Anda di halaman 1dari 17

TATALAKSANA ANESTESI PADA PASIEN G1P0A0

GRAVIDA 26-27 MINGGU DENGAN HERNIA


DIAFRAGMATIKA YANG DILAKUKAN LAPAROTOMY
EKSPLORASI

Oleh :
Lusy Octavia Saputri
130121160502

Pembimbing :
Dr. Indriasari, Sp.An-KIC

POSTER I

Untuk memenuhi salah satus yarat mengikuti ujian semester


pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN G1P0A0 GRAVIDA 26-27
MINGGU DENGAN HERNIA DIAFRAGMATIKA YANG DILAKUKAN
LAPAROTOMI EKSPLORASI

Abstrak

Background: Hernia diafragmatika yang terjadi akibat komplikasi dari kehamilan


sangat jarang terjadi dan dapat menyebabkan angka mortalitas yang tinggi,
terutama bila tidak segera dilakukan tindakan pembedahan. Diagnosis hernia
diafragma ditegakkan berdasarkan hasil penemuan klinis yang dipertegas dengan
foto rontgen toraks dan CT-scan. Komplikasi intraoperasi yang dapat terjadi pada
pasien dengan hernia diafragma merupakan tantangan bagi dokter anestesi untuk
menatalaksana kasus ini.
Case Report : Pada kasus ini akan dibahas mengenai seorang wanita 27 tahun
dengan diagnosis hernia diafragmatika pada kehamilan usia 25-26 minggu yang
telah dilakukan laparotomi eksplorasi dan penutupan defek hernia. Pasien datang
dengan gejala sesak nafas disertai kesulitan BAB selama 5 hari. Penilaian
preoperatif menunjukkan kondisi pasien dengan hemodinamik stabil dan denyut
jantung janin baik. Dilakukan anestesi umum dengan menggunakan teknik Rapid
Sequence Induction. Monitoring dilakukan dengan EKG, NIBP, SpO2, dan ETCO2
dengan low volume low presure ventilator. Selama operasi berlangsung
hemodinamik pasien stabil kemudian dilakukan penutupan defek hernia dan
operasi berlangsung selama 4 jam dengan pendarahan 500 cc. Kemudian
dilakukan Transversus Abdominis Plane Blok sebagai analgetik post operasi. Post
operasi pasien dan janin dalam keadaan stabil kemudian dipindahkan ke ruang
pemulihan untuk diobservasi selama 3 jam dan kemudian dipindahkan ke ruang
semi intensif.

Kata kunci: anestesi, hernia diafragmatika, kehamilan, laparotomi eksplorasi

ii
ANESTHESIA MANAGEMENT OF
DIAPHRAGMATIC HERNIA DURING PREGNANCY UNDERGOING
LAPAROTOMY CLOSURE OF THE HERNIA DEFECT

Abstract

Background : Symptomatic maternal diaphragmatic hernia in a pregnant woman is a


surgical emergency associated with high morbidity and mortality both for her and her
fetus. Incident is 0.17% of 13,138 cases and frequently occurred on the second or third
trimester of pregnancy due to the increased of intraabdominal pressure. Intraoperative
complications that can occur in patients with diaphragmatic hernias is a challenge for
the anesthesiologist.
Case Report: In this case a 27-year-old woman who was diagnosed with congenital
diaphragmatic hernia, primigravida, and was pregnant at 25-26 weeks of age had
undergone a laparotomy exploration and closure of the hernia defect. Patients present
with shortness of breath accompanied by constipation for 5 days. Preoperative
assessment shows the patient's condition is still optimal and fetal heart rate was normal.
A general anesthetic technique is performed with Rapid Sequence Induction. Non-
Invasive Monitoring with EKG, NIBP, SpO2 and ETCO2. No major hemodynamic
changes during surgery. Duration 4 hour with total bleeding 500cc. Transverse
Abdominis Plane block was done after surgery with bupivacain 0,25% as postoperative
analgesia and paracetamol 1gr intravenous as adjuvant analgesia. Postoperatively the
patient and the fetus are stable and transferred to High Care Unit and went to home at 4th
day after surgery with stable hemodinamyc and normal fetal ultrasound.
Conclusion: The majority of cases of diaphragmatic hernia that are diagnosed in
pregnancy require emergency surgery in the second or third trimester. 4 The important
point in this case was maternal and fetal safety. 3 The anesthesiologist must consider the
effect of the disease process itself, inhibit uterine contraction and avoid preterm labour.
Adequate pain control with post operative analgesia avoidt prematur labour. 3

Keywords:diphragmatic hernia,anesthesia management, gravida, exploratory


laparotomy

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Hernia diafragmatika diklasifikasikan menjadi 3 macam penyebab, yaitu

hernia diafragma didapat (acquired), hernia diafragma kongenital, dan hernia

diafragma traumatik. Penyebab tersering dari hernia diafragmatika pada

kehamilan disebabkan karena didapat (acquired) atau hiatal hernia yang

disebabkan perubahan fisiologis peningkatan tekanan intra abdomen.1

Pada umumnya hernia diafragmatika kongenital didiagnosis sebelum

kelahiran, atau segera setelah pasca persalinan. Hernia diafragmatika Bochdalek

adalah penyebab tersering pada neonatus sekitar 1 dari 22.000 kelahiran. 2 Gejala

klinis yang timbul pertama kali pada usia dewasa sangat jarang terjadi dan

biasanya komplikasi akibat kehamilan lebih jarang terjadi. Terdapat 44 kasus yang

dilaporkan sejak tahun 1928.2

Insidensi hernia diafrgmatika pada dewasa berkisar 0,17% dari 13.138

pemeriksaan CT scan abdomen.3 Terdapat 68% hernia diafragmatica bochdalek

pada sisi kanan, 18% pada sisi kiri, dan 14% kasus bilateral. Dan lebih sering

ditemukan pada wanita (17:5) dibandingkan pria. Hernia diafragmatica pada sisi

kanan lebih sering ditemukan pada pasien tanpa gejala (incidental hernia),

sedangkan hernia diafragmatica pada sisi kiri lebih sering ditemukan pada pasien

yang memiliki gejala pada kasus ini sekitar 80-90% dari semua kasus.4,5

Hernia diafragmatica yang terjadi pada orang dewasa, diduga akibat

kegagalan pembentukan anatomis diafragma, atau karena trauma, dan bisa

1
2

disebabkan akibat peningkatan intraabdomen seperti pada kehamilan. Jumlah

kasus hernia diafragmatica asimptomatik pada dewasa, sampai saat ini masih

belum dapat diketahui, dan terutama pada wanita gejala tidak akan timbul hingga

hamil.6 Simptomatik hernia diafragmatika pada kehamilan, persalinan dan pasca

persalinan jarang terjadi, tetapi berpotensi tinggi. Dikarenakan gejalanya

menyerupai gejala kehamilan pada umumnya, sehingga diagnosis dan pengobatan

seringkali terlambat dana menyebabkan tingginya angka mortalitas pada kasis ini.7

Permasalahan pasien dengan hernia diafragmatika bagi anestesi adalah

efek massa dari organ intra torakal yang menyebabkan terganggunya sistem

kardiovaskular akibat dari kompresi langsung pada jantung dan pergeseran

mediastinum, sehingga dapat menimbulkan tertekuknya vena cava dan vena

pulmonal, terganggunya aliran balik ke jantung dan menyebabkan penurunan

curah jantung sehingga perlu akses intravena dengan ukuran besar untuk resusitasi

cairan. Monitoring invasif dengan arterial line dan tekanan vena sentral

seharusnya dipertimbangkan. Permasalahan yang lain adalah pasien memiliki

resiko tinggi terjadinya aspirasi karena obstruksi gastrointestinal, hipoplasia

pulmonal serta hipoksemia yang memicu timbulnya hipertensi pulmonal persistent

dan gagal transisi normal dari fungsi sirkulasi fetus ke dewasa.8

Kasus ini termasuk kasus yang jarang ditemukan sehingga penulis tertarik untuk

melaporkannya.
BAB II

DESKRIPSI KASUS

Kami laporkan wanita usia 27 tahun dengan diagnosis hernia

diafragmatika pada G1P0A0 gravida 25-26 minggu. Pasien datang ke instalasi

gawat darurat dengan keadaan sesak nafas sejak 3 hari sebelum masuk rumah

sakit dan makin memberat dalam 1 hari terakhir. Keluhan utama disertai dengan

tidak bisa flatus dan sulit buang air besar sejak 1 miggu. Dari anamnesis lanjutan

diketahui pasien tidak memiliki penyakit penyerta lain seperti hipertensi, diabetes,

kelainan jantung, asma, atau alergi. Aktivitas sehari-hari dalam batas normal,

pasien bekerja sebagai karyawati sebuah perusahaan. Pasien saat ini sedang hamil

usia 25 minggu. Riwayat trauma disangkal oleh pasien dan pasien belum pernah

mengalami operasi sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak sakit berat, dengan

kesadaran composmentis. Tanda-tanda vital lain ditemukan dalam batas normal

namun pasien tidak dapat berbaring datar, hanya bisa setengah duduk. Tekanan

darah 139/94 mmHg, respirasi 32-34x/menit cepat dan dangkal, suara jantung

didapatkan reguler dengan laju nadi 120-130 kali per menit. Suara paru kanan

lebih keras dari kiri, tidak ditemukan suara ronki ataupun wheezing, ditemukan

bising usus di lapang paru kiri. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan abdomen

sebesar usia kehamilan 8 bulan. Gerakan janin masih dirasakan olah pasien.

Denyut Jantung Janin 138-144x/menit. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan

adanya hipokalemia (K 2,7 mEq/L) dan hasil lainnya dalam batas normal,

3
4

terdapat gambaran isi abdomen mendesak ke rongga toraks serta gambaran

terdorongnya mediastium ke arah kanan. Dilakukan koreksi untuk hipokalemia

dengan KCL 25 mEq. Pasien puasa cukup dan sudah terpasang NGT, kemudian

dilakukan informed consent mengenai keadaan pasien dan bayi, risiko operasi dan

anestesi. Pasien dan keluarga setuju dan diputuskan untuk dibawa ke ruang

operasi.

Gambar 1. Rontgen Toraks Pasien

Di kamar operasi pasien dipasangkan monitor takanan darah, EKG, dan

oksimetri. Tekanan darah menunjukkan 130/88 mmHg, denyut jantung 125 kali

per menit dengan irama sinus, pernapasasan 30 kali per menit, serta saturasi

oksigen (SpO2) 99% dengan menggunakan nasal kanul 3L/menit. Dilakukan

pemeriksaan denyut jantung janin sebelum induksi oleh tim Obstetri dan

Gynecologi dan didapatkan denyut jantung janin 133-135x/menit.

Dilakukan suction NGT sebelum dan diberikan ondansentron 4mg i.v

sebelum dilakukan induksi. Diberikan proksigenasi dengan O2 100%. Kemudian

Induksi pasien dilakukan dengan Rapid Sequence Induction diberikan propofol

120 mg, dan dilakukan sellick maneuver kemudian diberikan pelumpuh otot
5

Rocuronium 60 mg, kemudian dilakukan intubasi dengan ett non kingking no 6,5.

Kemudian diberikan fentanyl 100 mcg saat menjelang insisi. Setelah stadium

pembedahan tercapai, operasi dimulai disertai pendampingan oleh tim Obstetri

Gynecologi. Pemeliharaan anestesi menggunakan sevofluran 2-3 Vol% dan

O2:Air 50%. etCO2 dipertahankan 35-40 mmHg.

Pembedahan berlangsung selama 4 jam. Didapatkan defek pada bagian

posterolateral diafragma kiri (bochdale) yang menjerat organ visceral

intraabdomen. Kemudian dilakukan reposisi organ visceral dan penutupan defek

ppada diafragma.

Selama pembedahan, Tekanan darah sistol antara 101-124 dan diastole

58-74 mmHg. Denyut jantung stabil antara 95–110 x/menit dan saturasi oksigen

antara 98– 99%, gambaran EKG normal sinus rhytme. Cairan diberikan selama

operasi RL dengan kebutuhan 120 cc/jam, jumlah perdarahan ±350 ml, dengan

urine output 50-100 cc/jam.

Setelah operasi berakhir, dilakukan tindakan transverse abdominis plane

(TAP) block pada pasien sebagai salah satu analgetik pasca operasi. Setelah itu

pasien kami lakukan awake ekstubasi lalu diberikan oksigen dengan nasal kanul.

Pasien diobservasi di ruang pemulihan selama 5 jam, didapatkan keadaan umum

dan tanda vital stabil, NRS 1-2 didaerah bawah epigastrik, Namun pasien

mengeluhkan nyeri seperti disayat-sayat dengan NRS 4-5 di sekitar epigastriak

sehingga diputuskan untuk diberikan ketorolac 30mg i.v. Kemudian setelah 5 jam

observasi di ruang pemulihan kondisi stabil, pasien lalu dipindahkan ke ruangan.


6

Follow up di ruangan, pasien dalam kondisi hemodinamik stabil dan

dilakukan pemantauan denyut jantung janin oleh TS-obgyn. Dan konsisi janin

dalam batas normal. Kemudian pasien dipulangkan hari ke-4 pasca operasi.

Hari I Hari II Hari III

Kesadaran : Kesadaran : Kesadaran :


Composmentis Composmentis Composmentis
Tekanan darah : Tekanan darah : Tekanan darah :
120/80 118/72 122/84
Nadi : 92x/menit Nadi : 94x/menit Nadi : 92x/menit
Respirasi 24- Respirasi 22- Respirasi 22-
26x/menit 24x/menit 24x/menit
SpO2 : 99% udara SpO2 : 98% udara SpO2 : 98% udara
bebas bebas bebas
NRS 1 NRS 1 NRS 2
Gerakan janin (+), Gerakan janin (+), Gerakan janin (+),
DJJ 134-138x/menit DJJ 140-142x/menit DJJ 138-140x/menit

Tabel 1 Follow up Pasca Operasi


BAB III

PEMBAHASAN

Hernia Diafragmatika adalah penonjolan organ perut ke dalam rongga

dada melalui suatu lubang pada diafragma. Hernia diafragmatika pada kehamilan

dibagi menjadi 3 kategori, Hiatal atau acaquired hernia, kongenital hernia dan

traumatic hernia.9 Hiatal hernia 6x lebih sering terjadi dibandingkan dua jenis

hernia yang lain dan biasanya terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen

selama trimester kedua atau ketiga kehamilan (18% pada multipara dan 5% terjadi

pada primipara).10 Hernia kongenital disebabkan karena defek pada diafragma

yang disebabkan karena kegagalan perkembangan embriologi pada posterolateral

diafragma (Bochdalek) atau substernal diafragma (Morgagni). Gejala dapat timbul

selama kehamilan.11

Traumatik hernia diafragmatika biasanya disebabkan karena trauma

tumpul yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraabdominal dan

merobek lapisan diafragma.12 Pada pasien yang tidak hamil, 90% kasus hernia ini

terjadi pada sisi kiri, karena hepar melindungi sisi kanan diafragma. 13 Sebanyak

tiga puluh dua kasus hernia diafragmatika traumatik dan hernia diafragmatika

kongenital ditemukan pada trimester kedua kehamilan.14

Kehamilan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan

peningkatan tekanan intraabdominal. Mual dan muntah hingga minggu ke-16

kehamilan dan pembesaran uterus akibat kehamilan pada trimester ke-2. Semakin

tua usia kehamilan maka uterus juga akan semakin membesar. Hal ini dapat

7
menyebabkan penikatan sejumlah isi rongga abdomen mendesak ke rongga dada.

Semua faktor ini dapat menyebabkan suatu defek yang dapat menimbulkan gejala

dan organ visera abdomen berisiko untuk terjadinya herniasi dan torsio atau

terpeluntir. Pembedahan harus dilakukan untuk menutup defek pada diafragma

sebelum kelahiran karena berisiko tinggi terjadi ruptur diafragma spontan selama

kehamilan.15

Komplikasi pada kasus ini yang dapat mengancam nyawa diantaranya,

acute dyspneu yang disebabkan karena kompresi atelektasis, pergeseran

mediastinum, jeratan atau gangrene pada organ visceral yang mengalami

herniasi.13 Pada hernia diafragmatika pada kehamilan presentase kematian pada

ibu hamil berkisar antara 42%-58%.14,15 Mortalitas dan morbiditas janin yang

disebabkan karena kelahiran prematur dan gangguan pada maternal oxygen

delivery.16

Pada pasien ini terjadinya hernia baru saat kejadian ini, tidak ada riwayat

kejadian hernia sebelumnya. Tidak ada riwayat trauma atau perubahan tekanan

intra abdomen yang tiba-tiba pada pasien ini, selain itu pada pasien tidak

ditemukan tanda-tanda kelainan kongenital lainnya, dan pasien mengaku tidak

memiliki keluhan yang sama selama ini. Masih diperlukan penelusuran lebih

lanjut untuk mengetahui penyebab hernia pada pasien ini sehingga kemungkinan

pada kasus ini disebabkan karena hiatal atau acquired hernia yang diperoleh

akibat proses kehamilan.

8
Hernia diafragmatika memiliki angka mortalitas yang tinggi. Nitrous oxide

(N2O) seharusnya dihindari karena akan berdifusi ke dalam viscera dan

meningkatkan kompresi paru.

Operasi emergensi adalah pendekatan standar hernia diafragmatika sejak

tahun 1980 karena dipercaya bahwa reduksi hernia akan meningkatkan status

respirasi, menyebabkan paru dapat mengembang kembali. Pada pasien ini

keputusan untuk operasi didapatkan segera setelah diagnosis tegak, sehingga

pasien dapat ditatalaksana lebih awal.8

Saat intra operasi, idealnya pemantauan sirkulasi menggunakan

pendekatan invasif, namun pada pasien ini tidak dilakukan karena kondisi pasien

stabil (kardiovaskular tidak terganggu oleh efek massa dari viscera intra thorakal),

tanpa support inotropik dan kemungkinan perdarahan yang minimal. Pemantauan

dilakukan dengan tensimeter monitor, EKG, pulse oksimetri dan etCO2.

Perdarahan yang terjadi dipantau dengan jumlah kasa yang digunakan dan

produksi urine digunakan untuk menilai kecukupan kebutuhan cairan. Kebutuhan

cairan durante operasi 120 cc/jam dan pengganti perdarahan ±350 cc diberikan

dengan cairan kristaloid Ringer Laktat.

Manajemen intraoperasi harus menjamin pertukaran gas yang adekuat,

monitoring dan penggantian elektrolit yang tepat, pencegahan aspirasi dan kontrol

nyeri perioperasi. Premedikasi yang sering diberikan adalah antiemetik dan

analgesia seperti opioid (biasanya fentanyl). Pada saat induksi, perhatian

utamanya adalah kemungkinan lambung penuh, sehingga perlu dilakukan

pemasangan serta aspirasi nasogastrictube (NGT) sebelum induksi. Rapid

9
sequence induction (RSI) atau awake intubation (pada prediksi kesulitan intubasi)

tanpa ventilasi bag dan mask dapat dilakukan untuk mencegah overdistensi perut

dan herniasi melewati midline. Pada pasien ini sudah terpasang NGT, sehingga

sebelum dilakukan induksi dilakukan suctioning untuk mengaspirasi isi lambung,

dilanjutkan induksi dengan Rapid Sequence Induction.

Pemeliharaan selama anestesi dapat menggunakan O2 dengan kombinasi

halotan, isofluran atau sevofluran. Nitrous oksida sebaiknya dihindari untuk

mencegah difusi kedalam lumen usus sehingga pengembangan usus intra thorax

dan intra abdomen dapat dicegah. Pada sebagian besar kasus, kombinasi

pelumpuh otot dan oksigen-opioid akan menjadi optimal. Obat anestesi yang

dapat mendepresi miokard sebaiknya dihindari sampai dada terdekompresi.8

Kontrol ventilasi dan oksigenasi dengan hati-hati untuk mencegah

peningkatan tekanan arteri pulmonal yang tiba-tiba (PaCO2 dipertahankan

dibawah 40 mmHg and PaO2 di atas 100 mm Hg), dalam hal ini pulse oximetry

membantu dalam diagnosis episode hipoksemia subklinis. Dan penggunaan

etCO2 membantu dalam memantau kadar CO2 yang dikeluarkan pada saat

ekspirasi.11

Pergeseran mediastinum dapat terjadi gangguan pada venous return atau

aliran balik vena dan kolaps pada bagian bawah paru sehingga harus diperhatikan

posisi pasien agar tidak terjadi kompresi pada paru akibat dilatasi dari organ

visceral abdomen yang mengalami herniasi.17

Selama proses anestesi berlangsung, harus diberikan low tidal volume dan

low airway pressure sampai dipastikan organ intraabdomen yang berada di rongga

10
thorax dapat dibebaskan. Sehingga paru yang tertekan akibat organ intraabdomen

yang berada di rongga thorak dapat dikembangkan kembali yang menyebabkan

pergeseran mediastinum dan dapat mempengaruhi venous return. 17,18

Penggunaan Fetal Heart Rate Monitoring (FHR) pada non-obstetric

surgery masih kontroversial dan tidak selalu dapat dilakukan. Misalnya, selama

pembedahan abdomen, penggunaan dopler dapat mengganggu lapangan operasi.

Belum ada penelitian tertulis yang menyatakan bahwa FHR dibutuhkan pada non-

obstetric surgical procedure pada pasien hamil.19 Pada beberapa kasus, obat-

obatan anestesi tidak memberikan perubahan pada jumlah denyut jantung janin, 20

namun menurunan variabilitas denyut jantung janin. Penurunan variabilitas ini

masih dapat berlangsung hingga 90 menit pasca pulih dari anestesia yang

disebabkan adanya residu konsentrasi obat anestesi.21,22 Pemantauan kesejahteraan

janin intra operasi dapat dilakukan dengan menggunakan Cardiotocography

(CTG) pada usia kehamilan diatas 32 minggu. Apabila kehamilan masih dibawah

32 minggu masih belum dapat dilakukan karena kontraksi masih belum efektif.

Sehingga pada pasien ini tidak dilakukan monitoring kesejahteraan janin

intraoperasi.

11
BAB IV

KESIMPULAN

Diagnosis awal, menghindari tekanan jalan nafas yang tinggi selama

ventilasi dan stabilitas hemodinamik dapat menghasilkan outcome yang baik pada

pasien dengan hernia diafragmatika. Manajemen anestesi pada hernia

diafragmatika memerlukan perhatian khusus karena pasien dengan hernia

diafragmatika mengalami gangguan respirasi dengan tidak mengembangnya paru,

kemungkinan terjadinya pneumothorak, dan kemungkinan adanya hipoplasia

paru.

Anestesi pada kasus ini memerlukan peralatan yang khusus dan monitor

yang ketat, serta persiapan yang lebih hati-hati. Poin-poin yang penting adalah

manajemen jalan napas yang tepat dengan kontrol ventilasi durante operasi,

penilaian keseimbangan cairan yang ketat serta pencegahan hipotermia. Perawatan

post operasi perlu mendapat penanganan yang adekuat karena resiko mortalitas

yang tinggi dan kemungkinan memerlukan perawatan di ruang intensif. Pasca

operasi diperlukan pemantauan fungsi respirasi dan pemberian bantuan ventilasi

mekanik jika diperlukan. Pemantauan secara klinis dengan penunjang analisa gas

darah dan radiologi serial dilakukan untuk menilai perkembangan fungsi respirasi

pasca operasi.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Genc MR, Clancy TE, Ferzoco SJ, Norwitz E (2003) Maternal congenital
diaphragmatic hernia complicating pregnancy. Obstet Gynecol 102: 1194-
1196.
2. Palanivelu C, Rangarajan M, Maheshkumaar GS, Parthasarathi R (2008)
Laparoscopic mesh repair of a Bochdalek diaphragmatic hernia with acute
gastric volvulus in a pregnant patient. Singapore Med J 49: e26-28.
3. Mullins ME, Stein J, Saini SS, Mueller PR (2001) Prevalence of incidental
Bochdalek’s hernia in a large adult population. AJR Am J Roentgenol 177:
363-366.
4. Toorians AW, Drost-Driessen MA, Snellen JP, Smeets RW (1992) Acute
hernia of Bochdalek during pregnancy. Hyperemesis for the first time in a
third pregnancy? Acta Obstet Gynecol Scand 71: 547-549.
5. Senkyrik M, Lata J, Husová L, Díte P, Husa P, et al. (2003) Unusual
Bochdalek
hernia in puerperium. Hepatogastroenterology 50: 1449-1451.
6. Rodríguez-Hermosa JI, Pujadas M, Ruiz B, Girones J, Roig J, Fort E. et
al. (2004) Hernia diafragmática de Bochdalek en el adulto. Bochdalek
diaphragmatic hernia in adult. Cir Esp 76: 191-194.
7. Barbetakis N, Efstathiou A, Vassiliadis M, Xenikakis T, Fessatidis I
(2006) Bochdaleck’s hernia complicating pregnancy: case report. World J
Gastroenterol 12: 2469-2471.
8. Bianchi E, Mancini P, Vito SD, Pompili E, Taurone S, Guerrisi I, dkk.
Congenital asymptomatic diaphragmatic hernia in adults: a case series. J Med
Case Reports. 2013(7):125.
9. Kurzel RB, Naunheim KS. Repair of symptomatic diaphrag- matic hernia
during nreznancv. Obstet Gvnecol1988:71:869-71.
10. Rigler LG, Eneboe r”B: ThYe incidence of hiatus hernia in pregnant women
and its significance. J Thorac Surg 1935;4:262-8.
11. Toorians AWFT, Drost-Drienssen MA, Snellen JP, Smeets RWMC. Acute
hernia of bochdalek during pregnancy: hy- peremesis for the first time in a
third pregnancy? Acta Obstet Gynecol Stand 1992;71:547-9.
12. Pavne TH. Yellin AE. Traumatic diauhraematic hernia. Arch Su;g
1682;117:18-24.
13. Dudley AG, Teaford H, Gatewood TS. Delayed traumatic rup- ture of the
diaphagm in pregnancy. Obstet Gynecol 1979; 53(Suppl):25s-7s.
14. Dumont M. Hernie diaphragmatique et grossesse. J Gynecol Obstet Biol
Reprod 1990;19:395-9.
15. Dave KS, Bekassy SM, Wooler GH, Ionescu I. Spontaneous rupture of the
diaphragm during delivery. Br J Surg 1973;60: 666-8.
16. Craddocck DR, Hall TI. Straneulated dianhrazmatic hernia com- plicating
pregnancy.‘Br J Suyg 1968;55:g59-6.

13
17. Lobb TR, Butlin GR. Anaesthesia and traumatic diaphragmatic hernia. Can
Anaesth Sot J 1974;21:173-80
18. Loehning RW, Takaori M, Safar P. Circulatory collapse from anesthesia for
diaphragmatic hernia. Arch Surg 1965;90:109-13.
19. Horrigan TJ, Villarreal R, Weinstein L. Are obstetrical personnel required for
intraoperative fetal monitoring during nonobstetric surgery? J Perinatol 1999;
19: 124±6
20. Katz JD, Hook R, Barash PG. Fetal heart rate monitoring in pregnant patients
undergoing surgery. Am J Obstet Gynecol 1976; 125: 267±9
21. Fedorkow DM, Stewart TJ, Parboosingh J. Fetal heart rate changes associated
with general anesthesia. Am J Perinatol 1989; 6: 287±8
22. Liu PL, Warren TM, Ostheimer GW, Weiss JB, Liu LM. Foetal monitoring in
parturients undergoing surgery unrelated to pregnancy. Can Anaesth Soc J
1985; 32: 525±32
.

14

Anda mungkin juga menyukai