Anda di halaman 1dari 21

TES ALERGI DAN PERKEMBANGANNYA

Pendahuluan

Alergi adalah suatu kelainan reaksi berlebih (hipersensitivitas) sistem imun


tubuh terhadap substansi spesifik (alergen) yang mengakibatkan kerusakan jaringan.1
Alergi merupakan penyebab penyakit kronis di Amerika Serikat, dimana terdapat
lebih dari 50 juta orang Amerika yang menderita alergi.2
Prevalensi penyakit alergi di seluruh dunia semakin meningkat secara
dramatis di negara maju dan negara berkembang. Faktor herediter merupakan
penyebab terpenting terjadinya penyakit alergi namun paparan lingkungan, infeksi,
dan kondisi psikis juga sering kali menjadi faktor pencetus.3
Reaksi alergi dapat bersifat akut, subakut, atau kronis, segera atau tertunda,
dan dapat disebabkan oleh berbagai alergen, seperti : serbuk sari, jamur, tungau
debu, bulu binatang, sengatan serangga, makanan dan obat-obatan. Diagnosis alergi
ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala yang dialami dan kemungkinan alergen
penyebab, pemeriksaan fisik untuk melihat gejala alergi yang tampak, dan apabila
masih terdapat keraguan harus dilakukan pemeriksaan penunjang berupa tes alergi.3,4
Tes alergi dikelompokkan menjadi metodologi in vivo dan in vitro. Tes
alergi dengan metode in vivo merupakan tes yang dilakukan pada tubuh, seperti : tes
alergi kulit seperti tes goresan (scratch test), tes tusuk (puncture test atau prick test),
tes intradermal (intrakutan) dan tes tempel (patch test), tes provokasi makanan. Tes
alergi dengan metode in vitro merupakan tes yang dilakukan di luar tubuh, dalam
metode laboratorium, contohnya tes darah untuk mendeteksi antibodi IgE spesifik
terhadap antigen tertentu.3,4,5

I. Pemeriksaan in vivo :
1. Tes kulit (skin test)
Indikasi tes kulit (skin test) digunakan untuk mendeteksi antibodi IgE
spesifik alergen inhalan, makanan, obat dan racun. Tes kulit merupakan
pemeriksaan yang paling banyak digunakan untuk mendiagnosis alergi, oleh
karena merupakan tes yang sederhana, memberikan hasil yang cepat, biaya yang
rendah dan sensitivitas yang tinggi (Tabel 1).8 Pemilihan alergen yang sesuai
tergantung pada gejala klinis.7,8

0
Tabel 1. Indikasi dan kontraindikasi tes kulit (*Dikutip sebagaimana aslinya
dari kepustakaan no.8)

Sebelum dilakukan tes kulit, pasien harus dievaluasi. Evaluasi ini bukan
hanya diperlukan untuk menetapkan kondisi pasien yang cenderung memiliki
dasar alergi tetapi juga untuk mengevaluasi pasien kemungkinan terjadi risiko
dari tes kulit.
Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi respon tes kulit, antara
lain : 8
a. Usia pasien
b. Titer IgE spesifik
c. Lokasi / area tes kulit : Punggung atas lebih reaktif daripada lengan
d. Kualitas ekstrak : tidak ada reagen standar untuk alergen
e. Terdapat dermatographism
f. Penggunaan obat :
 Antihistamin : Astemizol: 60 hari

1
Hydroxyzine: 3 hari
Antihistamin lainnya: 3 hari
 Antidepresan trisiklik: 5 hari
g. Penggunaan berkepanjangan kortikosteroid topikal
h. Teknik uji
Macam tes kulit untuk mendiagnosis alergi :7
A. Skin Prick Test (SPT) : biasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh karena
alergen inhalan, makanan atau racun gigitan serangga.
B. Intradermal Testing (IDT) : biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa
serangga
C. Patch Testing (epicutaneus test) : biasanya untuk melakukan tes pada
dermatitis kontak

Tes kulit secara luas digunakan untuk mendiagnosis alergi inhalan dan juga
alergi terhadap makanan, racun, agen pekerjaan dan obat (Tabel 2).
Tabel 2. Perbedaan indikasi tes kulit dalam mendiagnosis alergi. (*Dikutip
sebagaimana aslinya dari kepustakaan no.6)

A. Skin Prick Test

2
Tehnik ini digambarkan dimana satu tetesan konsentrat antigen ke
dalam kulit, kemudian jarum steril 26 G melalui tetesan tadi ditusukkan ke
dalam kulit bagian superfisial sehingga tidak berdarah. Variasi dari tes ini
adalah dengan menggunakan applikator sekali pakai dengan delapan mata
jarum yang bisa digunakan. Digunakan secara simultan dengan 6 antigen dan
kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (glyserin).7,9
Prick test merupakan cara cepat untuk menyeleksi antigen yang banyak.
Jika pasien mempunyai riwayat yang positif dan prick test menunjukkan
hasil yang negatif, maka pemeriksa harus menggabungkan prosedur dengan
pemeriksaan tes intradermal.11
Persiapan penderita :10
a. Menghentikan pengobatan antihistamin 3 hari sebelum tes atau 5-7
hari sebelum tes.
b. Menghentikan pengobatan lain seperti trisiklik antidepressant,
stabilizer sel mast, ranitidin, anti muntah atau beta bloker,
antihistamin topikal, krim imunomodulator dan topikal steroid
minimal 7 hari sebelum tes.
c. Usia : bayi dan usia lanjut tes kulit kurang memberikan reaksi,
walaupun sebenarnya tes ini tidak mempunyai batasan umur.
d. Penderita dengan keganasan, limfoma, sarkoidosis, diabetes neuropati
dapat terjadi penurunan reaktivitas terhadap tes kulit.

Prosedur Prick Test :10


Prick Test atau tes cukit sering kali dilakukan pada bagian volar
lengan bawah. Pertama dilakukan desinfeksi dengan alkohol pada area volar
dan ditandai area yang akan ditetesi dengan ekstrak alergen. Tanda yang
diberikan mempunyai jarak antara satu dengan yang lain sekitar 2-3 cm.
Ekstrak alergen diteteskan satu tetes larutan alergen (histamine/control
positif) dan larutan kontrol (buffer/control negative) menggunakan jarum
ukuran 26 ½ G atau 27 G atau blood lancet.7,8
Kemudian dicukitkan dengan sudut kemiringan 450 menembus
lapisan epidermis dengan ujung jarum menghadap ke atas tanpa
menimbulkan perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan sejumlah alergen

3
memasuki kulit. Tes dibaca setelah 15 – 20 menit dengan menilai bentol yang
timbul.12
Untuk menilai pemeriksaan prick test dilakukan pengukuran bentol
berdasarkan The Standardization Committee of Northern (Scandinavian)
Society of Allergology dengan membandingkan bentol yang timbul akibat
alergen dengan bentol positif histamin dan bentol negatif larutan kontrol.
Adapun penilaiannya sebagai berikut :12,13
• Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)
• Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)
• Derajat bentol + (+1) dan ++(+2) digunakan bila bentol yang timbul
besarnya antara bentol histamin dan larutan kontrol.
• Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bentol
histamin dinilai ++++ (+4).
Kesalahan yang sering terjadi pada Skin Prick Test 8
a. Tes dilakukan pada jarak yang sangat berdekatan ( < 2 cm )
b. Terjadi perdarahan yang memungkinkan terjadi false positive.
c. Teknik cukitan yang kurang benar sehingga penetrasi eksrak ke
kulit kurang, memungkinkan terjadinya false-negative.
d. Menguap dan memudarnya larutan alergen selama tes.

B. Intradermal Testing (IDT)


Tehnik pemeriksaan tes intradermal mengalami beberapa modifikasi.
Pada saat ini prosedur tes intradermal digambarkan dengan menggunakan
jarum 26-30 G untuk menyuntikkan secara intradermal sebagian dari antigen,
berbagai macam laporan mengatakan batasannya 0,01-0,05 ml. Batasan dari
konsentrasi ekstrak adalah 1 : 500 sampai 1 : 1000. Test dinilai setelah 10 –
15 menit. Pada kasus tertentu baru dapat dibaca setelah 24 – 48 jam. Wheal
dan eritema merupakan tanda dan tingkatan dalam skala subjektif adalah 0 -
+4.8
Kelebihan Intradermal Testing (IDT) :5
1) Lebih sensitif (dapat mendeteksi alergi dengan kadar rendah)
2) Lebih reproducible dalam satu tempat
Kekurangan Intradermal Testing :5

4
1) Bersifat kualitatif daripada kuantitatif
2) Tingkat dalam respon lebih bersifat subjektif
3) Tidak ada standarisasi dalam banyaknya dosis atau konsentrasinya
4) Dapat muncul reaksi positif palsu.

C.Skin Endpoint Titration (SET)


Skin endpoint titration (SET) adalah bentuk tes kulit intradermal yang
menggunakan peningkatan dosis antigen untuk menentukan konsentrasi
perubahan reaksi dari negatif ke positif. Tes ini digunakan untuk
mendiagnosis gangguan alergi, dan merupakan alternatif yang potensial
untuk tes diagnostik lainnya seperti skin prick test atau tes in vitro.3
SET juga telah digunakan untuk memandu inisiasi imunoterapi dengan
menggunakan pengenceran sebagai permulaan dosis antigen.3 Tes intradermal
atau tes intrakutan secara umum biasa digunakan ketika terdapat kenaikan
sensitivitas yang merupakan tujuan pokok dari pemeriksaan (misalnya ketika
skin prick test memberikan hasil negatif walaupun mempunyai riwayat yang
cocok terhadap paparan). Tes intradermal lebih sensitif namun kurang
spesifik dibandingkan dengan skin prick test terhadap sebagian besar alergen,
tetapi lebih baik daripada uji kulit lainnya dalam mengakses hipersensitivitas
terhadap hymenoptera (gigitan serangga) dan penisilin atau alergen dengan
potensi yang rendah.8,11

D. Patch Testing
Patch testing atau tes tempel merupakan metode yang digunakan
untuk mendeteksi zat yang memberikan alergi jika terjadi kontak langsung
dengan kulit. Metode ini sering digunakan untuk menegakkan diagnosis
dermatitis kontak yang merupakan reaksi alergi tipe lambat, dimana reaksi
yang terjadi baru dapat dilihat dalam 2-3 hari.17
Pemeriksaan patch test biasa dilakukan jika pemeriksaan dengan
menggunakan prick test memberikan hasil yang negatif.8
Pada pelaksanaan pemeriksaan disiapkan 25–150 material yang
dimasukkan ke dalam chamber plastik atau aluminium dan diletakkan di

5
belakang punggung. Sebelumnya pada punggung diberikan tanda tempat-
tempat yang akan ditempelkan bahan alergen tersebut. Setelah ditempelkan
kemudian dibiarkan selama 48 - 72 jam. Kemudian diperiksa apakah ada
tanda reaksi alergi yang dilihat dari bentol yang muncul dan warna
kemerahan.16,17
Hasil yang dinilai atau didapatkan bisa berupa :7,8
 Negatif (-)
 Reaksi iritasi (IR)
 Meragukan/tidak pasti (+/-)
 Positif lemah (+)
 Positif kuar (++)
 Reaksi yang ekstrem (+++)
Reaksi iritasi terdiri dari sweat rash, pustul folikuler dan reaksi seperti
terbakar. Reaksi positif lemah berupa warna merah jambu yang sedikit
menonjol atau plak berwarna merah. Reaksi positif kuat berupa
papulovesikel dan reaksi yang lebih berat berupa kulit yang melepuh atau
luka. Reaksi yang relevan tergantung dari jenis dermatitis dan alergen yang
spesifik. Interprestasi dari hasil yang didapatkan membutuhkan pengalaman
dan latihan.17,8

E. Photo-patch Test 23
Tes ini mencerminkan kontak fotosensitisasi (sensitivitas terhadap sinar
matahari) yang dicurigai bila ruam hanya muncul pada daerah-daerah yang
terkena sinar matahari.5 Reaksi dapat disebabkan oleh berbagai obat, zat yang
diaplikasikan pada kulit (obat atau kosmetik) dan bahan kimia. 4,23
Photo-patch test menggabungkan teknik patch test dan phototesting.
Indikasi utama photo-patch test adalah untuk menetapkan diagnosis
dermatitis kontak fotoalergi dan menemukan alergen penyebab (Tabel 2).
Photo-patch test juga berperan untuk membedakan fotoalergi dengan reaksi
fototoksik, meskipun hal ini tidak selalu mudah.23
Alergen yang telah distandarisasi diencerkan pada vehikulum lalu
diaplikasikan pada chamber seperti pada patch-test dalam bentuk cairan. Dua
set alergen yang sama disusun dan diaplikasikan pada daerah punggung

6
secara simetris, sebaiknya dihindari pada area tengah vertebra. Oklusi
dipertahankan selama 2 hari. 4

Tabel 2. Indikasi Photo-patch Test (*Dikutip sebagaimana aslinya dari


kepustakaan no.23)

Pembacaan pertama harus dilakukan setelah membuang patch test yang


mendeteksi reaksi kontak yang muncul sebelum penyinaran. Kemudian, satu
set dilindungi dari cahaya dengan bahan yang gelap, sedangkan yang lain
diiradiasi dengan UVA 5 J / cm2. Pembacaan harus dilakukan dalam waktu
30 menit setelah iradiasi untuk mendeteksi reaksi urtikaria segera. Satu
bacaan lainnya harus dilakukan 2 atau 3 hari setelah iradiasi untuk
mendeteksi alergi dan reaksi fotoalergi.3,4
Dalam pembacaan penting untuk membandingkan reaksi alergen yang
diiradiasi dan yang tidak diiradiasi, untuk membedakan dermatitis kontak

7
alergi (positif pada kedua set) dan fotoalergi (positif hanya pada set yang
diradiasi). 23

2. Uji Provokasi Bronkial 3,14


Ekstrak alergen dengan konsentrasi yang makin tinggi dihirup melalui
nebulizer untuk melihat obstruksi jalan napas. Prosedur ini dilakukan dengan
aeroalergen atau zat kimia lainnya seperti histamin, metakolin, dan bahan
kimia yang mudah menguap ditemui di rumah, sekolah, atau tempat kerja.3

3. Uji Provokasi Makanan (Oral Provocation Test)14


Alergen makanan didefinisikan sebagai komponen-komponen tertentu
dalam makanan atau bahan dalam makanan (biasanya protein, tapi kadang-
kadang hapten kimia) yang dikenal oleh sel imun spesifik dan menimbulkan
reaksi imunologik spesifik, menghasilkan gejala yang khas. Beberapa alergen
(paling sering dari buah-buahan dan sayuran) menyebabkan reaksi alergi
terutama jika dimakan saat mentah. Namun kebanyakan alergen makanan
masih dapat menyebabkan reaksi, bahkan setelah mereka dimasak atau telah
mengalami pencernaan pada lambung dan usus. Suatu fenomena yang
disebut reaktivitas silang mungkin terjadi ketika antibodi bereaksi tidak
hanya dengan alergen asli, tetapi juga dengan alergen yang mirip. Pada alergi
makanan, reaksi silang terjadi ketika alergen makanan memiliki kesamaan
struktur atau urutan dengan alergen makanan atau aeroalergen yang berbeda,
yang kemudian dapat memicu reaksi yang merugikan serupa dengan yang
dipicu oleh alergen yang asli. 18
Uji provokasi makanan dilakukan berdasarkan riwayat makanan yang
dicurigai serta hasil uji kulit terhadap makanan tersebut. Pelaksanaannya
dapat dilakukan secara terbuka, single-blind, double-blind, atau double-blind
placebo-controlled. Jika uji kulit negatif dan riwayat reaksi terhadap
makanan meragukan maka uji provokasi makanan terbuka dapat dilakukan
setelah melakukan diet eliminasi selama tiga minggu. Pada uji provokasi susu
sapi dilakukan dengan memberikan susu sapi mulai dari 1 tetes/15 menit
hingga 30 ml/15 menit, dan bila telah mencapai 200 ml tidak terjadi reaksi
alergi, maka pasien dapat mengkonsumsi susu sapi.20

8
Uji provokasi makanan telah digunakan sebagai standar emas alergi
makanan dibandingkan tes alergi lain. 14

II. Tes In Vitro


1. Hitung Eosinofil Total
Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang
diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia
merupakan suatu keadaan dimana jumlah eosinofil darah lebih dari 450
eosinofil/µL. Hitung eosinofil total dengan kamar hitung lebih akurat
dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil sediaan apus darah tepi
dikalikan hitung leukosit total. Eosinofilia sedang (15%-40%) didapatkan
pada penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan obat, keganasan, dan defisiensi
imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan (50%-90%) ditemukan pada
migrasi larva.

2. Kadar serum Imunoglobulin E


Kadar IgE Total
Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi
sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit alergi.
Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE yang tinggi. Meskipun
rerata kadar IgE total pasien alergi di populasi lebih tinggi dibandingkan
pasien non-alergi, namun adanya tumpang tindih kadar IgE pada populasi
alergi dan non-alergi menyebabkan nilai diagnostik IgE total rendah. Kadar
IgE total didapatkan normal pada 50% pasien alergi, dan sebaliknya
meningkat pada penyakit non-alergi (infeksi virus/jamur, imunodefisiensi,
keganasan).19, 21

Kadar IgE spesifik3


Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat dilakukan
secara in vitro :
 Metode RAST (Radio Allergosorbent Test),
 ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay),

9
Dua metode ini yang paling umum digunakan untuk mengkonfirmasi
alergen tes kulit dan tes darah alergi. Kedua metode ini direkomendasikan
oleh National Institutes of Health (NIH) dan memiliki nilai diagnostik yang
sama dalam hal sensitivitas dan spesifisitas.

Metode RAST (Radio Allergosorbent Test)


Terobosan pengembangan pemeriksaan alergi yang sangat spesifik
dan sensitif melalui penemuan reagen antibodi disebut immunoglobulin E
(IgE) yang telah dikenal sejak lebih dari 40 tahun yang lalu. Metode RAST
(Radio Allergosorbent Test) pertama kali dikenalkan pada tahun 1967,
dimana tes ini telah mengalami perbaikan standar kalibrasi WHO dengan
mendeteksi alergen IgE spesifik.6 Pemeriksaan IgE RAST
(radioallergosorbent test) untuk mendeteksi antibodi IgE spesifik dalam
serum. Kelebihan pemeriksaan IgE RAST walaupun mahal namun pada
keadaan tertentu sangat diperlukan misalnya pada keadaan
dermatographisme, pasien yang sangat sensitif terhadap bahan alergen dan
pasien anak yang tidak kooperatif. Keuntungan lain dari pemeriksaan IgE
RAST adalah kuantitatif dan dapat dimanfaatkan untuk memantau
imunoterapi.1
Alergen yang diperlukan dilekatkan pada disket kertas yang
direaksikan dengan IgE spesifik terhadap alergen tersebut pada serum
contoh. Setelah dicuci untuk membuang IgE nonspesifik, ditambahkan
antibodi terhadap IgE manusia yang dilabel dengan zat radioaktif hingga
terbentuk komplek alergen IgE-spesifik anti-IgE radioaktif. Radioaktifitas
kompleks ini dapat diukur dengan penghitung serum contoh. Hasil
penghitungan dibandingkan dengan serum baku dan dibuat klasifikasi.
Biasanya klasifikasi dibagi menjadi 6 kelas yaitu antara 0 sampai 5.
Kelas 0 menunjukkan negatif sedangkan 5 menunjukkan sangat positif atau
sangat tinggi.19

ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay)


Pemeriksaan ini bertujuan untuk menguji antigen dengan antibodi
yang telah dikenal yang dilabel dengan enzim atau sebaliknya. Kompleks

10
antigen-antibodi yang terbentuk dipisahkan dari antigen dan antibodi yang
bebas, kemudian diinkubasi dengan substrat kromatogenik yang tidak
berwarna. Substrat ini kemudian menjadi berwarna karena dihidrolisis oleh
enzim. Intensitas warna dapat diukur dan merupakan parameter untuk antigen
yang diuji.
Tes immunoassay ini dalam mendeteksi alergen IgE spesifik dilakukan
dalam tiga langkah (Gambar 3)6 :
1) alergen diadsorpsi dan dirubah menjadi fase padat,
2) serum pasien yang ditambahkan, diinkubasi selama 30-60 menit dan
beberapa langkah pencucian dan
3) Ikatan alergen-IgE dideteksi secara enzimatis oleh antibodi monoklonal
berlabel anti-human IgE.

Gambar 3. Cara kerja Tes immunoassay (*Dikutip sebagaimana aslinya dari


kepustakaan no.6).

11
Terdapat beberapa teknik yang sering digunakan untuk mendeteksi alergen
IgE spesifik berdasarkan prinsip immunoassay (Gambar 4)6, dimana sampai saat ini
sistem yang paling umum digunakan untuk menentukan IgE alergen spesifik adalah
sistem ImmunoCAP yang dianggap sebagai standar emas untuk mendiagnosis alergi
secara in vitro.6
Baru-baru ini, tes diagnostik alergen berdasarkan microarray juga telah
diperkenalkan baik dalam penelitian dan juga praktek klinis. Berbeda dengan
diagnosis alergi konvensional, microarray adalah tes alergen multi analitik yang
memungkinkan penyelidikan spontan hingga beberapa ratus alergen dalam satu
langkah analisis tunggal.6

Gambar 4. Teknik yang paling sering digunakan untuk mendeteksi alergen


IgE spesifik yang berdasarkan pada prinsip immunoassay. (*Dikutip
sebagaimana aslinya dari kepustakaan no.6)

12
Tes Alergi Kulit Ulangan
Tes alergi kulit ulangan dengan beberapa antigen secara medis diperlukan
untuk anak-anak yang awalnya sensitif terhadap makanan dan paparan lingkungan
dalam ruangan namun kemudian timbul sensitif terhadap serbuk sari dan udara di
luar ruangan. Tes alergi kulit ulangan diperlukan untuk orang dewasa jika :3
i. Terjadi perubahan dramatis dari gejala
ii. Telah menerima imunoterapi selama 3-5 tahun
iii. Pemeriksaan alergen yang baru.

Tes alergi tidak dapat digunakan jika kriteria medis dan pedoman tes alergi
tidak terpenuhi. Jika tes alergi di atas tidak dapat dilakukan, maka dapat dilakukan
tes alergi berikut :3

1. Nasal Challenge Test (Tes Nasal membran mukosa)


Tes ini telah diusulkan sebagai alat dalam mendiagnosis rinitis alergi.
Dilakukan untuk mencatat gejala utama pasien atau tanda-tanda paparan
antigen yang dicurigai, dan diaplikasikan langsung pada membran mukosa
hidung. Tes ini digunakan dalam studi rhinitis alergi, namun kegunaannya
dalam praktek klinis belum ditetapkan. 3,4

2. Leukosit Histamin Release Test (LHRT)


Mengukur jumlah histamin yang dilepaskan dari sel darah putih sebagai
respon paparan allergen. Literatur yang ada tidak cukup untuk
menyimpulkan keakuratan diagnostik LHRT.3,4

3. Rebuck Skin Window Test


Teknik Rebuck Skin Window Test digunakan dimana lapisan atas kulit
dikerok sehingga memungkinkan untuk mengidentifikasi respon imun yang
akan terjadi dengan barrier kulit yang berkurang pada host..3
Tes ini dikembangkan oleh John Rebuck pada tahun 1955. Tes ini tidak
berguna bagi pasien dengan imunodefisiensi yang disertai keluhan alergi.3,4

4. Passif Transfer P-X (Tes Prausnitz-Kustner)

13
Dilakukan dengan menyuntikkan serum intradermal dari pasien yang
dicurigai alergi kepada pasien non-alergi dan kemudian tempat suntikan
dengan antigen. Terdapat bahaya dalam perpindahan infeksi (tes ini telah
digantikan dengan RAST)3

5. Cytotoxic food testing (Leucocytotoxic test)


Tes ini melibatkan respon dari sel darah putih oleh karena kehadiran
ekstrak makanan pada pasien alergi. Tidak terdapat bukti bahwa tes ini
efektif untuk alergi makanan atau serbuk sari. 4

6. Provocation Neutralization Testing (Uji Rinkel)


Tes ini adalah prosedur yang berevolusi dari titik akhir seri titrasi dan
telah diusulkan sebagai tes alergi makanan, inhalan dan bahan kimia
lingkungan. Pasien yang terpapar diperiksa dosis zat intradermal, subkutan
atau sublingual, dengan tujuan memproduksi atau mencegah gejala.
Pemeriksaan ini belum terbukti.3,4

7. Total serum immunoglobulin G (IgG), immunoglobulin A (IgA) dan


immunoglobulin M (IgM)
Bagian dari evaluasi alergi. Tes antibodi darah. Diteliti karena data
6
yang tidak lengkap

8. Conjungtival Challenge Testing (ophthalmic mucous memban).


Ekstrak alergi ditempatkan ke dalam kantung konjungtiva mata,
diikuti dengan observasi kemerahan, gatal pada mata, dan gejala lain yang
sejenis. Tes ini bersifat kualitatif dan tidak dapat diinterpretasikan secara
obyektif.3

9. Mediator Release Test (MRT)


MRT terutama digunakan untuk mendeteksi intoleransi terhadap
makanan dan zat aditif pada pasien dengan sindrom iritasi usus. MRT juga
telah dipromosikan untuk digunakan pada pasien dengan sakit kepala

14
migrain, gangguan rematologi dan kondisi dermatologi. Hasil MRT telah
digunakan untuk merancang diet pasien. Tidak ada studi yang dilaporkan
dalam literatur medis yang menunjukkan perbaikan dalam hasil klinis dengan
memasukkan MRT dan modifikasi diet terkait ke dalam manajemen klinis
pasien dengan kondisi ini.4

10. In Vitro Metal Allergy Testing


In vitro metal allergy test yang dikenal sebagai lymphocyte
transformasi test (LTT) yang tersedia secara komersial. Telah digunakan
untuk menguji alergi terhadap logam perhiasan dan implan gigi, dan dapat
digunakan untuk individu yang memiliki atau sedang mempertimbangkan
logam implan ortopedi. Terdapat cukup bukti bahwa in vitro metal allergy
testing dapat meningkatkan keputusan manajemen pasien. Tidak ada
organisasi nasional yang mengeluarkan rekomendasi mengenai tes in vitro
alergi logam dan implan ortopedi.4

11. Antigen leukocyte celluler Antibody (ALCAT) Tes Otomatis Alergi


Makanan
ALCAT adalah metode pengujian untuk alergi makanan yang diakui
untuk mengidentifikasi sensitivitas makanan dengan menggunakan program
komputer untuk mengukur perubahan sel darah putih yang diinkubasi dengan
makanan murni dan ekstrak jamur. Terdapat cukup bukti literatur ilmiah yang
diterbitkan untuk mendukung penggunaan tes ini.3

Tes alergi berikut ini masih dalam tahap penelitian dalam mendiagnosis
alergi, karena bukti klinis yang belum memadai keselamatan dan keberhasilan.

1. Intracutaneous Progressive Dilution Food Test (IPDFT)


IPDFT pertama kali diperkenalkan oleh American Academy of
Otolaryngology Allergy (AAOA) tahun 1988 dan menjadikannya protokol
untuk tes penyaring alergi makanan tipe siklik. Tes ini berbeda dari teknik
intradermal dilutional testing (IDT) yang biasa dilakukan pada alergen
inhalan.3,4

15
2. Tes elektrodermal atau electro-acupuncture
Dalam pengujian elektrodermal, kulit diuji dengan berbagai arus listrik
dan mesin sehingga menghasilkan daftar item alergi atau sensitif. Tidak
terdapat bukti ilmiah untuk mendukung pengujian elektrodermal untuk
diagnosis alergi makanan.3,4

3. Applied kinesiology atau muscle strength testing of allergies


Ide di balik kinesiology adalah bahwa beberapa makanan dapat melemahkan
tubuh dengan menghambat energi. Secara umum tes ini mengamati perubahan
kekuatan otot dengan berbagai cara. Kelemahan otot diduga sinyal alergi
terhadap zat yang diuji.3,4

4. Reaginic pulse testing atau pulse testing untuk alergi.


Tes ini digunakan untuk mengevaluasi alergi makanan, mengukur denyut
nadi seseorang (tingkat detak jantung) setelah makan makanan tertentu. Jika
terjadi perubahan dalam denyut nadi, baik naik atau turun maka disimpulkan
bahwa orang tersebut alergi terhadap makanan itu. Tidak terdapat bukti untuk
mendukung tes ini.4

5. Tes IgG
Dalam tes IgG dilakukan pemeriksaan antibodi IgG dari darah. Adanya
serum antibodi IgG terhadap makanan tertentu diklaim oleh banyak praktisi
sebagai alat untuk mendiagnosis alergi makanan atau intoleransi. Masalah
dalam hal ini adalah bahwa IgG adalah "antibodi memori." IgG menandakan
paparan makanan, tidak alergi terhadap suatu makanan. Karena sistem
kekebalan tubuh yang normal harus membuat antibodi IgG terhadap protein
asing, tes IgG positif untuk makanan adalah tanda dari sistem kekebalan tubuh
yang normal. Bahkan hasil positif dapat benar-benar menunjukkan toleransi
untuk makanan, tidak intoleransi. Tidak ada bukti ilmiah untuk mendukung tes
IgG untuk diagnosis alergi makanan.6

6. Food immune complex assay (FICA)

16
FICA merupakan pemeriksaan alergi makanan yang melekat pada
antibodi dalam darah. Hasil pemeriksaan ini belum terbukti karena tidak selalu
berkorelasi dengan penyakit.3,4

7. Body chemical analysis


Dengan teknologi canggih, jumlah bahan kimia tertentu dapat diukur
dalam cairan tubuh, rambut dan jaringan. Tes ini menyimpulkan bahwa
penumpukan zat tertentu dalam tubuh menyebabkan gejala alergi. Namun,
tidak terdapat bukti ilmiah bahwa zat kimia atau elemen yang diukur
mengakibatkan penyakit alergi atau imunologi.6

KESIMPULAN
1. Tes alergi metode in vivo (tes kulit, organ challenge / provocation test / uji
provokasi) merupakan metode yang paling umum digunakan dan tes alergi
yang disukai. Tes alergi in vivo dirancang untuk mengkonfirmasi
hipersensitivitas dan mengidentifikasi antigen yang bertanggung jawab untuk
reaksi alergi.
2. Tes alergi in vitro telah ditunjukkan untuk menjadi alternatif yang efektif
untuk pasien dengan dugaan alergi makanan atau alergi inhalan yang
dimediasi IgE yang tidak dapat diuji dengan menggunakan metode vivo, atau
sebagai alternatif tes kulit untuk evaluasi reaktivitas silang antara racun
serangga. Selain itu, immunoassay IgE spesifik dapat digunakan sebagai tes
tambahan untuk penyakit alergi aspergilosis bronkopulmoner dan penyakit
parasit tertentu.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Ring J. What Is Allergy. Dalam : Akdis CA, Agache I, editor. Global Atlas
Of Allergy. European Academy of Allergy and Clinical Immunology.
2014;2-3
2. Pawankar R, Canonica GW, Holgate ST, Lockey RF. Allergic Diseases as a
Global Public Health Issue. Dalam : Pawankar R, Canonica GW, Holgate ST,
Lockey.RF, editor. World Allergy Organization (WAO) White Book on
Allergy.2011;11-21.
3. BlueCross Blue Shield Of North Carolina. Corporate Medical Policy. Allergy
Testing. 2013.
4. Medical Policy. Capital Blue. Allergy testing and immunotherapy. MP-
2.001. 2015.
5. HealthNet. National Medical Policy. Allergy Testing. NMP 252. 2014.
6. Genser JK, Grendelmeier PS. In vivo allergy diagnosis - skin tests. Dalam :
Akdis CA, Agache I, editor. Global Atlas Of Allergy. European Academy of
Allergy and Clinical Immunology. 2014;150-175
7. Australasian Society of Clinical Immunology and Allergy (ASCIA). Skin
prick testing for the diagnosis of allergic disease.2013.
8. Bush RK. Diagnostic Tests in Allergy. Dalam : Slavin R, Reisman RE,
editor. Expert Guide to Allergy and Immunology. American College of
Physicians, Philadelphia, Pennsylvania. 1999. 1-22.

18
9. Heinzerling L, Mari A, Bergmann KC, Bresciani M, Burbach G, Darsow U,
et al. Review The skin prick test -European standards. Clinical and
Translational Allergy. 2013; 3:1-10
10. Medicines to Avoid Before Allergy Skin Testing. American Academy of
Otolaryngic Allergy’s Clinical Care Statement. 2015
11. Carr TF, Saltoun CA. Chapter 2: Skin testing in allergy. Allergy Asthma
Proc.2012;33:6-8.
12. Fatteh S, Rekkerth DJ, Hadley JA. Skin prick/puncture testing in North
America: a call for standards and consistency. Allergy, Asthma & Clinical
Immunology.2014;10:1-9.
13. Bousquet J, Heinzerling L, Bachert C, Papadopoulos NG, et al. Practical
guide to skin prick tests in allergy to aeroallergens. European Journal of
allergy and Clinical Immunology. Allergy. 2012;67(1):18-24.
14. Agache I, Bilo M, Braunstahl GJ, Delgado L, Demoly P, Eigenmann P,
Gevaert P, Gomes E, Hellings P, Horak F, Muraro A, Werfel T, Marek J. In
vivo diagnosis of allergic diseases-allergen provocation tests. Allergy. 2015;
70: 355-365.
15. Lieberman JA, Sicherer SH. Diagnosis of Food Allergy : Epicutaneous Skin
Tests, In Vitro Tests, and Oral Food Challenge. Curr Allergy Asthma Rep.
2010;11(1):58-64.
16. Castanedo-Tardan MP, Zug KA. Allergic Contact Dermatitis. Dalam :
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: Mc
Graw-Hill. 2012; 152-165.
17. Spickett1 GP, Schwarz T. Clinical Immunology, Allergy and
Photoimmunology. Dalam : Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editor. Rook's Textbook of Dermatology. Edisis 8. Blackwell Publishing
2010:13.1-13.34
18. Gerez IF, Shek LP, Chng HH, Lee BW. Diagnostic tests for food allergy.
Singapore Med J. 2010; 51(1) : 4-9
19. Shreffler WG. Microarrayed recombinant allergens for diagnostic testing. J
Allergy Clin Immunol. 2011;127:843-849.

19
20. Guidelines for the Diagnosis and Management of Food Allergy in the United
States Summary for Patients, Families, and Caregivers. National Institute of
Allergy and Infectious Diseases. 2011;
21. Sicherer SH, Wood RA. Allergy Testing in Childhood: Using Allergen-
Specific IgE Tests. Pediatrics. 2012;29: 193-7
22. Lindberg M, Mihaly Matura M. Patch Testing. Dalam : Johansen JD, Frosch
PJ, Lepoittevin, JP, editor. Contact Dermatitis. Springer. 2011;439-464.
23. Gonçalo M. Photopatch Testing. Dalam : Johansen JD, Frosch PJ,
Lepoittevin, JP, editor. Contact Dermatitis. Springer. 2011;519-532.
24. Reinhardt R: State-of-the-art allergy and autoimmune diagnostic testing,
MLO Med Lab Obs. 2013;24-26.

20

Anda mungkin juga menyukai