Anda di halaman 1dari 22

REFERAT II

KOMPLIKASI DAN TATALAKSANAAN PASIEN PASKA KRANIOTOMI


TUMOR SUPRATENTORIAL DI RUANG PERAWATAN INTENSIF

Lusy Octavia Saputri

Pembimbing:
Dr. dr. Dewi Yulianti Bisri, Sp.An-KNA, KAO, M.Kes
Sejarah Perawatan Neurointensif

1940-1950
Epidemi poliomielitis
1970-1980
prinsip penggunaan Kemajuan pesat dibidang
Era modern
ventilator jangka panjang bedah saraf dan
perawatan intensitas tinggi neuroanestesia neurointensivis,
neurologis, neurosurgeon
Bangsal perawatan bedah  menjadi satu unit
saraf kemudian dikelola manajemen komperhensif
oleh tim bedah saraf  untuk penyakit yang lebih
Neurointensif Care Unit kompleks dan mengancam
nyawa yang berkaitan
dengan sistem saraf pusat
Indikasi Perawatan Ruang Intensif Paska
Operasi
Anatomi otak
(Supratentorial &
infratentorial)
cerebrum
ventrikel lateral
ventrikel ke tiga
pleksus khoroideus Supratentorial
kelenjar pineal
hipotalamus
kelenjar pituitary
nervus optikus

Tentorium
(Falx Cerebri)
Cerebellum
Tectum
Infratentorial ventrikel keempat
batang otak
(Fosa posterior) (otak tengah,
pons dan medula)
Patofisiologi Tumor Supratentorial
Supratentorial

Dilapisi oleh duramater dan


tulang tengkorak

Tekanan di sisi kiri = kanan,


Tekanan supratentorial =
infratentorial

Monroe Kelly  total


Massa  berkembang
volume kompartemen pada
terbatas  ↑ TIK
setiap titik tetap konstan
Fase I  Fase lambat  kompensasi  aliran cairan
serebrospinal dan ↓ volume darah  elektif surgery

Fase II Lesi berkembang  kompensasi habis  ↑ TIK

Fase III  Lesi berkembang lanjut  Ketidakseimbangan


peningkatan TIK pergeseran parenkim otak 
Subfalcine herniation atau midlineshift
• Midline shift >5mm  perkembangan massa yg signifikan  urgency
surgery

Fase IV  Perkembangan masa yang tidak terkendali 


perbedaan tekanan supratentorial dan infratentorial 
herniasi medial lobus temporal  herniasi uncal/sentral
 kompresi n.III dekomopresi massa emergency
Komplikasi dan Tatalaksana Paska Kraniotomi
Tumor Supratentorial di ruang rawat intensif

Perawatan di ruang rawat intensif sering dipertimbangkan


paska operasi kraniotomi tumor intrakranial

Tidak ada aturan penggunaan anestesi khusus yang lebih


unggul untuk mencegah terjadinya komplikasi paska operasi

Ekstubasi segera dibutuhkan untuk menilai adanya


gangguan neurologis apabila memungkinkan
Defisit Insidensi 3-7%, Paska reseksi tumor intraaksial, komplikasi
Neurologis neurologis meningkat sebesar 25%  berupa defisit
motoris dan sensoris hingga koma

Defisit neurologis paska reseksi tumor sangat tergantung


pada jenis tumor dan lokasi tumor.

Dibagi menjadi defisit neurologis permanen dan defisit


neurologis Transien

Tatalaksana  penilaian segera, konfirmasi dengan CT


scan atau MRI, terkadang membutuhkan intervensi bedah
segera
Edema Otak
Insidensi 7,7-9,5%. Reseksi glioma >
meningioma

Pemberian steroid perioperatif


cukup sering dilakukan untuk
mengurangi resiko edema serebri

Posisi kepala dan badan yang tepat


untuk memaksimalkan drainase
vena otak, dapat mengurangi
edema pada otak  head up 30o
Pendarahan Intrakranial

Insidensinya berkisar antara 1.1-4.4%, 88% komplikasi ini terjadi dalam 6


jam pertama paska operasi

Peningkatan risiko terjadinya intrakranial hematoma dapat terjadi pada


pasien dengan gangguan koagulopati, pasien yang menggunakan
antiplatelet (seperti aspirin dan NSAID), dan antikoagulan, paska kehilangan
darah masif intraoperatif, dan pada operasi meningioma

Talaksana dengan mengatur hemostasis sebaik mungkin dan jangan


sampai terjadi lonjakan hemostasis signifikan, mencegah hipertensi paska
operasi dan adanya pergeseran cairan berlebihan, konfirmasi segera
dengan ct-scan, konsul dokter bedah bila memerlukan intervensi

Pencegahan  mengkoreksi koagulopati dan penundaan pemberian


antithrombolitik ataupun antikoagulasi profilaksis
Pasien bedah saraf berisiko tinggi terjadinya Insidensinya sendiri berkisar antara 15-
kejang paska operasi, terutama dalam 20% dan insidensi tertinggi dalam 48 jam
minggu pertama paska operasi pertama paska operasi

Kejang Paska Operasi

pemberian obat-obatan profilaksis seperti


Kejang konvulsif dapat didiagnosis dengan phenitoin, karbamazepin, asam valproate
mudah, namun kejang non-konvulsif yang atau phenobarbitaldapat menurunkan
tidak terdeteksi risiko terjadinya kejang selama minggu
pertama paska operasi hingga 50%
Tatalaksanakejan
g paska operasi

lorazepam bolus 1-4 mg


atau golonngan
benzodiazepin lainnya

bila tidak efektif dapat


diberikan propofol atau
thiopental sebagai obat
alternatif

Untuk penggunaan
terapi jangka panjang
dapat digunakan
phenitoin,
carbamazepin, asam
valproat

Skrining penyebab
Konsultasi segera
dengan neurologis untuk
optimalisaasi
Thromboemboli vena
Tatalaksana 
Sequential Intermitten
Thromboemboli vena Compression Devices
Angka kejadian
dapat terjadi (SICD) untuk
thromboemboli pada
dikarenakan salah satu pencegahan
operasi tumor otak
efek dari keganasan itu
sendiri cukup tinggi pemberian dosis kecil
sendiri adalah
berkisar antara 13-26% antikoagulan  risiko
hiperkoagulasi
pendarahan??
Nyeri paska
operasi
merupakan
aspek penting
dari manajemen
paska operasi

Nyeri 12 jam paska


operasi  nyeri
Insidensinya
berkisar 60 paska bersifat dan
berintensitas
sedang
operasi

setelah 48 jam
nyeri bersifat
ringan
Tatalaksanan Nyeri Paska operasi

Tatalaksana berdasrkan gejala yang dirasakan. Dapat dilakukan scalp blok


yang terbukti dapat menurunkan kebutuhan penggunaan obat analgesia
paska operasi. Dapat diberikan anti nyeri lainnya paska operasi.

Penggunaan asetaminofen tunggal saja tidak cukup kuat untuk


mengatasi nyeri paska kraniotomi. Namun, penggunaan asetaminofen
sebagai adjuvan dari opioid cukup bermanfaat mengatasi nyeri paska
kraniotomi

Tramadol jarang menyebabkan depresi nafas dan mengantuk dibandingkan


dengan morfin, namun efek analgesianya lebih rendah dan dapat
meningkatkan risiko kejang paska operasi
PONV
Insidensinya cukup tinggi berkisar 25-38%. Dapat
disebabkan oleh beberapa mekanisme seperti
peningkatan sensitivitas terhadap vestibular
apparatus dan Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ)

Rasa mual dan muntah paska operasi dapat


disebabkan arterial hipertensi dan peningkatan
tekanan intrakranial

PONV tidak hanya berdampak buruk terhadap


kenyamanan pasien tapi juga dapat
menyebabkan komplikasi berat pada pasien
bedah saraf
pemberian 5-hidroxytryptamine 3
reseptor (5-HT3) antagonis
intraoperatif cukup efektif dan aman
serta dapat diterima dengan baik
Tatalaksana
Tropisentron 2-5mg i.v atau
ondansentron 4-8mg i.v

droperidol 0,625-1,25 mg intravena


dapat diberikan sebagai alternatif
terapi PONV

Pemberian propofol 20 mg intravena


(diberikan sesuai kebutuhan) dapat
digunakan sebagai terapi sementara

Bila intraoperatif telah


mendapatkan deksametasone
intravena, pemberian
deksametasone ulang untuk PONV
tidak dianjurkan
Terapi Antiemetik Pilihan Pada Pasien Bedah
Saraf
Golongan obat Contoh (dosis Efek Samping
intravena)
5HT3 Ondansentron (4mg), Nyeri kepala
Tropisentron (2mg),
Granisentron (1mg),
Dolasentron (12,5 mg)
Antihistamin Dimenhydrinate (25mg) Mengantuk
Prometazine (12,5mg)
Antikolinergik Scopolamine Mengantuk,
(transdermal patch) midriasis
Antidopaminergik Droperidol (0,625-1mg) Ekstrapiramidal
Steroid Deksamethason (8mg) Hiperglikemia
Insidensi infeksi di area luka operasi paska operasi sangatlah kecil
Infeksi berkisar 4%,
area
operasi infeksi dapat meningatkan risiko terjadinya infeksi intrakranial,
ventrikulitis, meningitis. Empyema, intra- ataupun ekstra aksial
abses

Faktor yang mempengaruhi infeksi paska operasi diantaranya usia ≤


45 tahun, kontaminasi pada saat tindakan, lama operasi lebih dari 7
jam, penggunaan drain intrakranial, dan kebocoran cairan
serebrospinal paska operasi

Tanda terjadinya infeksi dapat terlihat pada permukaan kulit atau


fasia superfisial dari area luka operasi.

Tatalaksana pada kasus infeksi di area luka operasi pemberian terapi


antibiotik dan reeksplorasi pembedahan merupakan terapi pilihan

Anda mungkin juga menyukai