Anda di halaman 1dari 29

HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT
“Efisiensi Diagnosis dan Tatalaksana Appendisitis Akut”

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti program Kepaniteraan Klinik di


Bagian Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr.Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Ghufron Febriyan Akbar
G4A018050

Telah disetujui ,
Pada Tanggal: Maret 2020

Mengetahui
Dokter Pembimbing

dr. Syamsul Anam, Sp.B

i
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatakan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang
berjudul ”Efisiensi Diagnosis dan Tatalaksana Appendsitis Akut”. Penulisan
referat ini merupakan syarat mengikuti program Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSUD DR.Margono Soekarjo Purwokerto. Penulis berharap referat ini dapat
bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pendidikan, penelitian dan
dapat digunakan sebaik-baiknya oleh berbagai pihak yang berkepentingan.

Terimakasih penulis ucapkan kepada dr. Syamsul Anam,Sp.B selaku


dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan motivasi dalam penyusunan
referat ini. Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
referat ini. Oleh karena itu segala masukan yang bersifar membangun sangat
diharapkan.

Purwokerto, Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan.................................................................................................i
Kata Pengantar........................................................................................................ii
Daftar isi.................................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan.................................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka.........................................................................................3
2.1 Anatomi dan Fisiologi........................................................................................3
2.2 Definisi...............................................................................................................4
2.3 Epidemiologi......................................................................................................5
2.4 Etiologi...............................................................................................................5
2.5 Patofisiologi…………………………………………………………………...6
2.6 Manifestasi Klinis..............................................................................................7
2.7 Penegakan Diagnosis ........................................................................................9
2.8 Diagnosis Banding...........................................................................................17
2.9 Tatalaksana.......................................................................................................19
2.10 Komplikasi.....................................................................................................20
BAB III Kesimpulan..............................................................................................22
Daftar Pustaka……………………………………………………………………23

iii
iv
BAB I PENDAHULUAN

Apendisitis akut adalah salah satu penyebab nyeri abdomen akut yang
paling sering ditemukan. Hipotesis penyebab paling umum adalah adanya
obstruksi lumen yang berlanjut kerusakan dinding apendiks dan pembentukan
abses. Peradangan akut appendix atau appendisitis akut menyebabkan komplikasi
yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah (Pisano,2013)

Appendisitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering


ditemukan. Apendisitis dapat ditemukan pada laki-laki maupun perempuan
dengan risiko menderita apendisitis selama hidupnya mencapai 7-8%. Insiden
tertinggi dilaporkan pada rentang usia 20-30 tahun. Kasus perforasi apendiks pada
apendisitis akut berkisar antara 20-30% dan meningkat 32-72% pada usia lebih
dari 60 tahun, sedangkan pada anak kurang dari satu tahun kasus apendisitis
jarang ditemukan (Omari,2014). Angka kejadian apendisitis akut di Indonesia
diperkirakan berkisar 24,9 kasus per 10.000 populasi. Perjalanan dari mulai
timbulnya gejala menuju perforasi terjadi begitu cepat, sebanyak 20 % kasus
perforasi appendiks terjadi 48 jam, bahkan dapat 36 jam setelah timbulnya gejala
(Mazziotti,2006). Hal ini menunjukan bahwa timbulnya perforasi sangat cepat
sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serta penanganan yang tepat
dari para dokter.

Diagnosis apendisitis ditegakkan dengan riwayat penyakit, pemeriksaan


fisik, pemeriksaan laboratorium, dan ultrasonography (USG). Pemeriksaan suhu
tubuh termasuk dalam salah satu kriteria pada skor alvarado untuk penegakkan
diagnosis apendisitis. Suhu tubuh <37°C didapatkan pada pasien apendisitis tanpa
komplikasi dan pada kasus perforasi terdapat demam tinggi dengan rata-rata
38,3°C. Kadar leukosit secara signifikan lebih tinggi pada kasus perforasi
dibandingkan dengan tanpa perforasi. Leukositosis pada pasien apendisitis akut
dapat mencapai 10.000-18.000 sel/mm3 dan jika >18.000 sel/mm3 maka
umumnya terjadi peritonitis akibat perforasi (Richard,2006).

1
Penanganan standar apendisitis di dunia adalah operasi pengangkatan
apendiks yang disebut apendektomi dan dilakukan laparotomi jika sudah terjadi
perforasi. Angka mortalitas pada pasien yang dilakukan apendektomi mencapai
0,07-0,7% dan 0,5-2,4% pada pasien dengan atau tanpa perforasi (Pisano,2013).

2
BAB II . TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch


membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10
cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di caecum.
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Appendiks
terletak di kuadran kanan bawah abdomen, tepatnya di ileocaecum dan merupakan
pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum).
Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada pada titik McBurney,
yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari
SIAS kanan (Jaffe,2005).

Gambar 1. Appendix vermicularis (Human Anatomy ,2005)

Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran


histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada
submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul
limfoid. Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa
(Lally,2004)

Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada dasar


Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada

3
gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri
perut yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan (Lally,2004).

Gambar 2. Variasi lokasi Appendix vermicularis (Lally,2004).

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara appendiks


tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis. Imunoglobulin sekretoar yang
dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe
disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di
seluruh tubuh. Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar 2
minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat
dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada
jaringan lymphoid lagi di appendiks dan terjadi penghancuran lumen appendiks
komplit (Jaffe,2005)

2.2 Definisi

Appendisitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis. Peradangan


akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi
yang umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat,2004) .

4
2.3 Epidemiologi

Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan karena apendiks pada bayi berbentuk kerucut, lebar
pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini menyebabkan
rendahnya insidens kasus apendisitis pada usia tersebut. Setiap tahun rata-rata
300.000 orang menjalani apendektomi di Amerika Serikat, dengan perkiraan
lifetime incidence berkisar dari 7-14% berdasarkan jenis kelamin, harapan hidup
dan ketepatan konfirmasi diagnosis (Flum,2015).

Perforasi lebih sering pada bayi dan pasien lanjut usia, yaitu dengan
periode angka kematian paling tinggi. Insidens pada perempuan dan laki-laki
umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, ketika insidens pada laki-
laki lebih tinggi. Sedangkan kejadian apendisitis akut di Indonesia diperkirakan
berkisar 24,9 kasus per 10.000 populasi. Menurut Departemen Kesehatan RI pada
tahun 2006, angka kejadian apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di
antar kasus kegawat daruratan abdomen dan menduduki urutan keempat dari
seluruh penyakit abdomen terbanyak setelah dispepsia, gastritis dan duodenitis
dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040 (Depkes RI,2009)

2.4 Etiologi

Etiologi pasti apendisitis akut hingga saat ini belum diketahui. Jumlah
asupan makanan berserat, obstruksi lumen, dan faktor genetik diduga berperan
dalam proses terjadinya penyakit. Sejumlah penyakit infeksi dan parasit diketahui
melibatkan apendiks dan kadang-kadang dapat menyebabkan inflamasi apendiks
(Chen chun yu.2013). Penelitian epidemiologi menunjukkan peran konsumsi
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Kebiasaan
konsumsi rendah serat mempengaruhi defekasi dan fekalith menyebabkan
obstruksi lumen sehingga memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi
(Sjamsuhidajat. 2005)

Apendisitis diawali obstruksi lumen apendiks diikuti oleh infeksi. (Saucier


A, Eunice Y, Huang, et al.2013). Obstruksi dapat disebabkan oleh hiperplasia

5
limfoid (60%), fekalit (35%), benda asing (4%), tumor (1%). Obstruksi juga
dapat disebabkan oleh parasit Enterobius vermicularis dengan proporsi 0,2 –
41,8% di seluruh dunia.

2.5 Patofisiologi

Patofisiologi dasar apendisitis adalah obstruksi lumen apendiks diikuti


oleh Infeksi (Obinna O, et al.2011). Pada 60 % pasien, obstruksi disebabkan oleh
hiperplasia folikel di submukosa. Hal ini paling sering ditemui pada anak-anak
dan disebut sebagai apendisitis kataralis. Pada 35 % pasien, obstruksi disebabkan
oleh fecalith dan biasanya dijumpai pada pasien dewasa (Obinna O,et al.2011).
Bersamaan dengan terjadinya obstruksi, sekresi mukus terus berlangsung dan
meningkatkan tekanan intraluminal. Kemudian terjadi pertumbuhan bakteri yang
berlebihan. Mukus didalam lumen berubah menjadi pus dan tekanan intraluminal
terus meningkat. Hal ini menyebabkan distensi apendiks dan nyeri viseral yang
khas di daerah epigastrik atau periumbilikus karena apendiks dipersarafi oleh
pleksus saraf torakal sepuluh (Victor Y, et al. 2012).

Karena tekanan intraluminal terus meningkat, terjadi obstruksi aliran


limfe, yang menyebabkan edema dinding apendiks. Stadium ini dikenal sebagai
apendisitis akut atau fokal. Karena inflamasi semakin hebat, terbentuk eksudat
pada permukaan serosa dari apendiks. Ketika eksudat mencapai peritoneum
parietal, timbul nyeri yang lebih intens dan terlokalisasi pada abdomen kuadran
kanan bawah.Inilah yang disebut gejala klasik apendiitis (Obinna O, et al. 2011).

Peningkatan tekanan intraluminal lebih lanjut menyebabkan obstruksi


vena, yang menyebabkan edema dan iskemia apendiks. Hal ini memudahkan
invasi bakteri ke dinding apendiks yang dikenal sebagai apendisitis akut supuratif.
Akhirnya dengan peningkatan tekanan intraluminal yang terus berlanjut, terjadi
trombosis vena dan kegagalan arteri yang menyebabkan gangren dan perforasi
(Obinna O,et al.2011). Perforasi menyebabkan pelepasan cairan dan bakteri dari
apendiks yang inflamasi ke rongga abdomen. Selanjutnya akan terjadi inflamasi
pada permukaan peritoneum yang disebut peritonitis. Lokasi dan luas peritonitis
tergantung pada berapa banyak cairan usus yang tumpah (Victor Y, et al. 2012).
Jika tubuh berhasil menutup perforasi, nyeri akan berkurang. Walaupun demikian,

6
gejala tidak sepenuhnya sembuh. Pasien mungkin masih merasa nyeri abdomen
pada kuadran kanan bawah, penurunan nafsu makan, perubahan pola defekasi
(misalnya diare, konstipasi), atau demam intermiten. Jika perforasi tidak berhasil
ditutup, maka akan terjadi peritonitis difus (Obinna O, et al. 2011).

Berdasarkan komplikasi, apendisitis diklasifikasikan menjadi dua jenis,


yaitu apendisitis sederhana bila tidak dijumpai komplikasi gangren, perforasi atau
abses dan apendisitis komplikata bila dijumpai satu atau lebih komplikasi di
tersebut atas (Saucier A, et al. 2013).

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala appendisitis akut umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai


dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. Gejala klasik appendicitis akut
biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus. Nyeri
menetap, kadang disertai kram yang hilang-timbul. Dalam 2-12 jam nyeri beralih
ke kuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap.
Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif
(Sjamsuhidajat. 2005).

Terdapat juga keluhan malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Suhu
tubuh biasanya naik hingga 38oC, tetapi pada keadaan perforasi suhu tubuh
meningkat hingga >39oC. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang
terjadi diare, mual dan muntah. Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada
awal nyeri perut dan banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air
besar. Diare timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak. Pada 75% pasien
dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah
disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya urutan munculnya gejala
appendisitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah
mendahului nyeri perut, maka diagnosis appendisitis diragukan. Muntah yang
timbul sebelum nyeri perut mengarah pada diagnosis gastroenteritis
(Sjamsuhidajat. 2005).

7
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak appendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney.
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat
perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau
batuk (Sjamsuhidajat. 2005)

Bila letak appendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya


terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak
ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri
timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari
dorsal (Jaffe,2005). Appendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang,
dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika appendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya

Pada beberapa keadaan, appendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak


ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala appendisitis akut pada
anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan.
Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam beberapa jam kemudian
akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi lemah dan letargi. Karena
gejala yang tidak khas tadi, sering appendisitis diketahui setelah perforasi. Pada
bayi ,80-90 % appendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada orang
berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang terlambat
diagnosis. Akibatnya lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah
perforasi (Jaffe,2005). Pada kehamilan, keluhan utama appendisitis adalah nyeri
perut, mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester
pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum

8
dengan appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di
perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

2.7 Penegakan Diagnosis

Mendiagnosis appendisitis akut secara akurat dan efisien dapat


mengurangi morbiditas dan mortalitas dari perforasi dan komplikasi lainnya.

 Berdasarkan anamnesis dapat ditemukan 2 (dua) jenis gejala apendisitis, yaitu:

a. Gejala klasik

Gejala klasik hanya dijumpai pada 55 % kasus, yaitu jika apendiks berada
di anterior. Gejala diawali oleh nyeri perut di periumbilikus yang memberat dalam
24 jam. Nyeri menjadi lebih tajam dan berpindah ke fosa iliaka kanan, lalu
menetap. Ditemukan juga gejala hilangnya nafsu makan, mual, muntah, dan
konstipasi (Obinna O, et al. 2011). Berdasarkan sebuah penelitian, muntah dan
demam lebih sering ditemukan pada anak dengan diagnosis apendisitis daripada
penyebab lain nyeri abdomen (Victor Y, et al. 2012).

b. Gejala atipikal

Gejala atipikal berhubungan dengan variasi letak anatomi apendiks


(Obinna O, et al.2011). Nyeri tumpul sering muncul ketika ujung apendiks
terletak di retrosekal. Jika ujung apendiks terletak di pelvis, pasien akan
mengeluhkan disuria, sering berkemih, dan nyeri di suprapubis karena apendiks
yang inflamasi mengiritasi kandung kemih. Pasien juga dapat mengeluhkan diare
atau tenesmus jika ujung apendiks yang inflamasi dekat dengan rectum (Obinna
O, et al.2011). Namun, jika ditanya lebih lanjut, biasanya diare berupa buang air
besar yang lunak, sedikit-sedikit, tetapi sering (Victor Y,et al.2012).

 Tanda Gejala

Appendiks umumnya terletak di sekitar McBurney, namun perlu diingat


bahwa letak anatomis appendiks sebenarnya dapat pada semua titik, 360 o
mengelilingi pangkal caecum. Appendisitis letak retrocaecal dapat diketahui dari
adanya nyeri di antara costa 12 dan spina iliaca posterior superior. Appendicitis
letak pelvis dapat menyebabkan nyeri rektal. Secara teori, peradangan akut

9
appendiks dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada pemeriksaan rektum (rectal
toucher). Namun pemeriksaan ini tidak spesifik untuk appendicitis jika tanda-
tanda appendicitis lain telah positif (Sjamsuhidajat. 2005). Secara klinis, dikenal
beberapa manuver diagnostik :

 Rovsing’s Sign
Penekanan pada abdomen kuadran kiri bawah akan menimbulkan nyeri di
abdomen kuadran kanan bawah. Hal inli disebabkan oleh karena iritasi dari
peritoneum. Disebut juga nyeri tekan kontralateral. Sering positif pada
appendicitis namun tidak spesifik.

 Blumberg Sign
Manuver dikatakan positif apabila penderita merasakan nyeri di kuadran
kanan lalu melepaskannya atau nyeri tekan lepas.

 Psoas Sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan pemeriksa memegang lutut pasien dan
tangan kiri menstabilkan pinggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan
ke arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menunjukkan appendiks
mengalami peradangan kontak dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan
manuver.

10
 Obturator Test
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki
kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam
posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif bila pasien merasakan nyeri
di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya
perforasi apendiks, abses lokal, iritasi m.obturatorius oleh appendiks dengan letak
retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

Menurut J Matthew, et al. 2018 menyajikan rasio kemungkinan tanda dan gejala
appendisitis akut pada anak dan dewasa ditinjukan pada tabel 1 dibawah ini:

11
Tabel 1 menyajikan rasio kemungkinan berbagai tanda dan gejala
appendisitis pada orang dewasa dan anak-anak. Tanda dan gejala terbaik
appendicitis pada orang dewasa adalah kuadran kanan sakit (rasio kemungkinan
positif [LR +] = 7,3-8,5), kekakuan abdomen (LR + = 3.8), dan migrasi nyeri
periumbilikalis ke kuadran kanan bawah (LR + = 3,2) sedangkan pada anak-anak,
tidak ada atau menurun usus suara (LR + = 3.1), psoas sign positif (LR + = 3.2),
obturator sign positif (LR + = 3,5), dan Rovsing sign positif (LR + = 3,5) yang
paling dapat diandalkan untuk appendisitis (J Matthew, et al. 2018) .

 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
 Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/mm2, biasanya
didapatkan pada keadaan akut. Appendisitis tanpa komplikasi dan sering
disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah
putih normal tidak ditemukan shift to the left, diagnosis appendicitis akut
harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari
18.000/mm2 pada appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah
putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya

12
perforasi appendiks dengan atau tanpa abses. Pada appendisitis infiltrat,
LED akan ditemukan meningkat (Jaffe,2005).
 CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis
oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum
mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP > 8 mcg/mL, hitung
leukosit > 11.000, dan persentase neutrofil > 75% memiliki sensitivitas
86% dan spesifitas 90.7%.
 Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi
dari saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau
eritrosit dari iritasi urethra atau vesica urinaria seperti yang diakibatkan
oleh inflamasi appendiks. Namun pada appendicitis akut dalam sample
urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.
 Pemeriksaan laboratorium lainnya selain CRP dan keakuratan tes seperti
kalsitonin pro, calprotectin dan biomarker panel APPY1 . Pada anak-
anak, APPY1 memiliki sensitivitas 98% bila digunakan sendiri dan 99%
bila dikombinasikan dengan ultrasonograf. Spesifisitas untuk panel
APPY1 bervariasi dari 35% menjadi 44%, dengan peningkatan
spesifisitas sebagai waktu dari onset gejala meningkat (J Matthew, et al.
2018).

 Dalam sebuah penelitian akurasi pemeriksaan laboratorium pada


appendisitis akut ditunjukan pada tabel 2 berikut (J Matthew, et al. 2018) :

13
2. Pemeriksaan Radiologi

Foto polos abdomen jarang membantu penegakan diagnosis


appendisitis akut, namun bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila
ditemukan sangat mendukung diagnosis.

Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis


appendicitis. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran
kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya
peradangan pada appendiks menyebabkan ukuran appendiks lebih dari
normalnya (diameter 6 mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan
bawah seperti inflammatory bowel disease, diverticulitis cecal,
divertikulum Meckel’s, endometriosis dan pelvic inflammatory disease
(PID) dapat menyebabkan positif palsu pada hasil USG.

Meskipun CT scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat


daripada USG, namun jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek
radiasinya, CT scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya abses
appendiks untuk melakukan percutaneous drainage secara tepat.

 Alat diagnostik untuk evaluasi diduga appendisitis.

14
Beberapa alat diagnostik untuk diduga appendisitis seperti alvarado’score dapat
digunakan untuk dewasa dan anak, sedangkan pada anak lebih relevan memakai
Pediatric Appendicitis Score dan alat terbaru untuk diagnostik yaitu Appendicitis
Inflammatory Response score (Winn R,2004).

 Alvarado score
Tabel 3. Alvarado Score

Penanganan berdasarkan Alvarado Score :


1–4 Dipertimbangkan appendisitis akut, diperlukan observasi.
5–6 Possible appendicitis, tidak perlu operasi. Terapi antibiotik.
7 – 10 Appendisitis akut, perlu operasi dini.

 Pediatric Appendicitis Score


Tabel 4. Pediatric Appendicitis Score

15
 Appendicitis Inflammatory Response score.
Tabel 5. Appendicitis Inflammatory Response score.

Tabel 6. Alat diagnostik pada suspek appendisitis (J Matthew, et al. 2018)

16
Tabel 7. Evaluasi akurasi alat diagnostik pada diduga appendisitis akut pada
anak dan dewasa (J Matthew, et al. 2018).

2.8 Diagnosis Banding

17
Diagnosis banding appendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis
kelamin :

 Pada anak – anak dan balita : intususepsi, diverkulitis dan gastroenteritis


akut. Pada intususepsi paling sering didapatkan pada anak – anak berusia
dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan
appendisitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan appendisitis, tetapi
lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat
diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis
banding yang agak sulit ditegakkan adalah gatroenteritis akut, karena
memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendisitis, yakni diare, mual,
muntah, dan ditemukan leukosit pada feses (Lally,2004).
 Pada anak – anak usia sekolah : gastroenteritis, konstipasi, infark omentum
Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan
appendisitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi,
merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak
ditemukan adanya demam. Infark omentum jug dapat dijumpai pada anak-
anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai appendisitis. Pada infark
omentum, dpaat teraba massa apada abdomen dan nyerinya tidak berpindah.
 Pada pria dewasa muda : crohn’s disease, kolik traktur urogenitalis dan
epididimitis.
Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis
epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotum. Pada
crohn’s disease terdapat gejala kram dan diare yang lebih menyolok,
sedangkan anoreksia tidak terdapat. Pada kolik traktus urogenital didapatkan
gejala yang menjalar dari pinggang ke genitalia, pada pemeriksaan urin
terdapat kelainan sedimen misalnya eritrosit meningkat dan biasanya tidak
disertai leukositosis.
Pada wanita usia muda : pelvic onflammatory disease (PID), kita ovarium,
infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada
abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi
ruptur ataupun torsi.

18
 Pada uasia lanjut : keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran
reproduksi, diverkulitis.
Appendisitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Keganasan
dapat terlihat di CT-Scan dam gejalanya muncul lebih lambat daripada
appendisitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan
dengan appendisitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan.
Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT-Scan lebih berarti dibandingkan
dengan pemeriksaan laboratorium.

Tanda – tanda yang membedakan apendisitis dengan penyakit lain adalah :


a. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit
perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan.
Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.
b. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan
nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan
perasaan mual-muntah.
c. Peradangan pelvis
Tuba Fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua
organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnesitis.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak seksual.
Suhu biasanay lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah
lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus
diayunkan maka akan terasa nyeri.
d. Kehamilan Ektopik
Adanya riwayat terhambat menstruasi denga keluhan yang tidak menentu.
Jika terjadi ruptur tuba atau abortus diluar rahim dengan perdarahan akan timbul
nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan
kavum douglas, dan pada kuldosentesis akan di dapatkan darah.

19
e. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-
kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur
pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala
appendisitis.
Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.

2.9 Tatalaksana Appendisitis Akut

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
appendiktomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Pada apendisitis
akut, abses, dan perforasi diperlukan tindakan operasi apendiktomi cito
(Sjamsuhidajat. 2005).
Untuk pasien yang dicurigai Apendisitis :
 Puasakan
 Manajemen Nyeri
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgesik tidak akan
menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik. Sebuah meta-analisis dari
sembilan percobaan acak terkontrol menunjukkan bahwa penggunaan
opioid tidak secara signifikan meningkatkan risiko menundaan operasi,
dalam 862 orang dewasa dan anak-anak dengan sakit perut akut.
Acetaminophen, nonsteroid dan obat anti-inflamasi juga harus
dipertimbangkan untuk manajemen nyeri pada pasien yang diduga akut
appendisitis, terutama pada mereka dengan kontraindikasi untuk opioid.
Sebuah studi yang acak 107 pasien dengan akut usus buntu narkotika
ditambah acetaminophen vs plasebo menemukan bahwa kontrol nyeri

20
tidak secara signifikan meningkatkan risiko intervensi tertunda atau tidak
perlu, dan tidak mengubah skor Alvarado (J Matthew, et al. 2018).
 Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan Laparotomi.
Terapi Non-Operatif
 Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna
untuk appendisitis akut bagi mereka yang sulit mendapatkan intervensi
operasi (misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang
memiliki resiko tinggi untuk dilakukan operasi.
 Rujuk ke dokter spesialis bedah.
Terapi Operatif
Antibiotika preoperatif (persiapan preoperatif)
 Pemberian antibiotika preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya
infeksi post operasi.
 Diberikan antibiotika spektrum luas dan juga untuk gram negatif dan
anaerob.
 Antibiotika preoperatif diberikan oleh ahli bedah.
 Antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau
Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi
bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides
(Craig,2008) .
 Operatif :
1) Open Appendectomy

2) Laparoscopic Appendectomy

2.10 Komplikasi

 Non Operatif

Perforasi adalah yang paling komplikasi mengenai akut usus buntu. Appendisitis
akut dapat menyebabkan abses, peritonitis, obstruksi usus, dan sepsis. Tingkat

21
perforasi antara orang dewasa berkisar dari 17% menjadi 32% (J Matthew, et al.
2018).

 Post Operatif

Durante Operasi : perdarahan intraperitoneal, dinding perut, robekan pada caecum


atau usus lain.

Pasca bedah dini : perdarahan, infeksi, hematom, paralitik ileus, peritonitis, fistel
usus, abses intraperitoneal

22
BAB III KESIMPULAN

Appendisitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering


ditemukan. Apendisitis dapat ditemukan pada laki-laki maupun perempuan
dengan risiko menderita apendisitis selama hidupnya mencapai 7-8%. Insiden
tertinggi dilaporkan pada rentang usia 20-30 tahun. Angka kejadian apendisitis
akut di Indonesia diperkirakan berkisar 24,9 kasus per 10.000 populasi.

Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal


yang paling penting dalam menegakkan diagnosis appendisitis. Gejala awal yang
khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul)
di daerah epigastrium di sekitar  umbilikus atau periumbilikalis. Dalam
pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda nyeri tekan kanan bawah; blumberg dan
rovsing sign . Pemeriksaan lain yang dapat mendukung diagnosa yaitu psoas sign,
obturator sign, dan nyeri tekan pada rectal toucher . Upaya mempertajam
diagnosis sudah banyak dilakukan, antara lain dengan menggunakan sarana
diagnosis penunjang: laboratorium (darah, urin, CRP), foto polos abdomen, USG
dan CT scan abdomen. Diagnosis juga dapat dibantu dengan skoring alvarado
untuk dewasa dan anak. Paling relevan untuk anak menggunakan Pediatric
Appendicitis Score, dan terbaru untuk skoring appendisitis menggunakan
Appendicitis Inflammatory Response score.

Bila diagnosa klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
appendiktomi, dapat dilakukan secara open surgery atau laparascopic
appendictomy.

23
DAFTAR PUSTAKA

Chen chun yu. 2016. Different urinalisis apperence in children with simple and
perforated appendicitis.American journal of emergency medicine. Elsevier,
vol 31 1560-1563. [serial online]. www.elsevier.com/locate/ajem

Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acut-Follw-Up. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/773895-followup.

Departemen Kesehatan RI. Profil kesehatan Indonesia .2009. Tersedia dari:


http://www.depkes.go.id/downloads/ profil_Kesehatan_2009/index.html

Flum D. 2015 Acute Appendicitis — Appendectomy or The “Antibiotics First”


Strategy. N Eng J Med;372:1937

Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www


talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg

Jaffe BM, Berger DH.2005. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn
DL, Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc:1119-
34
J Matthew . Snyder,2018. Acute Appendicitis: Efficient Diagnosis and
Management. Saint Louis University Southwest Illinois Family Medicine
Residency, Belleville, Illino. Volume 98, Number 1.

Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ.2004 Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery.
17th edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.
Philadelphia: Elsevier Saunders. : 1381-93
Mazziotti MV, Minkes RK.2006. Appendicitis: surgical perspective. E-Medicine

Obinna O, Adibe, Oliver J, et al. 2011. Severity of appendicitis corelates with the
Pediatric Appendicitis Score. Pediatr Surg Int.27:655-658. Doi
10.1007/s00383-010-2744-9

Omari, A., Khammash, M., Qasaimeh, G., Shammari, A.,Yaseen, M., Hammori,
S. 2014. Acute Appendicitis In The Elderly: Risk Factors for Perforation.
World Journal of Emergency Surgery. DOI:10.1186/1749-7922-9-6. pp 16

Pisano, M., Coccolini, F., Bertoli, P., Giulii, M., Capponi., Poletti, E., Naspro, R.,
Ansaloni, L.2013. Conservative Treatment for Uncomplicated Acute
Appendicitis in Adults. Emergency Medicine and Health Care. 1:2. DOI
:.org/10.7243/2052-6229-1-2. pp 14.

Richard, N., Kruger, D., Luvhengo, T. 2014. Clinical Presentation of Acute


Appendicitis In Adults at The Chris Hani Baragwanath Academic Hospital.

24
International Journal of Emergency Medicine. DOI: 10.1186/1865-1380-7-
12. pp 1-4.
Sjamsuhidajat R, de Jong W.2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. p. 865-
75

Saucier A, Eunice Y, Huang, et al. 2013. Prospective evaluation of a clinical


pathway for suspected appendicitis.Pediatrics.e88-e95. doi
10.1542/peds.2013-2208

Victor Y, Kong, Bulajic B, et al. 2012. Acute appendicitis in a developing


country.World J Surg. 36:2068-2071. doi 10.1007/s00268-012-1629-9

Winn R,Laura,Douglas C,et al.2004.: Protocol based approarch to suspected


appendisitis, incoorporating the Alvarado score and outpatients
Antibiotics.ANZ J.Surg;74:324-329.

25

Anda mungkin juga menyukai