Anda di halaman 1dari 36

Membangun

Indonesia
Dari Desa

PENULIS:
Yusriadi, Saripaini, Tuti Alawiyah, Siti Muslikah, Zainal Arifin,
Ismail Ruslan, Tatik Hanjarsari, Ninda, Septian Utut, Ma’rup
Nursieh, Heriansyah, Mita Hairani

~i~
Perpustakaan Nasional:
Katalog dalam Terbitan (KDT)

MEMBANGUN INDONESIA DARI DESA

Hak cipta dilindungi undang-undang


All rights reserved
© 2019, Indonesia: Pontianak

PENULIS:
Yusriadi, Saripaini, Tuti Alawiyah, Siti Muslikah, Zainal Arifin,
Ismail Ruslan, Tatik Hanjarsari, Ninda, Septian Utut, Ma’rup Nursieh,
Heriansyah, Mita Hairani
Editor:
Fahmi Ichwan & Saripaini

Cover dan Layout:


IAIN Pontianak Press

Diterbitkan Oleh:
IAIN Pontianak Press
Jl. Letjend. Soeprapto No.19 Pontianak 78121
Telp./Fax. (0561) 734170

Cetakan Pertama: Oktober 2019


(190 hal : 14.8 x 21 cm)

~ ii ~
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami haturkan kepada Allah swt atas segala


kenikamatan, kemudahan dan hidayah yang telah diberikan. Hanya
dengan karunia-Nyalah pada akhirnya buku Membangun
Indonesia Dari Desa, telah terselesaikan.

Buku yang ada di tangan pembaca merupakan hasil


kolaborasi tulisan naratif populer tentang Sejarah, Profil dan
perkembangan desa yang ada di Kalimantan Barat. Dalam
Buku ini terdapat 13 bagian tema tulisan: Pertama tentang
gambaran umum desa, Bagian kedua Kehidupan Sosial
Masyarakat, Bagian Ketiga tentang Pendidikan Desa, Bagian
Keempat Profil Tokoh Masyarakat, Bagian Kelima Tentang
Ekonomi Desa, Bagian Keenam Kuliner, Bagian Ke Tujuh
Tentang Adat Kebudayaan, Bagian Kedelapan Etnik, Bagian
Kesembilan, Permainan Rakyat Bagian Kesepuluh Pengobatan
Tradisional, Bagian Kesebelas tentang Cerita Rakyat, Bagian
Kedua Belas tentang Narasi Kegiatan dan ketiga Belas tentang
Keagamaan.

Akhirnya, karena buku ini hanyalah produk ijtihadi


pemikiran manusia yang memiliki banyak kekurangan, maka

~ iii ~
Tim Penulis menyadari tulisan ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membanggun dari
semua pihak sangat diharapkan demi tercapainya sebuah
kesempurnaan atau paling tidak mendekati kesempurnaan
karena kesempurnaan yang sebenarnya hanyalah milik Allah
semata.

Pontianak, Oktober 2019

~ iv ~
DAFTAR ISI

PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
Bagian 1. GAMBARAN UMUM DESA/DUSUN
1. Profil Desa Temajuk
Yusriadi…………………………………………………… 1
.
2. Sejarah dan Perkembangan Desa
Temajuk
Saripaini 5
Bagian 2. PROFIL TOKOH MASYARAKAT
3. Apak: Ampung dan Pemain Bola
Yusriadi……..…………………………………………… 9
4. Rumah Tengah Hutan
Saripaini………………………………………………… 15

Bagian 3. PENDIDIKAN
5. Berkunjung ke SD dan SMP SATAP
(Satu Atap)
Siti 24
Muslikha……………………………………………………

6. Pendidikan di Kapuas Hulu
Zainal Aripin…………………………………………….. 35
Bagian 4. KEHIDUPAN SOSIAL
MASYARAKAT
7. Gang Rembulan

~v~
Tuti Alawiyah 31
……………………………………………..
Bagian 5. EKONOMI DESA
8. Rupiah dan Ringgit
Ismail Ruslan……………………………………………. 43
9.Ekonomi Masyarakat Temajuk
Ma’rup 49
Bagian 6. KULINER
10. Temet Bagi Orang Kapuas Hulu
Septian Utut……………………………………………. 57
11. Tempoyak
Tatik 64
Hanjarsari………………………………………………..
Bagian 7: KEAGAMAAN
12, Majelis Taklim di Sungai Itik
Ninda…………………………………………………… 71
13. Masjid Parit Wa’ Gatak
Nia Megasari………………………………………….. 93

Bagian I

~ vi ~
GAMBARAN UMUM
DESA/DUSUN

~ vii ~
~ viii ~
1
Profil Desa Temajuk
Oleh Yusriadi

A. Geografi Desa Temajuk

Perjalanan menuju Desa Temajuk dari Pontianak


dengan menggunakan Kendaraan Roda Empat memakan
waktu kurang lebih 10 jam perjalanan sedangan jika melalui
jalur darat dapat menggunakan sepeda motor yang memakan
waktu sekitar 9 jam perjalanan, dengan infrastuktur jalan
yang kurang baik. Perjalanan menuju Desa Temajuk dari
Pontianak dengan menggunakan Kendaraan Roda Empat
memakan waktu kurang lebih 10 jam perjalanan sedangan
jika melalui jalur darat dapat menggunakan sepeda motor
yang memakan waktu sekitar 9 jam perjalanan, dengan
infrastuktur jalan yang kurang baik.
Jalan penghubung antara Desa Temajuk dengan
Sambas ini dibangun sekitar tahun 2000-an, jalan inilah
Batas wilayah Desa Temajuk itu sendiri berbatasan
langsung dengan Desa Olak-Olak Sambas di sebelah Utara,

~1~
Desa Mengkalang Jambu di sebelah Barat, berbatasan
dengan laut/Kecamatan Batu Ampar di sebelah Selatan dan
berbatasan dengan Sungai Kapuas/Desa Sambas di sebelah
Timur.

B. Bentuk dan Pola Perkampungan Desa Temajuk

Di Desa Temajuk tepatnya Dusun Mekar Jaya terdiri


dari deret-deret rumah yang tersusun rapi mengikuti pola
jalan dan sungai. Bangunan-bangunan yang ada di Desa
Temajuk adalah 1buah masjid, 1buah surau, 1 buah pekong,
kantor desa, dan satu buah gedung serba guna, gedung ini
digunakan untuk berolah raga seperti bermain bulu tangkis,
area senam ibu-ibu dan gedung ini juga merangkap menjadi
tempat pertemuan. Kemudian di Desa Temajuk hanya
terdapat 1 bangunan sekolah menengah pertama yakni SMP
Negeri 9 Sambas, yang terletak di antara dusun Mekar Jaya
dan dusun Meriam Jaya. 1 bangunan sekolah dasar yakni SD
Negeri 23 Sambas dan satu bangunan PAUD. Salain itu ada
juga fasilitas kesehatan yaitu satu bangunan POSKESDES.
Desa Temajuk tepatnya di dusun Mekar Jaya terdiri
dari beberapa deret rumah yang tersusun rapi di pinggir
kanan dan kiri jalan serta sungai. Deret rumah mengikuti
pola jalan dan sungai. Rumah orang Temajuk sudah
mengikuti pola rumah rumah moderen seperti model rumah
perkotaan.

~2~
Bangunan rumah penduduk berpentuk persegi
panjang dengan tiang yang tingginya sekitar 4,25 m. Atap
yang digunakan penduduk pada umumnya adalah seng biasa
tapi ada beberapa rumah yang telah menggunakan genteng
metal. Model atap rumah penduduk pada umumnya adalah
melancip keatas dari depan tampak jelas dengan pola segitiga
banyak di antaranya bersusun dua sampai tiga susun. Juga
terdapat beberapa model atap rumah yang menghadap ke
samping.
Dinding rumah atau tembok rumah penduduk pada
umumnya adalah dinding yang terbuat dari semen.
Kemudian lantai pada rumah penduduk biasanya adalah
porselen, semen dan papan, banyak di antara rumah
penduduk terasnya menggunakan lantai porselen sedangkan
bagian dalam adalah lantai semen dan ada juga rumah
penduduk yang menggukan lantai papan. Sedangkan dinding
(tembok) rumah penduduk sebagian besar adalah semen
hanya beberapa yang masih menggunakan papan. Selain
terdapat satu pintu rumah utama pada rumah-rumah di Desa
Temajuk juga terdapat banyak rumah yang memiliki pintu
samping dan pintu belakang atau pintu dapur.
Di dalam rumah terdapat dua, tiga ruangan atau lebih,
satu ruangan adalah untuk menerima tamu dan merangkap
menjadi ruang keluarga, satu ruangan untuuk dapur, satu,
dua ruangan atau lebih adalah kamar tidur dan satu WC yang
biasa merangkap menjadi kamar mandi.

~3~
2
Sejarah Desa Sri Wangi
Oleh Saripaini

Sore itu Salah seorang dari masyarakat yang hadir


ditengah-tengah kami mulai bercerita tentang catatan
perjalanan Desa Sri Wangi yang telah terabadikan oleh
waktu maksudnya telah menjadi sejarah, menurut keterangan
salah seorang dari mereka bahwa Desa Sri Wangi ini telah
mengalami 4 kali perpindahan bukan hannya tempatnya
yang berpindah-pindah tapi masyarakat yang tinggal
didalamnya juga berpindah.
Awalnya orang Sri Wangi ini tinggal Riam Panjang
kemudian berpindah ke Riam Emplungan. Penjelasan itu
mendapatkan sanggahan dari salah seorang warga
meragukan pernyataan tersebut. Kemudian mereka

~4~
melanjutkan penjelasan. Kali ini mereka menjelasakan
kepada kami dengan cara bergotong royong, Dan akhirnya
diskusi pertama mengenai perjalanan hingga menjadi desa
Sri Wangi itu tak berujung pada satu kesimpulan.
Namun menurut cacatanku berdasarkan hasil
wawancara dengan beberapa tetua di bahwa beberapa
penduduk desa Sri Wangi merupakan orang yang berasal
dari Riam Panjang dan Riam Emplungan.
Setelah beberapa tahun menetap di tempat tersebut
masyarakat pun sepakat untuk berpindah tempat pemukiman
alasannya tak lain ialah untuk meningkatkan pergerakan
perekomian dan memutuskan untuk berpindah ke wilayah
Lanyan namun tak berapa lama mereka menetap disana
timbulah kebijakan pemerintah agar mereka berpindah
tempat ke seberang karena ditempat tersebut dianggap sangat
berbahaya bagi keselamatan mereka saat menyeberangi
sungai Emplawa maka mereka berpindah ke sembarang
sungai Emplawa masih dengan nama Lanyan. Kemudian
mereka kembali berpindah ke tempat semula dan akhirnya
pada tahun 1965 kembali ke tempat yang diperintahkan oleh
pemeritah dan ditempat inilah lahirnya nama Sri Wangi.
Lanjut ke pembahasan berikutnya yakni mengenai asal
usul nama desa Sri Wangi. Sekilas nama ini tak asing bagi
telinga kita, namun gambaran yang diterima dengan nama
tersbut bukanlah nama yang bisa disandang oleh komunitas
pedalaman. Maka tak heran banyak orang Kapuas Hulu
merasa asing. Menurut beberapa orang asli Kapuas Hulu
mereka tidak mengenal nama desa Sri Wangi mereka hannya

~5~
mengenal Lanyan. Ya, bisa jadi karena ini merupakan nama
baru untuk wilayah dimana aku melakukan penelitian.
Namun menurut sejumlah informan bahwa nama Sri Wangi
dipakai sejak tahun 1970-an.
Ada beberapa versi mengenai penamaan desa Sri
Wangi diambil dari nama sebuah yakni “sungai bangi” yang
terdapat di desa Sri Wangi dan saat ini sungai bangi menjadi
perbatasan perbatasan antara dusun dusun Gurung Ladan dan
dusun Tanjung Lanyan. Selanjutnya muncullah nama Sri
Wangi yang terdiri dari dua kata yakni Sri dan Wangi. Sri
maksudnya berseri-seri dan wangi adalah aroma yang harum
maka sri wangi artinya adalah wangi yang berseri-seri
(sangat harum).
Dalam versi lain mengatakan bahwa nama desa Sri
Wangi diambil dari tumbuhan khas yang diyakini
masyarakat setempat hannya ada di wilayah mereka nyakni
poko’ serai wangi (pohon serai wangi). dan beberapa kali
pula mereka menegaskan bahwa jika ada pohon itu di tempat
lain maka mereka telah mengambil tampang atau bibit dari
desa mereka. Pohon yang dimaksud adalah pohon serai
wangi.
Ya, pohon serai wangi. Pada saat mereka mengatakan
pohon serai wangi aku mulai bingung kok pohon si? Dan
sebenarnya aku bisa menerimanya karena ditempat tinggalku
serai juga disebut pokok yang artinya dapat disamakan
dengan pohon yakni “poko’ serai”.
Mereka pun mendeskripsikan bentuk pohon serai
wangi dengan diawali bantahan bahwa bentuknya bukan

~6~
seperti serai biasa, bukan seperti daun padi atau pun ilalang.
Pernyataan mereka merusak gambaran serai yang ada di
otakku.
Salah seorang dari mereka pun melanjutkan
pendeskripsian pohon yang mereka maksud dan gambaran
yang kuterima adalah pohon kayu biasa dengan daun biasa
kurang lebih seperti pohon sisrsak itulah yang terlintas dalam
pikiranku. Agak kurang percaya si.
Kemudian salah seorang bapak-bapak pergi dengan
langkah cepat taklama kemudian beliau kembali dengan
membawa setangkai daun dan meletakkannya dihadapan
kami. Daun itu diletakkan tepat dihadapanku “Ah itu mah
daun biasa bentuknya seperti daun rambutan atau daun sirsak
masak sih ini daun serai, ah mungkin ini hannya perbedaan
istilah saja antara di wilayah kami dengan wilayah hulu.”
Pikirku dalam hati. Bapak tanpa baju pun meminta saya
untuk mencium daun tersebut dan teryata baunya sama persis
seperti serai dan serai ini juga di pakai untuk masak.
Oke daun ini baunya sama persis seperti daun serai
hannya saja bentuknya yang berbeda dari serai yang kita
ketahui pada umumnya. Setelah aku membuktikan
kebenaran itu aku pun memoto daun yang terletak diatas
meja itu
Pokok serai wangi petamakali di desa Sri Wangi ialah
ditemukan oleh pak Ibrahim. Pokok serai wangi ditemukan
di gua walet pada tahun 1992.
Pak Ibrahim menemukan pokok serai wangai secara
tidak sengaja. Setelah ia tahu bahwa pokok yang temuinya

~7~
itu unik dan belum pernah beliau jumpai sebelumnya maka
beliau pun memutuskan untuk mencabut pokok kecil yang
tingginya tak lebih dari 2 jengkal tangan.
Setelah beliau mencabut pohon tersebut ia tanam di
masukkan dalam sebuah tempat dekat rumahnya. Lama
kelamaan pokok itu semakin besar dan akhirnya di
pindahkan ke tanah tanpa pot lagi. namun tak berapa lama
setelah pokok serai wangi ditemukan oleh pak Ibrahim salah
seorang warga Sri wangi juga menemukan pokok yang
sama.

~8~
Bagian II

PROFIL TOKOH
MASYARAKAT

~9~
3
Apak: Ampung dan Pemain Bola
Oleh Yusriadi

Apak sangat terkenal. Sering kali, di mana-mana,


saya menyebut nama Apak untuk memperkenalkan diri.
Sering juga orang bertanya saya anak siapa dan setelah saya
sebutkan nama Apak, orang itu mengangguk-angguk tanda
mengenalnya.
Di kalangan masyarakat di wilayah Pengkadan,
Apak dikenal dengan nama Pala Kampung Ebhong.
Maksudnya, Kepala Kampung Ebhong. Pala itu bentuk
singkat dari kepala. Beliau disapa atau dipanggil Ampung.
Bentuk pendek dari kepala kampung.
Selain dikenal sebagai kepala kampung, Apak juga
dikenal sebagai pemain bola. Saya bertemu dengan beberapa
orang di Pontianak, yang kenal Apak sebagai bek tangguh.
Apak, sekalipun badannya relatif kecil, tetapi memiliki
kecepatan dan kekuatan fisik.
Semasa muda, Apak sering bertanding sepak bola,
tidak saja di kampung tetapi ke luar kampung. Hingga ke

~ 10 ~
daerah Kapuas, Jongkong dan sekitarnya. Apak pernah
menjadi bagian dari Tim Porpuja atau Pujakab, mewakili
kecamatan Embau.
Banyak piala dan bintang omas (bintang emas),
hadiah pertandingan bola yang beliau peroleh bersama tim.
Dahulu sewaktu kecil saya melihat hadiah-hadiah itu
tersimpan di rumah, di rumah pengurus sepak bola di
kampung. Entahlah sekarang, di mana benda-benda itu.
Kampung kami juga memiliki TV pertama hadiah dari
pertandingan bola yang dilaksanakan di kampung Ujung
Said, dekat Jongkong, tahun 1980-an.
Nama Apak sebenarnya Zainal Abidin. Saya tahu
nama itu setelah sekolah dasar, setelah saya "mengerti".
Sebelumnya, saya hanya tahu nama Ebhong. Orang
kampung mengenal beliau dengan Ebhong. Lengkapnya, Cik
Ebhong. Saya merasa agak aneh mengapa ada Cik dalam
panggilan itu, karena beliau anak tertua dalam keluarga
Abdul Latif - Fatia. Panggilan beliau sebagai Wa Ebhong
hanya berlaku di kalangan adik beradiknya. Pak Utih, Pak
Cik, Pak Ngah, Pak Uda, memanggil beliau dengan Wa.
Rupanya, panggilan itu diberikan orang kampung
setelah Apak menikah dengan Umak. Umak adalah anak ke-
2 dalam keluarga kakek Abdul Malik - Nurhayati.
Apak lahir dan besar di wilayah kampung Nanga
Jajang. Setelah menikah dengan Umak, Apak pindah ke
Riam Panjang mengikuti keluarga besar Umak.
Oleh sebab itu sebenarnya beliau di Riam Panjang
adalah pendatang. Tetapi, karena jarak Riam Panjang dan

~ 11 ~
Nanga Jajang dekat, hanya sekitar 1,5 kilometer, maka kesan
sebagai pendatang tidak dirasakan. Apalagi hubungan
kebanyakan penduduk di antara kedua kampung ini memang
memang rapat. Hubungan keluarga masyarakat antar
kampung ini terlihat dari pewarisan bersama beberapa kebun
durian dan tengkawang, serta perkongsian tempat
pemakaman. Jadi, nenek moyang sebagian orang Riam
Panjang dimakamkan di kuburan Nanga Jajang.
Semasa kecil Apak merupakan tulang punggung
kakek dalam mengurus keluarga. Maklum, nenek Fatia
meninggal kala melahirkan Uju Uwar (Alm. Anwar), adik
bungsu Apak yang kemudian diambil sebagai anak angkat
oleh Ayi Itam Ayub. Ayi Itam adalah adik kakek.
Pada masa kecil Apak membantu mengurus adik-
adik, sebab setelah nenek meninggal, Ayi Latif tidak
menikah lagi. Adik-adik Apak, semuanya lelaki; Pak Utih,
Pak Cik, Pak Ngah, Pak Uda. Jika Uju Uwar dihitung berarti
ada 6 adik beradik lelaki.
Perhatian Ayi terhadap pendidikan anak sangat besar.
Apak sempat mengenyam bangku pendidikan hingga kelas 3
SR. Beliau belajar pada Guru Separ dan Guru Saleh. Banyak
pengalaman menarik beliau ceritakan ketika sekolah:
menulis di atas grip, menerima hukuman, dan lain
sebagainya. Hasil pendidikan kala itu membuat Apak bisa
menulis. Tulisan apak itu bentuknya rangkai miring.
Pada masa mudanya Apak adalah ketua pemuda.
Proses pemilihannya saya ketahui. Sisa-sisa kepemimpinan
masa mudanya adalah alat-alat musik yang sempat saya lihat

~ 12 ~
tersimpan di rumah kami di Sebugau, sebuah mmarung
(kumpulan beberapa rumah yang ditempat menetap) di luar
kampung yang jaraknya lebih kurang 3 kilometer dari
kampung Riam Panjang.
Di Sebugau pernah tinggal 6 keluarga. Keluarga Inik
Leha, Keluarga Seha, Keluarga Ayi Umin, Keluarga … dan
keluarga kami. Keluarga Apak berdiam di Sebugau dan
memulai hidup mandiri di sana. Beliau hanya sesekali ke
kampung, ketika Jumat atau ada kegiatan kampung. Di sini,
Apak membuka usaha perdagangan; mengumpulkan getah
dan menjual kebutuhan pokok. Untuk meramaikan
mmarung, di sini dibangun lapangan volli yang bisa
sekaligus menjadi lapangan bola.
Pada akhir tahun 1970-an, Apak membangun rumah
di Riam Panjang. Dan di awal tahun 1980-an kami pindah ke
kampung Riam Panjang. Di Sebugau tinggal Ayi beberapa
keluarga lagi, dan pada akhirnya sekarang ditinggalkan.
Apak menikah dengan Umak pada pertengahan
tahun 1960-an. Mereka memiliki 10 orang anak. Anak tertua
meninggal kala masih kecil. Kemudian Mbok Lena anak ke-
2. Anak ke-3 meninggal. Setelah itu saya, Yusriadi, anak ke-
4. Anak ke-5 Sri Buti. Anak ke-6 Wati. Anak ke-7 Budiman
atau Bul, meninggal di usia 2 tahun. Anak ke-8 Aton atau
Zaitun Nisa, yang kemudian berubah nama menjadi Husnul
Maghfirah. Anak ke-9 dan ke-10 meninggal.
Banyaknya anak Apak yang meninggal karena pada
masa itu pengobatan hanya tergantung pada dukun kampung.
Sedangkan perawat atau bidan kala itu tidak ada. Pada tahun

~ 13 ~
1960-90-an mantri hanya datang sesekali ke kampung dari
tempat tugas mereka di kota kecamatan, Jongkong.
Jika orang kampung ingin berobat, orang-orang
kampung harus milir ke Jongkong dengan perahu tempel
(speed boat) selama 5-7 jam; itupun jika sungai airnya
dalam. Jika surut lebih lama lagi. Belum lagi faktanya tidak
banyak orang yang memiliki perahu tempel (speed), karena
perahu jenis ini hanya dimiliki oleh 4-5 orang pedagang.
Belum lagi... tidak semua pedagang dapat memberikan
tumpangan kepada orang yang akan milir berobat.
Ketika anak Apak bernama Budiman atau Bul
meninggal, Apak sempat shock dan pingsan. Apak tidak di
rumah kala Bul sakit. Beliau sedang berdagang di daerah
Ulu Buyan. Mungkin salah satu sebab karena kala itu Bul
dikenal sebagai anak pintar dan lawar (ganteng); abangnya
bernama Yusriadi, kalahhh. (*)

Menjadi Pemimpin Keluarga


Seperti disebutkan sebelumnya, Apak ditinggal oleh
Inik sejak kecil. Beliau mendampingi Ayi Omuk, begitu
kami memanggil Ayi Latif, ayah Apak, dalam mengurus
adik-adiknya, yang kala itu masih kecil. Adik-adiknya itu
Pak Uda, Pak Ngah, Pak Cik dan Pak Utih. Sedangkan Uju
Uwar tidak diasuh oleh Ayi dan Apak.
Setelah Inik meninggal, Uju Uwar langsung
dipelihara oleh pasangan Inik Iyang dan Ayi Itam. Ayi Itam
atau Ayi Itam Ayub, adalah adik dari Ayi Omuk. Mereka
dapat mengurus Uju Uwar karena pasangan ini waktu itu

~ 14 ~
masih memiliki anak kecil sehingga bisa memberi susu
kepada Uju Uwar sekaligus.
Dalam keluarga Ayi, Apak memainkan peranan
sebagai pemimpin bagi adik-adiknya. Apak juga membantu
mengurus mereka. Maklum, sejak ditinggal Inik Fatia, Ayi
Omuk tidak pernah menikah lagi, hingga akhir hayat.
Menurut Apak, keluarga kala juga sangat beruntung
karena mereka mendapat dukungan dari kaum kerabat yang
lain. Kaum kerabat dari sebelah Ayi dan Inik memberikan
perhatian yang besar karena antara lain “keprihatinan”
melihat anak-anak kecil yang ditinggal emaknya. Sebuah
keluarga yang ditinggal pergi selama-lamanya oleh seorang
ibu sering diperumpamakan seperti “Ayam yang kehilangan
induknya”.
Hingga mereka tumbuh besar, ketiadaan ibu ini diisi
oleh figur-figur lain dalam keluarga yang saling mengisi dan
membantu.
Nenek Apak, yaitu Moyang Jajang, merupakan
sosok yang penting dalam tumbuh kembangnya Apak dan
keluarga.
“Inik Jajang palin bait,” begitu Apak pernah memuji.
Saya sempat bertemu Moyang Jajang dan merasakan
kebaikan beliau. Pada masa-masa kecil ketika kami
mengunjungi beliau di “rumah tua” di Nanga Jajang, kami
merasa diperlakukan Moyang Jajang dengan istimewa.
Sebagai “anak Ebhong” kami merasa sangat dekat dengan
beliau.

~ 15 ~
Setiap datang, Inik memeluk dan mencium kami,
diiringi dengan ungkapan rindu dan sayang beliau. Setelah
itu beliau menawarkan makanan-makanan yang ada, yang
saya ingat terutama “sagun”, atau buah-buah jambu --jenis
jambu biji yang banyak ditanam di sekitar rumah, lalu
percakapan-percakapan lain menyusul. Senyum ramah
Moyang, tatapan serta sikap hangat beliau bagi kami
merupakan “warisan” yang sangat berharga yang kami
dapati dari Apak. Warisan yang sampai sekarang sering
diingat sebagai “keistimewaan keluarga dari sebelah Apak,
yang ramah dan perhatian”.
Apak, di balik sikapnya yang tegas, di balik
kepemimpinannya yang kadang membuat segan,
sesungguhnya juga tetaplah sosok yang ramah dan perhatian.
Bahkan, boleh dikatakan beliau sangat-sangat perhatian pada
kami anak-anaknya, dibandingkan perhatian yang diberikan
oleh orang tua lain kepada anaknya di kampung kami.
Apak (bersama Umak) tidak membiarkan anak-
anaknya hidup sendiri. Anak-anak diatur dan diarahkan
menurut pandangan mereka. Sebagai contoh kami tidak
dibiarkan tidur berembun. Kalau kami tidur tanpa kelambu,
maka tengah malam kami sudah pasti terbungkus kelambu.
Apak atau Umak yang menggantung kelambu itu.
Kami tidak mungkin bisa tidur hingga siang
menjelang, karena pagi-pagi sekali sudah dibangunkan.
Mula-mula dipanggil, dibujuk, jika tidak mempan juga
dipaksa. Saya pernah merasakan sejuknya disiram air di
muka atau perihnya dicubit di kaki, karena tidur kesiangan.

~ 16 ~
Entah pada hari itu kami menoreh (menyadap) getah atau
tidak --karena hujan, kami tetap tidak diperkenankan tidur
kesiangan.
Kami tidak akan dibiarkan “cemong meong” bangun
tidur langsung bermain bersama teman. Jika masih kecil
kami dibersihkan, setelah besar kami harus membersihkan
sisa-sisa liur atau “tahi mata”, baru boleh bermain dengan
yang lain.
Kami juga tidak bisa bermain bebas di kala sore, atau
keluar bebas ketika malam. Sore sebelum Maghrib, kami
harus sudah naik ke rumah dan mandi. Jika badan kami
terlalu kotor karena seharian bermain lumpur, Apak atau
Umak yang akan menggosoknya dengan sabun dan sabut
kelapa.
Kami juga harus pamit jika keluar malam untuk
menonton TV atau menghadiri kegiatan tertentu di luar
rumah. Ketika izin diberikan, batas waktu pulang juga
ditetapkan. Kami harus sudah kembali ke rumah 9-10
malam (21.00-22.00). Lewat dari batas tersebut kadang kala
pintu dikunci.
Mereka mengunci pintu dengan maksud agar kalau
kami pulang, mereka tahu pukul berapa pulangnya. Ini
bagian dari kontrol. Jika larut, mereka akan bertanya
mengapa itu terjadi. Alasan itu akan menentukan bagaimana
sikap mereka malam itu. Mungkin kami akan mendapat
nasehat langsung, mungkin juga nasehatnya akan
disampaikan besok pagi.

~ 17 ~
Apak dan Umak tidak mau kami menjadi anak yang
liar. Mereka tidak mau kami melakukan sesuatu tanpa batas,
atau melakukan sesuatu sesuka hati. Sebaliknya, mereka
menginginkan kami menjadi anak yang baik yang menjaga
sikap dan menjaga nama baik diri dan orang tua.
Di balik sikap mereka yang ketat, sesungguhnya
Apak mendorong anak-anaknya tumbuh mandiri. Sejak
kecil, kami dilatih mengurus diri sendiri. Menggosok badan
sendiri, mencuci pakaian sendiri, serta melakukan pekerjaan-
pekerjaan pokok tanpa harus disuruh lagi selanjutnya.
Saya, sebagai anak lelaki memiliki tugas mencari
kayu bakar besar untuk dapur. Kayu bakar besar maksudnya
kayu bakar dari pohon besar yang dapat digunakan untuk di
dapur.
Jika bukan sendiri, saya mencarinya bersama Apak.
Saya belajar membawa sampan dan diizinkan membawa
sampan, menggunakan speed atau motor tempel. Saya
diizinkan membawa jala dan memasang pukat sendiri.
Sejak kecil saya diizinkan mengambil keputusan
memanjat buah, membuat pondok durian, dan hal-hal lain
yang berhubungan dengan “dunia rimba”. Apak tidak pernah
melarang saya melakukan hal seperti itu. Beliau hanya
berpesan, “Kalau memanjat hati-hati... liat ranting pohon
yang berlubang atau rapuh”.
Jika saya pulang membawa hasil rimba, adik-adik
menyambutnya dengan gembira, Apak juga memperlihatkan
apresiasinya. Cirinya, beliau mengajak saya bicara tentang
apa yang dilakukan sebelumnya. (*)

~ 18 ~
Menjadi Kepala Kampung
Setelah ada pemilihan kepala kampung Riam
Panjang di awal tahun 1980-an, Apak terpilih. Beliau
menggantikan kepala kampung Ayi Sahar atau Sahar
Baiduri. Jabatan itu diemban Apak hingga tahun 2000-an.
Pada masa tersebut, perubahan sistem pemerintahan
dari kampung menjadi desa, terjadi. Restrukturisasi kampung
dilakukan pemerintah berimplikasi pada kehidupan
masyarakat. Misalnya, jika sebelumnya Apak hanya
menangani dan mengurus kampung Riam Panjang saja, kini,
beliau juga menangani Nanga Jajang, Tubuk (Tintin
Kemantan) dan Ulu Ngkadan (Sukaramai). Jika sebelumnya
yang diurus hanya 800 jiwa, kini yang diurusnya lebih 1000
jiwa.
Selain itu, pada masa beliau menjadi kepala desa
berbagai perubahan signifikan di pedalaman bermula. Jalan
Lintas Selatan dan terbukanya Riam Panjang pada dunia luas
menandai babak baru dalam kehidupan masyarakat di
kampung pedalaman yang sebelumnya terbatas. Setelah jalan
itu bisa difungsikan, kendaraan dan orang dari luar masuk ke
kampung dengan mudah, sebaliknya, orang dari kampung
keluar kampung juga dengan mudah. Sebagian orang mulai
berubah orientasinya. Dari semula yang memandang
kampung adalah dunianya, kini tahu bahwa dunianya jauh
lebih luas dari kampung. Dari semula orang terikat pada
hukum adat dan aturan kampung, menjadi lepas dan bebas.

~ 19 ~
“Kinih banyak urang pintar,” kata Apak suatu ketika
tentang orang-orang yang sulit diatur dan diajak kompromi.
Apak berada dalam perubahan itu dan kadang-
kadang berhadapan dengan situasi itu. Sesekali terjadi
benturan.
Benturan itu antara lain jika sebelumnya masyarakat
cenderung lebih mudah diatur, kini, masyarakat menjadi
lebih sulit. Dari semula masyarakat mudah dan selalu siap
jika diajak gotong royong relatif, kini mulai banyak yang
susah karena berbagai alasan. Dari semula masyarakat sering
melakukan sesuatu tanpa pamrih, kini mulai bisa berhitung-
hitung.
Sebagai kepala kampung Apak juga menjalankan
administrasi pemerintahan. Beliau wakil pemerintah di desa.
Apak menangani pendataan penduduk. Beliau juga
menangani pengurusan surat pengantar untuk membuat
KTP, pengantar untuk mengurus pernikahan. Surat-surat itu
adalah jenis surat keterangan penduduk. Kegiatan ini
menyebabkan Apak juga menyesuaikan diri. Sebagai kepala
kampung, mula surat-surat pengantar itu ditulis tangan.
Sudah ada form yang disediakan kecamatan untuk kepala
kampung. Belakangan, Apak berhadapan dengan mesin tik,
dan mulai menggunakannya untuk semua jenis surat. Kertas
putih, kertas karbon, pita mesin tik, serta stempel menjadi
alat penting sebagai kepala kampung.
Soal kertas, karbon dan pita mungkin tidak sering
menjadi masalah dalam kerja Apak sebagai kepala kampung.
Tetapi soal cap atau stempel sering ada pengalaman menarik.

~ 20 ~
Kala itu stempel menggunakan stempel karet dan
tinta. Nah, jika sudah lama tinta di bantalan untuk cap bisa
mengering. Bisa tidak jelas lagi. Jika sudah menghadapi
situasi itu --tinta kering, Apak memiliki dua alternatif.
Pertama, menggunakan hawa dari mulutnya untuk
membasahi bagian tulisan pada stempel. Bagian karet
stempel didekatkan ke mulut seperti mendekatkan
mikerofon. Hawa dihembuskan dari rongga perut. Stempel
tiup namanya.
Kedua, menggunakan arang. Arang dihaluskan dan
kemudian dibasahi sedikit air. Hasilnya, kertas agak basah
dan cap menjadi kurang jelas. Tetapi, keterbatasan itu
membuat mau tidak mau pilihan menggunakan apa benda
yang ada dilakukan.
Apak menjadi penghubung segala kebijakan Camat,
Bupati dan semua yang kemudian disebut “pemerintah”. Apa
pun bentuk kebijakan itu, sebagai kepala kampung sifatnya
adalah pasif, menerima saja.
Pada masa itu, seorang kepala kampung juga
menjadi kepanjangan tangan dari partai politik yang tidak
disebut partai politik: Golongan Karya. Malah, tugas sebagai
kepala desa lebih besar di sektor ini, karena mereka harus
bertanggung jawab terhadap entah siapa, terkait soal
kemenangan atau kekalahan.
Kekalahan Golkar di kampung atau desa, bisa
menyebabkan hubungan antara kampung atau desa dengan
kecamatan dan kabupaten terganggu. Kekalahan ini bisa
mencelakakan atau membahayakan seorang kepala desa.

~ 21 ~
Apak pernah mengatakan bahwa salah seorang
kepala kampung di pedalaman pernah mendapat hukuman
rendam di depan kantor camat karena dia gagal
memenangkan Golkar dan sebaliknya dia mendukung Partai
Persatuan Pembangunan (PPP).
Beliau tidak ingin dihukum seperti itu. Oleh sebab
itulah beliau berusaha agar Golkar dipilih lebih banyak
warga kampung. Beliau meminta pengertian keluarga dan
warga agar memahami posisi itu.
Menurutnya, di kemudian hari, salah satu sebab
mengapa beliau bisa bertahan sekian lama menjadi kepala
kampung dan kemudian kepala desa, adalah karena beliau
bisa memberikan kemenangan kepada Golkar. Sudah tentu,
sebab lain adalah masyarakat banyak masih menghendaki
beliau menjabat.
Alhamdulillah, Apak bersyukur beliau tidak
dianggap gagal oleh pemerintah dan tidak juga dinilai buruk
oleh masyarakat. (*)

Menjadi Ketua Adat


Sebagai kepala kampung, Apak otomatis menjadi
ketua adat. Apak menangani persoalan-persoalan yang
menyangkut pelanggaran adat yang dilakukan oleh warga.
Itulah perbedaan yang paling ketara antara pemimpin
Melayu di pedalaman dengan pemimpin komunitas Melayu
di perkotaan. Pemimpin Melayu di pedalaman juga
mengurus persoalan yang berkaitan dengan adat istiadat dan
menjadi pengadil adat.

~ 22 ~
Justru sebaliknya, urusan ini yang menyebabkan
seorang pemimpin masyarakat Melayu pedalaman
memainkan peranan yang sama dengan apa yang diperankan
oleh seorang kepala suku dalam masyarakat tradisional yang
mengenal istilah itu. Tetapi, sekali lagi malangnya dalam
politik Melayu tidak pernah dikenal jabatan dan sebutan ini.
Bahkan, dalam masyarakat Melayu tugas yang diemban
Apak tidak dikenal dan mungkin dianggap aneh.
Hal ini dianggap aneh karena orang Melayu sering
dikatakan tidak memiliki hukum adat dan perangkat adat. Di
Kalbar, hukum adat dan masyarakat adat identik dengan
masyarakat dan orang Dayak.
Semoga setelah membaca tulisan ini orang yang
semula menganggap hal itu aneh menjadi mengerti. Semoga
wawasan mereka mengenai masyarakat tradisional Melayu
bisa menjadi lebih luas.
Tugas sebagai pemangku, penjaga, dan pengadil adat
yang diemban Apak tidak mudah. Wawasan tentang adat
istiadat harus luas. Beliau harus paham tentang hukum adat
dan sanksi adat. Harus tahu juga tentang sejarah dan
perubahan yang pernah terjadi sebelumnya.
Pemahaman dituntut harus mendalam. Variasi-
variasi jenis hukuman misalnya, harus diketahui. Soal nama
atau istilah dalam adat seperti: kesupan, pampas, riyal, tahil,
suku, dan seterusnya harus dimengerti dan dapat dijelaskan.
Kebijaksanaan dan keadilan juga dipinta. Itulah tugas
pertimbangan.

~ 23 ~
Saya sering mendengar Apak mengungkap istilah
dalam rapat adat.
“Adat itu mufakat. Adat bulat dalam mufakat. Seperti
bulatnya air dalam bambu”.
Oleh karena itu dalam keputusan adat emosi diri dan
keinginan sendiri harus ditekan, logika dan rasa
dikedepankan. Pendapat bersama menjadi akhir yang
penting dalam mengambil keputusan.
Tugas-tugas soal adat dan keharusan bijak inilah
membuat pekerjaan beliau banyak dan kompleks, sekaligus
juga menjadi lebih mudah.
Pengaduan jika ada sengketa di tengah masyarakat
disampaikan pada beliau. Beliau adalah pengambil
keputusan yang kelak akan menentukan nasib orang dan
pemenuhan rasa keadilan.
Secara umum persidangan adat bisa digelar jika ada
aduan. Ada pihak yang mengadu atau tidak dapat menerima
perlakuan pihak lain.
Apak mendengarkan laporan mereka dan kemudian
memanggil pihak yang dilaporkan. Pada masa yang sama,
Apak juga memanggil tokoh masyarakat yang dipandang
arif; biasanya, tokoh yang diminta pendapatnya adalah Ayi
Rani atau Abdurrani. Jabatan beliau adalah Sekretaris Desa.
Karena sudah menjabat sebagai pendamping kepala desa
sejak masa Ayi Sahar, pengalaman dan jam terbang Ayi Rani
tinggi. Pandangan-pandangan beliau jauh ke depan.
Setelah pandangan tokoh didengar, barulah Apak
mengambil keputusan. Sering kali keputusan yang diambil

~ 24 ~
sejalan dengan pandangan itu. Tetapi, ada juga keputusan
diambil berbeda.
Apak mendalami aturan-aturan adat Melayu di Riam
Panjang. Beliau bertanya pada orang, mendengar orang
bercerita, dan menyerapnya. Kelak aturan-aturan yang tidak
tertulis itu diolah dalam pikiran dan ditimbang menurut hati
dan perasaan. Hasil itulah yang kemudian menjadi dasar
dalam menetapkan hukuman terdapat seseorang yang
melakukan pelanggaran: apakah seseorang itu dihukum
ringan dan pelanggaran berat berdasarkan aturan-aturan itu.
Ada seseorang itu dikenakan kesupan orang tua, kesupan
kampung, untuk jenis pelanggaran susila; atau hukum
pampas untuk jenis pelanggaran fisik dan pertumpahan
darah.
Pengetahuan tentang adat ini juga diperlukan pada
saat menetapkan adat perkawinan. Ada pelangka, pesurung,
dan entah apa lagi…. (*)

Menjadi Pengurus Agama


Jabatan Apak sebagai kepala kampung membuat
beliau membawahi hampir semua lembaga yang ada di
tengah masyarakat. Selain pengurus adat, beliau juga
menjadi bagian dari pengurus agama atau pengurus masjid.
Masjid di Riam Panjang namanya masjid Al-Yaqin.
Masjid itu sebelum akhir tahun 1970-an terdapat di hilir
kampung di wilayah Lubuk Kepayang. Pada akhir tahun
1970-an, masjid dipindahkan ke daerah Sungai Buluh,

~ 25 ~
kampung tengah. Pada tahun 2000-an masjid dipindahkan ke
kampung baru di pinggir Jalan Lintas Selatan.
Sebagai bagian dari pengurus Apak terlibat dalam
rencana pembangunan dan pelaksana pembangunan. Apak
ikut mengerahkan warga dalam menyiapkan bahan kayu dan
mengerjakan bangunan itu setiap Jumat.
Selain itu, pada tahun-tahun 1980-an Apak juga
menjadi petugas Jumat. Beliau menjadi khatib dan Imam.
Saya pernah mendengar Apak membaca buku khutbah di
rumah pada malam Jumat atau Jumat pagi. Saya kira itu
sebagai persiapan.
Ketika Apak menjadi khatib, sebenarnya, bacaan
beliau tidak selancar khatib profesional di Pontianak
sekarang ini. Kadang-kadang agak menyendat dan diulang.
Baik bacaan teks bahasa Indonesia, maupun bacaan teks
berbahasa Arab. Tetapi dibandingkan khatib yang lain, ya...
tidak kurang-kurang amat, jika dilihat dari sisi bacaannya.
Menyangkut nada atau suara, Apak tidak termasuk
khatib bersuara merdu. Suara beliau agak “cempreng, serak-
serak.
Hanya, sekali lagi, meskipun bacaan tidak sangat
lancar dan meskipun suara tidak bagus amat, beliau tetap
berusaha. Beliau berusaha agar bisa menyampaikan khutbah
dengan lebih baik.
Beliau menjalankan "tugas" secara bergiliran dengan
Pak Yan, Ayi Ulin, dll., hingga tahun 1990-an. Setelah tahun
tersebut beliau jarang atau hampir tidak pernah naik mimbar
lagi.

~ 26 ~
Pada masa itu sudah banyak pemuda-pemuda
kampung yang berpendidikan agama: madrasah ibtidaiyah,
madrasah tsanawiyah dan sekolah pendidikan guru. Pemuda-
pemuda itu, antara lain Mustafa (Pak Mus), Syamsul Hadi
(Ungal Hadi), menjadi andalan dalam soal azan, imam dan
khutbah. Suara mereka bagus dan karena berpendidikan,
bacaan mereka juga baik. Masjid mengandalkan mereka
hingga hari ini.
Peran sebagai petugas agama ini tentu saja sangat
penting bagi beliau dalam memudahkan menyampaikan
pesan-pesan kepada masyarakat. Pesan yang disampaikan
melalui mimbar tentu saja berbeda dibandingkan pesan-
pesan lisan di pentas band atau pertemuan lain. Pesan
melalui khutbah ini memiliki unsur "x" karena berkaitan
dengan emosi keagamaan pendengar. (*)

~ 27 ~
Catatan:
1. File ini merupakan format layout buku untuk
laporan Kelompok IAIN Pontianak Tahun 2019
2. Saat Layout bukunya ikuti format layout buku yang
telah disiapkan panitia
3. Ukuran buku A5 (14.8 x 21 cm) (Sesuai File
Format Layout Buku)
4. Margin 2.5 cm (Sesuai File Format Layout Buku)
5. Font Teks (Times News Roman)/ size 12
6. Font Judul (Times News Roman)/ size 16 Bold
7. Paragraph 1.15 justify (Sesuai File Format Layout
Buku)

~ 28 ~

Anda mungkin juga menyukai