KONDISI YANG
ADA SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI MASYARAKAT
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian rumusan masalah,
terdapat 5 (lima) masalah yang dihadapi terkait dengan pencegahan dan
penanggulangan penyalahgunaan narkotika. Permasalah tersebut adalah:
1) Tingginya angka kasus narkotika yang ditangani oleh Ditresnarkoba
Kabupaten Kutai Timur. Dari hasil operasi penangkapan yang
dilakukan Ditresnarkoba Kabupaten Kutai Timur ada 257 Kasus
38

dengan jumlah tersangka 204. Hal ini menjadi sebuah problematika


yang perlu mendapatkan perhatian sangat serius dari semua elemen
yang ada di wilayah Kabupaten Kutai Timur.
2) Belum adanya Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Timur tentang
fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika sebagai tindak lanjut
dari Permendagri 21/2013.
3) Fasilitas penyelenggaraan penanggulangan penyalahgunaan narkotika
di Kabupaten Kutai Timur belum sesuai Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Wajib Lapor dan Rehabilitasi Bagi Pecandu, Penyalaguna
dan Korban Penyalahguna Narkotika
4) Belum terciptanya sinergitas antara
instansi/badan/lembaga/dinas/institusi pusat di daerah dengan
instansi pemerintah daerah.
5) Kesadaran dan peran serta masyarakat dalam mencegah dan
menanggulangi penyalahgunaan narkotika belum maksimal dan belum
terpadu, serta masih parsial.
Semua permasalahan tersebut harus segera dicarikan solusi
terbaiknya untuk setidaknya dalam jangka pendek targetnya adalah
menurunkan jumlah penyalahgunaan narkotika di wilayah Kabupaten
Kutai Timur. Adapun diperlukan strategi jitu yang harus dilaksanakan oleh
semua elemen yang ada, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota,
lembaga Pemerintah Pusat yang ada di daerah, dan masyarakat harus
memiliki visi, misi, dan komitmen yang sama untuk mencegah dan
menanggulangi penyalahgunaan narkotika di wilayah Kabupaten Kutai
Timur. Ini adalah masalah dan tanggung jawab bersama, tidak bisa
dibebankan pada pemerintah saja, komitmen yang kuat, perencanaan yang
matang dan terintegrasi ditambah dengan pola kemitraan yang jelas dan
terpadu sangat mungkin untuk mencapai target jangka pendek yang
diinginkan.

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI SISTEM BARU YANG AKAN DIATUR


DALAM PERATURAN DAERAH TERHADAP ASPEK KEHIDUPAN
BERMASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP BEBAN KEUANGAN
NEGARA
Menyikapi Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika disebutkan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan
39

narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dalam


hal rehabilitasi sosial Pemerintah daerah harus menyiapkan pusat
rehabilitasi sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan
Menteri Sosial Nomor 26 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya.
Pasal 4 ruang lingkup penyelenggaraan rehabilitasi sosial korban
penyalahgunaan NAPZA meliputi:
a. Pencegahan;
b. Rehabilitasi sosial
c. Pembinaan lanjut (aftercare); dan
d. Perlindungan dan advokasi sosial.
Dilanjutkan pada Pasal 5:
(1) penyelenggaraan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan masyarakat.
(2) pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Kementrian
Sosial.
(3) pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu
Gubernur dan peranabat daerah dalam hal ini instansi sosial provinsi.
(4) pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu
Bupati, Walikota, dan perangkat daerah dalam hal ini instansi sosial
kabupaten/kota.
(5) masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu individu,
kelompok yang memiliki kepedulian dan komitmen dalam melaksanakan
rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA.
Dalam penyelenggaraan rehabilitasi sosial memerlukan biaya yang
bersumber dari Anggaran Pendapat dan Belanja Negara, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Kabupaten/Kota serta sumber-sumber lain yang sah dan tidak
mengikat. Pun demikian dengan program-program yang masuk dalam
kategori pencegahan juga memerlukan pembiayaan.
40

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
FASILITASI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA
Dalam rangka penyusunan peraturan daerah, diperlukan upaya
harmonisasi secara vertikal dan horisontal terhadap peraturan perundang-
undangan terkait, hal ini ditujukan sebagai upaya untuk mengantisipasi
terjadinya tumpang tindih pengaturan dan agar peraturan daerah yang akan
dibentuk tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada
di atasnya. Lebih daripada itu, hasil dari penjelasan evaluasi dan analisis
peraturan perundang-undangan ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan
filosofis dan yuridis dari pembentukan peraturan daerah yang akan dibentuk.
41

Terkait dengan pembentukan peraturan daerah tentang pencegahan dan


penanggulangan penyalahgunaan narkotika, maka peraturan perundang-
undangan yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dalam konstitusi memang tidak ada pasal yang terkait secara langsung
terkait dengan penyalahgunaan narkotika, akan tetapi spirit dan makna
yang terkandung dalam Pasal 28 H ayat (1) yang menyebutkan bahwa
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan” dan Pasal 34 ayat (3) yang menyebutkan
bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”, patut dikedepankan
dalam rangka pembentukan peraturan daerah tentang tentang pencegahan
dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika.
2. Undang-undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupatan Kutai Barat,
Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 175, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3839) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3962);
UU ini yang menjadi legitimasi bagi Pemerintah Kabupaten Kutai Timur
untuk menjalankan urusan-urusan berskala provinsi yang menjadi
kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235)
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5606);
Substansi dalam UU ini sangat diperlukan terkait dengan upaya preventif
dan represif dalam rangka pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan narkotika, mengingat bahwa penyalahgunaan narkotika
42

juga sudah mulai menghinggapi anak-anak, baik sebagai pelaku atau


korban.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi Dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4635);
Substansi UU ini sangat diperlukan dalam hal memberikan perlindungan
kepada korban penyalahgunaan narkotika yang melaporkan diri ke institusi
penerima wajib lapor.
5. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062);
UU tentang Narkotika ini menjadi peraturan yang wajib untuk dimasukkan
sebagai konsideran mengingat peraturan daerah tentang pencegahan dan
penanggulangan penyalahgunaan narkotika. Bahan-bahan yang
dikategorikan sebagai narkotika terdapat dalam lampiran UU ini.
Pun demikian dengan pengaturan keberadaan Badan Narkotika Nasional,
baik di tingkat pusat maupun daerah yang terdapat dalam UU ini.
6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan
Lembaran Republik Indonesia Nomor 5063);
UU Kesehatan ini menjadi bagian dari upaya pencegahan penyalahgunaan
narkotika. Pasal 1 angka 11 menyebutkan bahwa “upaya kesehatan adalah
setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan
kesehatan oleh pemeritah dan/atau masyarakat”.
Dilanjutkan dengan ketentuan dalam Pasal 113 yang pada intinya
mengatur mengenai pengamanan, penggunaan, produksi, dan peredaran
bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standard dan/atau
persyaratan yang ditetapkan agar tidak menimbulkan kerugian bagi diri
sendiri dan/atau masyarakat.
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana terakhir kalinya diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
43

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun


2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587);
Pasal 12 ayat (1) huruf b UU ini memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan wajib
yang berkaitan dengan pelayanan dasar, yaitu kesehatan. Pun demikian
dengan huruf e dan huruf f yaitu terkait dengan ketenteraman, ketertiban
umum, dan pelindungan masyarakat serta sosial.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan
Wajib Lapor Pecandu Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5211);
Pengaturan dalam PP ini menjadi pedoman terkait tata cara pelaporan dan
rehabilitasi para pecandu narkotika dalam rangka penanggulangan
penyalahgunaan narkotika.
Pasal 2 PP ini menyebutkan bahwa Pengaturan Wajib Lapor Pecandu
Narkotika bertujuan untuk: a. memenuhi hak Pecandu Narkotika dalam
mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial; b. mengikutsertakan orang tua, wali, keluarga, dan
masyarakat dalam meningkatkan tanggung jawab terhadap Pecandu
Narkotika yang ada di bawah pengawasan dan bimbingannya; dan c.
memberikan bahan informasi bagi Pemerintah dalam menetapkan
kebijakan di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika.
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2415/Menkes/Per/XII/2011 Tentang Rehabilitasi Medis Pecandu,
Penyalahguna Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika;
Permenkes ini adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Pasal 13
ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan
Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
Dalam Permenkes ini diatur mengenai fasilitas dan tata cara rehabilitasi,
baik yang dimiliki oleh pemerintah/pemerintah daerah ataupun yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
10. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2012
Tentang Standar Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Dan Zat Adiktif Lainnya;
44

Pasal 4 menyebutkan bahwa Ruang Lingkup Peraturan ini meliputi: a.


standar lembaga; b. lingkup wilayah dan tipologi; c. syarat dan tatacara
pendaftaran lembaga rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan napza
dan perizinan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan napza asing; d.
kewenangan; e. pendanaan f. pelaporan; g. pembinaan dan pengawasan;
dan h. pemantauan dan evaluasi.
Pasal 52 menyebutkan bahwa Peraturan Menteri ini dibuat sebagai
Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang mengatur standar
lembaga rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA bagi
Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan
masyarakat dalam melaksanakan penanganan rehabilitasi sosial korban
penyalahgunaan NAPZA.
11. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012
Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan
Narkotika, Psikotropika, Dan Zat Adiktif Lainnya;
Jika Permensos Nomor 03 Tahun 2012 mengatur mengenai standar
lembaga rehabilitasi, maka Permensos ini mengatur mengenai standar
rehabilitasinya sebagaimana Pasal 42 menyebutkan bahwa Peraturan ini
dibuat sebagai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang mengatur
mengenai Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya yang menjadi acuan bagi
pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan
Penyalahgunaan Narkotika (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 352);
Berdasarkan Pasal 2 Permendagri 21/2013, Fasilitasi pencegahan
penyalahgunaan narkotika bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan
narkotika di daerah. Dilanjutkan pada Pasal 3 yang pada intinya
mengamanahkan kepada kepala daerah untuk melakukan fasilitasi
pencegahan penyalahgunaan narkotika di daerahnya melalui SKPD yang
terkait dengan pencegahan penyalahgunaan narkotika dan kegiatan
tersebut dikoordinasikan oleh SKPD yang membidangi urusan kesatuan
bangsa dan politik.
Adapun pengaturan yang lebih penting lagi terdapat pada Pasal 4 huruf
a, dimana Permendagri ini mengamanahkan kepada Kepala daerah
untuk menyusun peraturan daerah mengenai narkotika yang memuat
45

sekurang-kurangnya antisipasi dini, pencegahan, penanganan,


rehabilitasi, pendanaan, dan partisipasi masyarakat.
13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2014 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 415);
Permenkes ini mengubah Daftar Narkotika Golongan I dalam Lampiran I
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan
menambahkan jenis Narkotika Golongan I.
14. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014
Tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam
Lembaga Rehabilitasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 844);
Pasal 2 menyebutkan bahwa maksud dan tujuan peraturan ini adalah:
a. menjadi pedoman teknis penanganan terhadap Pecandu Narkotika
dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan
hukum yang telah ditetapkan sebagai Tersangka untuk dapat
menjalani rehabilitasi; dan
b. mengatur pelaksanaan penempatan Tersangka ke dalam lembaga
rehabilitasi sehingga dapat dilakukan secara tepat, transparan, dan
akuntabel, berdasarkan rekomendasi dari Tim Asesmen Terpadu
15. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 4 Tahun 2015
Tentang Tata Cara Peningkatan Kemampuan Lembaga Rehabilitasi
Medis dan Rehabilitasi Sosial yang Diselenggarakan Oleh
Pemerintah/ Pemerintah Daerah Maupun Masyarakat (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 770);
Pasal 2 menyebutkan bahwa maksud dan tujuan peraturan ini adalah:
a. Maksud peraturan ini adalah memberikan pedoman bagi lingkungan
BNN dalam peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah/pemerintah
daerah maupun masyarakat dan pedoman bagi lembaga dalam
menerima peningkatan kemampuan.
b. Tujuan peraturan ini adalah agar pelaksanaan peningkatan
kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial oleh
pemerintah/pemerintah daerah maupun masyarakat dapat
diselenggarakan secara efektif dan efisien serta akuntabel.
46

Urgensi dari peraturan ini adalah adanya kewajiban dari BNN untuk
melaksanakan peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah/pemerintah
daerah maupun masyarakat.
16. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia,
Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia
Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun
2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor Per-005/A/JA/03/2014, Nomor
1 Tahun 2014, Nomor Perber/01/III/2014/BNN Tentang Penanganan
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam
Lembaga Rehabilitasi;
Peraturan Bersama ini bertujuan untuk:
a. Mewujudkan koordinasi dan kerjasama secara optimal
penyelesaian permasalahan Narkotika dalam rangka menurunkan
jumlah Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika
melalui program pengobatan, perawatan, dan pemulihan dalam
penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau narapidana, dengan
tetap melaksanakan pemberantasan peredaran gelap Narkotika;
b. Menjadi pedoman teknis dalam penanganan Pecandu Narkotika
dan Korban Penyalahgunaan Narkotika sebagai tersangka,
terdakwa, atau narapidana untuk menjalani rehabilitasi medis
dan/atau rehabilitasi sosial;
c. Terlaksananya proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di
tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemidanaan
secara sinergis dan terpadu.
17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib Lapor dan
Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika
Permenkes ini merupakan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib Lapor dan
Rehabilitasi Medis bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika merupakan acuan bagi institusi penerima
wajib lapor dalam:
47

a. menyelenggarakan program wajib lapor dan/atau rehabilitasi


medis bagi pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan
narkotika baik yang datang secara sukarela, dalam proses
penyidikan, penuntutan, dan persidangan, maupun yang telah
mendapatkan penetapan/putusan pengadilan; dan
b. melakukan klaim pembiayaan.
18. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 7 Tahun 2017
tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika (Lembaran
Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2017 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 79);
Peraturan Daerah ini menjadi legitimasi Pemerintah Kabupaten Kutai
timur untuk melakukan Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.
19. Intruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018
tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekusor
Narkotika Tahun 2018-2019.
Intruksi Presiden (Inpres) ini menjadi petunjuk teknis aksi pencegahan,
Deteksi Dini Penyalahgunaan Narkotika dan Prekusor Narkotika,
Pengembangan Pendidikan Anti Narkotika dan Prekusor Narkotika,
Pemberdayaan Masyarakat dalam menangani Penyelahgunaan Narkotika,
Penguatan Pengawasan Pintu Masuk Narkotika di Daerah, Rehabilitasi,
dan Penanganan Penyalahgunaan Narkotika.

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
Dalam setiap peraturan perundang-undangan pasti terdapat alasan atau
landasan yang melatarbelakangi terbentuknya peraturan tersebut, demikian
juga terdapat landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis, sebagai dasar
tersusunnya peraturan daerah tentang pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan narkotika.
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
48

Terkait dengan pengaturan regulasi tingkat daerah tentang pencegahan


dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika, filosofi yang digunakan
adalah filosofi perlindungan. Pola pikir yang digunakan adalah bahwa pada
dasarnya setiap orang memiliki hak untuk melakukan apa saja atas hidupnya
dan bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukannya. Namun
demikian, tanggung jawab negara dalam melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia harus tetap terlaksana sedemikian rupa.
Maksudnya, apapun kondisi warga negara Indonesia, tetap tanggung jawab
dari negara Indonesia untuk selalu melindungi dan mengarahkan warga
negara Indonesia menjadi manusia-manusia yang mendapatkan keberkahan di
dunia dan akhirat nantinya dan menjadi manusia Indonesia sehat yang akan
membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Inilah yang menjadi landasan
filosofi dalam peraturan daerah tentang pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan narkotika. Negara harus hadir dalam upaya mencegah
jatuhnya negara ini akibat warga negaranya, khususnya generasi penerus di
masa depan (generasi muda), jatuh terjerumus dalam lubang suram yang akan
berdampak bagi masa depan dirinya sendiri dan masa depan negara
Indonesia.
B. Landasan Sosiologis
Data dan fakta bahwa angka prevalensi penyalahgunaan narkotika
yang cukup tinggi di Kabupaten Kutai Timur pada tahun 2016 menyebutkan
257 Kasus dengan jumlah tersangka 204 merupakan sebuah problematika
yang tidak bisa dianggap remeh dan merupakan situasi yang sangat
memprihatinkan serta dapat merugikan kelangsungan negara di masa
mendatang. Ditambah lagi dengan belum adanya Peraturan Daerah Kabupaten
Kutai Timur tentang fasilitasi pencegahan penyalahgunaan narkotika sebagai
tindak lanjut dari Permendagri 21/2013 membuat upaya pencegahan dan
penanggulangan penyalahgunaan narkotika di Kabupaten Kutai Timur belum
maksimal.
Keberadaan pengaturan di tingkat kabupaten tersebut menjadi
semakin penting mengingat Fasilitas penyelenggaraan penanggulangan
penyalahgunaan narkotika di Kabupaten Kutai Timur belum sesuai Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib Lapor dan Rehabilitasi Bagi Pecandu,
Penyalaguna dan Korban Penyalahguna Narkotika. Patut diketahui bahwa
hampir seluruh program rehabilitasi pecandu narkotika selalu diarahkan ke
Samarinda, dikarenakan kabupaten Kutai Timur belum memiliki fasilitas
49

untuk merehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika dan belum


terciptanya sinergitas antara instansi/badan/lembaga/dinas/institusi pusat di
daerah dengan instansi pemerintah daerah. Ditambah lagi dengan kesadaran
dan peran serta masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi
penyalahgunaan narkotika belum maksimal dan belum terpadu, serta masih
parsial.
Berangkat dari kondisi itulah diperlukan adanya upaya-upaya konkrit
dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika
yang dipayungi oleh sebuah peraturan daerah yang memfasilitasi pencegahan
dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis peraturan daerah ini dapat tercermin pada peraturan
perundang-undangan berikut ini:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-
Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 65,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1106);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235)
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5606);
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi Dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4635);
5. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062);
6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan
Lembaran Republik Indonesia Nomor 5063);
50

7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


sebagaimana terakhir kalinya diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587)
8. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan
Wajib Lapor Pecandu Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5211);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2415/Menkes/Per/XII/2011 Tentang Rehabilitasi Medis Pecandu,
Penyalahguna Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika;
10. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2012
Tentang Standar Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan
Narkotika, Psikotropika, Dan Zat Adiktif Lainnya;
11. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012
Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan
Narkotika, Psikotropika, Dan Zat Adiktif Lainnya;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan
Narkotika (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 352);
13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2014 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 415);
14. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014
Tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam
Lembaga Rehabilitasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 844);
15. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 4 Tahun 2015
Tentang Tata Cara Peningkatan Kemampuan Lembaga Rehabilitasi
Medis dan Rehabilitasi Sosial yang Diselenggarakan Oleh Pemerintah/
Pemerintah Daerah Maupun Masyarakat (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 770);
16. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia,
51

Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik


Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia
Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun
2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor Per-005/A/JA/03/2014, Nomor 1
Tahun 2014, Nomor Perber/01/III/2014/BNN Tentang Penanganan
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam
Lembaga Rehabilitasi;
17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib Lapor dan
Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika
18. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 7 Tahun 2017
tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika (Lembaran
Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2017 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 79);

BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH
A. Jangkauan Peraturan Daerah
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kabupaten Kutai Timur tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika ini, secara
umum menjangkau keseluruhan masyarakat yang ada di seluruh Kecamatan
yang berada di lingkungan Kabupaten Kutai Timur, tanpa terkecuali. Dengan
demikian, masyarakat dapat mengetahui bahwa Pemerintah Kabupaten Kutai
Timur memiliki kepedulian dan perhatian secara serius dalam rangka
mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkotika, yang artinya
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur berkomitmen untuk melaksanakan
52

tanggung jawabnya dalam melindungi masyarakat dan berkeinginan kuat


untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
Isi dari Raperda ini adalah untuk mengatur bentuk-bentuk tanggung
jawab dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan
narkotika yang dibebankan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai
Timur dan juga Kecamatan yang berada di lingkungan Kabupaten Kutai
Timur.
Adapun bentuk-bentuk tanggung jawab tersebut antara lain melakukan
fasilitasi pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika dalam
bentuk pencegahan, penanganan, rehabilitasi, pendanaan, dan pelibatan
masyarakat (partisipasi masyarakat).
B. Arah Pengaturan Peraturan Daerah
Arah pengaturan yang akan diwujudkan dalam Raperda Kabupaten
Kutai Timur tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkotika ini, adalah untuk memberikan jaminan dan kepastian
penyelenggaraan fasilitasi pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan
narkotika bagi Pemerintah Kabupaten Kutai Timur.
Selain itu, Raperda ini juga bertujuan untuk membangun sistem
penyelenggaraan fasilitasi pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan
narkotika yang komprehensif, terpadu, dan terintegrasi secara vertical dan
horizontal. Maksudnya adalah bahwa kegiatan fasilitasi ini tidaklah bisa
dikerjakan secara mandiri oleh pemerintah daerah saja, diperlukan kerjasama
baik sesama pemerintah daerah maupun dengan instansi vertical pemerintah
pusat, oleh karena itu, Raperda ini memberikan pedoman tentang tata cara
fasilitasi baik yang dilakukan oleh pemerintah daerah secara mandiri maupun
yang dilakukan bersama-sama dengan instansi/badan lain.
C. Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah
1. Alasan Pemilihan Judul
Judul Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kabupaten Kutai
Timur ini adalah tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkotika. Judul tersebut menjelaskan secara eksplisit
mengenai norma yang akan diatur dalam Peraturan Daerah tersebut.
Dalam hal ini menyangkut pengaturan terkait sistem penyelenggaraan
fasilitasi pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika.
Judul tersebut pada dasarnya merupakan turunan dari Permendagri
21/2013 pada Bab II yang mengatur fasilitasi pencegahan dan
penanggulangan.
53

2. Konsideran Menimbang
Konsideran menimbang merupakan bagian penting dalam struktur atau
anatomi perundang-undangan, termasuk dalam Peraturan Daerah.
Konsideran menimbang tersebut berisi dasar atau landasan filosofi dan
sosiologis, kenapa peraturan daerah tersebut harus dibuat, sehingga
konsideran menimbangnya adalah sebagai berikut:
a. bahwa tingkat penyalahgunaan Narkotika di masyarakat
Kabupaten Kutai Timur semakin tinggi, sehingga perlu dilakukan
pencegahan dan penanggulangan secara sistematis, terencana,
terstruktur dan partisipatif;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 21 Tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan
Penyalahgunaan Narkotika, Pemerintah Daerah diberikan
kewenangan untuk menyusun Peraturan Daerah mengenai
pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan Narkotika;
3. Konsideran Mengingat
Konsideran mengingat ini berisi aturan atau landasan hukum
yang terkait dengan pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Kutai
Timur tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkotika, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara Tahun 1956
Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1106);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235)
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5606);
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4635);
54

5. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 5062);
6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 5063);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana terakhir kalinya diubah dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5587)
8. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan
Wajib Lapor Pecandu Narkotika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5211);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2415/Menkes/Per/XII/2011 Tentang Rehabilitasi Medis Pecandu,
Penyalahguna Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika;
10. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 03 Tahun
2012 Tentang Standar Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Dan Zat Adiktif Lainnya;
11. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan
Narkotika, Psikotropika, Dan Zat Adiktif Lainnya;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan
Penyalahgunaan Narkotika (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 352);
13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2014 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 415);
14. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014
Tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke
55

Dalam Lembaga Rehabilitasi (Berita Negara Republik Indonesia


Tahun 2014 Nomor 844);
15. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 4 Tahun 2015
Tentang Tata Cara Peningkatan Kemampuan Lembaga Rehabilitasi
Medis dan Rehabilitasi Sosial yang Diselenggarakan Oleh
Pemerintah/ Pemerintah Daerah Maupun Masyarakat (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 770);
16. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik
Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional
Republik Indonesia Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun
2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor Per-
005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor
Perber/01/III/2014/BNN Tentang Penanganan Pecandu Narkotika
dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga
Rehabilitasi;
17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib Lapor dan
Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika
18. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 7 Tahun 2017
tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika
(Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2017 Nomor
7, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor
79).
4. Ketentuan Umum
Bagian ketentuan umum dalam Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Kutai Timur tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkotika ini, memuat rumusan dan telaah akademik
mengenai pengertian dan istilah yang mengacu pada definisi umum
baik dari peraturan perundang-undangan yang ada, maupun istilah
baku secara akademik, antara lain:
1. Daerah adalah Wilayah Kabupaten Kutai Timur.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewajiban daerah otonom.
56

3. Bupati adalah Bupati Kutai Timur.


4. Kabupaten adalah Kabupaten Kutai Timur.
5. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Kutai
Timur.
6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat
DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kutai
Timur.
7. Badan Narkotika Kabupaten yang selanjutnya disingkat BNK
adalah lembaga pemerintah non kementerian yang berkedudukan
di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui
koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
berada di Kabupaten Kutai Timur.
8. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintentis maupun semisintentis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
9. Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut Perangkat Daerah
Kabupaten Kutai Timur adalah unsur pembantu gubernut dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam
penyelenggaraan Urusan Pemerintah yang menjadi kewenagan
daerah Kabupaten/Kota yang tugas pokok dan fungsinya terkait
dengan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan
narkotika.
10. Fasilitasi adalah upaya pemerintah daerah dalam pencegahan
penyalahgunaan narkotika.
11. Penyalahgunaan adalah aktifitas atau kegiatan menggunakan
narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
12. Pencegahan adalah segala upaya, usaha atau tindakan yang
dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab yang bertujuan
untuk meniadakan dan/atau menghalangi faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya penyalahgunaan narkotika.
13. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa
hak atau melawan hukum.
14. Peredaran Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam
rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun
pemindahtanganan.
15. Peredaran Gelap Narkotika adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau
melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana
narkotika.
16. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan
secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan Narkotika.
17. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan
secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas
pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial
dalam kehidupan masyarakat.
57

18. Penanggulangan adalah upaya dalam mengatasi penyalahgunaan


narkotika dengan melibatkan peran serta masyarakat dan
pemangku kepentingan.
19. Penanganan adalah upaya untuk melakukan tindakan pemulihan
pada penyalahguna/pecandu narkotika melalui wajib lapor,
rehabilitasi, pasca rehabilitasi serta pembinaan dan pengawasan.
20. Ketergantungan adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan
untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan
takaran meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan
apabila penggunaannya dikurangi dan atau dihentikan secara
tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
21. Pecandu narkotika adalah korban yang menggunakan atau
menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan
pada narkotika baik secara fisik maupun psikis.
22. Institusi Penerima Wajib Lapor yang selanjutnya disingkat IPWL
adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk
oleh Pemerintah.
23. Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh
pecandu narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya,
dan/atau orangtua atau wali dari pecandu narkotika yang belum
cukup umur.
24. Satuan Pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, non formal dan
informal pada semua jenjang.
25. Rumah Kos adalah rumah atau kamar yang disediakan untuk
tempat tinggal dalam jangka waktu tertentu bagi seseorang atau
beberapa orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk
tempat tinggal keluarga, usaha hotel dan penginapan.
26. Asrama adalah rumah/tempat yang secara khusus disediakan,
yang dikelola oleh instansi/yayasan untuk di huni dengan
peraturan tertentu yang bersifat sosial di seluruh wilayah
Kabupaten Kutai Timur.
27. Tempat Usaha adalah ruang kantor, ruang penjualan, ruang
toko, ruang gudang, ruang penimbunan, pabrik, ruang terbuka
dan ruang lainnya yang digunakan untuk penyelenggaraan
perusahaan di seluruh wilayah Kabupaten Kutai Timur.
28. Hotel/Penginapan adalah bangunan khusus yang disediakan bagi
orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan,
dan atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk
bangunan lainnya, yang menyatu dikelola dan dimiliki oleh pihak
yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran di seluruh
wilayah Kabupaten Kutai Timur.
29. Badan Usaha adalah setiap badan hukum perusahaan yang
didirikan berdasarkan hukum Indonesia yang wilayah
kerjanya/operasionalnya berada dalam wilayah Kabupaten Kutai
Timur.
30. Media Massa adalah kanal, media, saluran atau sarana yang
dipergunakan dalam prosses komunikasi massa seperti media
massa cetak, media massa elektronik dan media sosial.
58

31. Sistem Informasi adalah media informasi dan data yang dibuat
secara terpadu dan berisi segala sesuatu yang menyangkut
aktifitas pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan
narkotika.

5. Asas dan Tujuan


Dalam peraturan daerah ini asas yang digunakan adalah asas-
asas sebagai berikut:
a. keadilan;
b. kepastian hukum;
c. kemanusiaan;
d. ketertiban dan keamanan;
e. perlindungan;
f. akuntabilitas;
g. partisipasi masyarakat; dan
h. kemitraan.

Adapun tujuan dari peraturan daerah ini adalah sebagai berikut:


a. untuk mengatur kelancaran pelaksanaan pencegahan dan
penanggulangan penyalahgunaan narkotika secara sistematis,
terencana, terstruktur dan partisipatif;
b. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman
penyalahgunaan narkotika;
c. membangun partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan penyalahgunaan narkotika.
6. Antisipasi Dini
Pengaturan antisipasi dini terkait dengan perencanaan-
perencanaan yang dilakukan oleh Pemerintah daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam rangka penyelenggaraan
pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika.
7. Pencegahan
Pengaturan upaya pencegahan pada perda ini antara lain
pengaturan mengenai:
a. Bentuk-bentuk upaya pencegahan (jenis kegiatan), seperti
penyuluhan, sosialisasi, penyebaran informasi, pemberdayaan
masyarakat dan lain-lain.
b. Media/saluran yang digunakan untuk upaya pencegahan, seperti
keluarga, satuan pendidikan, organ negara, badan usaha, tempat
hiburan, dan lain-lain.
8. Penanganan dan Penanggulangan
59

Pada bagian ini diatur hal-hal yang terkait dengan sistem upaya
penanganan dan penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika
dan peredaran gelap narkotika.
9. Rehabilitasi
Merujuk pada UU Narkotika dan Permendagri 21/2013, maka
pengaturan rehabilitasi pada perda ini akan terkait dengan sistem
penyelenggaraan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
10. Pasca Rehabilitasi
Pada bagian ini diatur mengenai program pasca rehabilitasi, yaitu
program pembinaan dan pengawasan serta pendampingan
berkelanjutan dengan mengikutsertakan masyarakat terhadap
pecandu narkotika yang telah selesai menjalani rehabilitasi.
11. Pendanaan
Pendanaan penyelenggaran fasilitasi pencegahan dan
penanggulangan penyalahgunaan narkotika berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Provinsi, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota serta sumber-sumber lain yang sah dan tidak
mengikat.
12. Kemitraan dan Jejaring
Pada bagian ini pengaturannya focus pada kemitraan dan jejaring
antar instansi/badan/lembaga dalam rangka koordinasi
penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan
narkotika.
Adapun unsur-unsur yang terlibat dalam kemitraan dan jejaring
ini adalah Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, Lembaga Pemerintah di Daerah, dan lembaga
keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat,
organisasi kepemudaan.
13. Sistem Informasi
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan narkotika akan lebih efektif jika menggunakan
sistem informasi yang integral dan terpadu untuk mendukung
operasi dan manajemen pengelolaan. Pengaturan sistem informasi
pada perda ini terkait dengan ketersediaan data, teknologi, dan
lembaga yang berwenang untuk menyediakan data.
14. Partisipasi Masyarakat
60

Pada bagian ini diatur mengenai urgensi dari partispasi


masyarakat, hak dan kewajiban masyarakat, dan bentuk-bentuk
partisipasi masyarakat dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan penyalahgunaan narkotika.
15. Pelaporan, Monitoring dan Evaluasi
Pada bagian ini diatur mengenai pelaporan data/informasi
pecandu narkotika.
16. Pembinaan dan Pengawasan
Pengaturan pada bagian ini adalah kewenangan Gubernur dan
Bupati/Walikota sebagai kepala daerah untuk melakukan pembinaan
dan pengawasan penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan narkotika.
17. Ketentuan Sanksi
Dalam perda ini sanksi yang diberikan adalah sanksi administratif
yang diberikan kepada personal dari dinas/badan/lembaga/instansi
yang melanggar kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan dalam
perda ini. Bentuk sanksi administrasi tersebut adalah teguran
tertulis, denda, ganti rugi, pencabutan izin, dan pembekuan izin.
Sanksi pembekuan dan pencabutan izin dikenakan kepada
lembaga masyarakat yang berpartisipasi dalam penyelenggaraan
pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang
tidak memenuhi kriteria atau standart penyelenggaraan yang telah
ditetapkan.
18. Ketentuan Penutup
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Daerah Kabupaten Kutai Timur.
19. Penjelasan
Bagian penjelasan dalam Peraturan Daerah tentang Pencegahan
dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika ini, terdiri atas:
Pertama, bagian umum yang menjelaskan maksud dan tujuan
pembentukan peraturan daerah ini, baik secara filosofis maupun
secara sosiologis. Dengan demikian dapat ditemukan makna pokok
yang terkandung dalam peraturan daerah tersebut. Kedua, bagian
penjelasan pasal demi pasal. Dimana bagian ini merupakan
penjabaran terkait hal-hal yang belum dijelaskan secara utuh dalam
61

setiap pasal-pasal yang ada dalam peraturan daerah. Dengan


demikian, kesalahan penafsiran terhadap setiap norma di dalamnya,
dapat dihindari.

BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, hasil FGD, dan penelusuran bahan-bahan
hukum dan dokumen-dokumen pendukung, maka simpulan yang dapat
diambil adalah sebagai berikut:
1. Permasalahan yang terjadi terkait dengan fasilitasi pencegahan dan
penanggulangan penyalahgunaan narkotika di Kabupaten Kutai Timur
adalah: a) Tingginya angka kasus narkotika yang ditangani oleh
Ditresnarkoba Kabupaten Kutai Timur, b) belum adanya Peraturan Daerah
Kabupaten Kutai Timur tentang fasilitasi pencegahan penyalahgunaan
narkotika sebagai tindak lanjut dari Permendagri 21/2013, c) Fasilitas
penyelenggaraan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di
Kabupaten Kutai Timur belum sesuai Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Wajib Lapor dan Rehabilitasi Bagi Pecandu, Penyalaguna dan
62

Korban Penyalahguna Narkotika, d) belum terciptanya sinergitas antara


instansi/badan/lembaga/dinas/institusi pusat di daerah dengan instansi
pemerintah daerah. Program yang dibuat tampak sporadic dan belum
terintegrasi antara satu dengan lainnya. Persoalan ini salah satunya
dikarenakan belum adanya sebuah sistem informasi dan basis data yang
terintegrasi di samping persoalan masih adanya faktor ego sektoral, dan e)
kesadaran dan peran serta masyarakat dalam mencegah dan
menanggulangi penyalahgunaan narkotika belum maksimal dan belum
terpadu, serta masih parsial.
2. Adapun cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi berbagai
permasalahan tersebut adalah adanya payung hukum yang jelas, tegas,
komprehensif, integral, dan terpadu dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan penyalahgunaan narkotika.
Keberadaan payung hukum tersebut merupakan sebuah keharusan,
mengingat penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan narkotika ini dilakukan oleh berbagai macam
instansi/dinas/badan/lembaga/organisasi tingkat daerah maupun tingkat
pusat yang ada di daerah bersama-sama dengan unsur masyarakat. Tanpa
adanya instrument hukum yang mengikat para pihak tersebut, sulit
rasanya terdapat fasilitas yang mumpuni dan tercipta kerjasama yang baik
dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkotika di
Kabupaten Kutai Timur.
3. Perlindungan manusia adalah filosofi utama dari disusunnya peraturan
daerah ini. Pola pikir yang digunakan adalah bahwa pada dasarnya setiap
orang memiliki hak untuk melakukan apa saja atas hidupnya dan
bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukannya. Namun
demikian, tanggung jawab negara dalam melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia harus tetap terlaksana
sedemikian rupa. Maksudnya, apapun kondisi warga negara Indonesia,
tetap tanggung jawab dari negara Indonesia untuk selalu melindungi dan
mengarahkan warga negara Indonesia menjadi manusia-manusia yang
mendapatkan keberkahan di dunia dan akhirat nantinya dan menjadi
manusia Indonesia sehat yang akan membawa bangsa ini ke arah yang
lebih baik.
Adapun yang menjadi landasan sosiologis adalah data dan fakta bahwa
angka prevalensi penyalahgunaan narkotika yang cukup tinggi di
Kabupaten Kutai Timur yaitu Tingginya angka kasus narkotika yang
63

ditangani oleh Ditresnarkoba Kabupaten Kutai Timur, dari hasil operasi


penangkapan yang dilakukan Ditresnarkoba Kabupaten Kutai Timur ada
257 Kasus dengan jumlah tersangka 204. Hal ini menjadi sebuah
problematika yang perlu mendapatkan perhatian sangat serius dari semua
elemen yang ada di wilayah Kabupaten Kutai Timur. Ditambah lagi dengan
belum adanya Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Timur tentang fasilitasi
pencegahan penyalahgunaan narkotika sebagai tindak lanjut dari
Permendagri 21/2013 membuat upaya pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan narkotika di Kabupaten Kutai Timur belum maksimal.
Minimnya jumlah fasilitas, sarana, dan prasarana penyelenggaraan
penanggulangan penyalahgunaan narkotika di semua lingkungan
Kabupaten Kutai Timur dan belum terciptanya sinergitas antara
instansi/badan/lembaga/dinas/institusi pusat di daerah dengan instansi
pemerintah daerah menjadi persoalan tersendiri, ditambah lagi dengan
kesadaran dan peran serta masyarakat dalam mencegah dan
menanggulangi penyalahgunaan narkotika belum maksimal dan belum
terpadu, serta masih parsial.
Adapun yang menjadi landasan yuridisnya adalah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara
Tahun 1956 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1106);
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606); Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
Dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635); Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062); Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor
64

5063); Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah sebagaimana terakhir kalinya diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587);
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib
Lapor Pecandu Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5211); Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2415/Menkes/Per/XII/2011 Tentang Rehabilitasi Medis Pecandu,
Penyalahguna Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika; Peraturan Menteri
Sosial Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2012 Tentang Standar
Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika, Dan Zat Adiktif Lainnya; Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Dan Zat Adiktif Lainnya;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan
Narkotika (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 352);
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014
tentang Perubahan Penggolongan Narkotika (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 415); Peraturan Kepala Badan Narkotika
Nasional Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Penanganan Tersangka
dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 844); Peraturan Kepala Badan Narkotika
Nasional Nomor 4 Tahun 2015
Tentang Tata Cara Peningkatan Kemampuan Lembaga Rehabilitasi Medis
dan Rehabilitasi Sosial yang Diselenggarakan Oleh Pemerintah/
Pemerintah Daerah Maupun Masyarakat (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 770); Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik
Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia
Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun
2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor Per-005/A/JA/03/2014, Nomor 1
65

Tahun 2014, Nomor Perber/01/III/2014/BNN Tentang Penanganan


Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam
Lembaga Rehabilitasi; Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 50 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib Lapor
dan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika; Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan
Narkotika (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2017
Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor
79).
4. Sasaran, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan yang
terdapat dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Timur
tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika
adalah pengaturan mengenai antisipasi dini, pencegahan, penanganan,
rehabilitasi, pasca rehabilitasi, pendanaan, kemitraan dan jejaring, sistem
informasi, partisipasi masyarakat, pelaporan, monitoring dan evaluasi, dan
pembinaan dan pengawasan.
B. Saran
Memperhatikan perkembangan penyalahgunaan narkotika di wilayah
Kabupaten Kutai Timur yang semakin memprihatinkan dan dalam rangka
memenuhi amanah Permendagri 21/2013, status yang diberikan terhadap
Rancangan Peraturan Daerah ini adalah urgent, artinya harus segera dibahas,
disahkan, dan diberlakukan tahun 2016.
Adapun untuk nama dari rancangan peraturan daerah ini, disesuaikan
dengan materi muatannya adalah “Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Timur
tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika”.
66

DAFTAR PUSTAKA

LITERATUR DAN DOKUMEN


Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2012, Modul Untuk Orang tua:
Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati, BNN Republik
Indonesia, Jakarta.

Badan Narkotika Nasional, 2011, Kebijakan dan Strategi Nasional di Bidang


P4GN, BNN RI, Jakarta.

Badan Narkotika Nasional, 2010, Petunjuk Teknis Advokasi Bidang


Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Lambaga/Instansi,
BNN RI, Jakarta.

Dokumen Press Release Akhir Tahun 2015 Badan Narkotika Nasional.

Dokumen Laporan Kinerja Badan Narkotika Nasional Tahun 2015.

Dirdjosisworo, Soedjono, 1985, Bunga Rampai Kriminologi Kumpulan Karangan


dan Hasil Penelitian, ARMICO, Bandung.

Ghani, H. Ikin A dan Chanif, Abu, 1997, Bahaya Penyalahgunaan Narkotika


dan Penanggulangannya, Yayasan Bina Taruna, Jakarta.

Hawari, Dadang, 2009, Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA, Balai


Penerbitan FKUI, Jakarta.
67

Siswanto, 2012, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika, Rineka Cipta,


Jakarta.

Sunarso, Siswantoro, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika, Rajawali Press,


Jakarta.

Suyabrata, Sumadi, 1993, Psikologi Pendidikan, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.

Soeparman, Herman, 2000, Narkoba Telah Merubah Rumah Kami Menjadi


Neraka, Departemen Pendidikan Nasional-Dirjen Dikti, Jakarta.

Tawil, Madjid H.A, 2010, Penyalahgunaan Narkoba dan Penanggulangannya,


BNPJATIM, Surabaya

ARTIKEL DAN WEBSITE


Artikel, Data Jurnal P4GN tahun 2012, BNN Provinsi Kalimantan Timur,
website :
http://www.bnn.go.id/portal/konten/detail/humas/pressrelease/
12161/bangun-budaya-merehabilitasi-pengguna-narkoba.

Artikel, Penyalahgunaan Narkotika, web id.wikipedia.org/wiki/Narkoba.

Artikel, Pencegahan Narkotika


https://jurnalsrigunting.wordpress.com/tag/teori-pencegahan-
kejahatan/.

Artikel http://kaltim.antaranews.com/berita/29810/menghadang-peredaran-
narkoba-di-kaltim,

Artikel, Perencanaan Pembanguanan Berwawasan Anti Narkoba,


Indonesiabergegas.bnn.go.id/index/en Materi biro perencanaan
http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:fzswbXWNxlIJ:indonesiabergegas.bnn.go.id/index.php/en
/download/category/57-materi-biro perencanaan%3Fdownload
%3D102:materi-biro-perencanaan+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id

Artikelhttp://www.timesindonesia.co.id/baca/119043/20160224/164744/jok
owi-narkoba-ranking-pertama-masalah-indonesia

Artikel http://www.antaranews.com/berita/474528/bnn-transaksi-narkoba-
indonesia-tertinggi-se-asean

Artikel “Buwas: Pengguna Narkoba di Indonesia Meningkat hingga 5,9 Juta


Orang”
http://regional.kompas.com/read/2016/01/11/14313191/Buwas
.Pengguna.Narkoba.di.Indonesia.Meningkat.hingga.5.9.Juta.Orang

Artikel http://news.metrotvnews.com/read/2015/03/09/368451/ini-10-
besar-tingkat-pengguna-narkotika-di-indonesia dan
http://m.tempo.co/read/news/2015/06/26/063678653/ini-dia-
5-provinsi-paling-rawan-narkoba

Artikel http://kaltim.antaranews.com/berita/29810/menghadang-peredaran-
narkoba-di-kaltim
68

Atikel, BNN dukung lembaga rehabilitasi masyarakat,


http://bnn.go.id/portal/konten/detail/humas/berita/11256/bnn
-dukung-lembaga-rehabilitasi-komponen-masyarakat-di-makassar

Artikel, http://www.kompasiana.com/lannang/ipwl-instansi-penerima-wajib-
lapor_54f76a07a3331189338b47e2

Kamus Besar Bahasa Indonesia, website http://kamusbahasaindonesia.org/,

Anda mungkin juga menyukai