Anda di halaman 1dari 38

Referat

CEREBRAL PALSY

Oleh:
Addelin Sildferisa 1840312776
Akbar Muzakki Alvarino 1840312767
Carissa Lovani 1840312760
Febrina Adriani Purba 1840312769
Galuh Yudhi Widya S 1840312206
Novutry Siregar 1840312696
Zahra Indria Zenti 1840312705

Pembimbing
Dr. Iskandar Syarif, Sp.A (K)
Dr. Rahmi Lestari, Sp.A (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR.M.DJAMIL PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami tujukan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya atas selesainya penulisan referat ini dengan
judul: “Cerebral Palsy”. Shalawat beriring salam semoga disampaikan kepada
Rasulullah Muhammad SAW yang telah mencontohkan bagaimana seharusnya
manusia bersikap dan berperilaku untuk mengisi kehidupan ini, khususnya di bidang
keilmuan.
Makalah referat ini merupakan salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik
di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Kami
mengucapkan terima kasih kepada dr.Iskandar Syarif, SpA(K) dan dr. Rahmi Lestari,
Sp.A(K) selaku dosen pakar yang telah memberikan masukan dan bimbingan agar
penulisan referat ini dapat terselesaikan sesuai waktu yang dijadwalkan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Padang, 2 Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang…………………..…………………………………….…..1
1.2 Batasan Masalah….….……………………………………………………1
1.3 Tujuan penulisan…………………………………………………………..2
1.4 Metode penulisan………………………………………………………….2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................3
2.1 Definisi........................................................................................................3
2.2 Epidemiologi...............................................................................................4
2.3 Klasifikasi....................................................................................................5
2.4 Etiologi........................................................................................................9
2.5 Faktor Risiko.............................................................................................10
2.6 Patofisiologi..............................................................................................12
2.7 Manifestasi Klinik.....................................................................................15
2.8 Diagnosis...................................................................................................19
2.9 Diagnosis banding.....................................................................................22
2.10 Tatalaksana................................................................................................23
2.11 Komplikasi................................................................................................26
2.12 Prognosis...................................................................................................28
BAB III........................................................................................................................30
KESIMPULAN...........................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................32

ii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perkembangan Struktur Otak.............................................................. 16

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Klasifikasi Cerebral Palsy berdasarkan tingkat kerusakan motorik... 8
Gambar 2.2 GMFCS............................................................................................... 11
Gambar 2.3 Manifestasi Klinis Cerebral Palsy...................................................... 19
Gambar 2.4 Manifestasi Klinis Cerebral Palsy...................................................... 21
Gambar 2.5 Manifestasi Klinis Koreo-atetosis...................................................... 22
Gambar 2.6 Tes untuk Ataksia............................................................................... 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cerebral palsy adalah sekelompok gangguan permanen gerakan dan postur
yang menyebabkan keterbatasan aktivitas, dikaitkan dengan gangguan
nonprogressive yang terjadi pada perkembangan janin atau otak yang belum matang.
Gangguan motorik cerebral palsy sering disertai gangguan sensasi, persepsi, kognisi,
komunikasi, dan perilaku, epilepsi, dan oleh masalah musculoskeletal sekunder.1
Cerebral palsy merupakan penyebab umum dari kecacatan anak di
masyarakat Barat dengan insidensi 2-2.5 / 1000 kelahiran hidup.2 Cerebral palsy juga
salah satu gangguan yang paling sering terjadi spastik. Spastisitas terjadi pada sekitar
60% pasien dengan cerebral palsy, sehingga mempengaruhi setidaknya 300.000 anak
di Amerika Serikat.3 Meskipun tingkat kejadian yang berbeda telah dilaporkan sejauh
ini, cerebral palsy adalah salah satu penyebab kecacatan yang paling umum pada
anak-anak dengan kejadian rata-rata 2 - 3 per 1000 kelahiran hidup di banyak
populasi.5 Dalam sebuah penelitian terbaru dilakukan pada anak berusia antara 2 - 16
tahun, prevalensi cerebral palsy dilaporkan 4,4 per 1.000 kelahiran hidup di
Indonesia.6
Cerebral palsy dapat mempengaruhi kulit, tulang, gizi, gastrointestinal,
pernapasan, neurologis, kognitif/psikologis/perilaku pada pasiennya. Pasien yang
terkena cerebral palsy 30-50% berisiko terjadi keterbelakangan mental, hal ini juga
dikaitkan dengan kejang quadriplegia. Defisit perhatian, gangguan di akademik dan
belajar sering terjadi pada anak yang mengalami cerebral palsy. Sehingga, orang tua
dan tenaga ahli medis diperlukan untuk mengatasi cerebral palsy pada anak untuk
mengurangi risiko terjadinya komplikasi.7

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas mengenai definisi, etiologi, faktor risiko, klasifikasi,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis dari cerebral palsy.

1
1.3 Tujuan penulisan
Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
mengenai cerebral palsy.

1.4 Metode penulisan


Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk
kepada berbagai literatur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Cerebral palsy (CP) adalah gangguan perkembangan saraf kronis yang
heterogen dalam semua aspek, seperti etiologi, presentasi, keparahan fungsional,
komorbiditas, pilihan pengobatan, lintasan individu, dan hasil.1 Kata palsy berasal
dari bahasa Yunani kuno yang kemungkinan besar berasal dari paresis dalam bahasa
Yunani yang menunjukkan kelemahan.7
Cerebral palsy didefinisikan sebagai sekelompok gangguan permanen
gerakan dan postur, menyebabkan keterbatasan aktivitas, yang dikaitkan dengan
gangguan nonprogressive yang terjadi pada perkembangan janin atau otak yang
belum matang. Gangguan motorik CP sering disertai gangguan sensasi, persepsi,
kognisi, komunikasi, dan perilaku, epilepsi, dan oleh masalah muskuloskeletal
sekunder.1
Definisi CP dari berbagai ahli memiliki beberapa perbedaan, namun terdapat
beberapa kesamaan, yaitu gangguan gerakan atau postur yang mengarah ke gangguan
motorik, yang berkembang sangat dini dalam kehidupan, dapat dikaitkan dengan
kelainan otak, dan meskipun tanda-tanda klinis berubah dengan perkembangan anak,
kelainan otak tidak membaik atau memburuk. Keempat elemen ini memperjelas
bahwa CP adalah konstruksi buatan manusia yang ditentukan oleh deskripsi klinis
daripada oleh kriteria biologis, etiologi atau anatomi objektif; selain itu patologi
utama yang bertanggung jawab terletak di otak dan bukan pada elemen lain yang
berkontribusi terhadap fungsi motorik seperti sumsum tulang belakang atau otot.
Dengan demikian CP tidak boleh dianggap sebagai diagnosis tetapi sebagai label
yang berguna untuk mengelompokkan pasien dan istilah umum untuk banyak
diagnosis patologis dan etiologi yang berbeda.7

3
2.2 Epidemiologi
Cerebral palsy merupakan penyebab paling umum dari kecacatan anak di
masyarakat Barat dengan insidensi 2-2.5 / 1000 kelahiran hidup. Beberapa anak yang
meninggal memiliki prevalensi bervariasi antara 1-5/1000 bayi di berbagai negara.2
Prevalensi CP di provinsi Henan, Cina adalah 2,37/1.000 kelahiran hidup.8 Selama
beberapa dekade terakhir, telah terjadi perubahan besar dan kemajuan dalam
perawatan obstetrik dan neonatal, dengan penurunan angka kematian neonatal.1
Prematuritas merupakan salah satu faktor risiko terbesar untuk CP, prevalensi
CP tertinggi terdapat pada anak yang lahir dari usia kehamilan <28 minggu (82,25 per
1000 kelahiran hidup) dan terendah pada anak yang lahir cukup bulan (1,35 per 1000
kelahiran hidup).1 Penelitian di Alberta Utara juga mendukung yaitu prevalensi pada
usia <28 minggu, 27,2 (95% CI, 23,05-31,35) dan 28 hingga 31 minggu, 29,5 (95%
CI, 25,78-33,22).9
Pembatasan pertumbuhan intrauterin dan berat badan lahir rendah juga sangat
terkait dengan risiko CP. Prevalensi dari CP menunjukkan 56,64 per 1000 kelahiran
hidup pada anak dengan berat badan lahir rendah dari 1000 gram dan 1,33 per 1000
kelahiran hidup pada anak dengan berat lahir 2500 gram atau lebih.1 Faktor risiko lain
berdasarkan penelitian China yaitu pindah ke kamar yang baru dicat; penyakit ibu
yang rumit (infeksi, penyakit jantung, hipertensi, anemia, diabetes, penyakit ginjal)
selama masa kehamilan; graviditas tinggi (≥ 3); janin asfiksia; dan hipoksia-
ensefalopati iskemik.4 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tingkat kejadian pada
bayi prematur sudah mulai menurun pada kelompok usia kehamilan <31 minggu.9
Tipe spastik merupakan tipe yang sering ditemui di Indonesia, India, Alberta
Utara dengan subtipe quadriplegik dominan di Indonesia dan India, sedangkan di
Alberta Utara subtipe hemiplegia yang dominan. Data di Indonesia didapatkan bahwa
CP sering terjadi pada anak laki-laki (3:2), kurang gizi (24%), berat lahir normal
(80.9%) dan faktor prenatal menjadi penyebab CP tersering (69,5%). Malformasi
kongenital jarang ditemukan (38%), namun komorbiditas hampir ditemukan pada
semua sampel (93%).9-11

4
2.3 Klasifikasi
Cerebral palsy meliputi gangguan motorik dengan berbagai sifat, distribusi
anatomi dan keparahan. Cerebral palsy dapat diklasifikasikan berdasarkan perubahan
tonus otot, wilayah keterlibatan anatomi dan tingkat keparahan masalah.2

5
Gambar 2.1 Klasifikasi
Cerebral Palsy berdasarkan
tingkat kerusakan motorik2

Berdasarkan tingkat kerusakan motorik secara umum CP diklasifikasikan menjadi 4


kategori yaitu2:
1. Tipe spastik
Spastik didefinisikan sebagai peningkatan resistensi fisiologis otot terhadap
gerakan pasif. Hal ini merupakan bagian dari sindrom neuron motorik atas yang
ditandai oleh hiperrefleksia, klonus, respons plantar ekstensor dan refleks
primitif. Tipe spastik merupakan bentuk CP yang paling umum (70%-80%). Tipe
ini dapat digolongkan secara anatomis menjadi tiga jenis, antara lain2:
a. Hemiplegia
Hemiplegia mengenai satu sisi tubuh dengan lengan terkena lebih berat.
Gangguan kejang, defisit visual, astereognosis dan kehilangan
proprioseptif dapat terjadi. Dua puluh persen anak dengan tipe spastik

6
memiliki hemiplegia. Focal traumatis, vaskular, atau infeksi merupakan
penyebab yang umum dalam banyak kasus. Infark otak unilateral dengan
porencephaly posthemorrhagic dapat dilihat pada magnetic resonance
imaging (MRI).2
b. Diplegia
Diplegia meliputi ekstremitas bawah dan lengan, dengan kedua kaki lebih
berat daripada kedua lengan. Kecerdasan pada pasien yang menderita tipe
ini biasanya normal dan epilepsi lebih jarang terjadi. Lima puluh persen
anak dengan tipe spastik memiliki diplegia. Riwayat prematur biasa
terjadi pada tipe ini. Diplegia menjadi lebih umum terjadi karena bayi
dengan berat badan lahir rendah banyak yang bertahan hidup.2
c. Quadriplegia (Tetraplegia)
Quadriplegia meliputi keempat ekstremitas terkena dengan derajat yang
sama. Ketika satu ekstremitas atas kurang terlibat, maka disebut dengan
triplegia. Tiga puluh persen anak dengan tipe spastik memiliki
quadriplegia. Keterlibatan ekstremitas bawah yang lebih serius sering
terjadi pada bayi prematur. Beberapa memiliki ensefalopati iskemik
hipoksik perinatal.2
2. Tipe diskinetik
Diskinesia merupakan gerakan abnormal yang terjadi ketika pasien
menginisiasi gerakan. Tipe diskinetik ditandai dengan karakteristik menulis yang
tidak terkontrol dan perlahan. Tipe ini mengenai lengan, tangan, kaki dan pada
sebagian besar kasus mengenai otot wajah dan lidah yang menyebabkan anak
menyeringai dan selalu mengeluarkan liur. Status mental umumnya normal,
namun disartria yang parah membuat komunikasi menjadi sulit dan membuat
pengamat berpikir bahwa anak tersebut memiliki gangguan intelektual. Disfungsi
pendengaran sensorineural juga dapat mengganggu komunikasi.
Hiperbilirubinemia atau anoksia berat menyebabkan disfungsi ganglia basal dan
menyebabkan tipe diskinetik. Tipe ini meliputi 10%-15% dari semua kasus CP.2
3. Tipe Ataksik

7
Ataksia menyebabkan kehilangan keseimbangan, koordinasi, dan kontrol
motorik halus. Anak dengan CP ataksik tidak dapat mengoordinasikan gerakan
mereka. Tonus otot menjadi normal dan ataxsia mulai tampak pada usia 2 hingga
3 tahun. Anak yang dapat berjalan memiliki gaya berjalan yang luas dan mild
intention tremor (dismetria). Ketangkasan dan kontrol motorik halus buruk.
Ataxia dikaitkan dengan lesi serebelar. Tipe ini terjadi pada 5%-10% dari semua
kasus CP.2
4. Tipe campuran
Anak dengan tipe CP campuran umumnya memiliki spastisitas ringan,
distonia dan / atau gerakan athetoid. Ataksia dapat menjadi komponen disfungsi
motorik pada pasien dalam kelompok ini. Ataksia dan spastisitas sering terjadi
bersamaan. Spastic ataxic diplegia merupakan jenis campuran umum yang sering
dikaitkan dengan hidrosefalus.2
Klasifikasi CP secara fungsional berfokus pada kemampuan motorik kasar
(gross motor skill) dan kemampuan berjalan.1 Gross Motor Function Classification
System (GMFCS) mengelompokkan individu yang menderita CP dalam 5 kategori
mulai dari Level I hingga Level V (dengan derajat kemampuan menurun). Perbedaan
setiap GMFCS Level dapat dilihat pada Gambar 2.2.1
Tingkatan I dan II, individu dapat bergerak secara mandiri tanpa bantuan,
dengan kapasitas yang bervariasi untuk lari, melompat dan naik tangga. Level III
GMFCS memiliki pergerakan yang dilakukan secara mandiri dengan bantuan seperti
alat bantu berjalan, penyangga kaki dan lain sebagainya. Sedangkan pada Level IV
dan V, individu menggunakan bantuan kursi roda dengan perbedaan kemampuan
mereka dalam mengontrol kursi roda mereka sendiri.1

8
Gambar 2.2 GMFCS1

2.4 Etiologi
Otak yang sedang berkembang rentan terhadap kerusakan oleh sejumlah
mekanisme patologis yang berbeda. Defisit neurologis yang berat yang terjadi dikenal
sebagai gangguan pergerakan serebral atau infantile cerebral palsy (ICP).12

1. Perdarahan Germinal Matrix (Subependymal) Pada Bayi Prematur


Bayi Pada bayi berat badan rendah dan prematur (20-35 tahun) minggu
usia kehamilan), kadang-kadang terjadi dalam beberapa hari setelah lahir,
penurunan fungsi otak yang buruk, biasanya didahului oleh gangguan pernapasan
(penyakit membran hialin), dengan sianosis dan apnea. Juga terdapat kegagalan

9
batang otak automatisme (mengisap dan menelan), fontanel yang menonjol, dan
CSF sanguinous. Jika bayi menjadi benar-benar tidak responsif, kematian
biasanya terjadi dalam beberapa hari. Penyebab perdarahan matriks tidak
sepenuhnya jelas. Kemungkinan hal ini terkait dengan peningkatan tekanan yang
sangat besar pada pembuluh darah tipis dari matriks germinal ditambah dengan
kurangnya adekuat jaringan penyokong di zona ini. Selama periode arteri yang
tidak stabil atau tekanan darah vena yang terjadi dengan gangguan paru-paru bayi
yang belum matang, pembuluh berdinding tipis ini pecah. Bayi-bayi ini juga
rentan terhadap perkembangan bentuk lain lesi materi putih serebral
(periventricular leukomalacia, mungkin berasal dari vena; dan defisit neurologis
akibat dari lesi ini dapat ditambahkan ke defisit residual karena perdarahan
subependymal (terutama hidrosefalus).12
2. Leukomalacia periventrikular
Ini adalah zona nekrosis materi putih di daerah aliran yang dalam dari
arteri kortikal dan pusat. Lesi materi putih ini terjadi di sekitar sepertiga dari
kasus perdarahan subependymal, tetapi lesi tersebut dapat berkembang secara
independen baik pada bayi prematur dan bayi yang telah menderita hipotensi dan
apnea. Pasien sering bermanifestasi sebagai serebral hemiplegia atau diplegia dan
berbagai tingkat gangguan mental. Gangguan motorik biasanya lebih parah
daripada kognitif dan penurunan kemampuan bahasa. Pada pemeriksaan
ultrasonografi, lesi ini muncul sebagai echodensity dalam materi putih
periventrikular.12
3. Kerusakan Hipoksik-Iskemik dan Ensefalopati Neonatal
Asfiksia neonatal berat atau bayi prematur dapat menjadi penyebab
penting sindrom spastik-dystonicataxic, sering disertai dengan kejang dan
subnormalitas mental. Sistem saraf pusat pada periode postnatal menoleransi
hipoksia dan mengurangi aliran darah dengan baik. Sehingga ensefalopati akibat
hipoksia dan iskemia yang terjadi biasanya sudah terjadi dalam rahim dan
diekspresikan setelah kelahiran.12

10
2.5 Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko ibu dan prenatal secara statistik berhubungan dengan
cerebral palsy:6,13
1. Siklus menstruasi Panjang
2. Sebelumnya kehilangan kehamilan
3. Sebelumnya kehilangan bayi yang lahir
4. Ibu keterbelakangan mental
5. Gangguan tiroid ibu, terutama defisiensi yodium
6. Ibu gangguan kejang
7. Riwayat melahirkan seorang anak dengan berat kurang dari 2000 g
8. Riwayat melahirkan anak dengan defisit motorik, keterbelakangan mental,
atau defisit sensorik 
Faktor-faktor berikut selama kehamilan juga berhubungan secara
statistik dengan cerebral palsy :6
1. Polihidramnion
2. Pengobatan ibu dengan hormon tiroid, estrogen atau progesteron
3. Ibu gangguan kejang
4. Proteinuria berat maternal atau tekanan darah tinggi
5. Ibu terpapar metil merkuri
6. Cacat kongenital pada janin
7. Jenis kelamin janin laki-laki
8. Perdarahan pada trimester ketiga
9. Retardasi pertumbuhan intrauterine
10. Kehamilan multipel
Kejadian cerebral palsy pada kehamilan multipel lebih mungkin berhubungan
dengan keberadaan prematuritas atau hambatan pertumbuhan dalam kandungan.
Kehamilan multipel mungkin tidak risiko tambah untuk gangguan ini. Pengecualian
adalah ketika salah satu kembar mati; kembar yang masih hidup memiliki kesempatan
lebih tinggi daripada yang tunggal dalam pengembangan cerebral palsy.

11
A. Faktor risiko Perinatal
Faktor-faktor perinatal berikut ini berhubungan dengan peningkatan risiko
cerebral palsy:6,14,15
1. Prematuritas
2. Korioamnionitis
3. Presentasi nonvertex dan wajah janin
4. Lahir asfiksia
Sepuluh persen atau kurang dari kasus cerebral palsy, kelahiran asfiksia dapat
ditentukan sebagai penyebab definitif. Bahkan ketika asfiksia lahir dianggap
berhubungan jelas dengan cerebral palsy, faktor kehamilan tidak normal (misalnya
retardasi mental, pertumbuhan intrauterin, kelainan bawaan otak) mungkin telah
berkontribusi terhadap gawat janin perinatal. Kasus cerebral palsy disebabkan oleh
asfiksia lahir harus mendokumentasikan bukti nyata asidosis, ensefalopati neonatal
sedang sampai gawat, quadriplegia spastik, jenis dyskinetic atau campuran dari
cerebral palsy, dan pengucualian etiologi lainnya. Selain itu, kejadian intrapartum
harus disarankan oleh peristiwa sentinel, perubahan tingkat jantung janin, skor
APGAR kurang dari 4 pada 5 menit, kerusakan organ sistem yang terkait dengan
hipoksia jaringan, dan kelainan pencitraan awal.

B. Faktor risiko Postnatal


Faktor-faktor postnatal berikut dapat menyebabkan cerebral palsy:6
1. Infeksi (misalnya, meningitis, ensefalitis)
2. Perdarahan intrakranial (misalnya, karena prematuritas, kelainan pembuluh
darah,atau trauma)
3. Periventricular leukomalacia (pada bayi prematur)
4. Hipoksia-iskemia (misalnya, dari aspirasi mekonium)
5. Sirkulasi janin persisten atau hipertensi paru persisten pada bayi baru lahir
6. Kern ikterus

12
2.6 Patofisiologi
Tergantung pada tahap perkembangan otak, berbagai daerah dan jenis sel
menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap cedera sehingga menyebabkan cacat
jaringan dan perubahan selama masa perkembangan otak.16

Tabel 2.1 Perkembangan Struktur Otak16


Struktur Otak
Neurulasi Minggu ke 3 - 4 kehamilan

Pons Minggu ke-5 kehamilan - trimester 3


Cerebellum Minggu ke-4 kehamilan – Bulan ke-15
Postnatal
Basal ganglia Minggu ke-13 kehamilan Bulan ke-12
Postnatal
Induksi dari Minggu ke-5 kehamilan
Telencephalon
Laminasi kortikal Trimester 2–3
Gyrifikasi kortikal Minggu ke-14 kehamilan - Tahun ke-2
kehidupan
Saluran kortikospinalis Mulai trimester ke-1 mencapai sumsum
tulang belakang trimester ke-2 -
postnatal, sampai pertengahan masa
remaja
Perkembangan Neuronal Telencephalon
Proliferasi neuroblas Minggu 5–30 kehamilan
Migrasi neuroblas Minggu ke 6 – 35 kehamilan
Pertumbuhan aksonal / dendritik Minggu ke-10 – akhir tahun ke-5
kehidupan
Sintesis Neurotransmitter Dari minggu ke-8 kehamilan
Pembentukan sinapsis Dari minggu ke-8 kehamilan
Perkembangan Glial
Astrosit Matur Dari minggu ke-15 kehamilan
Mielinisasi Minggu ke-14
Kehamilan – remaja
Perkembangan Pembuluh Darah
Circle of Willis Akhir minggu ke-4 kehamilan-ke-8
minggu kehamilan

13
Vaskularisasi Basal Ganglia dan Minggu ke- 5 kehamilan - Minggu 24-28
Diencephalon kehamilan
Arteri panjang yang mendarahi Deep Minggu 16-23 kehamilan
Penetrasi arter pendek korteks dan Minggu ke 23 kehamilan–
Subkortikal White Matter periode postnatal

Oklusi total arteri serebral yang terjadi menyebabkan infark otak dan
berturut-turut menyebabkan ke hemiplegia kongenital. Lesi ini terutama terlihat pada
bayi aterm. Penyebab pengembangan tromboemboli bermacam-macam dan termasuk
di antaranya lain-lain gangguan jantung (Paten Ductus Arteriosus, Atresia Katup
Pulmonal, dll.), perubahan dalam komposisi darah (homocysteine, lipid,
polycythaemia, Factor V Leiden, defisiensi protein S dan C, protrombin abnormal,
dll.), infeksi, kelainan bentuk pembuluh darah, trauma, asfiksia, dehidrasi, penyakit
pada ibu dan perubahan plasenta.16
Zona perbatasan antara arteri serebral basal utama memainkan peran penting
dalam hipotensive brain injury. Zona perbatasan ini pembentuk garis parasagital di
bagian permukaan otak, sedangkan di parenkim, perbatasan arteri serebri anterior dan
tengah berjalan anterior ke frontal horns ventrikel lateral, dan perbatasan antara arteri
tengah dan posterior berada dalam materi putih di sekitar tanduk occipital horns.
Infark zona perbatasan kortikal parasagital di pada bayi cukup bulan dapat muncul
sebagai ulegyria (jaringan parut gyral). Secara klinis pasien dapat hadir dengan
tampilan retardasi mental, motor deficit dan epilepsi. Namun, ulegyria juga dapat
terjadi dalam wilayah satu arteri serebral utama.16
Pembuluh darah intrinsik otak berkembang sekitar minggu ke 5 kehamilan
dengan penetrasi arteri besar yang berjalan sebagai cabang dari arteri serebri tengah
dari bagian dasar otak ke basal ganglia dan diencephalon serta matriks germinal dari
zona periventricular subependymal. Zona germinatif menunjukkan angiogenesis
tinggi dan tingkat tinggi siklooksigenase dan faktor pertumbuhan vaskular.
Perkembangan vaskularisasi dari ganglia basal dan diencephalon selesai pada 24-28
minggu kehamilan.16

14
Kerusakan langsung pada endotelium akibat hipoksia kemungkinan
diperburuk oleh peningkatan aliran darah yang diinduksi oleh hiperkarbia aliran dapat
menjadi penyebab perdarahan periventrikular dan intraventrikular yang berasal dari
lapisan germinal di sekitar vena terminal antara thalamus dan nukleus kaudatus.
Trauma maternal minor diusulkan sebagai kofaktor yang mungkin untuk perdarahan
subependymal dan intraventrikular.16
Pasokan darah materi putih otak terjadi dari bagian permukaan otak yang
cembung sampai penetrasi pembuluh tipis pada minggu ke 16 dan 23 diikuti oleh
penetrasi arteri pendek sejak minggu ke-23 kehamilan dan seterusnya dan memasok
korteks dan materiputih subkortikal. Perkembangan pembuluh darah pendek
menyertai perkembangan kortikal cepat, dan pembentukan-perkembangan sinapsis
aksonal sinapsis terjadi pada periode ini. Arteri pendek kortikal tidak sepenuhnya
berkembang sampai periode posterm sehingga menghasilkan suplai darahyang relatif
rendah dari materi putih subkortikal. Area ini biasanya terkena leukomalacia
periventrikular yang halus (Periventricular Leukomalacia /PVL). PVL terutama
diamati pada penderita dengan berat lahir sangat rendah yang menjadi faktor
terpenting untuk morbiditas neurologis pada berat lahir sangat rendah bayi (<1500
g).16
Penelitian menunjukkan dari total 217 pasien 24,9% yang menderita CP
memiliki riwayat leukomalacia periventrikular. Faktor paling penting dalam
periventrikular infark adalah anoksia perinatal berat yang mengharuskan resusitasi.
Materi putih otak yang terdiri dari progenitor oligodendroglial rentan tidak hanya
untuk kekurangan oksigen / glukosa tetapi juga untuk radikal bebas dan sitokin.
Sitokin seperti interferon-gamma dilepaskan dalam konteks infeksi intrauterin dan
dapat mempengaruhi prekursor oligodendroglial.16

2.7 Manifestasi Klinik

15
Beberapa tipe paralisis otak tidak menunjukkan gambaran klinis yang nyata
pada satu bulan pertama setelah kelahiran, oleh karena adanya gambaran release
phenomenon dan juga karena kecilnya aktivitas serebral pada awal kelahiran. Pada
Cerebral palsy perkembangan pergerakan terlambat sering disertai dengan retardasi
mental. Penilaian intelegensia sulit dilakukan karena adanya penurunan fungsi
sensoris dan motoris.17

Gambar 2.3 Manifestasi Klinis Cerebral Palsy17


a. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan
klonus dan reflek Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu
menetap dan tidak hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur.
Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu gabungan otot, karena
itu tampak sifat yang khas dengan kecenderungan terjadi kontraktur,
misalnya lengan dalam aduksi, fleksi pada sendi siku dan pergelangan tangan
dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di
telapak tangan. Tungkai dalam sikap aduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut,
kaki dalam flesi plantar dan telapak kaki berputar ke dalam. Tonik neck reflex
dan refleks neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya terletak
di traktus kortiko spinalis. Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung kepada
letak dan besarnya kerusakan yaitu monoplegia / monoparesis. Kelumpuhan
keempat anggota gerak, tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang

16
lainnya; hemiplegia/ hemiparesis adalah kelumpuhan lengan dan tungkai
dipihak yang sama; diplegia/ diparesis adalah kelumpuhan keempat anggota
gerak tetapi tungkai lebih hebat daripada lengan; tetraplegia/ tetraparesis
adalah kelimpuhan keempat anggota gerak, lengan lebih atau sama hebatnya
dibandingkan dengan tungkai.18

Gambar 2.4 Manifestasi Klinis Cerebral Palsy18

17
b. Tonus otot yang berubah
Bayi pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak flaksid
(lemas) dan berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti
kelainan pada lower motor neuron. Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi
perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring
tampak fleksid dan sikapnya seperti kodok terlentang, tetapi bila dirangsang
atau mulai diperiksa otot tonusnya berubah menjadi spastis, Refleks otot yang
normal dan refleks babinski negatif, tetapi yang khas ialah refelek neonatal
dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak dan
disebabkan oleh afiksia perinatal atau ikterus.18
c. Koreo-atetosis
Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan
yang terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama
tampak flaksid, tetapa sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks
neonatal menetap dan tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat timbul juga
gejala spastisitas dan ataksia, kerusakan terletak diganglia basal disebabkan
oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa neonatus.18

Gambar 2.6 Manifestasi klinis koreo-atetosis18


d. Ataksia
Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini
biasanya flaksid dan menunjukan perkembangan motorik yang lambat.
Kehilangan keseimbangan tamapak bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan

18
sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan kaku. Kerusakan terletak
di serebelum.18

Gambar 2.7 Tes untuk ataksia18

e. Gangguan pendengaran
Terdapat 5-10% anak dengan cerebral palsy. Gangguan berupa
kelainan neurogen terutama persepsi nadi tinggi, sehingga sulit menangkap
kata-kata. Terdapat pada golongan koreo-atetosis.18
f. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental.
Gerakan yang terjadi dengan sendirinya dibibir dan lidah menyebabkan sukar
mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan
sering tampak anak berliur.18
g. Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan
refraksi pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak.18

2.8 Diagnosis
Menegakkan diagnosis pasti dari cerebral palsy tidaklah begitu mudah,
terutama pada bayi yang berusia kurang dari 1 tahun. Pada kenyataannya untuk
mendiagnosis cerebral palsy ada suatu fase dimana dokter hanya mengawasi ataupun
menunggu untuk melihat apakah kerusakan motorik bersifat permanen dan spesifik.
Banyak anak yang menderita cerebral palsy dapat didiagnosis pada usia 18 bulan,
akan tetapi 18 bulan merupakan waktu yang sangat lama bagi orang tua pasien untuk

19
menantikan diagnosa dari penyakit anak mereka, dan ini menjadi saat-saat yang
paling sulit untuk dilalui.19,20
a. Anamnesis
Tahun 2003, American Academy of Neurology (AAN) menyarankan
parameter praktek skrining untuk potensi serebral palsi berikut terkait defisit
pada penilaian awal:6
1) Mental retardasi
2) Ophthalmologic dan gangguan pendengaran
3) Gangguan Bicara dan bahasa
4) Disfungsi Oromotor
Diagnosis dimulai dengan riwayat keterlambatan perkembangan
motorik kasar pada tahun pertama kehidupan. Cerebral palsy sering
bermanifestasi sebagai hipotonia awal untuk 6 bulan pertama sampai 1 tahun
kehidupan, diikuti dengan spastik.17 Otot yang abnormal adalah gejala yang
paling sering diamati. Anak mungkin hadir sebagai baik hipotonik atau, lebih
umum, hipertonik dengan resistensi baik menurun atau meningkat menjadi
gerakan pasif, masing-masing. Anak dengan Cerebral Palsy mungkin
memiliki periode awal hipotonia diikuti oleh hypertonia. Semakin lama
periode hipotonia sebelum hypertonia, semakin besar kemungkinan bahwa
hypertonia akan lebih parah.6
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap tentang riwayat
kehamilan, perinatal dan pascanatal, dan memperhatikan faktor risiko
terjadinya Cerebral Palsy.1 Cerebral Palsy biasa didiagnosis atau dicurigai
pada bayi atau anak dengan riwayat mengalami keterlambatan dalam
perkembangan pergerakan seperti tengkurap (5 bulan), duduk (7 bulan),
belajar berdiri (10 bulan), berdiri sendiri (14 bulan), berjalan (15 bulan).
Dalam menegakkan diagnosis Cerebral Palsy seorang dokter biasanya
memperhitungkan keterlambatan gerakan-gerakan tersebut.19

20
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dilihat kelainan tonus otot, kelainan
gerak, dan kelainan refleks pada bayi. Indikator fisik Cerebral Palsy termasuk
kontraktur sendi sekunder untuk otot spastik, hipotonik untuk tonus otot
spastik, keterlambatan pertumbuhan, dan reflex primitif persisten. Presentasi
awal Cerebral Palsy termasuk hipotonia awal, diikuti dengan kekejangan.
Umumnya, kelenturan tidak terwujud sampai setidaknya 6 bulan sampai 1
tahun kehidupan. Evaluasi neurologis meliputi pengamatan dekat dan
pemeriksaan neurologis formal.6
Sebelum pemeriksaan fisik formal, observasi dapat mengungkapkan
leher abnormal atau tonus otot trunkal (menurun atau meningkat, tergantung
pada usia dan jenis cerebral palsy); postur asimetris, kekuatan, atau gaya
berjalan; atau koordinasi abnormal. Pasien dengan cerebral Palsy dapat
menunjukkan refleks meningkat, menunjukkan adanya lesi upper motor
neuron. Kondisi ini juga dapat hadir sebagai persistensi refleks primitif,
seperti Moro (refleks kejut) dan refleks leher asimetris tonik (yaitu, postur
dengan leher berubah dalam arah yang sama ketika satu lengan diperpanjang
dan yang lain tertekuk). Tonik leher simetris, genggaman palmar, labirin
tonik, dan refleks penempatan kaki juga dicatat. Refleks Moro dan labirin
tonik seharusnya hilang pada saat bayi sudah berusia 4-6 bulan, refleks
pegang palmaris pada 5-6 bulan, refleks tonik leher asimetris dan simetris
pada 6-7 bulan,dan penempatan refleks kaki sebelum 12 bulan. Cerebral
palsy juga termasuk keterbelakangan atau tidak adanya refleks postural atau
protektif (memperpanjang lengan ketika duduk).6
c. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis dari Cerebral Palsy tidak dapat dibuat berdasarkan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah ataupun pemeriksaan
radiologi (X-Ray, CT- Scan, dan MRI), namun demikian pemeriksaan tersebut
dapat saja dilakukan untuk menyingkirkan kecurigaan-kecurigaan mengenai
penyakit yang lainnya. MRI dan CT Scan merupakan pemeriksaan yang paling

21
sering dilakukan pada pasien-pasien dengan kecurigaan Cerebral Palsy.
Pemeriksaan-pemeriksaan ini memberi kecurigaan berupa Hidrocephalus atau
pun dapat menyingkirkan penyakit lain yang juga menyebabkan gangguan
motorik. Akan tetapi pemeriksaaan ini tidak dapat membuktikan bahwa
seorang anak menderita Cerebral Palsy.20
Menurut data yang berhasil dikumpulkan pada sekelompok anak yang
menderita Cerebral Palsy ditemukan kelainan pada hasil CT Scannya, baik
berupa skar, pendarahan, ataupun kelainan-kelainan lainnya yang tidak
ditemukan pada anak normal. Maka dari itu pada anak dengan hasil CT Scan
yang menunjukkan suatu kelainan dan didukung dengan pemeriksaan fisis
yang mengarah kepada Cerebral palsy, dapat didiagnosis sebagai Cerebral
Palsy.20
Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan adalah foto polos
kepala, pemeriksaan pungsi lumbal. Pemeriksaan EEG terutama pada
pendenita yang memperlihatkan gejala motorik, seperti tetraparesis,
hemiparesis, atau karena sering disertai kejang. Pemeniksaan psikologi untuk
menentukan tingkat kemampuan intelektual yang akan menentukan cara
pendidikan ke sekolah biasa atau sekolah luar biasa.20

2.9 Diagnosis banding21


a. Neuromuskuler :
1) Spinal muscle artrophy
2) Distrofia muskuler
Kelainan otot herediter yang progresif, timbul sebelum usia 5 tahun,
biasanya pada anak laki-laki. Kelemahan otot tampak di proksimal.
b. Degeneratif :
1) Friedriech's ataxia
2) Penyakit Chorea Huntington masa anak
Gangguan gerakan yang disebabkan karena disfungsi basal ganglia.
Gerakan menyentak, cepat, ireguler, tidak dapat diprediksikan dapat terjadi

22
pada satu bagian tubuh yang kemudian dapat mengenai bagian tubuh yang
lain, dapat disertai dengan kesulitan untuk makan gangguan gait, clumsiness.
c. Metabolik :
1) Penyakit Wilson
d. Kelainan Tulang & Sendi :
1) Arthero gryphosis multiplex kongenital
e. Penyakit gangguan gerak involunter:
1) Sindrom Tourette
2) Chorea Sydenham
3) Spasmus nutans
f. Tumor atau AVM medulla spinalis
g. Spinal dystrophia

2.10 Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan cerebral palsy adalah:22
a. Membuat anak dengan Cerebral Palsy dapat beraktivitas senormal mungkin
dan seefektif mungkin di rumah, sekolah dan masyarakat.
b. Memberikan dasar bagi anak agar dapat mandiri meski memiliki keterbatasan
akibat kelainan neurologis yang dimilikinya.
c. Membantu orang tua dalam menerima dan memahami perannya sebagai
pendukung kebutuhan anaknya.
d. Membantu mengkoordinasi rencana perawatan yang terintegrasi dari para ahli
kesehatan terhadap kesembuhan dan keberlangsungan pasien.
Manajemen gerakan abnormal spastisitas pada pasien Cerebral Palsy diberikan
beberapa obat medikamentosa seperti:
1. Baclofen
Baclofen adalah agonis asam butirat gamma amino (GABA), bertindak
selektif pada reseptor GABA-B di otak dan lapisan II dan III dari materi abu-
abu dorsal sumsum tulang belakang. Tindakan ini menghasilkan efek
penghambatan pada rilis pemancar presinaptik melalui pembatasan masuknya

23
kalsium ke terminal presinaptik, serta efek di terminal pascasinaps untuk
mengurangi aktivitas neuron dengan meningkatkan konduktansi kalium.
Selain itu, baclofen mungkin memiliki efek dengan mengurangi pelepasan
pemancar rangsang seperti zat P yang berperan dalam menghasilkan kejang.
Baclofen diberikan dengan dosis awal 0.2 mg/kg/hari dengan dosis maksimal
1 - 2 mg/kg/hari.23
2. Botulinum toksin
Botulinum toksin tipe A dapat mengurangi kekejangan selama 3-6 bulan
dipertimbangkan untuk anak dengan cerebral palsy dengan kelenturan pada
ekstremitas bawah khususnya daerah gastroknemius. Terapi ini dapat
memungkinkan untuk meningkatkan rentang gerak, pengurangan deformitas,
respon ditingkatkan untuk terapi okupasi dan fisik, dan keterlambatan dalam
kebutuhan untuk manajemen operasi kelenturan.24
Dosis badan yang dibentuk total toksin botulinum dibatasi sampai 12
U/kg,maksimal 400 U setiap kunjungan pengobatan. Interval pengobatan
minimal 4 bulan untuk membantu mencegah pembentukan antibodi, yang bisa
membuat prosedur botulinum toksin selanjutnya kurang efektif. 24
3. Diazepam
Diazepam adalah benzodiazepine yang memiliki efek pada reseptor GABA-A
dalam grey matter dorsal spinal. Efek penurunan konduktansi klorida pada
kompleks reseptor ini menghasilkan peningkatan penghambatan presinaptik
input aferen, yang menghasilkan penurunan spastisitas. Diazepam dapat
diberikan dengan dosis awal 0,05 mg/kg/dosis, secara bertahap meningkat
menjadi 0,3 mg/kg/dosis yang diberikan hingga tiga kali sehari dalam
spastisitas yang parah.23,24

Manajemen Distonia
Diketahui bahwa distonia dapat terjadi ketika ada ketidakseimbangan aktivitas
neurotransmitter kolinergik menjadi dopaminergik, sehingga pengurangan
farmakologis aktivitas kolinergik dengan menggunakan obat antikolinergik, atau
sebaliknya meningkatkan aktivitas dopaminergik dengan menggunakan agen

24
dopaminergik, mengubah keseimbangan ini. Pada penderita dapat diberikan terapi
berupa:23
1. Trihexyphenidyl
Trihexyphenidyl adalah agen antikolinergik yang sejak dulu digunakan dalam
pengelolaan gangguan ekstrapiramidal pada anak dan orang dewasa.
Mekanisme aksinya belum sepenuhnya diketahui namun ada sejumlah besar
interneuron kolinergik di ganglia basal di mana kelainan yang tercatat pada
neuroimaging dapat dikaitkan dengan gambaran klinis distonia. Dosis
trihexyphenidyl yang digunakan pada anak kisaran 0,15 - 2,0 mg/kg/hari.23
2. Levodopa
Levodopa adalah asam amino aromatik dan merupakan prekursor
metabolisme dopamin. Ini diberikan dengan carbidopa, yang tidak melewati
sawar darah-otak, tetapi meningkatkan ketersediaan levodopa untuk
perjalanan melewati sawar darah-otak dan dikonversi menjadi dopamin. Dosis
awal dianjurkan pada 1 mg / kg / hari, secara bertahap meningkat hingga 10
mg/kg/hari, diberikan tiga kali sehari.23

Konsultasi Multidisiplin
Pendekatan tim multidisiplin diperlukan dalam pengelolaan pasien dengan
Cerebral Palsy. Adapun pasien harus dikonsulkan ke bagian lain seperti :22
1. Physiatrist
Penderita Cerebral Palsy harus dikonsultasikan untuk evaluasi dan manajemen
dari program rehabilitasi. Spesialis Physiatrist membantu aspek perawatan gejala
spastisitas pada pasien.
2. Ahli bedah ortopedi
Ahli bedah ortopedi diperlukan untuk membantu memperbaiki deformitas
struktural dan harus dikonsultasikan untuk pengelolaan operasi dislokasi pinggul,
skoliosis, dan spastisitas. Dokter bedah ortopedi juga dapat mengelola toksin
botulinum tipe A intramuskular.

25
3. Ahli saraf dan ahli bedah saraf
Seorang ahli syaraf dapat membantu dengan diagnosis diferensial dan dengan
mengesampingkan gangguan neurologis lainnya. Konsultasi dengan ahli saraf
juga dapat membantu dalam pengobatan pasien dengan kejang. Ahli bedah saraf
harus dikonsultasikan untuk mengidentifikasi dan mengobati hidrosefalus,
kelainan tulang belakang atau kejang.
4. Ahli gizi
Ahli gizi berperan dalam upaya memberi makan dan menyediakan manajemen
kesulitan pemberian makan dan menilai status gizi.
5. Pulmonologis
Pulmonologis harus dikonsultasikan untuk pengelolaan penyakit paru kronis
akibat displasia bronko pulmonalis dan aspirasi sering atau berulang.
6. Tim Pendidikan khusus
Sebuah tim multidisiplin yang mengkhususkan diri dalam anak berkebutuhan
khusus belajar harus dikonsultasikan untuk mengidentifikasi ketidakmampuan
belajar spesifik, monitor perkembangankognitif, dan jasa pemandu melalui
intervensi dini dan sekolah. Anak harus dievaluasi oleh pusat peningkatan
komunikasi untuk memandu terapi bicara,bahasa dan penggunaan perangkat
komunikatif.
7. Spesialis lain
Konsultasi dengan dokter mata dapat diindikasikan untuk tindak lanjut dari setiap
pasien mengalami defisit visual, dan dokter THT dapat membantu untuk
menskrining defisit pendengaran. Endocrinologist kadang-kadang diperlukan
untuk pubertas prekoks atau pengobatan osteoporosis.22

2.11 Komplikasi
Komplikasi cerebral palsy dapat mempengaruhi beberapa sistem.
Misalnya,komplikasi kulit meliputi ulkus dekubitus dan luka; komplikasi ortopedi
mungkin termasuk kontraktur, dislokasi pinggul, dan/atau skoliosis.6

26
Mempertahankan berat badan mendekati berat badan ide penting bagi
pasienberkursi roda atau mereka yang memiliki disfungsi berjalan. Konsultasi gizi
harusdilakukan sejak dini dan secara berkala untuk memastikan pertumbuhan yang
tepat. Orang tua dan para profesional medis harus tetap mengatasi kesulitan gizi
potensialpada anak dengan cerebral palsy. Pasien-pasien ini sangat berisiko terkena
osteoporosis karena bantalan berat menurun, sehingga berikut asupan kalsium mereka
adalah penting.6
Komplikasi gastrointestinal dan gizi meliputi:
a. Gagal tumbuh karena kesulitan makan dan menelan sekunder untuk kontrol
oromotor yang buruk; pasien mungkin memerlukan tabung gastrostomy (G-
tabung) atau tabung jejunostomy (J-tabung) untuk menambah gizi.
b. Gastroesophageal reflux dan terkait pneumonia aspirasi
c. Konstipasi
d. Gigi karies.
Masalah gigi juga termasuk disgenesis enamel, maloklusi, dan hiperplasia
gingiva. Maloklusi dua kali lebih umum seperti dalam populasi normal.Insiden
peningkatan masalah gigi sering sekunder untuk penggunaan obat, khususnya obat
diberikan pada bayi prematur dan agen antiepilepsi.
Komplikasi pernapasan meliputi:
a. Meningkatnya risiko pneumonia aspirasi karena disfungsi oromotor
b. Penyakit paru kronis/displasia bronkopulmonalis
c. Bronchiolitis/asma
Komplikasi neurologis meliputi:
a. Epilepsi.
b. Gangguan pendengaran (terutama pada pasien yang mengalami ensefalopati
bilirubin akut (kerni kterus), juga terlihat pada pasien yang lahir prematur
atauyang terkena obat ototoxic)
c. Penglihatan
Kelainan medan penglihatan karena cedera kortikal
d. Strabismus

27
Epilepsi terjadi pada 15-60% anak dengan cerebral palsy dan lebih
seringterjadi pada pasien dengan quadriplegia spastik atau retardasi mental. Bila
dibandingkan dengan kontrol, anak dengan cerebral palsy memiliki insiden yang
lebih tinggi dengan onset epilepsi dalam tahun pertama kehidupan dan lebih mungkin
untuk memiliki riwayat kejang neonatal, status epileptikus, polytherapy, dan
pengobatan dengan lini kedua antikonvulsan. Faktor yang terkait dengan masa bebas
kejang minimal 1 tahun termasuk kecerdasan normal, jenis kejang tunggal,
monoterapi, dan kejang diplegia. Ketajaman visual berkurang pada bayi premature
karena retinopati prematuritas dengan hypervascularization dan mungkin ablasi
retina.
Komplikasi kognitif/psikologis/perilaku meliputi berikut ini:
a. Keterbelakangan mental (30-50%), paling sering dikaitkan dengan
quadriplegia
b. Defisit perhatian/gangguan hiperaktivitas
c. Disabilitas belajar
d. Dampak pada kinerja akademik dan harga diri
e. Peningkatan prevalensi depresi
f. Kesulitan integrasi sensorik 
g. Peningkatan prevalensi gangguan perkembangan progresif atau autisme yang
berhubungan dengan diagnosis bersamaan cerebral palsy

2.12 Prognosis
Pada anak dengan cerebral palsy, prognosis dapat dilihat dari bagaimana
kelainan motorik pada anak itu terlihat. Dengan adanya kelainan motorik tersebut,
dapat mempengaruhi setiap aktivitas hidup jangka panjangnya seperti menelan, nyeri,
kontraktur, dan gangguan dalam beraktivitas seperti berjalan. Beberapa masalah
dalam emosional dan penyakit kronis bisa juga menjadi masalah ketika penderita
cerebral palsy menjadi dewasa sehingga dibutuhkan penanganan khusus dalam
menangani masalah tersebut ketika penderita masih berusia muda. Lebih dari 90%
anak penderita cerebral palsy dapat selamat saat menjadi dewasa nantinya apabila

28
penanganan seperti emosional dan masalah motorik dapat diatasi sehingga dapat pula
meningkatkan quality of life pada anak tersebut.25
Gangguan kognitif terjadi lebih sering pada orang dengan otak dari pada
populasi umum. Tingkat keseluruhan keterbelakangan mental pada orang yang
terkena dampak dianggap 30-50%. Beberapa bentuk ketidakmampuan belajar
(termasuk keterbelakangan mental) telah diperkirakan terjadi pada mungkin 75%
pasien. Namun, standar pengujian kognitif terutama mengevaluasi kemampuan verbal
dan dapat mengakibatkan meremehkan kemampuan kognitif pada beberapa individu.
Beberapa anak mengalami gangguan seperti kurangnya konsentrasi 36%, gangguan
interaksi dengan orang 33%, abnormalitas sosial dengan orang lain 42 %, dan
gangguan dalam berkomunikasi 88%.25
Pada penderita cerebral palsy, tingkat morbiditas yang akan dimiliki
tergantung dari bagaimana keparahan dan gangguan fungsi pada penderita tersebut.
Pada penderita cerebral palsy yang disertai diabetes dapat memiliki presentase
morbiditas 9,2%, asma 20,7%, hipertensi 30%, stroke 4,6%, nyeri sendi 43,6%,
athritis 31,4 %, dan obesitas 41,4%. Kesehatan yang baik, mental yang baik, dan
aktivitas yang di persering dapat mempengaruhi prognosis penderita menjadi lebih
baik lagi.25
Tingkat mortalitas pada penderita cerebral palsy tergantung dalam bagaimana
keadaan penderita seperti kelainan motoriknya, komplikasinya, dan status
sosioekonomi dimana akan meningkatkan harapan hidup penderita. Selain itu, dengan
adanya tatalaksana yang baik dan terapi yang baik akan meningkatkan quality of life
pada penderita sehingga dapat mempengaruhi angka prognosis nya tersebut. Quality
of life dapat meningkatkan harapan hidup pada penderita. Apabila quality of life
sudah jelek, dapat menurunkan angka harapan hidup penderita dimana Pasien dengan
bentuk parah cerebral palsy dapat memiliki jangka hidup yang berkurang secara
signifikan, meskipun hal ini terus membaik dengan meningkatnya pelayanan
kesehatan dan tabung gastrostomy. Pasien dengan bentuk ringan dari gangguan ini
memiliki harapan hidup dekat dengan masyarakat umum, meskipun masih agak
berkurang.25,26

29
BAB III
KESIMPULAN

Cerebral palsy (CP) adalah gangguan perkembangan saraf kronis yang


heterogen dalam semua aspek, seperti etiologi, presentasi, keparahan fungsional,
komorbiditas, pilihan pengobatan, lintasan individu, dan hasil. Definisi cerebral
palsy dari berbagai ahli memiliki beberapa perbedaan, namun terdapat beberapa
kesamaan, yaitu gangguan gerakan atau postur yang mengarah ke gangguan motorik
yang berkembang sangat dini dalam kehidupan, dan dapat dikaitkan dengan kelainan
otak, meskipun tanda-tanda klinis berubah dengan perkembangan anak, kelainan otak
tidak membaik atau memburuk.
Cerebral palsy merupakan penyebab paling umum dari kecacatan anak di
masyarakat Barat dengan insidensi 2-2.5 / 1000 kelahiran hidup. Beberapa anak yang
terkena dampak tidak selamat memiliki prevalensinya bervariasi antara 1-5 / 1000
bayi di berbagai negara. Tipe spastik merupakan tipe yang sering ditemui di
Indoneisa, India, Alberta Utara dengan subtipe quadriplegik dominan di Indonesia
dan India, sedangkan di Alberta Utara subtipe hemiplegia yang dominan. Data di
Indonesia didapatkan bahwa cerebral palsy sering terjadi pada anak laki-laki (3:2),
kurang gizi (24%), berat lahir normal (80.9%) dan kejadian prenatal menjadi
penyebab cerebral palsy tersering (69,5%).
Otak yang sedang berkembang rentan terhadap kerusakan oleh sejumlah
mekanisme patologis yang berbeda. Defisit neurologis yang berat yang terjadi dikenal
sebagai gangguan pergerakan serebral atau infantile cerebral palsy (ICP). Beberapa
tipe paralisis otak tidak menunjukkan gambaran klinis yang nyata pada satu bulan
pertama setelah kelahiran, oleh karena adanya gambaran release phenomenon dan
juga karena kecilnya aktivitas serebral pada awal kelahiran. Pada cerebral palsy
perkembangan pergerakan terlambat sering disertai dengan retardasi mental.

30
Pada tipe spastisitas, Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai
dengan klonus dan reflek Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu
menetap dan tidak hilang meskipuan penderita dalam keadaan tidur. Tonus otot yang
berubah, pada usia bulan pertama tampak flaksid (lemas) dan berbaring seperti kodok
terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor neuron. Menjelang
umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Gejala
lainyya terdapat koreo-atetosis, ataksia, gangguan pendengaran, bicara dan mata.
Banyak anak-anak yang menderita cerebral palsy dapat didiagnosis pada usia 18
bulan dimana dokter hanya mengawasi ataupun menunggu untuk melihat apakah
kerusakan motorik bersifat permanen dan spesifik.
Manajemen gerakan abnormal spastisitas dan manajemen distonia pada pasien
cerebral palsy diberikan beberapa obat medikamentosa. pendekatan tim multidisiplin
diperlukan dalam pengelolaan pasien dengan cerebral Palsy. Di antara spesialis yang
harus dikonsultasikan adalah physiatrists; ahli bedah ortopedi, ahli saraf dan ahli
bedah saraf, ahli genetika; pencernaan, ahli gizi, dan tim memberi makan dan
menelan; pulmonologists; tim ketidakmampuan belajar, dan spesialis lain.
Komplikasi cerebral palsy dapat mempengaruhi beberapa sistem.
Misalnya,komplikasi kulit meliputi ulkus dekubitus dan luka; komplikasi ortopedi
mungkin termasuk kontraktur, dislokasi pinggul, dan/atau scoliosis. Lebih dari 90%
anak penderita cerebral palsy dapat selamat saat menjadi dewasa nantinya apabila
penanganan seperti emosional dan masalah motorik dapat diatasi sehingga dapat pula
meningkatkan quality of life pada anak tersebut. Tingkat mortalitas pada penderita
cerebral palsy tergantung dalam bagaimana keadaan penderita seperti kelainan
motoriknya, komplikasinya, dan status sosioekonomi dimana akan meningkatkan
harapan hidup penderita

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Oskoui M, Shevell MI, dan Swaiman KF. Cerebral palsy. Dalam: Swaiman KF,
editor. Swaimans pediatric neurology. Edisi 6. Toronto:Elsevier;2018. Hlmn 734-
40
2. Berker N dan Yalqin S. The help guide to cerebral palsy. Edisi 2. Ameriksa
Serikat: Global Help;2010. Hlm 7-13
3. Frim, M. David, Gupta Nalin. Pediatric Neurosurgery: Functional Neurosurgery
in the Child. Landes Bioscience: Texas. 2006. Hal: 177
4. Dursun, N. Serebral Palsi. In: Oguz, H., Dursun, E., Dursun, N., Eds., Tıbbi
Rehabilitasyon. Nobel Tip Kitapevleri: Istanbul. 2004. Hal 957-974.
5. Serdaroglu, A., Cansu, A., Özkan, S. and Tezcan, S. Prevalance of Cerebral Palsy
in Turkish Children between the Ages of 2 and 16 Years. Developmental
Medicine Child Neurology, 48. 2006. Hal: 413-416.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1469-8749.2006.tb01288.x
6. H. H. Abdel , A. Kao and A. Zeldin , "Cerebral Palsy," [Online]. Available:
http://emedicine.medscape.com. [Diakses 25 Februari 2020].
7. Blair E dan Cans C. The definition of cerebral palsy. Dalam: Panteliades CP.
Cerebral palsy. Edisi 3. Yunani: Springer;2018. hlm 13-17
8. Yuan J, Wang J, Jieqiong, Zhu D, Zhang Z, dan Li J. Paediatric cerebral palsy
prevalence and high risk factors in Henan province, Central China. Journal of
Rehabilitation Medicine. 2019; 51: hlm 47-53
9. Robertson CMT, Ricci MF, O’Grady K, Oskoui M, Goez H, Yager JY, dan
Andersen JC. Prevalence estimate of cerebral palsy in Northern Alberta: births,
2008-2010. Can J Neurol Sci. 2017; 00: 1-9
10. Sharma P, Sharma SD, Jamwal A, Digra S, dan Saini G. Clinical profile of
patients with cerebral palsy-A hospital-based study. International Journal of
Scientific Study. 2019;7(1): hlm 196-200

32
11. Salfi QN, Saharso D, dan Atika. Profile of cerebral palsy in Dr. Soetomo general
hospital Surabaya, Indonesia. Biomolecular and Health Science Journal. 2019
2(1): hlm 13-16
12. Ropper AH, Brown RH. Developmental Disease of the Nervous System. Adam’s
and Victor,s Principle of Neurology. 8th Edition. New York : McGraw-Hill
Medical Publishing Division; 2015.p874-5.
13. P. Ancel, F. Livinec, B. Larroque, S. Marret, C. Arnaud and V. Pierrat . Cerebral
Palsy Among very Preterm Children in Relation to Gestational Age and Neonatal
Ultrasound Abnormalities; the EPIPAGE cohort study Pediatrics, vol. 117, no. 3,
pp. 828-835, 2006.
14. T. O'Shea, K. Klinepter and R. Dillard . Prenatal Evens and the Risk of Cerebral
Palsy in Very Low Birth Weight Inants . American Journal of Epidemiology , vol.
147, pp. 362-369, 1998.
15. A. Ozturk, F. Demicri and S. Yildiz . Antenatal and Delivery Risk Factors and
Prefvalence of cerebral palsy in Duzce (Turkey) . Brain Development . vol. 29 .
2007, hal. 39-42.
16. Hagel C. Brain Development and Pathophysiology of Cerebral Palsy. In :
Panteliadis CP, editor. Cerebral Palsy: a multidisciplinary approach. 3rd Edition.
Switzerland: Springer International Publishing; 2018.p36-8.
17. M. Johnston, "Encephalities : Cerebral Palsy dan Kliegman," in eBook Nelson
Textbook of Pediatrics, 18th, 2007
18. Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Daly JM, Fiscer JE, Galloway AC. Principle
of Surgery. 7th ed. United States: McGraw-Hill Companies; 1999. Vol 2 p.1922-4
19. National of Institute of Neurological Disorders and Stroke. What is Cerebral
Palsy [Online]. 2006 [cited 2020 Feb 27]; [3 screens]. Available from: URL:
https://webarchive.loc.gov/all/20090730001758/http://www.ninds.nih.gov/dis
orders/cerebral_palsy/detail_cerebral_palsy.htm#126813104
20. Miller F, Bachrach S J. Cerebral Palsy: A Complete Guide for Caregiving, 2 nd
edn. Baltimore: Johns Hapkins Press;2006. Vol 10.22 pp.475
21. PERDOSSI. Standar Pelayanan Medik (SPM), 2011.

33
22. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penanganan Kasus Rujukan
Kelainan Tumbuh Kembang Balita. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. 2010. h83-9.
23. Rice J. Oral Medication Use In Cerebral Palsy dalam : Panteliadis CP,
penyunting. Cerebral Palsy A Multidisciplinary Approach. Third Edition.
Switzerland: Springer, 2018. H259-66.
24. Delgado MR, Tilton A, Russman B, Benavides O, Bonikowski M, Carranza J, et
al. AbobotulinumtoxinA for Equinus Foot Deformity in Cerebral Palsy: A
Randomized Controlled Trial. Pediatrics. 2016 Feb. 137 (2):e20152830.
25. Bode H . Long Term Prognosis . Cerebral Palsy ed. 3 . Aristotle University of
Thessaloniki Division of Paediatric Neurology, Grecce : 2018 , hal. 327-34
26. McCormick A . Quality of Life . Cerebral Palsy ed. 3 . Aristotle University of
Thessaloniki Division of Paediatric Neurology, Grecce : 2018 , hal. 335-41

34

Anda mungkin juga menyukai