Anda di halaman 1dari 5

Hukum Sembelihan 2 (Dua Kali)

Oleh : Wayer Haris Sauntiri

Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Beberapa waktu yang lalu, saya pernah ditanya tentang bagaimana hukum daging hewan
yang disembelih dua kali, maka dengan keterbatasan ilmu yang saya miliki pada waktu itu,
maka jawaban saya adalah “Insyaa Allah halal” dengan argumen/ hujjah bahwa saya pernah
membaca sebuah hadits shahih yang menyatakan bahwa seorang muslim boleh memakan
sembelihan ahlul kitab (Yahudi dan Nashara), dan bila kita ragu apakah sembelihan tersebut
dibacakan nama Allah atau tidak, maka cara “menyembelihnya” adalah dengan membaca
nama Allah ketika hendak memakannya. Apatah lagi bila hewan tersebut disembelih oleh
seorang muslim dan padanya disebutkan nama Allah. Pertanyaan tersebut muncul karena
adanya kejadian sembelihan dua kali dalam suatu hajatan dan menurut keyakinan sebagian
masyarakat disana bahwa hukum daging hewan yang disembelih dua kali adalah haram
mereka berhujjah dengan sebuah pernyataan dalam sebuah kitab yang ditulis bukan oleh
ulama terkenal bahkan saya katakan majhul/asing dikalangan ahlul ‘ilmi, sehingga
kitabnyapun merupakan kitab yang tidak dikenal. Dan yang dimaksud dengan sembelihan dua
kali disini adalah ketika melakukan sembelihan tiba-tiba alat sembelihan terjatuh dan
penyembelih mengambil ulang alat sembelihan dan melanjutkan sembelihan tersebut. Maka
setelah memperoleh tambahan ilmu mengenai masalah ini, maka saya merasa perlu untuk
memberikan penjelasan guna meluruskan kesalahpahaman kaum muslimin terhadap
permasalahan ini, sehingga kita tidak terjatuh pada persoalan ghulluw/berlebih-lebihan dalam
beragama. Berikut uraiannya:

Suatu sembelihan dihukumi halal bila dalam sembelihan tersebut memenuhi syarat-syarat
sembelihan sebagai berikut:

1. Syarat orang yang menyembelih.


a. Berakal dan sudah Tamyiz
b. Penganut Agama Samawi (beragama Islam, Yahudi atau Nashara), dalil tentang
halalnya sembelihan ahlul kitab adalah:
- Dalam al- Qur’an Surah al- Maa’idah ayat 5 Allah SWT berfirman yang artinya:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahlul
Kitab”. Al- Imam al- Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab Tafsirnya (Tafsir
Ibnu Katsir) berkata yang dimaksud dengan “Makanan” dalam ayat ini (Al-
Maa’idah ayat: 5) adalah sembelihan ahlul kitab. Beliau mengatakan bahwa hal
tersebut merupakan penafsiran dari Ibnu Abbas r.a dan Abu Umamah al- Bahili r.a
dari kalangan sahabat serta Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Ikrimah, Atha’ bin Yasir,
Al- Hasan, Makhul, Ibrahim an- Nakha’I, as- Sa’di dan Muqatil bin Hayyan dari
kalangan tabi’in.
- Dalam hadits ‘Aisyah r.a disebutkan: Artinya: “Bahwa ada suatu kaum bertanya
kepada Nabi SAW: “Ada suatu kaum membawa daging kepada kami yang tidak
kami ketahui, apakah mereka menyebut nama Allah atau tidak, maka beliau SAW
menjawab: “Sebutkanlah nama Allah padanya dan makanlah” (H.R Imam Bukhari,
tercantum dalam kitab Bulughul Marom No. 1.363).
- Dari sahabat Rafi’ bin Khodij r.a: Rasulullah SAW bersabda: ”Apa yang dapat
menumpahkan darah dengan diiringi sebutan nama Allah, maka makanlah. Selain
gigi dan kuku. Sebab gigi adalah tulang dan kuku adalah pisau bangsa Habasyah
(Ethiopia)” (HR: Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah No. 3.187, at- Tirmidzi No. 1491
dan Bulughul Marom No. 1367).
- Adapun menggunakan bejana (alat-alat rumah tangga) orang-orang musyrik dan
ahlul kitab diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dengan syarat dicuci terlebih dahulu
sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat at- Tirmidzi No. 715, al- Albani
dalam kitab Irwa’ al- Ghaliil No. 37, Bukhari dan Muslim yang bersumber dari
sahabat Abu Tsa’labah al- Kasyani r.a dan ‘Abdullah bin Amru:

،‫ اَل تَ ْألُك ُ ْوا ِفهْي َ ا اَّل َأ ْن اَل جَت ِ دُ ْوا غَرْي َ َه ا‬:‫ َأفَنَْألُك ُ يِف ْ ٓاِنيَهِت ِ ْم؟ قَ ا َل‬،‫هْل ِك َت ِاب‬
ِ ‫هللا! اَّن ِب َأ ْر ِض قَ ْو ِم َأ‬ِ ‫اَي َر ُس ْو َل‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ مُث َّ لُك ُ ْوا ِفهْي َا‬،‫فَا ْغ ِسلُ ْوهَا‬
“Wahai Rasulullah ! Kami berada di perkampungan Ahli Kitab, apakah boleh kami
makan dengan tempat mereka?” Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian
makan dengannya, kecuali kalian tidak mendapatkan yang lain. Cucilah dahulu,
barulah makan dengannya”
c. Tidak sedang ihram
d. Adanya niat untuk dimakan dan membaca bismillah dengan lisan. Membaca bismillah
ketika menyembelih dihukumi wajib oleh Imam Hanafi, Malik dan Hambali sementara
menurut Imam Syafi’I hukumnya sunnah. Namun apabila kita lupa membaca bismillah
maka terdapat beberapa pendapat untuk masalah ini:
- Sembelihan tidak sah dan dagingnya haram, mereka berdalilkan dengan surah al-
An’am ayat 121, namun berdalilkan dengan ayat ini, tidaklah benar sebab hukum
ayat ini telah dinasakh (dihapus hukumnya) oleh surah al- Maa’idah ayat 5 yang
telah berlalu pembahasannya.
- Sembelihannya sah dan dagingnya halal dimakan. Mereka yang berpendapat
seperti ini berdalilkan dengan:
 hadits ‘Aisyah r.a yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu Hajar dalam
kitab Bulughul Marom No. 1363.
 Rasulullah SAW bersabda: Artinya : “Allah meletakkan pena (tidak
menghukum) umatku karena salah atau lupa dan karena dipaksa" [HR ath-
Thahawi dalam kitab Syarhu Ma'anil Atsar Juz 2 hal 56, Al-Hakim Juz 2
hal.198, Ibnu Hazm dalam kitab Al-Ihkam Juz 5 hal. 149, Ad-Daruquthni 4/171
dari dua jalan yaitu dari Al-Auza'i dari Atha' bin Abi Rabah dari Ubaid bin Umar,
dari Ibnu Abbas, sanadnya Shahih, dikutip dari Kitab Shifat Shaum Nabi SAW
karya Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid al- Halabi al- Atsari dan Syaikh
Salim bin Ied al- Hilaly]
 Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Orang muslim itu cukup dengan namanya. Bila ia lupa menyebut
(nama Allah) ketika menyembelih, hendaknya ia menyebut nama Allah
sebelum makan, kemudian memakannya." (HR Daruquthni dan dalam
sanadnya ada seorang perawi yang lemah hafalannya, bernama Muhammad
Ibnu Yazid Ibnu Sinad. Ia seorang yang jujur, namun lemah hafalannya),
Abdurrazaq juga meriwayatkannya dengan sanad shahih hingga Ibnu Abbas
yang mauquf padanya. Ada hadits saksi riwayat Abu Dawud dalam hadits
mursalnya dengan lafadz: "Sembelihan orang muslim adalah halal, ia
menyebut nama Allah atau tidak." Para perawinya dapat dipercaya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari tiga hadits ini adalah secara makna dapat
dihukumi sebagai hadits hasan, atau paling tidak hasan lighoirihi, dengan
asumsi pada hadits pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
lemah hafalannya, tetapi jujur dan haditsnya diperkuat oleh hadits bersanad
shahih mauquf yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq serta hadits mursal yang
diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah,
Sehingga dari hadits-hadits diatas dapat diambil suatu kesimpulan hukum
bahwa apabila seseorang lupa menyebut nama Allah ketika menyembelih,
maka sembelihannya sah dan halal. Adapun untuk mereka yang dengan
sengaja tidak menyebut nama Allah ketika menyembelih, maka saya pribadi
dengan keterbatasan ilmu yang saya miliki, belum berani membuat kesimpulan
hukum.
2. Syarat alat untuk menyembelih
a. Tajam dan bisa memotong
b. Bukan alat yang terbuat dari kuku, gigi dan tulang dengan dalil yang telah berlalu
dalam pembahasan diatas.
3. Syarat hewan yang disembelih
a. Termasuk hewan yang halal untuk disembelih.
- Terpotong pada bagian leher yang harus dipotong pad sembelihan normal. Syaikh
Abdul Aziz bin Baz menyebutkan bahwa penyembelihan yang sesuai syariat itu ada
tiga keadaan (dinukil dari Shalatul idain karya Syaikh Sa’id Wahf Al Qahthani):
- Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher. Ini adalah keadaan
yang terbaik. Jika terputus empat hal ini maka sembelihannya halal menurut
semua ulama.
- Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan salah satu urat leher.
Sembelihannya benar, halal, dan boleh dimakan, meskipun keadaan ini derajatnya
di bawah kondisi yang pertama.
- Terputusnya tenggorokan dan kerongkongan saja, tanpa dua urat leher. Sebagian
ulama berpendapat bahwa sembelihannya halal. Ini merupakan pendapat yang
lebih kuat dalam masalah ini. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW, ”Apa yang dapat
menumpahkan darah dengan diiringi sebutan nama Allah, maka makanlah. Selain
gigi dan kuku. Sebab gigi adalah tulang dan kuku adalah pisau bangsa Habasyah
(Ethiopia)” (HR: Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah No. 3.187, at- Tirmidzi No. 1491
dan Bulughul Marom No. 1367).
Apabila ketiga syarat tersebut diatas telah terpenuhi, maka suatu sembelihan dikatakan sah
dan dagingnya halal untuk dimakan, maka apabila terjadi 2 kali atau lebih sembelihan
terhadap hewan maka para ulama’ membaginya menjadi 3 kemungkinan:

1. Jika terjadi sembelihan 2 kali disebabkan keadaan darurat, seperti pisau terlepas secara
tidak sengaja, maka sembelihan itu sah secara Ijma’ dengan sebagian ulama’
mensyaratkan ketika dilakukan sembelihan kali kedua hewan masih dalam keadaan hayat
mustaqirrah.
2. Jika terjadi sembelihan dua kali tanpa sebab darurat dan sembelihan kedua dilakukan
sejurus (segera) setelahnya, maka terdapat khilaf dikalangan ahlul ilmi, namun yang kuat
untuk masalah ini adalah sembelihan tersebut sah dan halal.
3. Jika terjadi sembelihan dua kali karena hewan yang disembelih tersebut lepas dan masih
kuat maka terdapat perselisihan dikalangan ulama. namun yang kuat menurut kami
adalah sembelihan tersebut sah dan halal jika diyakini bahwa hewan tersebut merupakan
sembelihan yang terlepas, dan yang mendasari pendapat kami adalah keumuman hadits
Nabi SAW, ”Apa yang dapat menumpahkan darah dengan diiringi sebutan nama Allah,
maka makanlah. Selain gigi dan kuku. Sebab gigi adalah tulang dan kuku adalah pisau
bangsa Habasyah (Ethiopia)” (HR: Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah No. 3.187, at- Tirmidzi
No. 1491 dan Bulughul Marom No. 1367).

Maka sebagai seorang muslim, hendaknya kita membangun amalan dan I’tiqod kita
berdasarkan dalil bukan berdasarkan prasangka semata, memang berhati-hati terhadap suatu
permasalahan sangat dianjurkan namun kita harus memilah-milah pada perkara mana hal
tersebut pantas kita lakukan dan pada hal mana tidak kita lakukan. Jangan sampai kita
tergolong sebagai orang-orang yang menghalalkan perkara yang haram ataupun
mengharamkan perkara yang halal berdasarkan prasangka semata, yang dapat menyebabkan
kita terjatuh pada perkara ghulluw/berlebih-lebihan dalam beragama.

Sebagai penutup kami nukilkan beberapa riwayat yang mungkin dapat sedikit merubah cara
pandang kita terhadap pendalilan:

1. Dari Sahabat Abdullah bin Abbas r.a (Ibnu Abbas): Rasulullah SAW bersabda:
“Jauhkanlah diri kalian dari sikap ghulluw (berlebih-lebihan) dalam beragama,
karena sesungguhnya sikap ghulluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum
kalian” (HR. Ahmad Juz 1 hal. 215 dan 347, an- Nasa’i Juz. Hal 268, Ibnu Majjah
No. 3029, Ibnu Khuzaimah No. 2867).
2. “Dari Abu Tsalabah al- Kasyani r.a: Rasulullah SAW bersabda:”Sesunguhnya Allah
telah mewajibkan kewajiban-kewajiban Nya maka janganlah kamu
mempersempitnya dan Dia juga telah menentukan ketentuan-ketentuan Nya,
maka janganlah kamu melampauinya. Dia telah melarang bagimu berbagai hal,
maka janganlah kamu melanggarnya”.
3. Abdul ‘Aziz bin Al- Muthalib mengatakan dari Ibnu Mas’ud r.a : “Sesungguhnya
kamu sekalian jika kamu mengajarkan agama kamu dengan Qiyas, maka kamu
akan menghalalkan banyak hal yang diharamkan atas kamu dan mengharamkan
banyak hal yang telah dihalalkan atas kamu”
4. Asy- Sya’bi (seorang Tabi’in) berkata: “Jika kamu ditanya tentang suatu masalah
maka janganlah kamu mengqiyaskannya dengan sesuatu yang lain, karena
mungkin kamu kan mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu
yang haram”.

Demikianlah uraian singkat tentang masalah ini, semoga bermanfaat bagi penulis dan
pembaca sekalian, Wallahu Ta’ala A’lam Bish Showaab akhiiru da’waana ‘anil
hamdulillahi rabbil ‘alamiin

Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wa barakaatuh.

Kendari, 06 Shafar 1433 H


31 Desember 2011

Anda mungkin juga menyukai