Referat Appendsiitis Ghufron
Referat Appendsiitis Ghufron
REFERAT
“Efisiensi Diagnosis dan Tatalaksana Appendisitis Akut”
Disusun Oleh :
Ghufron Febriyan Akbar
G4A018050
Telah disetujui ,
Pada Tanggal: Maret 2020
Mengetahui
Dokter Pembimbing
i
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatakan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang
berjudul ”Efisiensi Diagnosis dan Tatalaksana Appendsitis Akut”. Penulisan
referat ini merupakan syarat mengikuti program Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSUD DR.Margono Soekarjo Purwokerto. Penulis berharap referat ini dapat
bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pendidikan, penelitian dan
dapat digunakan sebaik-baiknya oleh berbagai pihak yang berkepentingan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan.................................................................................................i
Kata Pengantar........................................................................................................ii
Daftar isi.................................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan.................................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka.........................................................................................3
2.1 Anatomi dan Fisiologi........................................................................................3
2.2 Definisi...............................................................................................................4
2.3 Epidemiologi......................................................................................................5
2.4 Etiologi...............................................................................................................5
2.5 Patofisiologi…………………………………………………………………...6
2.6 Manifestasi Klinis..............................................................................................7
2.7 Penegakan Diagnosis ........................................................................................9
2.8 Diagnosis Banding...........................................................................................17
2.9 Tatalaksana.......................................................................................................19
2.10 Komplikasi.....................................................................................................20
BAB III Kesimpulan..............................................................................................22
Daftar Pustaka……………………………………………………………………23
iii
iv
BAB I PENDAHULUAN
Apendisitis akut adalah salah satu penyebab nyeri abdomen akut yang
paling sering ditemukan. Hipotesis penyebab paling umum adalah adanya
obstruksi lumen yang berlanjut kerusakan dinding apendiks dan pembentukan
abses. Peradangan akut appendix atau appendisitis akut menyebabkan komplikasi
yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah (Pisano,2013)
1
Penanganan standar apendisitis di dunia adalah operasi pengangkatan
apendiks yang disebut apendektomi dan dilakukan laparotomi jika sudah terjadi
perforasi. Angka mortalitas pada pasien yang dilakukan apendektomi mencapai
0,07-0,7% dan 0,5-2,4% pada pasien dengan atau tanpa perforasi (Pisano,2013).
2
BAB II . TINJAUAN PUSTAKA
3
gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri
perut yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan (Lally,2004).
2.2 Definisi
4
2.3 Epidemiologi
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan karena apendiks pada bayi berbentuk kerucut, lebar
pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini menyebabkan
rendahnya insidens kasus apendisitis pada usia tersebut. Setiap tahun rata-rata
300.000 orang menjalani apendektomi di Amerika Serikat, dengan perkiraan
lifetime incidence berkisar dari 7-14% berdasarkan jenis kelamin, harapan hidup
dan ketepatan konfirmasi diagnosis (Flum,2015).
Perforasi lebih sering pada bayi dan pasien lanjut usia, yaitu dengan
periode angka kematian paling tinggi. Insidens pada perempuan dan laki-laki
umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, ketika insidens pada laki-
laki lebih tinggi. Sedangkan kejadian apendisitis akut di Indonesia diperkirakan
berkisar 24,9 kasus per 10.000 populasi. Menurut Departemen Kesehatan RI pada
tahun 2006, angka kejadian apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di
antar kasus kegawat daruratan abdomen dan menduduki urutan keempat dari
seluruh penyakit abdomen terbanyak setelah dispepsia, gastritis dan duodenitis
dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040 (Depkes RI,2009)
2.4 Etiologi
Etiologi pasti apendisitis akut hingga saat ini belum diketahui. Jumlah
asupan makanan berserat, obstruksi lumen, dan faktor genetik diduga berperan
dalam proses terjadinya penyakit. Sejumlah penyakit infeksi dan parasit diketahui
melibatkan apendiks dan kadang-kadang dapat menyebabkan inflamasi apendiks
(Chen chun yu.2013). Penelitian epidemiologi menunjukkan peran konsumsi
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Kebiasaan
konsumsi rendah serat mempengaruhi defekasi dan fekalith menyebabkan
obstruksi lumen sehingga memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi
(Sjamsuhidajat. 2005)
5
limfoid (60%), fekalit (35%), benda asing (4%), tumor (1%). Obstruksi juga
dapat disebabkan oleh parasit Enterobius vermicularis dengan proporsi 0,2 –
41,8% di seluruh dunia.
2.5 Patofisiologi
6
gejala tidak sepenuhnya sembuh. Pasien mungkin masih merasa nyeri abdomen
pada kuadran kanan bawah, penurunan nafsu makan, perubahan pola defekasi
(misalnya diare, konstipasi), atau demam intermiten. Jika perforasi tidak berhasil
ditutup, maka akan terjadi peritonitis difus (Obinna O, et al. 2011).
Terdapat juga keluhan malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Suhu
tubuh biasanya naik hingga 38oC, tetapi pada keadaan perforasi suhu tubuh
meningkat hingga >39oC. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang
terjadi diare, mual dan muntah. Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada
awal nyeri perut dan banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air
besar. Diare timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak. Pada 75% pasien
dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah
disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya urutan munculnya gejala
appendisitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah
mendahului nyeri perut, maka diagnosis appendisitis diragukan. Muntah yang
timbul sebelum nyeri perut mengarah pada diagnosis gastroenteritis
(Sjamsuhidajat. 2005).
7
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak appendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney.
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat
perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau
batuk (Sjamsuhidajat. 2005)
8
dengan appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di
perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
a. Gejala klasik
Gejala klasik hanya dijumpai pada 55 % kasus, yaitu jika apendiks berada
di anterior. Gejala diawali oleh nyeri perut di periumbilikus yang memberat dalam
24 jam. Nyeri menjadi lebih tajam dan berpindah ke fosa iliaka kanan, lalu
menetap. Ditemukan juga gejala hilangnya nafsu makan, mual, muntah, dan
konstipasi (Obinna O, et al. 2011). Berdasarkan sebuah penelitian, muntah dan
demam lebih sering ditemukan pada anak dengan diagnosis apendisitis daripada
penyebab lain nyeri abdomen (Victor Y, et al. 2012).
b. Gejala atipikal
Tanda Gejala
9
appendiks dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada pemeriksaan rektum (rectal
toucher). Namun pemeriksaan ini tidak spesifik untuk appendicitis jika tanda-
tanda appendicitis lain telah positif (Sjamsuhidajat. 2005). Secara klinis, dikenal
beberapa manuver diagnostik :
Rovsing’s Sign
Penekanan pada abdomen kuadran kiri bawah akan menimbulkan nyeri di
abdomen kuadran kanan bawah. Hal inli disebabkan oleh karena iritasi dari
peritoneum. Disebut juga nyeri tekan kontralateral. Sering positif pada
appendicitis namun tidak spesifik.
Blumberg Sign
Manuver dikatakan positif apabila penderita merasakan nyeri di kuadran
kanan lalu melepaskannya atau nyeri tekan lepas.
Psoas Sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan pemeriksa memegang lutut pasien dan
tangan kiri menstabilkan pinggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan
ke arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menunjukkan appendiks
mengalami peradangan kontak dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan
manuver.
10
Obturator Test
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki
kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam
posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif bila pasien merasakan nyeri
di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya
perforasi apendiks, abses lokal, iritasi m.obturatorius oleh appendiks dengan letak
retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.
Menurut J Matthew, et al. 2018 menyajikan rasio kemungkinan tanda dan gejala
appendisitis akut pada anak dan dewasa ditinjukan pada tabel 1 dibawah ini:
11
Tabel 1 menyajikan rasio kemungkinan berbagai tanda dan gejala
appendisitis pada orang dewasa dan anak-anak. Tanda dan gejala terbaik
appendicitis pada orang dewasa adalah kuadran kanan sakit (rasio kemungkinan
positif [LR +] = 7,3-8,5), kekakuan abdomen (LR + = 3.8), dan migrasi nyeri
periumbilikalis ke kuadran kanan bawah (LR + = 3,2) sedangkan pada anak-anak,
tidak ada atau menurun usus suara (LR + = 3.1), psoas sign positif (LR + = 3.2),
obturator sign positif (LR + = 3,5), dan Rovsing sign positif (LR + = 3,5) yang
paling dapat diandalkan untuk appendisitis (J Matthew, et al. 2018) .
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/mm2, biasanya
didapatkan pada keadaan akut. Appendisitis tanpa komplikasi dan sering
disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah
putih normal tidak ditemukan shift to the left, diagnosis appendicitis akut
harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari
18.000/mm2 pada appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah
putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya
12
perforasi appendiks dengan atau tanpa abses. Pada appendisitis infiltrat,
LED akan ditemukan meningkat (Jaffe,2005).
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis
oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum
mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP > 8 mcg/mL, hitung
leukosit > 11.000, dan persentase neutrofil > 75% memiliki sensitivitas
86% dan spesifitas 90.7%.
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi
dari saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau
eritrosit dari iritasi urethra atau vesica urinaria seperti yang diakibatkan
oleh inflamasi appendiks. Namun pada appendicitis akut dalam sample
urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.
Pemeriksaan laboratorium lainnya selain CRP dan keakuratan tes seperti
kalsitonin pro, calprotectin dan biomarker panel APPY1 . Pada anak-
anak, APPY1 memiliki sensitivitas 98% bila digunakan sendiri dan 99%
bila dikombinasikan dengan ultrasonograf. Spesifisitas untuk panel
APPY1 bervariasi dari 35% menjadi 44%, dengan peningkatan
spesifisitas sebagai waktu dari onset gejala meningkat (J Matthew, et al.
2018).
13
2. Pemeriksaan Radiologi
14
Beberapa alat diagnostik untuk diduga appendisitis seperti alvarado’score dapat
digunakan untuk dewasa dan anak, sedangkan pada anak lebih relevan memakai
Pediatric Appendicitis Score dan alat terbaru untuk diagnostik yaitu Appendicitis
Inflammatory Response score (Winn R,2004).
Alvarado score
Tabel 3. Alvarado Score
15
Appendicitis Inflammatory Response score.
Tabel 5. Appendicitis Inflammatory Response score.
16
Tabel 7. Evaluasi akurasi alat diagnostik pada diduga appendisitis akut pada
anak dan dewasa (J Matthew, et al. 2018).
17
Diagnosis banding appendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis
kelamin :
18
Pada uasia lanjut : keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran
reproduksi, diverkulitis.
Appendisitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Keganasan
dapat terlihat di CT-Scan dam gejalanya muncul lebih lambat daripada
appendisitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan
dengan appendisitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan.
Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT-Scan lebih berarti dibandingkan
dengan pemeriksaan laboratorium.
19
e. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-
kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur
pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala
appendisitis.
Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
appendiktomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Pada apendisitis
akut, abses, dan perforasi diperlukan tindakan operasi apendiktomi cito
(Sjamsuhidajat. 2005).
Untuk pasien yang dicurigai Apendisitis :
Puasakan
Manajemen Nyeri
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgesik tidak akan
menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik. Sebuah meta-analisis dari
sembilan percobaan acak terkontrol menunjukkan bahwa penggunaan
opioid tidak secara signifikan meningkatkan risiko menundaan operasi,
dalam 862 orang dewasa dan anak-anak dengan sakit perut akut.
Acetaminophen, nonsteroid dan obat anti-inflamasi juga harus
dipertimbangkan untuk manajemen nyeri pada pasien yang diduga akut
appendisitis, terutama pada mereka dengan kontraindikasi untuk opioid.
Sebuah studi yang acak 107 pasien dengan akut usus buntu narkotika
ditambah acetaminophen vs plasebo menemukan bahwa kontrol nyeri
20
tidak secara signifikan meningkatkan risiko intervensi tertunda atau tidak
perlu, dan tidak mengubah skor Alvarado (J Matthew, et al. 2018).
Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan Laparotomi.
Terapi Non-Operatif
Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna
untuk appendisitis akut bagi mereka yang sulit mendapatkan intervensi
operasi (misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang
memiliki resiko tinggi untuk dilakukan operasi.
Rujuk ke dokter spesialis bedah.
Terapi Operatif
Antibiotika preoperatif (persiapan preoperatif)
Pemberian antibiotika preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya
infeksi post operasi.
Diberikan antibiotika spektrum luas dan juga untuk gram negatif dan
anaerob.
Antibiotika preoperatif diberikan oleh ahli bedah.
Antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau
Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi
bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides
(Craig,2008) .
Operatif :
1) Open Appendectomy
2) Laparoscopic Appendectomy
2.10 Komplikasi
Non Operatif
Perforasi adalah yang paling komplikasi mengenai akut usus buntu. Appendisitis
akut dapat menyebabkan abses, peritonitis, obstruksi usus, dan sepsis. Tingkat
21
perforasi antara orang dewasa berkisar dari 17% menjadi 32% (J Matthew, et al.
2018).
Post Operatif
Pasca bedah dini : perdarahan, infeksi, hematom, paralitik ileus, peritonitis, fistel
usus, abses intraperitoneal
22
BAB III KESIMPULAN
Bila diagnosa klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
appendiktomi, dapat dilakukan secara open surgery atau laparascopic
appendictomy.
23
DAFTAR PUSTAKA
Chen chun yu. 2016. Different urinalisis apperence in children with simple and
perforated appendicitis.American journal of emergency medicine. Elsevier,
vol 31 1560-1563. [serial online]. www.elsevier.com/locate/ajem
Jaffe BM, Berger DH.2005. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn
DL, Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc:1119-
34
J Matthew . Snyder,2018. Acute Appendicitis: Efficient Diagnosis and
Management. Saint Louis University Southwest Illinois Family Medicine
Residency, Belleville, Illino. Volume 98, Number 1.
Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ.2004 Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery.
17th edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.
Philadelphia: Elsevier Saunders. : 1381-93
Mazziotti MV, Minkes RK.2006. Appendicitis: surgical perspective. E-Medicine
Obinna O, Adibe, Oliver J, et al. 2011. Severity of appendicitis corelates with the
Pediatric Appendicitis Score. Pediatr Surg Int.27:655-658. Doi
10.1007/s00383-010-2744-9
Omari, A., Khammash, M., Qasaimeh, G., Shammari, A.,Yaseen, M., Hammori,
S. 2014. Acute Appendicitis In The Elderly: Risk Factors for Perforation.
World Journal of Emergency Surgery. DOI:10.1186/1749-7922-9-6. pp 16
Pisano, M., Coccolini, F., Bertoli, P., Giulii, M., Capponi., Poletti, E., Naspro, R.,
Ansaloni, L.2013. Conservative Treatment for Uncomplicated Acute
Appendicitis in Adults. Emergency Medicine and Health Care. 1:2. DOI
:.org/10.7243/2052-6229-1-2. pp 14.
24
International Journal of Emergency Medicine. DOI: 10.1186/1865-1380-7-
12. pp 1-4.
Sjamsuhidajat R, de Jong W.2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. p. 865-
75
25